Skip to Content

RASA KEBANGSAAN DI ERA GLOBAL

Foto Ida Bagus Gde Parwita

                                                      RASA KEBANGSAAN DI ERA GLOBAL

Oleh : Ida Bagus Gde Parwita

Yudistira, dalam kisah Mahabharata ketika dinobatkan menjadi raja Indraprasta belahan dari Astinapura berkata: Bahwa dirinya memiliki tiga ibu yang harus dihormati dan dijunjungnya, pertama maharani Kunti sebagai ibu yang melahirkannya, kedua Ibu Gandari sebagai ibu yang memberkatinya dengan kasih sayang,  dan ketiga adalah Astina sebagai ibu tempatnya lahir dan berpijak hingga akhir hayatnya kelak. Baginya Ibu pertiwi  harus dijunjung sejajar dengan ibu yang melahirkan dan membesarkannya.

Dalam konsep kesemestaan bumi mesti  berpadu dengan langit, bumi sebagai gambaran ibu  yang maha penyabar dan kasih sayang, serta langit dengan sifat kebapaan yang mengayomi dengan penuh tanggungjawab. Perpaduan bumi dan langit memberi kesejukan dan kesuburan bagi makhluk  penghuni  alam ini. Siraman hujan sesuai musim, siraman sinar surya, memberi  tanaman dan makhluk lainnya untuk tumbuh, hingga manusia dapat  menikmati menurut kehendaknya, karena itu manusia wajib menjaga memelihara kehidupan ini.

Saat bumi ini  makin tua, dan persaingan hidup semakin dahsyat, banyak diantara kita tak lagi  peduli dengan lingkungan, mereka mengoyak – ngoyak alam dan bahkan saling berebut dengan liar dan beringas sesama manusia. Dalam masa kolonialisme pertikaian yang  terjadi adalah antar bangsa karena kehormatan dan harga diri sebagai suatu bangsa diinjak – injak bangsa lain, dan kini pertikaian itu terjadi antar manusia siapa saja, antar  tetangga, bahkan dengan keluarga dan saudaranya sendiri.

Bangsa apabila dirobek-robek oleh bangsa lainnya ia akan bertambah kokoh, namun bila suatu bangsa merobek-robek dirinya sendiri maka ia akan menunggu kehancurannya, demikian ungkap Bung Karno dalam mengawali perjuangan negara ini untuk mempertahankan kemerdekaan. Kini kiranya kesungguhan dan kecintaan sebagai suatu bangsa terhadap negara itu perlu dikaji. Banyaknya pertikaian dan kesaliman di muka bumi ini patut dipertanyakan, terlepas dari berbagai persoalan yang melatar belakanginya,dan  titik akhirnya pastilah kehancuran bagi manusia dan lingkungannya.

Baru saja kita akan merayakan kemerdekaan bagsa ini yang ke – 68, yang berarti telah 68 tahun bangsa ini menghirup kebebasan  dari belenggu kaum penjajah,  dan secara ketatanegaraan  dan hukum formal telah 68 tahun pula negeri yang bernama “Republik Indonesia” ini dibangun di atas suka dan duka perkembangannya. Berbagai konsep politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, bahkan ideologi pernah dibangun dan pernah berkembang di dalamnya, yang semuanya enak diteorikan namun betapa sulit dilaksanakan.

Dan bangsa inipun amat kaya dengan pahit getir  pengalaman hidup yang pernah menderanya, soal  ekonomi yang cukup membikin hidup melarat, soal jurang perbedaan sosial  yang amat dalam,  hingga soal politik yang bikin pertikaian dan pembunuhan   antar sesama. Pemahaman terhadap bangsa  sebagai kelompok besar manusia yang memiliki latar belakang, nasib dan watak, serta cita – cita yang sama, merasa berfikir, dan berbuat sebagai suatu kesatuan yang utuh   tidak lagi mendapat perhatian.

Apakah konsep bangsa itu hanya melekat saat kita berjuang menghadapi penjajah bangsa lain saja? Dan saat berbenah ke dalam rasa individu, ras dan kesukuan, atau rasa kelompok lainnya mesti lebih ditonjolkan? bukankah negeri ini memberikan hak hidup bagi berbagai  ras, suku, agama yang  ada sepanjang mematuhi azas dan dasar kenegaraan?. Inilah yang patut direnungkan !

Negara memberi hak bagi daerah untuk mengatur wilayahnya masing-masing menurut situasi dan kondisi wilayahnya, hak otonomi itu kini telah diberikan untuk kabupaten. Otonomi ditujukan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam upaya pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.

Dalam otonomi itu tiap daerah kabupaten akan mengeluarkan jurus ampuh yang memungkinkan terciptanya peningkatan daya guna dan hasil guna pelayanan terhadap masyarakat dan peningkatan pembangunan, yang berarti daerah berupaya menciptakan iklim terciptanya keamanan guna memberikan jaminan terjadinya peningkatan apresiasi politik,  ekonomi, sosial budaya, dengan tiada lupa bahwa daerah adalah bahagian dari Republik Indonesia yang tercinta, yang diperjuangkan dengan tetesan keringat dan darah para pendahulu kita.

“Negara meminta pahlawan-pahlawan sejati; jadilah pahlawan-pahlawan nan gagah perkasa, berdiri teguh laksana batu karang yang kokoh. Apa yang negara butuhkan adalah suatu api listrik untuk menggerakkan semangat yang segar di dalam urat-urat saluran darah nasional” Demikian ungkap Swami Vivekananda yang disitir oleh Bung Karno Presiden kita yang pertama. Bagi Vivekananda murid-muridnya haruslah manusia yang gagah berani, dan gagah berani itu adalah  memiliki sifat berkepala dingin, sikap nan tenang, banyak melihat, banyak belajar mendengar, namun hati – hati berbicara, dalam simbolik ungkapan  mata itu dua, telinga itu dua, namun mulut hanya satu.  Jangan pedulikan sedikitpun makhluk kecil yang  boleh jadi sering mencemooh dan mengejek kepadamu.

Gambaran ksatrya Swami Vivekananda sepertinya tak pernah lekang dimakan sang waktu, dan  menuju usia tanah air Indonesia yang ke – 60 ini kita masih amat membutuhkan para ksatrya seperti digambarkan sang Vivekananda.

Dalam kenyataan hidup memang tak lepas dari persaingan hidup, dan persaingan hidup ini membutuhkan kebersamaan untuk menghadapinya. Jika tidak demikian untuk apa kaum pemuda dari daerah – daerah di wilayah nusantara ini tahun 1928 berkongres, yang mengakui adanya satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa yakni Indonesia. Jika kesadaran berbangsa telah tumbuh 85  tahun yang lalu, tidakkah hal itu ada sekarang ini ?

Kita memang tak mungkin hanya berharap lahirnya tokoh-tokoh yang tumbuh menjadi ksatrya yang agung seperti harapan Swami Vivekananda, namun lebih dari pada itu sang Vivekananda mengisyaratkan bahwa para insan, sahabatnya tak perlu menangis, berkeluh kesah, dan itu adalah kebodohan. Tangis, keluh kesah, kebodohan, adalah kelemahan, dan kelemahan itu tiada bedanya dengan kematian. 

Dengan mempedomani ajaran wedanta, sesungguhnya manusia tidak mengenal dosa. Yang ada adalah kesalahan atau kekeliruan pada manusia. Kesalahan terbesar  adalah jika manusia berkata dirinya adalah makhluk lemah dan orang – orang berdosa, makhluk yang buruk yang tidak mempunyai kekuasaan, dan tidak dapat melakukan apapun. Inilah sesungguhnya pengertian atheis di jaman kini. Baginya apabila agama-agama kuna mengatakan seorang atheis adalah orang yang tidak mempercayai adanya Tuhan, tetapi pandangan modern atheis adalah tidak percaya kepada dirinya sendiri.

Ternyata kekuatan itu satu unsur yang dapat mengobati penyakit dunia, dan kekuatan itu adalah keberanian, ketenangan, kesabaran, dan kasih sayang, sedang sebaliknya kejahatan itu timbul karena kelemahan manusia, dimana manusia telah penuh ketakutan menghadapi kenyataan hidup.  Berbohong, mencuri, membunuh, mengambil yang bukan hak, tamak, semua adalah karena kelemahan yang menghinggapi manusia.

Mungkin ada hikmah yang dapat kita petik dari renungan Vivekananda, terlebih setelah melewati  HUT RI yang ke – 68 ini, perayaan dan lomba-lomba yang diadakan, perlu kiranya menuju pada terciptanya para ksatya yang tangguh, gambaran sujud bakti pada negeri tercinta, dan bermanfaat bagi banyak orang. Dan lomba – lomba ini bukan hanya melibatkan siswa dan anggota masyarakat biasa, perlu juga melibatkan lembaga pemerintahan, executif maupun legeslatif.  Bila sebagai pribadi telah banyak  diciptakan lomba yang bermanfaat seperti lomba penulisan lingkungan hidup, dan lain – lainnya, Tidakkah mungkin bila lembaga executif atau legestalif juga dilaksanakan lomba seperti membuat Draft Ranperda Pendidikan, Lingkungan Hidup, atau yang lainnya yang bermanfaat bagi orang banyak. Karena hingga saat ini kendatipun begitu santernya masalah pendidikan dengan berbagai persoalannya, justru daerah hanya menunggu tanpa respons yang berarti, walaupun Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional telah  mengalami perubahan yang lebih baru.  Undang –Undang Guru dan Dosen telah lahir, dan sejumlah peraturan yang mendukungnya, dan ditambah lagi dengan banyaknya tumbuh Lembaga Swadaya Masyarakat, ataukah Forum yang menyatakan peduli terhadap berbagai persoalan kehidupan dan kemasyarakatan dewasa ini. Dan Persoalan yang dihadapi masyarakat bahkan semakin kompleks, Kiranya inilah rasa kebangsaan yang perlu diwujudkan di era global,  Semoga ………………. !!!


 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler