Skip to Content

pilihan Bas; mencintai ibunya yang hatinya pernah hancur, karena suaminya bermain dengan seorang pelacur atau pun mencintai Cinta, yang juga bekas seorang pelacur

Foto jay

pilihan Bas; mencintai ibunya yang hatinya pernah hancur, karena suaminya bermain dengan seorang pelacur atau pun mencintai Cinta, yang  juga bekas seorang pelacur

cerita pendek : akhmad zailani

 

 

 

BAS  di hadapkan pada bayangan dua pilihan yang menghantuinya. Sangat sulit baginya untuk memilih satu di antara dua pilihan tersebut. Pilihan yang sangat sulit untuk dipilih salah satunya. Bagaikan makan buah simalakama : Dimakan mati bapak tidak dimakan mati pula ibu. Bagaimana? Bas tidak bibisa berbuat apa-apa. Pilihan itu mengejek dan mentertawakannya. Pada sisi lain, dia ingin memilih satu diantara dua pilihan yang dia yakini dengan hati nuraninya sendiri sedangkan pilihan satunya lagi seperti menghadang dan merintanginya. “Tak adakah wanita lain yang lebih baik lagi dari wanita kamu itu, Bas?” terdengar kembali suara ibunya. Kembali mengiang-ngiang di pikirannya. Bas hanya diam. Suara ibunya adalah suara kasih sayangnya. Suara yang mewangi diantara seribu mawar, di antara seribu cinta. “Ibu tak ingin kamu menikah dengan dia. Ibu tak setuju! Walaupun kamu beranggapan bahwa yang menikah itu kamu, bukan ibu,” suara wanita yang berumur setengah abad lebih itu terdengar lagi. Masih bijak. Karena ibu berlumur cinta. “Aku mencintainya, bu,” Bas menunduk. Tak ada tatap. Tapi ada sepi sesaat menanti harap. “Kamu anak ibu satu-satunya, Bas. Kamu cinta ibu yang masih tersisa setelah kepergian ayahmu. Ibu sangat menyayangimu…”. Bas diam. Seandainya dia punya pilihan lagi saat ini, tentu dia tak akan memilih dua pilihan sialan itu. Mengapa dia yang mesti terjebak? Mengapa dia yang harus di sodorkan pada pilihannya yang tak diingininya itu? Bas ingin menghindar. Atau kalau bisa, dia akan menggali tanah buat mengubur pilihan itu sedalam-dalamnya. Pilihan yang berlawanan! Mengapa mesti ada? Sunyi menikam sesaat. Ikut melukainya. “Ibu tak ingin kamu menikah dengan dia!” Ah. Bas terdiam.

Ada dua pilihan kasih sayang saat ini yang bersemayam dalam dirinya. Sudah lama, memang. Dan kini muncrat. Bah! Bas tak bisa apa. Bas tak bisa lari. Bas tak bisa menolak. Tak bisa! Kenapa pilihan itu mesti berlawanan dan bermusuhan? Kenapa tak berjalan seiring? Kenapa mesti Bas yang mesti bertarung? Lebih baik dia memilih bertarung dengan seribu banteng, dengan seribu gajah, dengan seribu musuh dari pada harus bertarung dengan pilihan itu. Bas tak bisa berbuat apa-apa.

“Ibu setuju aja bila kamu menikah dengan wanita lain. Tapi bukan dengan jenis wanita yang seperti itu,” ibu menatap lekat-lekat wajah anak laki-lakinya itu, yang hanya itu dimilikinya.

Sejenak sunyi. Lalu, “Dia juga wanita bu. Dia juga ingin merubah hidupnya,” suara Bas terdengar hati-hati.

“Tapi kan banyak wanita lain?”.

“Iya bu. Tapi dia sama saja dengan wanita lain. Dia punya cinta, punya harapan, punya masa depan, punya cita-cita dalam hidup”.

“Iya, ibu tahu itu. Tapi ibu tak ingin kamu menikah dengan jenis wanita macam itu. Titik!” ibu beranjak pergi.

 Dan Bas tertunduk.

Kini sunyi lagi. Karena tak ada suara, tak ada bantahan. Bas lalu bangkit dan melangkah keluar. Dia merogoh rokok dan korek api di saku bajunya. Menyalakan api lalu menghisap dalam-dalam asap rokoknya. Kakinya terus melangkah. Cinta. Kontra. Bah! Dia ingin bertemu Cinta, saat ini. Apa yang kamu kerjakan sekarang, Cinta? Gimana kabarmu? Pasti baik bukan, sayang? Apakah kamu juga rindu aku, sayang? Aku tak tahu, gimana ibuku atau tentang kamu? Pasti dia punya mata-mata untuk menyelidiki calon mantunya, kan?

Aku tak tahu, ibuku pasti ingin aku tak salah dalam memilih calon istri. Aku tahu. Aku yang kini berumur tiga puluh tahun sudah mngerti memilih istri, karena aku sendiri yang akan menikah dan mengalaminya. Aku yakin aku tak salah. Aku kenal siapa kamu, Cinta.  Tapi  … aku juga menyayangi ibuku.  Aku tak ingin menyakiti hatinya. Aku tak ingin menolak keinginannya. Aku tak ingin. Tapi…aku juga mencintai Cintaku, pikiran Bas bermain-main di sepanjang langkahnya. Tok! Tok! Tok! Kreeeik… Pintu kayu itu terbuka setelah Bas membukanya. Rumah kontrakan yang tak seberapa luas. Warna dindingnya sudah suram. Tidak ada barang berharga lainnya di situ, selain kursi dan meja kayu yang juga sudah buruk. Seraut wajah wanita yang berumur sekitar dua puluh limaan tersenyum di depan pintu. Terasa manis. Adalah senyum CInta. Wanita manis yang berbeda usia cukup jauh dengan Bas. “Masuk Bas,” Cinta mempersilahkan Bas masuk. Bas pun masuk. Mengiringi wanita muda yang mengenakan daster itu. “Aku sedang memasak, Bas”. “Pasti masakannya enak, sayang…,” Bas merangkul tangannya pada bahu wanita muda itu, Cinta itu. Cinta tersenyum. Lalu ada hangat lembut di bibir. Cukup lama. “Oh iya masakanku, Bas…,”Cinta segera berlari ke dapur. Ada bau gosong menusuk hidung. Bas tersenyum. “Dari mana saja kamu, Bas?” Cinta muncul lagi dari dapur. Suaranya terasa lembut. Mengelus rasa. Bagai hangat di bibir barusan. “Dari rumah, sayangku…,”ada kecupan lagi. Di kening, di mata, dan di bibir. Itulah kemesraan Bas dan Cinta. Tanpa di usik pilihan yang hilang untuk sementara. Bas dan Allen lalu makan. Menikmati masakan Cinta. Duh, sungguh masakan yang enak dan nikmat. Cinta  memang pandai sekali memasak. Dan Bas menyukai Cinta dikarenakan salah satunya adalah karena kepandaiannya dalam hal memasak. Bas ketagihan akan masakan Cinta. Dia tak hanya sekedar mencicipi, tapi menyantapnya habis-habisan. Mereka menikmatinya. “Aku mencintaimu, Bas…,” Cinta memandang Bas. “Lebih dari segala-galanya. Kamu lah yang telah memberikan aku cahaya, Bas. Aku tak mau kehilangan kamu. Aku sangat menyayangimu,” wajah Cinta menunduk. Ada harap di situ. Ada cinta juga di situ. “Aku juga mencintaimu, Cinta…” Bas mengusap tangannya yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu.

Sejenak pilihan itu terlupakan. Sejenak terabaikan. Selalu begitu. Bila Bas dan Cinta bersama. Selalu begitu! Tapi bila Bas pulang, maka kembali kepalanya puyeng karena pilihan itu. Kembali dia bertarung. Dia ingin membiarkan keadaannya normal, seperti adanya. Tapi tetap tak bisa! “Aku tak ingin kamu menikah dengan wanita jenis macam dia,” kembali vonis ibunya berdengung di telinga hatinya dan gendang benaknya. Suara-suara itu, suara ibunya dan calon istrinya terkadang secara tiba-tiba muncul mengusik dirinya. “Ibu setuju bila kamu menikah dengan wanita lain. Tapi bukan jenis wanita seperti dia, Bas!” “Aku sangat menyayangimu, Bas…”. Suara-suara itu selalu bergantian menghantuinya. Meraup sel-sel pikirannya. Melumatnya dan membunuh urat nadinya. Sehingga dia seakan-akan terhempas pada lorong hitam yang dalam. Suara-suara itu menyudutkannya dengan pilihannya. Bas semakin terpuruk.

“Kamu melamun, Bas…,” terdengar kembali suara Cinta yang lembut. Mengusir lamunannya. Bas masih terdiam. “Apa sih yang dilamunkan…”

“Kamu,” ujar Bas seraya mencubit pipi Cinta.

Dan Cinta membalas mencubit pinggang Bas manja. “Bas…” Suara itu juga mengetuk hati, walaupun dengan jenis suara yang lain. Ada cinta juga terselip pada suara itu. Sepi kembali mencekam. Dinding berbicara dalam bahasanya. Langit-langit berbicara dalam bahasanya. Angin dengan sentuhannya. Dalam cinta. Lalu, “Aku ingin pulang, Cin. Rumah ini bukan rumahku. Aku ingin pulang…,” tiba-tiba terdengar suara Bas.

 “Aku ingin pulang  …”.

Bas menatap wajah Cinta lama-lama ( mungkin terakhir kalinya). Lalu tangannya menyentuh wajah itu. Bas ingin pulang. Bas mencintai ibunya. Ibunya yang hatinya pernah hancur, karena suaminya bermain dengan seorang pelacur. Dan Bas pun mencintai Cinta. Cinta yang  juga bekas seorang pelacur. Bas terus melangkah. Dia ingin pulang. Pulang kemana pilihan itu bisa di lupakannya. Pulang dengan keyakinannya sendiri untuk melupakan pilihan yang sudah lama menghantuinya.  Kakinya terus melangkah, saling susul menyusul. Entah ke mana. ***

 

Samarinda Kota Tepian, Januari 1989

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler