Skip to Content

Pelabuhan Senja

Foto dwi s

Sepertinya, aku telah tersesat terlalu jauh, sehingga aku tak lagi kenali tanah yang sedang kujejak, sehingga aku tak tahu lagi, yang mana jalan untuk kembali. Entah sudah berapa jejak langkah yang telah tertinggal dibelakang.. Entah, sudah berapa satuan waktu yang telah kuhabisi.. Aku tak peduli.. Aku tak tahu, dan tak hendak ingin tahu tentang hal itu. Yang jelas kenyataan telah mengantarku sampai disini, sebuah dermaga yang sunyi, tepat sesaat sebelum senja.

Dermaga khayalku..

Dermaga yang sangat sederhana, terkesan kuno, dengan tumbuhan ilalang yang tumbuh liar tak teratur, ditambah guguran dedaunan pepohonan willow yang terserak dimana-mana, menunjukkan bahwa dermaga ini sangatlah tidak terawat. Wujudnya hanyalah sebentuk jalan panggung sederhana yang tersusun dari kayu-kayu gelondongan berukuran seragam, yang disusun berjajar melintang drngan rapi, membentuk sebuah jalan panggung memanjang menuju perairan, mengarah dan tepat menusuk laut.

Tiang-tiang gantungan lampu minyak berbaris rapi menghiasi seluruh sisi kanan panggung kayu. Tiang penyangga yang berasal dari gelondongan kayu dengan jenis dan ukuran yang sama seperti gelondongan kayu yang tersusun menjadi lantai panggung kayu. Lampu-lampu minyak yang seketika mampu menarik perhatianku saat ia bergoyang pelan, tak menolak dipermainkan angin yang mengusapnya dengan lembut.

Lampu minyak yang sejatinya tengah meradang, menggelepar bersama sisa-sisa wujudnya yang kian kusam, melipat dan menekuk wajahnya sedemikian rupa saat merindui titik-titik nyala api yang telah pergi entah kemana. Nyala yang dulu kerap menghangati keseluruhan jiwa dan raganya, nyala yang dulu juga turut menerangi lingkungan sekitarnya.

Beberapa biduk yang tertambat disana turut bergetar saat langkah kaki pertamaku menjejak panggung kayu. Mungkin mereka sengaja melakukannya untuk menyambut hadirku. Mungkin juga karena langkah kaki pertamaku telah menggetarkan keseluruhan bangunan panggung kayu yang secara tidak lansung juga turut mengetarkan biduk-biduk yang tertambat disana. Dengan langkah setengah berlari, aku segera menuju ujung terjauh panggung kayu dan segera duduk diam disana sembari mencoba menyapa sang laut lewat kecipak-kecipak kecil jemari kaki yang sengaja kujulurkan menyentuh permukaannya.

Kulemparkan tatap pandangku menuju kejauhan untuk menikmati keindahan semesta yang mulai menggeliat, untuk kemudian menyatukan segala keindahan yang dimilikinya, pada sebuah rona senja yang mulai menampakkan semburat keemasannya. Senja yang sedang berkuncup diketinggian langit sebelah barat. Sunyi dan sepi seketika menyergap, hingga suara detak jantungku sendiri menjadi suara yang paling dominan ditelingaku, mengalahkan suara desir angin yang mulai terasa dingin, mengalahkan suara bisik ombak yang mendesis lirih disela-sela butiran pasir pantai yang murung.

Dan aku..

Masih saja disini, menunggu dalam diam, yang seketika memainkan opera khayalku, opera khayal yang masih setia untuk berikan penghiburan terbaik untukku, opera khayal yang mampu hadirkan sepotong senyum tak penuh dibibirku, meski hanya sedikit, tapi mampu menggelitik, sisa-sisa semangat hidup yang sedang terjepit, untuk kembali bangkit.

Masih terdiam dan tertahan disini, persis seperti janji usang untuk sehidup semati, janji bodoh yang tidak seharusnya ditepati, janji yang sedang berusaha kuingkari, janji yang telah terlanjur terpatri dalam diri, janji yang selalu saja mengikuti, selalu ada dimanapun aku bersembunyi.

'Kupilh letakkan tanganku dihati agar aku selalu ada disudut manapun kamu bersembunyi..' katamu.

Kata-kata yang seketika berubah menjadi layaknya mantra ajaib yang keluar dari bibir sipenyihir hati, kata-jata yang seketika itu juga mampu memasung tatap pandangku hanya kepadamu, kata-kata yang juga turut menjadikanmu sebagai satu-satunya tujuanku.

Sono omasa wa shitta nda..

Lihat sekelilingku.. Biduk-biduk telah tertambat dan berbaris rapi, bisa saja aku memilih salah satu diantaranya untuk mengantarku menuju pulau diseberang, sebuah pulau harapan. Pulau yang katanya hanya terdapat kesenangan saja didlmnya, pulau yang katanya penuh dengan gelimang cita dan cinta tak berkesudahan. Pulau yang katanya adalah serpihan surgawi, yang entah bagaimana caranya bisa terlempar kedunia ini. Pulau yang katanya adlh anugerah Illahi, dimana keberadaannya mampu membukakan semua mata hati yang tertutup, utk melihat dan menyadari bahwa sejatinya pintu-pintu menuju surga yang abadi telah dimudahkan dan diridhoi.

Mungkin kamu telah lupa bahwa kamu masih punya jadwal untuk singgah didermaga sunyi yang kian rapuh ini. Atau jangan-jangan, kamu telah menemukan nahkoda lain yang lebih hebat, sehingga kamu segera berlabuh menuju pulau harapan tanpa perlu lagi menoleh kearah dermaga sunyi ini, dimana ada aku yang terdiam, meradang, dan membusuk disini, tergilas kerasnya roda waktu yang kejam.

Pergi saja, jika itu telah benar-benar menjadi keinginanmu. Pergi saja, jangan ragu-ragu. Tapi tolong, jangan bunyikan peluit sebagai tanda bahwa kamu sedang berlabuh kearahku, agar aku bisa turut berlalu, agar aku bisa lanjutkan hidupku.

Kupalingkan tatap pandangku kearah langit, mencoba menembus dan menerobos gumpalan awan putih, sembari berharap Tuhan berkenan membagikan secuil rahasianya pqdaku, untuk menjawab gejolak tanya yang kini mendesak menuntut jawab.

'Benarkah ia tertakdir untukku..?'

Tanpa kusadari, sebuah rakit bambu menyentuh jemari kakiku. Sentuhan yang meski pelan, namun seketika itu juga mampu buyarkan anganku untuk kemudian kembalikan kendali otakku atas segala sadar yang masih tersisa. Rakit bambu yang sederhana namun terlihat kokoh dan kuat, tidak saja karena ukurannya yang lebih besar, namun rakit bambu itu tersusun dari batang bambu yang lebih besar dibanding bambu-bambu pada umumnya. Yang jelas, sipembuat rakit bambu ini pasti telah memilih batang-batang bambu terbaik saja untuk merakitnya menjadi sebuah rakit bambu yang besar dan kokoh.

Dengan penuh keyakinan, akupun segera melompat keatas rakit bambu yang sesaat kemudian segera membentangkan satu-satunya layar yang terpancang ditengah rakit. Pelan namun pasti, rakit bambu yang kutumpangi segera bergerak meninggalkan dermaga sunyi untuk berlabuh menuju pulau harapan.

Namun rasa heran seketika membersitkan sebaris tanya dikepalaku saat rakit bambu itu tak segera menjauhi garis pantai, namun hanya menyusurinya saja. Meski sedikit kecewa, aku segera mematahkan bibit penolakan yang mulai tumbuh diruang sadarku karena walau bagaimanapun aku tak kuasa melawan kehendak sang angin, lagi pula aku masih tetap yakin bahwa kelak rakit bambu yang kutumpangi akan sampai juga di salah satu dermaga pulau harapan.

Terus bergerak menyusuri pantai sebelum akhirnya merapat lagi disebuah dermaga yang lain. Sebuah dermaga yang sangat berbeda dengan dermaga sunyiku. Tentu saja beda karena suasana didermaga ini sangatlah ramai dan penuh dengan suara-suara bising oleh banyaknya kesibukan yang hiruk-pikuk.

Bibit-bibit penolakan yang sempat kupatahkan sebelumnya seketika tumbuh kembali saat beberapa penumpang lain turut menaiki rakit bambu. Sesuatu hal yang tidak bisa kuterima karena setahuku hanya satu penumpang saja yang boleh menaiki rakit ini. Namun, aku tak bisa berbuat banyak karena memang masih tersisa cukup tempat untuk membawa beberapa penumpang lain.

Penolakan yang untuk kesekian kalinya terpaksa kupatahkan mengingat rakit besar yang kami tumpangi mulai bergerak menjauhi dermaga, kali ini lansung meninggalkan garis pantai menuju pulau harapan. Berlahan namun pasti, rakit yang kami tumpangipun mulai membelah laut diiringi lambaian lembut nyiur pantai yang kian tersamar oleh jarak yang kian menjauh.

Sebuah rakit bambu, dengan beberapa penumpang diatasnya, terombang-ambing dipermainkan ombak yang sedikit menguat. Ombak diperairan ini memang sedikit agak lunak. Mungkin karena keberadaan pulau diseberang sana telah mampu sedikit menjinakkan ombak yang sebelumnya liar dan ganas.

Beberapa penumpang memilih untuk mengobrol mengitari satu-satunya layar yang terkembang. Dan aku.. Aku lebih memilih keluar dari obrolan mereka untuk duduk disalah satu sudut terjauh rakit bambu. Sesekali, terdengar ringkik tawa dari sela-sela obrolan mereka yang memecah dominasi suara ombak yang sedang membuih dan mendesis lirih pada celah sempit rangkaian bambu.

Entah mengapa, aku merasa tidak nyaman berada ditengah-tengah obrolan mereka. Suasana berbeda segera menghampiriku. Suasana yang sangatlah tidak asing bagiku, suasana yang telah sangat kuakrabi, suasana penuh kedamaian yang disuguhkan sang alam kepadaku, dengan suara-suara desis ombak berpadu dengan hembusan angin untuk menciptakan butir-butir halus uap air yang tak henti-hentinya membasuh wajahku, berikan sebuah kesegaran baru bagiku, ditengah suasana senja yang mulai mengguratkan rona jingga miliknya disela-sela merah saga yang masih meraja.

Suasana yang menentramkan, yang seketika itu juga menyematkan sepasang sayapnya dipunggung anganku, yang tanpa kusadari telah menerbangkanya lebih dulu, meninggalkan sebentuk raga yang terdiam tanpa suara, walaupun mulutnya sedikit menganga. Sepertinya, semesta raya sengaja membiarkan khayalku terbang lebih dulu utk sekedar mengecap dan mencicipi secuil pesona keindahan pulau harapan. Hmm.. Keindahan yang kali ini tak bisa kulukiskan dengan kata-kata. Keindahan yang serta merta menuntun segala ego diri untuk menunduk seraya menyeru kebesaranNya.

Namun segala khayal itu segera pulang, berebut dan berjejalan memasuki ruang sadar dikepalaku, sebelum akhirnya menyelinap masuk kedalam ruang bawah sadarku saat serombongan ikan kecil tiba-tiba mendekat kearahku, sebagian diantaranya bermain diantara kedua kaki yang memang sengaja kubiarkan terendam didalam air, sebagian lainnya berbaris sejajar, saling berebut menyusu pada lambung rakit bambu yang kebetulan ditumbuhi lumut.

Mungkin mereka adalah para ikan kecil, atau bisa jadi mereka adalah para ikan dewasa yang tertakdir menjadi ikan berukuran kecil. Entahlah, aku tak terlalu memperdulikannya. Yang jelas, keberadaan mereka telah mampu paksakan sungging senyum dibibirku dengan segala tingkah dan pergerakan yang lincah, aktif dan dinamis, sedikit dibawah permukaan air sehingga tubuh-tubuh mereka seolah mengerjab berkilauan secara bergantian memantulkan cahaya senja yang beranjak redup, seakan sedang mempertontonkan tarian khas yang hanya milik mereka.

Olala.. Ternyata tak cukup sampai disitu saja karena ternyata para ikan itu malah menginginkanku untuk bergabung bersama mereka, tentu saja untuk turut memainkan tarian khas milik mereka. Sebuah pinta yang tentu saja tak bisa kupenuhi dan hanya kubalas dengan sebatas senyum saja. Ajakan yang meskipun tak bisa kupenuhi, namun mampu memaksa tubuhku menelungkup diatas rakit untuk berikan kesempatan kepada ujung-ujung jemariku menyentuh tubuh-tubuh mungil para ikan.

Namun... Suasana penuh kesenangan itu sekejab kemudian berubah mencekam saat tanda-tanda badai bersiap menghadang. Suasana senja yang damai itu seketika berubah mencekam, saat awan yang gelap dan tebal itu seketika menutup segala keindahan rona senja, dengan kelabu pekat miliknya, rona kelabu yang nyaris hitam. Kilat petir yang sesekali menyambar semakin menenggelamkan suasana mencekam yang semakin dalam.

Semilir angin yang semula lembut, kini menghembus liar dengan beringas penuh kemarahan, hembus angin yang sesaat kemudian mengubah riak air dipermukaan menjadi gelombang besar yang mematikan. Rasa takut seketika meraja, menuntun naluri para penumpang rakit untuk berkumpul ditengah-tengah rakit, sambil sebisa mungkin berpegangan pada satu-satunya tiang layar rakit bambu. Rakit yang kami tumpangi bergoyang semakin kuat seiring gelombang yang kian mengganas.

Meski kami telah berusaha keras untuk bertahan, pada sebuah kesempatan, segulung ombak yang sedemikian besar menerpa, menjungkir balikkan rakit yang kami tumpangi, sekaligus melemparkan semua penumpang rakit kedalam gulungan ombak yang seakan telah sangat ingin menelan tubuh-tubuh kami. Kepanikan yang luar biasa seketika menutup rapat pundi-pundi logika untuk membiarkan naluri memainkan perannya, memandu dan mengambil alih kendali atas segala pergerakan anggota tubuh.

Meski begitu, rasa takutku ternyata tak sebesar para penumpang yang lain. Sesuatu hal yang cukup masuk akal dan bisa dimengerti karena aku telah terbiasa bergaul dengan alam sekitarku, dan laut bukanlah sesuatu hal yang asing bagiku. Sebuah suasana baru yang menyenangkan seketika hadir dihadapanku saat rombongan para ikan kecil itu berkumpul mengerubutiku, seakan mereka memang sengaja melakukannya untuk menyambut kedatanganku didunia mereka.

Mereka mengajakku bercanda, tertawa, lalu membimbingku untuk turut bergembira bersama mereka, untuk turut ambil bagian dalam tarian ritmis milik mereka. Hihihihi.. Kali ini tak mampu lagi kubendung tawa kecil yang spontan terlontar begitu saja dari bibirku melihat para ikan kecil itu menyatukan tatap pandangnya kearahku dengan sorot mata penuh harap, merajuk manja agar aku mengikuti pergerakan mereka, menyelam lebih dalam, bermain dan berkejaran disela ganggang. Sempat timbul penolakan dalam diri, namun aku segera meminggirkannya dengan sebuah guman dalam hati.. 'Hmm.. Gak papa juga kali yah, tak ada salahnya sembari menunggu badai dipermukaan mereda.'

Benar saja, tak seberapa lama kemudian tanda-tanda bahwa badai mulai beranjak meredapun datang juga. Rona lembayung jingga milik sang senja mulai menampakkan sisa-sisa temaramnya seiring pudarnya kelabu awan pekat diketinggian. Keheningan seketika meraja, saat hembus angin yang sebelumnya meliuk liar kini tiada, bahkan bisa dikatakan bahwa suasana saat ini jauh lebih hening dibanding suasana sebelum badai.

Meski begitu, sang badai masih menyisakan sisa-sisa keriuhannya lewat ombak dipermukaan yang masih bergoyang tak beraturan. Dan aku... Hehehehe.. Kali ini aku merasa enggan meninggalkan segala kesenangan dalam sebuah kebersamaan yang penuh keakraban bersama para ikan.

Dan aku tahu bahwa moment seperti ini tidak datang setiap saat, atau bahkan tak akan ada lagi kesempatan untuk mengulangnya dimasa-masa yang akan datang. Akupun berusaha untuk mereguk sebanyak mungkin kesenangan karena aku harus segera kembali kepermukaan saat badai mulai mereda.

Sepertinya, tubuhku telah beradaptasi dan mulai terbiasa bergerak dikedalaman bersama para ikan. Mungkin hal itu jugalah yang membuat tubuhku menjadi lentur dan terasa lebih ringan sehingga aku menjadi lebih leluasa bergerak didalam air. Pun demikian halnya dengan rasa dingin yang sebelumnya mencucuki tulang belulangku, entah mengapa juga berangsur-angsur menghilang, membuatku lebih gesit dan lincah berenang dan menyelam lebih dalam.

Hingga akhirnya, badaipun telah benar-benar mereda. Dan itu berarti bahwa aku harus menyudahi segala kesenangan bersama para ikan.. 'Huhf.. Andai saja aku punya lebih banyak waktu bersama para ikan..' gerutuku dlm hati.

Susana diatas permukaan kini tak lagi sekedar hening, karena ternyata segala keheningan itu telah beranjak mencekam, sunyi yang kali ini malah agak menggidikkan. Hmm.. Lagi-lagi sebuah perpisahan tak bisa dihindari. Dan aku harus segera pergi, memacu tubuhku menuju permukaan. Sedikit keanehan kurasakan saat tubuhku sedikit mengalami kesulitan untuk menembus batas permukaan air. Meski begitu, aku tetap berusaha berenang mendekati rakit bambu.

Dan senjapun semakin menua. Merah saga diketinggian langit telah binasa seluruhnya, berganti lembayung jingga yang kian pekat, sebagai pertanda bahwa senja telah benar-benar matang dan telah bersiap menunggu dipetik, lalu ditelan gelapnya malam. Satu demi satu para penumpang yang terserak kembali bermunculan kepermukaan, lalu berenang dan berkumpul diatas rakit bambu yang sebenarnya juga sedang meratap, mendapati dirinya kini terbalik poranda, kehilangan layar pancang satu-satunya.

Namun suasana penuh keheningan itu pecah oleh pekik teriakan yang kali ini bercampur tangisan kedukaan mendalam, kala salah seorang penumpang yang telah kembali berada diatas rakit menunjuk pada sesosok tubuh mengambang, tertelungkup kaku tak bergerak, bergoyang pelan mengikuti alunan ombak yang mulai berangsur tenang, sedikit agak jauh dari rakit bambu.

Sepotong pekik tertahan terlontar begitu saja dari mulutku..

' OHH TIDAK, ITU RAGAKU..'

_Untuk sebuah kedukaan mendalam.. Sepertinya, kita hanya boleh menangisinya dalam hati saja karena kita telah saling tahu bahwa sejatinya, jiwa telah mati, meninggalkan raga yang masih saja bergentayangan menyelesaikan takdir Illahi.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler