Skip to Content

Presiden Panji Laras

Foto Niken Manis

Presiden Panji Laras

Oleh M.S. Nugroho

 

 

 

Belum sampai melangkah, Nade Garang ditendang ke dalam sel yang gelap. Ia menggelepar bak ayam dilempar usai disembelih. Lantai kasar menyambutnya dengan tamparan di bahu dan dagunya. Ada yang berderak dan terasa ada yang menggumpal dalam momen itu. Mulutnya tak mengaduh. Matanya melotot saja meski tanpa cahaya. Dan otaknya? Melayang-layang dalam alam dongeng tak terjamah.

Belum sampai tiga hitungan detik, terdengar pesta berisik sang nyamuk memahkotai Nade Garang. Nade Garang tetap melotot menatap gelap. Wajahnya membeku, kontras dengan panasnya aksi sang nyamuk. Sangat buas seratus nyamuk mencomoli sekujur tubuh Nade Garang. Sangat buas seratus nyamuk mencomoli sekujur tubuhnya. Sangat buas seratus nyamuk mencomoli sekujur tubuhnya tetapi tidak ada satu pun yang sanggup menjangkau pikirannya.

Belum sampai gigitan ke tiga ratus satu yang mematikan, ada satu gigitan di otot refleks di dekat ketiak yang membuatnya bergetar dan menyalami tiga nyamuk sekaligus di dadanya.  Darah muncrat dan amisnya merangsang otaknya bernafas kembali. Darah itu melengket di tangannya.

            “Ini pengadilan tidak berimbang. Nyamuk menggigit aku karena memang perintah alam. Nyamuk menggigit aku tak akan bisa membunuhku, mengapa kubalas dengan membunuhnya? Tapi bagaimana aku membunuhnya kalau aku tadi dibunuhnya?”

Belum sampai Nade Garang bangkit, bau pesing menyerobot hidungnya. Sel ini adalah konsep rumah satu ruang: dari ruang makan sampai ruang buang tinja. Ia hendak duduk tetapi lengannya terasa telah terlepas di lantai. Kakinya terasa telah dipreteli di ruang introgasi. Ia merayap dan dinding yang dingin di kepalanya menuntun untuk bisa duduk. Cat dan semen yang lapuk berontokan di punggungnya. Suara nyamuk juga bergeser mengikuti arah kepalanya.

Belum sampai misinya berhasil, Nade Garang harus terjebak di penjara. Dan ia tak bisa melanjutkan langkahnya. Misi, misi apa?

 

*

 

Ini cerita rahasia. Cerita ini saya dapatkan dari banyak sumber hidup yang relevan. Sayang ada beberapa sumber yang memberikan keterangan saling bertentangan dan ada sebagian lagi kelihatan sengaja  menyembunyikan informasi yang sebenarnya. Mungkin karena tahu kalau saya anak dari tokoh utama cerita ini atau orang suruhan saya terlalu lugu bertanya.Untuk beberapa kalangan cerita ini akan menjatuhkan reputasinya dan bisa menjadi aib besar. Oleh karena itu, mohon maaf, beberapa nama akan saya samarkan.

            Mohon maaf juga kalau cara cerita ini berjalan tidak segaya dan banyak yang berlebihan, karena bagaimana pun, saya sangat terlibat secara emosional dengan cerita ini.

 

 

**

Nama   : Nade Garang.

Hanya itu yang jelas, atau lebih tepatnya yang akrab bagi saya. Makna dan  mengapa Nade Garang, tidak ada yang tahu, bahkan ibu pun tidak tahu. Tempat dan tanggal lahir pun, meski ditulis Kota R, 17 Agustus 1950, tetap tidak berkata apa-apa. Kota R itu di mana, juga tidak ada yang tahu. Mengapa tidak bertanya? Ini baru jadi perhatian setelah kami ditinggalkannya. Bapak bukan dari sini. Kata Ibu, Bapak waktu muda dulu hanya bisa berbahasa Indonesia. Setelah menikah, Bapak belajar bahasa Jawa berikut budayanya.

Mungkin dari sinilah cerita ini bermula.

Waktu peringatan hari kemerdekaan yang terakhir kemarin, Bapak semalam tidak tidur. Beliau membaca kitab-kitab lama. Entah dapat dari mana, kitab-kitab itu tampaknya memang kitab asli dengan tulisan tangan berhuruf Jawa. Esoknya Bapak memanggil kami: Ibu, saya dan Puteri. Dengan bahasa Jawa yang halus Bapak berkata kira-kira begini.

”Aku telah menemukan. Ini petunjuk. Ini perintah kepadaku. Indonesia harus menyambut Ratu Adil. Aku tahu siapa orangnya. Ratu Adil adalah satria tempaan dari langit dan bumi. Dari bapak raja keturunan raja dan dari ibu rakyat keturunan rakyat. Orang ini masih piningit di lingkungan rakyat jelata, tetapi akan muncar menuju istana. Dia seperti lingkaran semesta yin yang dalam bulatan Tao sekaligus dialah garis tengah sang dua naga memeluk mustika. Penyatu kutub positif dan kutub negatif. Dalam kitab ini, dia dijuluki Panji Laras. Satria Penyelaras. Raja Harmoni.”

Kami diam tidak paham. Terpekur dalam kegelisahan jam kerja: Saya harus cepat-cepat mengajar di SMP swasta dan karyawan Bapak terdengar sudah memasukkan sepedanya ke dalam garasi.

“Sebagai Panji Laras dia harus mempunyai piandel. Senjata pusaka Panji Laras juga tempaan dari langit dan bumi. Ayam jagonya berasal dari telur ayam hutan merah yang bisa terbang sebagai simbol kekuasaan langit, dan telur itu dierami oleh ular Sawa Kembang sebagai simbol kesabaran bumi. Konsep ini mungkin mirip dengan budaya Cina tentang burung Hong dan ular naga.”

Bapak batuk-batuk. Kemudian menatap kami. Dari ruang tamu ini, kami mulai merasakan  panasnya matahari ke tengkuk kami dan duduk kami yang mulai panas juga. Pekerja Bapak terdengar teriak-teriak seperti minta perhatian. Kami tetap menunduk. Tidak biasanya Bapak berlaku seperti ini. Di balik ini mungkin Bapak hendak mengatakan sesuatu yang penting.

“Sayang calon presiden kita belum punya senjata pusaka. Karena aku yang membaca ini, aku harus membantu mendapatkannya. Ini tugas penting. Ini tidak hanya menyangkut  keluarga kita, ini adalah urusan negara.”

Kekhawatiran yang tidak kami mengerti menyergap kami erat-erat.

“Nug, kamu kelola perusahaan kanisir ban ini baik-baik. Kamu tangkap filosofinya. Kamu tambal ban yang bocor. Kamu tambah ukir ban yang tipis. Kamu menyelamatkan banyak orang. Kamu memperbaiki kehidupan. Kita harus berjuang dan berkorban. Engkau, Puteri, jaga ibumu,” dan seterusnya dan seterusnya.

Puteri menangis dan memeluk Ibu. Melihat saya, Puteri, melompat ke kaki Bapak.

“Bapak,” hanya kata itu yang terucap, setelah itu hanya terdengar tangisan. Saya dan Ibu hanya kaku saja dalam pelukan. Tapi rasanya ada tangis dalam hati yang getarannya sungguh menggores darah. Kami bertiga bersimpuh di kaki Bapak. Dan seterusnya dan seterusnya.

Bapak tidak bisa dicegah untuk berangkat mencari senjata pusaka untuk sang calon presidennya. Uang tabungan dibawa semua. Saya melanjutkan usaha Bapak di bidang kanisir ban. Satu hari berikutnya saya menyuruh orang untuk mengikuti Bapak. Sayang salah tebak, tetapi kami mendapat berbagai informasi. Berikut ini reka peristiwa dengan gaya diaan.

***

 

Dari kota W di kabupaten B, Nade Garang menuju Surabaya. Setelah ke makam Sunan Ampel selama dua hari, dia memilih jalur ke barat.

Karena hari Sabtu, waktu hari mudik pekerja dan mahasiswa, Nade garang

kebagian menumpang sebuah bus butut. Sebagian kursi sudah sobek dan menunjukkan foam yang kuning kehitaman. Dinding dan kelambu warnanya sudah pudar dan dibumbui tulisan-tulisan iseng. Bau asap solar juga masuk ke dalam ruang bus yang sudah berjejal wajah-wajah jelek dan berkeringat.

“Ini Indonesia yang menderita. Tunggu waktunya, aku bawakan Ratu Adil untukmu,” batin Nade Garang.

Perempuan tua membawa buntalan kain terjatuh karena berdesakan di depan kursinya. Nade Garang memberikan kursinya padanya.

“Ibu yang malang, sebentar lagi Panji Laras menghiburmu,” bisik Nade Garang dalam hati.

Nade Garang berdiri berdesakan, diayun-ayun derum mesin yang merusak syaraf otak. Ada keinginan yang tiba-tiba berkelebat: dia berlatih menikmati bau asap solar dan berbagai macam bau busuk sekelilingnya. Dia berpikir, betapa sombongnya dia yang tidak mau menghirup bau tubuh sesama manusia. Ini anugerah. Maka dalam goyangan-goyangan bus itu dia sengaja menyenggolkan diri sambil membaui keringat dan bau mulut penumpang-penumpang lain.

Tiba-tiba di belakangnya ada seorang pemuda kurus muntah-muntah sambil terkentut-kentut. Orang-orang berusaha mendesak menjauh. Nade Garang berusaha mendekat dan berusaha menikmati bau dan gumpalan-gumpalan muntahan yang berwarna-warni itu sebagai kehidupan yang bersahaja.

Perempuan tua yang ia beri kursi itu menyenggolnya.

“Turun,” katanya.

Nade Garang menangkapnya sebagai petunjuk. Dia ikut turun. Tetapi dia tak menemukan perempuan itu. Malam dan keramaian telah menelannya.

Ini sebuah halte di kecamatan M. Nade Garang mengikuti kakinya ke arah utara,  ke sebuah terminal angkutan, ke belakang pasar yang ada beberapa pasang anak-anak belasan tahun sedang bermesraan di sadel motornya. Lalu ia mengikuti sebuah jembatan untuk pejalan kaki, yang anehnya, pejalan kaki justru dianggap mengganggu lalu lalang berbagai kendaraan motor, sepeda, dan becak.

Nade Garang terus ke utara. Ia temui makam keturunan Nabi yang selalu ramai peziarah, konon berdoa mohon kekayaan di sana mudah terkabul. Tetapi kakinya bergeser sedikit ke utara dan ia tertidur di makam salah satu guru wali songo. Malamnya ia bermimpi seorang tua menunjuk-nunjuk ke arah barat lalu menendangi perutnya. Pagi hari ia bangun dan orang-orang tersenyum padanya. Mungkin semalaman mereka juga mendapat petunjuk, pikirnya.

Bersama anak-anak sekolah, Nade Garang menumpang angkutan menuju ke barat. Di stasiun J ia melihat seorang tukang becak tidak memakai baju menembang jula-juli sambil tersenyum-senyum padanya. Tampaknya isi syairnya menyindir. Nade Garang minta diantar ke arah barat. Tukang becak itu tetap tersenyum.

“Hati-hati dengan pikiranmu sendiri, Pak De,” kata tukang becak itu seperti bicara dengan diri sendiri. Nade Garang kaget karena orang-orang di kampungnya juga memanggilnya Pak De.  Bagaimana bisa sama.

“Halo, Pak De!” tukang becak itu menyapa tukang becak gemuk di depannya.

Hm, hanya kebetulan. Lalu mengapa dia menasihatinya seperti itu? Ah, permintaannya supaya diantar ke arah barat dan tidak menunjukkan tempat itu kan aneh. Lagi pula setiap orang memang kan bermasalah dengan pikirannya sendiri, pikirnya.

“Tetapi ini membahayakan Pak De sendiri dan orang-orang lain,” teriak tukang becak itu.

Teriakan itu menarik perhatian orang-orang di jalan. Nade Garang jadi kecut dan tahulah ia bahwa tukang becak itu bisa membaca pikirannya. Tubuhnya gemetar.

“Ratu adil itu istananya di hati kita masing-masing,” bisik tukang becak itu sambil tertawa.

Nade Garang tidak mampu menjawab. Ia ingin berhenti saja.

“Jangan berjudi atau melibatkan diri dengan mereka,” pesan tukang becak itu sambil pergi.

Di perempatan S, Nade Garang melanjutkan perjalanan ke arah barat dengan berjalan kaki. Sekitar satu kilo meter perutnya mulai keroncongan karena pagi ini ia belum sarapan tetapi mulutnya tak berselera. Ia memaksakan diri masuk ke sebuah warung kecil di desa T. Ia pesan mi goreng instan dan secangkir kopi pahit.

Ketika makan ia tertarik pada keadaan sekitar, beberapa mobil bagus diparkir di sebuah rumah sederhana, padahal tidak ada hajad apa-apa. Berikutnya sebuah mercedez tahun 1985 diparkir tepat di sebelah warung. Anehnya, dua orang penumpangnya langsung memanggil becak dan tanpa berkata apa-apa mereka pergi ke arah barat. Nade Garang mengikuti.

Tampak mereka turun di pasar T, langsung ke belakang, ke sebuah rumah. Ternyata tidak ke rumah itu tetapi ada jalan setapak di samping rumah itu menuju sebuah tanah lapang yang dikelilingi bukit kapur dan pohon-pohon tinggi. Ada empat puluhan laki-laki sudah berkumpul di sini. Beberapa anak-anak penjual makanan dan perempuan berbedak tebal tampaknya adalah penduduk sini.  Ini arena sabung ayam.

Nade Garang tertarik pada satu arena di sebelah barat. Seekor ayam merah melayang-layang mencakar lawannya yang berpostur sangat besar. Dan dengan beberapa kali patukan, ayam besar itu mundur-mundur dan menggelimpang tidak bangun. Ini luar biasa. Ayam merah ini adalah pusaka Panji Laras, serunya dalam hati.

Cepat-cepat ia menemui pemiliknya dan menawar. Astaga, pemilik baru melepas ayamnya jika dengan mahar seratus juta. Nade Garang hanya membawa tiga puluh juta dan lima belas juta di rumah. Nade Garang merayu-rayu sambil bersujud agar pemilik melepas ayamnya. Akhirnya tetap seratus juta dengan uang muka seluruh uang yang dibawanya. Nade Garang setuju dan terjadilah akad. Nade Garang bersalaman, tetapi pemilik tiba-tiba terburu-buru lari. Orang-orang juga berlarian. Beberapa detik kemudian orang-orang telah lenyap dan yang tampak adalah sekelompok polisi menangkapnya.

***

 

Belum sampai misinya berhasil, Nade Garang harus terjebak di penjara. Dan ia tak bisa melanjutkan langkahnya. Misi, misi apa?

Tiba-tiba terdengar tawa polisi yang tadi mengintrogasinya. Nade garang berusaha mengintip tetapi tidak sampai. Ayamnya berteriak-teriak minta tolong. Pikirannya sudah tidak enak.

“Barang bukti telah mati,” orang itu tertawa

“Dikiranya kita peternak, ngasih makan ayam setiap hari,” timpal satunya

“Sidang masih sebulan lagi, barang bukti kita simpan di perut kita.”

“Sudah jadi tahi, nih!” Suara tawa keduanya semakin menggema.

Nade Garang menjangkau-jangkau ke luar jendela dan berteriak-teriak.

“Tidak, jangan dibunuh. Itu pusaka Panji Laras!”

Tiba-tiba benturan keras memukul wajahnya dari luar penjara.

“Nih, makan!” hardik seseorang.

Nade Garang terpental. Ia meraba wajahnya. Wajahnya penuh lumuran darah. Tangannya penuh darah juga. Di depannya: ayam Panji Laras berkelojotan. Melompat dan terbang. Tanpa kepala.

 

 

Mojoagung, 15 Mei 2008

 

 


Cerpen ini dimuat dalam antologi cerpen

 Jejak Sketsa Langit  terbitan Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur, 2008

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler