Skip to Content

PULANG

Foto R'ainy Yusuf

“Aku harus pulang.”

 Itu ku katakan pada Sam ketika dia baru saja kembali dari kantor kemarin sore.

Lelaki itu tidak langsung menjawab perkataanku. Dia mengetahui watakku yang keras sehingga tidak terburu-buru menanggapi setiap keputusanku yang selalu mendadak. Dan aku memang tidak sedang minta pendapat ataupun jawaban darinya. Aku hanya ingin pulang.

Malamnya, ketika putri kami sudah tidur, kembali aku mengulangi kata-kata yang sama pada Sam. Waktu itu dia sedang menonton acara talkshow di sebuah stasiun televisi.

“Aku akan pulang pada lebaran haji nanti, Sam.”

“Lalu bagaimana dengan Samira. Apa akan kau bawa?” tanyanya mengalihkan pandangnya sejenak dari televisi.

“Aku akan membawanya,” jawabku dengan tegas. Sam menoleh mendengar jawabanku.

“Tapi anak itu masih terlalu kecil, sedangkan perjalanan ke kampung cukup jauh.”

“Samira akan genap berusia dua bulan pada lebaran haji nanti. Kukira sudah cukup kuat untuk perjalanan jauh. Lagipula aku bisa naik taksi atau bus patas agar lebih nyaman.”

“Mengapa tidak menunggu sampai aku cuti akhir tahun nanti. Aku bisa mengantarmu sampai ke kampung,” ujarnya berusaha membujukku.

“Terlalu lama. Aku sudah tidak tahan ingin mempertemukan anak kita pada kakeknya.”  Sam tertegun mendengar alasanku. Aku tahu Sam tidak yakin kalau aku benar-benar ingin membawa Samira pulang ke kampung. Tetapi dia akhirnya menyetujui niatku.

“Baiklah kalau memang tekadmu sudah bulat. Hanya saja kau harus berhati-hati membawa Samira. Bayi itu masih terlalu merah.” Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata Sam.

Dan hari ini, aku sudah duduk di bus patas antar lintas kabupaten. Sam mengantarkan aku dan Samira ke stasiun Amplas. Sebelum bus berangkat, Sam duduk di bangku sebelahku yang belum diisi oleh penumpang. Dipandanginya Samira yang tertidur di pangkuanku. Bayi itu benar-benar fotokopi wajah Sam. Matanya, hidung serta bibirnya semua adalah milik Sam.

“Aku akan menjemputmu setelah mendapat izin cuti dari kantor,” Sam mengisi kekosongan suasana dengan janji.

Aku tidak menanggapinya. Pikiranku masih terfokus pada rencana kepulanganku dan apa yang akan ku temui di kampung nanti.

Aku menikah dengan Sam sehari setelah acara wisuda. Sam adalah seorang teman sekampus yang telah mengisi hari-hariku sejak masih di semester empat fakultas ekonomi Universitas Sumatera Utara. Itu terjadi dua tahun lalu. Pernikahan itu tidak mendapat restu ayah. Ayah tidak suka aku menikah dengan seorang pria yang tidak dikenal asal-usulnya.

“Lelaki yang berlatar keluarga tidak jelas seperti itu yang akan kau jadikan suami?” tanya ayah ketika aku mengatakan ingin menikah dengan Sam. Aku hanya diam. Tetapi kediamanku adalah perlawanan bisu.

Aku mengerti mengapa ayah tidak mengizinkan aku menikah dengan Sam. Sam berasal dari keluarga yang berantakan. Ayah dan ibu Sam telah bercerai katika Sam masih remaja. Aku tidak tahu persis alasan perpisahan kedua orang tua Sam. Itulah sebabnya mengapa ayah keberatan bila aku menjadi istri Sam.

“Bagaimana kalau nanti dia pun akan bersikap seperti ayahnya? Meninggalkanmu setelah mempunyai anak. Lebih baik kau menerima lamaran Ardi. Dia putera mantan pejabat di kantor kabupaten, dan sekarang Ardi juga sudah bekerja sebagai pegawai di kecamatan. Ayah yakin masa depanmu akan lebih terjamin bila hidup bersama Ardi daripada dengan si Sam itu,” uraian panjang ayah mencoba membujukku.

Dan Ardi juga salah satu alasan penolakan ayah pada Sam. Ardi yang kini sudah pegawai negeri memang pernah memintaku untuk jadi istrinya. Bahkan permintaan itu sudah dinyatakan secara resmi kepada ayahku. Tetapi urusan hati memang tak dapat dipaksakan. Dengan kenekatan dan kekeraskepalaanku, begitu usai acara wisuda, aku melangsungkan pernikahan dengan Sam, lelaki pilihanku.

“Keluargamu akan membenciku selamanya. Aku telah lancang menikahimu tanpa restu,” itu dikatakan Sam seusai akad nikah. Dan aku hanya bergeming menanggapinya.

Memang pernikahan kami berlangsung dengan suasana sangat sederhana. Hanya dihadiri keluarga dari pihak Sam dan beberapa teman dekat kami berdua. Ayah tetap tidak merestui kami. Bahkan di surat yang dikirimkannya lewat pos beliau mengatakan, ….lebih baik kau tidak melihat ayah lagi….Aku menangis waktu membaca surat itu. Tetapi sikapku yang keras juga membuat aku merasa bahwa aku melakukan hal yang benar.

Kehidupan rumah tangga kami berjalan dengan baik. Sam yang ku kenal tetap tidak berubah walau dia tahu keluargaku  tidak menyukainya. Memang Sam adalah seorang pria yang baik. Sikapnya lembut dan penuh pengertian. Tak pernah dia membantah kata-kataku dengan kasar walaupun apa yang ku katakan mungkin tidak sesuai dengan pendapatnya. Dan sikapnya itulah yang telah menambat hatiku selama ini. Bahkan saat kesulitan di awal berumah tangga pun, Sam tetaplah sebuah karang yang teguh untuk jadi naungan.

Tetapi setelah dua tahun tidak bertemu dengan ayah, rasa rinduku tak tertahankan. Apalagi sekarang kami telah memiliki Samira. Aku ingin membawanya bertemu dengan kakeknya. Entah apa pun kelak yang akan terjadi, aku hanya ingin ayah tahu kalau aku tetaplah puterinya.

Pukul empatbelas lebih seperempat, bus yang akan membawaku ke kampung mulai bergerak meninggalkan stasiun Amplas. Sam melepaskan keberangkatan kami dengan pandangan yang sukar untuk dilukiskan. Sam memang berat melepaskan kami pergi. Apalagi hanya berdua. Bayiku yang masih  merah tentu sangat membuatnya khawatir.

“Aku akan berhati-hati,” hanya itu yang kuucapkan untuk menenangkan perasaannya. Dan perlahan-lahan bus menjauh meninggalkan stasiun. Hingga bayangan Sam tak terlihat lagi.

Sekarang hanya berdua dengan anakku Samira. Bayi itu tidak rewel selama perutnya kenyang. Memang Samira memiliki sifat yang mirip dengan papanya. Tidak rewel dan mudah diatur. Pikiranku melayang ke tanah kelahiranku. Kota kecil dengan aliran sungai melatarinya. Jalan besar yang membelah kota adalah satu-satunya jalan raya yang menghubungkan Rantauprapat dengan wilayah pesisir.

Di mataku masih terbayang jajaran pertokoan dari papan bertingkat dua, di tengah kota. Seingatku hanya satu dua bangunan yang terbuat dari beton. Lalu lorong-lorong diantara pertokoan itu sebagai tangkahan perahu. Perahu-perahu itu adalah angkutan ke kampung seberang. Memang untuk ke seberang ada jalan darat dengan melewati jembatan, tetapi karena jarak tempuh yang jauh, penduduk lebih suka bila naik perahu. 

Tangkahan itu juga merupakan tempat untuk mandi dan mencuci. Sewaktu kecil, aku dan teman sepermainan sering berlama-lama mandi di sana. Apakah semuanya masih seperti dulu? Sedangkan waktu telah mengantarkan aku menjadi seorang wanita dewasa.

Kini aku bukanlah gadis kecil pesisir yang biasa berendam di sungai. Sekarang aku telah menjadi istri dan seorang ibu. Dan ayah, masihkah beliau mau menerimaku dan Samira, cucunya?

Deru mesin bus menyadarkanku dari lamunan. Samira menggeliat dalam pangkuanku. Kuraba bagian punggungnya, basah. Bayiku memang mudah berkeringat, padahal udara cukup dingin karena bus ini ber-ac. Kubuka baju panas yang dipakai Samira. Sekarang dia sudah mulai tenang.

Lewat jendela bus yang berjalan kencang, pohon-pohon seolah berlari. Kelebatan bayangan juga kembali berlarian dalam benakku. Setamat SMA, aku memang tidak lagi tinggal di kota kecil itu. Sebuah program penelusuran minat dari perguruan tinggi memberi kesempatan bagi siswa berprestasi di sekolahku untuk masuk ke perguruan tinggi negeri tanpa testing. Salah satu yang terpilih adalah aku. Aku memilih jurusan Ekonomi dan Manajemen di Universitas Sumatera Utara, Medan.

Dan segala rutinitas kuliah membuat aku jarang berhubungan dengan kampung halaman, kecuali pada hari-hari libur panjang. Ketika duduk di semester empat justru aku menemukan seseorang yang membuat aku kian betah berada di kota Medan.

Aku sedang mengerjakan makalah tentang pasar bebas Asia, ketika seorang pemuda berkulit putih membuat perasaanku campur aduk antara marah dan suka. Saat sedang membaca hasil penelitianku di perpustakaan kampus, tiba-tiba seseorang menyenggol gelas minuman ringan yang terletak di mejaku. Kontan saja isi gelas membasahi buku-buku dan semua berkas yang ada di situ. Yang paling parah, hasil penelitianku juga ikut basah, padahal besok sudah harus dikumpulkan.     Mana dosennya terkenal killer lagi. Huh!

Aku sudah pasang wajah sangar untuk mendamprat orang yang sudah merusak hasil kerja kerasku itu. Tetapi ketika melihat wajah orang itu, mendadak rasa marahku menjadi kendor. Dia seorang pria berkulit putih dengan rambut semi ikal dan berhidung mancung. Mata bundarnya penuh rasa bersalah, buru-buru dia minta maaf, lalu berusaha mengeringkan makalahku yang basah. Aku hanya memandanginya.

“Maaf, maaf, aduh saya tidak sengaja,” ujar pria itu.           Aku tetap memasang wajah jutek. Aku hampir menangis mengingat keadaan makalahku. Mataku memanas. Bagaimana memperbaiki makalah itu dalam semalam.

“Saya akan memperbaiki makalah Anda. Saya benar-benar tidak sengaja,” pria itu makin bingung melihat aku hampir menangis.

“Tidak usah,” jawabku akhirnya sambil berusaha merebut makalah itu dari tangannya.

“Tidak. Biar saya perbaiki. Saya janji besok pagi makalah ini sudah selesai. Anda di jurusan Ekonomi Manajemen, kan?  Besok makalah Anda saya antarkan.” Lalu pria itu berlalu begitu saja membawa makalahku, sementara aku hanya terbengong-bengong.

Keesokan paginya, ketika sedang duduk-duduk di koridor kampus, seseorang memanggil namaku.

“Mira!”

Aku menoleh ke asal suara itu. Pria kemarin sore yang membuat basah makalahku berlari-lari kecil ke arahku.

“Ini makalah yang kemarin. Sudah saya ketik ulang,” ujarnya setelah dekat.

Aku memandangi wajah pria itu, lalu berganti melihat ke makalah yang ada di tangannya. Dengan tetap tersenyum dia menyodorkan makalah itu padaku. Aku menerimanya dengan takjub.

Setelah meneliti isinya, kembali kupandangi orang yang telah menyerahkan makalah itu barusan. Ketikan makalah itu lebih rapi daripada yang telah kubuat. Berarti benar dia mengetik ulang lagi. Dalam semalam.

“Terimakasih,” hanya itu kata-kata yang terucap dari bibirku.

“Aku Sam. Samsul Ghaffar. Dari jurusan Bisnis Manajemen. Benar namamu Mira? Mira Wirawan, lengkapnya,” dia berkata sambil mengulurkan tangannya. Aku menyambut jabat tangannya dengan pikiran masih belum tetap. Hingga pemuda bernama Sam itu pergi, aku masih seperti diawang-awang.

Itulah awal perkenalanku dengan Sam. Hingga kami mengikrarkan akan sehidup semati bila kelak telah sama-sama menyelesaikan kuliah. Dan impian itu telah terwujud, walaupun tanpa restu ayah.

Suara azan Isya, entah dari masjid mana, menyadarkanku dari lamunan. Sekarang bus telah memasuki wilayah kampung halamanku. Setengah jam lagi aku akan tiba di kampung. Gerak bus ku rasa lamban. Suasana di luar gelap gulita. Suara takbir mulai terdengar bersahutan seusai orang-orang melaksanakan salat Isya. Malam hari raya Idul Adha. Hari raya kurban yang penuh pengorbanan.

Aku bersiap-siap untuk turun sebentar lagi. Di sebuah persimpangan, bus berhenti. Aku turun sambil menggendong Samira. Di depan pagar sebuah rumah sederhana, aku berhenti untuk melihat suasana di dalam rumah. Hanya terlihat beberapa anak yang bermain kembang api. Pasti para sepupu Samira. Putra-putri kakakku. Aku melangkah masuk ke halaman. Suara anak-anak yang bermain sejenak terhenti melihat ada yang masuk ke pekarangan.

“Unde Mira,” teriak Hana, putri sulung kakakku. Dia memanggilku Unde yang dalam bahasa pesisir berarti bibi.

Seorang pria tua yang tadi duduk di teras langsung berdiri mendengar suara Hana. Aku berjalan menyongsong pria tua itu. Ku ambil tangannya dan bersimpuh di kakinya. Kakakku yang baru keluar dari dalam rumah hanya memandangi kami dengan terharu.

“Ayah,” hanya itu yang mampu terucap dari mulutku.

“Mira, Mira anakku,” suara ayah bergetar lalu menarikku ke dalam pelukannya. Aku menangis dalam dekapan ayah.

“Maafkan Mira, Ayah,” ucapku terbata-bata. Samira meronta-ronta dalam gendonganku. Seolah baru sadar, Ayah melepaskan dekapannya.

“Eh, siapa ini yang mungil?” tanya Ayah sambil mengambil Samira dari gendonganku

“Cucu Ayah. Samira Wirawan. Kami memberi nama Ayah untuknya,” jawabku.

Ayah menimang Samira dan membawanya ke dalam rumah. Keponakan dan kakakku mengikuti Ayah. Aku yakin Samira hanya memandangi saja kakek dan sepupu-sepupunya juga uwaknya dengan matanya yang bundar. Suara takbir sayup-sayup masih terdengar di malam Idul Adha yang suci ini. Dan takbir itu juga bergema di hatiku. Semoga gaung takbir malam ini juga bergema di hati Sam, suamiku.

Kotapinang, 24 Mei 2012. 21.36.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler