Skip to Content

Perempuan Penyulam Rindu

Foto Galih Anggara
files/user/2604/RINDU.jpg
RINDU.jpg

Hampir tiap malam Anirah termangu di bawah pendar bintang seiring robohan rindu yang bergeletakan di hatinya. Anirah lantas menghitung bintang-bintang yang tergantung di kolong langit pekat hingga untaian asteris itu tiada lagi mampu dihitung. Begitulah malam ia lewati. Setidaknya perempuan tua itu masih punya harapan. Berharap kelak bintang-bintang itu bisa ia bungkus dalam kardus, hingga berhamburan mengudara ditiup angin menuju orang-orang yang ia rindukan.  Di usianya yang renta, Anirah tidak muluk-muluk meminta menghamba pada sang Maha dari segala Maha. Harapan Anirah sederhana. Ia tidak berambisi menurunkan harga solar. Pun menyeka air mata anak-anak lugu persembahan ujian nasional. Apalagi jika harus meneduhkan luka sengsara pejuang devisa, atau melantangkan gema toleransi di seantero bumi pertiwi. Ia tidak berambisi untuk itu semua. Tubuh Anirah terlalu usang menghadapi harapan-harapan besar. Anirah hanya ingin rindu-rindu yang selama ini ia rajut dibalas dengan kerinduan, dirindukan. Harapan Anirah Sederhana.

“Nek, kiriman uang sudah datang, saya taruh di tempat biasa.” Seorang muda berparas redup memberaikan delusi Anirah yang kian tiada arah. Lagi-lagi uang, pikirnya.

Hatur Nuhun Kasep

“Kembali kasih Nek, saya mohon pamit.”

“Tidak ngopi dulu Rus? Duduklah barang sebentar, temani nenek.”

“Saya harus pulang nek, anak-anak sudah menunggu di rumah.”

Anirah lantas tersenyum pipih. “Terima kasih Kasep, titip salam buat anak-anakmu.”

“Ia nek, nanti akan saya salamkan.”

Seorang  muda itu berpamitan kemudian. Mengecup tangan Anirah lembut, lantas lesap tertelan keremangan gulita malam. Anirah kembali pada ritualnya seiring kicau burung-burung yang dikurung, merindu. Sejenak Anirah teringat kenangan bahari saat dirinya masih muda dulu. Ketika halaman rumahnya riuh oleh cekikik anak-anak. Anirah akan memetik bunga-bunga yang ranum lantas diselipkan pada telinga mereka, anak-anak itu. Anak-anak yang dulu sangat polos nan lugu. Anak-anak yang dulu akan bermanja-manja pada dirinya saat langit sore menguning keemasan terbungkus senja. Anak-anak yang dulu akan memeluk erat tubuhnya saat gelegar petir merasuk ke seluruh gendang telinga. Anak-anak yang dulu …. Ah, waktu.

Usianya kini menginjak tujuh puluh tahun. Di usianya yang hampir kadaluarsa itu, tiada lagi harapan yang ia sematkan dalam daftar risalah mimpi-mimpinya. Pernah terbesit dalam benak Anirah untuk segera menemui Tuhan di keabadian. Ia sudah punya cukup bekal untuk menghadap sang kreator alam raya. Kitab suci telah dilahapnya sampai habis tiada sisa. Ia sulap derai air mata anak-anak yatim piatu menjadi senyum memesona. Apalagi sembahyang, tak pernah sekalipun ia lewatkan.  Kau tidak perlu bertanya ahwal pahala pada Anirah. Pahala-pahala yang ia kumpulkan telah menggunung, bahkan bisa menjebol bendungan katulampa. Dan bukankah tujuan manusia memang mengumpulkan pahala? Agar kelak bersemayam di keabadian firdaus? Sekian lama Anirah menyusun rentengan pahala. Ia yakin suatu saat pahala-pahala itu akan menolong dirinya. Tapi kini, saat semua orang-orang yang ia cintai pergi jauh sejauh-jauhnya ujung terjauh, Anirah merasa hampa. Pahala-pahala yang ia tumpuk seakan tiada berarti. Rumah mentereng, sawah luas, limpahan sandang pangan, semuanya sia-sia belaka. Tujuan hidupnya telah  amblas tergerus usia. Dan kini, segera setelah sembahyang Anirah akan berdoa pada Tuhan, agar ia dirindukan.

“Nek, ada telepon dari kota,” Lamunan Anirah kembali tergerai oleh lembut suara Rumsih, pembantu di rumahnya.

“Telepon dari siapa?”

“Dari pak Soleh nek, ada bu Aminah juga.” Rumsih menghela nafas. Suaranya parau. “Mereka bilang tidak akan pulang lebaran ini, mereka mau berbicara dengan nenek.”

“Katakan saja aku sudah tidur.” Anirah kembali menebarkan pandangan pada bintang-bintang. Senyum kecut tergurat nyata pada wajahnya yang penuh keriput.

“Baik nek.”

Rumsih tidak akan menentang Anirah barang sedikitpun. Ia akan menuruti segala perintah yang dilayangkan Anirah. Ia dibayar untuk itu. Meski tak setiap hari Anirah menyungging senyum padanya, tapi ia harus selalu senyum. Ia dibayar untuk itu. Layaknya manusia biasa yang tak bersayap, Rumsih terkadang risih kala harus menebar senyum ketika sebenarnya ia sedang tidak ingin senyum. Tapi mungkin inilah hidup, untuk bertahan hidup, pikirnya. Satu-satunya kalimat penghibur yang Rumsih imani ialah pepatah almarhum ibunya dahulu, Tuhan tak pernah tidur. Meski senyum-senyum yang  Rumsih sunggingkan tak selalu tulus dari lubuk hati – lebih karena tuntutan pekerjaan – tapi toh setidaknya senyum Rumsih masih lebih menawan ketimbang senyum-senyum komersil yang kau temukan pada poster-poster bertuliskan janji-janji dan nomor urut di tiang listrik, pinggir jalan, atau plang-plang besar. Ya, senyum Rumsih masih lebih menawan.

 

“Nenek sudah tidur Pak.” Ujar Rumsih menyambung pembicaraan telepon.

“Oh, Ya, baik. Katakan pada Ibu, kami tidak bisa pulang karena sedang banyak urusan. Nanti akan kami kirim uang.”

“Baik pak.” Tut tut tut, sambungan telepon terputus menyisakan keping-keping rindu yang menghampar.

Soleh dan Aminah memang anak yang berbakti. Mereka tak pernah absen mengirim uang pada Anirah. Bahkan sesekali mereka mengirim barang-barang mewah ekses peradaban manusia. Saya anak yang berbakti, pikir Soleh. Saya anak yang berbakti, pikir Aminah.

 

“Rum! Rum! Rumsih!”

“Iya nek.” Rumsih menyaut lamat-lamat.

“Kesini Rum! Temani nenek!”

Secepat cahaya Rumsih menemui Anirah. Ia dibayar untuk itu. Tak banyak yang dilakukan Rumsih saat menemani Anirah di kesunyian malam. Ia akan menunggui Anirah yang tengah berfantasi dengan dunianya sendiri. Paling-paling Rumsih akan membantu mengusir nyamuk-nyamuk yang menebar ancaman. Kadang ia kesal, marah, jengkel, tapi ia dibayar untuk itu. Aku harus terbiasa dan membiasakan hidup, pikir Rumsih.

“Rum.”

“Iya nek.”

“Anak-anakmu berapa umurnya?”

“Yang laki-laki masih lima tahun, yang perempuan tujuh tahun.”

“Oh, ya, tentu masih lucu-lucu Rum.”

“Iya nek.”

“Kau bahagia Rum?”

“Tentu nek.”

“Kau tidak capek mengurus aku Rum?”

“Tentu tidak, malah saya senang.” Suara Rumsih tersendat. “Rasa lelah saya selalu hilang saat melihat anak-anak.”

“Baguslah Rum, kau beruntung memiliki anak-anak yang lucu. Dulu, Soleh dan Aminah juga sangat lucu, menggemaskan.” Anirah tersenyum genting.

“Aku sudah tua Rum, tidak lama lagi aku akan mati.”

“Jangan bicara seperti itu nek, saya sedih mendengarnya.”

Anirah menghela nafas, mengembuskannya perlahan namun tidak beraturan.

“Tolong ambilkan kotak kardus di lemari Rum.”

“Kotak kardus? Yang mana nek?”

Anirah tidak menjawab. Rumsih mengerti bahwa itu artinya ia tidak boleh bertanya. Maka Rumsih langsung melesat menuju ruang tengah, berniat mengambil kotak kardus yang Anirah maksud. Dibukanya perlahan lemari itu, lantas ia ambil kotak kardus tersebut. Aneh, sekian lama ia mengabdi pada Anirah, tapi tidak pernah tahu keberadaan kotak kardus mungil itu. Padahal sering pula Rumsih membuka lemari untuk mengambilkan obat-obat Anirah. Tapi sungguh tak pernah ia mendapati kotak kardus. Ah, sudahlah, pikirnya.

“Ini kotak kardusnya nek.”

“Simpan di situ Rum.”

Kemudian hening. Terbesit dalam benak Rumsih untuk menanyakan perihal kotak kardus yang telah lusuh itu. Tapi segera ia urungkan, ia tidak dibayar untuk bertanya. Ia dibayar untuk mendengarkan. Sungguh malang hidup Rumsih.

“Jika nanti aku mati, tolong berikan kotak kardus itu pada Soleh dan Aminah Rum.”

“Baik nek.”

Kemudian hening, lagi-lagi hening dilatari embus angin yang kian menyelusup rongga-ronga.

“Memang isi kotaknya apa nek?” Rumsih akhirnya memecah gejolak rasa penasaran yang kian mengoyak rasio.

“Rindu-rindu yang aku kumpulkan Rum.”

Seketika petir menyambar lantang. Awan yang sedari tadi hitam menggumpal tumpah mengguyur semesta. Langit meneteskan air mata Anirah.

Komentar

Foto Aksara Sastra

Suka

Tulisanmu rapi sekali. Aku baca sampai habis dan suka, tidak membosankan. Diksinya apik dan alurnya menarik. Sangat menikmati dan aku benar-benar larut dalam cerita. Ilustrasi gambarnya juga pas.
Kemudian mataku tertumbuk pada kata kasep. Sunda banget ya? :)
Kebetulan penulis (kayaknya)juga bener-bener asli orang sunda ya? *pertanyaan bukan pernyataan* #maafkepo
Salam Kenal. Saya baru gabung di sini :)

Foto hermandstk

Rindu-rindu yang aku kumpulkan Rum.”

bagus banget prosa nya.....
jadi terinspirasi dan penasaran dengan kisah lanjutannya.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler