Skip to Content

Rumahku Mercusuar

Foto Ucha Zelebour

Kepada Juragan Ansori

Juragan Ansori yang baik. Mulanya kami tak begitu merasa kawatir. Namun setelah lewat seminggu dari jadwal semestinya dan kapal ransum belum juga singgah ke pulau ini, sejujurnya membuat kami ragu. Rasa cemas terbersit tiba-tiba seiring penantian.
Kawanku Juragan Ansori, kami telah kehabisan persediaan makanan. Sudah tiga hari mengelabui rasa lapar dengan ketela yang kami peroleh dari kebun setiap waktu. Untuk sementara anak-anak dapat menerima seolah mengerti dengan keadaannya. Tetapi belakangan mereka mulai rewel, terlebih si bungsu, dia mulai protes untuk tidak lagi menyantap ketela. Katanya dia merindukan nasi.
Sejak siang si bungsu tak henti-hentinya merengek. Sekarang dia sedang menangis. Seperti hujan sore ini, si bungsu pun enggan membendung airmatanya walau sesaat. Isteriku sudah berusaha membujuknya. Berbagai cara dilakukannya, namun selama keinginannya belum terpenuhi kurasa dia akan mengalami kebuntuan. Lalu seperti terjebak di antara labirin isteriku berangsur-angsur mulai putus asa. Tak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya, terlebih ketika si bungsu semakin gusar.
Juragan Ansori yang baik, aku tak kuasa melihat si bungsu yang terus-menerus dirundung tangis. Itulah mengapa—sekalipun merasa malu kupaksakan menulis surat ini sebagai penyambung lidah keinginan yang sesungguhnya; bahwa kami hendak meminta bantuanmu. Kurasa tak ada orang lain yang dapat memahami kesulitan kami kecuali dirimu. Sungguh kami mengharapkan uluran tanganmu. Seandainya berkenan pinjamkan kami beberapa kilo beras, mie instant, lauk-pauk, dan juga sederegen solar, jaga-jaga bilamana genset kehabisan bahan-bakar. Segala sesuatunya akan kami ganti setelah kapal ransum tiba.
Kawanku Juragan Ansori, lewat surat ini kusampaikan pula kata maaf jikalau aku tidak datang langsung menemuimu, hal itu dikarenakan teman sejawatku sedang cuti. Sangat tidak mungkin kutinggalkan pulau tanpa seorang pun penjaga. Kuharap kamu dapat memakluminya. Sekian dan terima kasih sebelumnya, salam: Keluarga Danu (Penjaga Pulau Bompis).
Dari balik jendela, Danu mengarahkan pandangannya ke luar—tersudut pada garis hujan dan gulita. Badai menggemuruh dan sambaran petir yang bersahutan sayup-sayup terdengar di kejauhan. Biasanya dalam keadaan seperti ini ada saja perahu yang menyandar ke pulau mencari aman. Tapi sore ini? Ah… Danu menarik serta menghempaskan napasnya begitu berat. “Andai saja ada perahu yang singgah, mungkin delapan jam ke depan surat ini sudah sampai ke tanganmu, dan besok atau lusa anakku sudah girang dengan sepiring nasi,” gumamnya.
Melihat isterinya dalam keadaan tak berdaya menghadapi si bungsu, Danu segera menghampirinya; “Istirahatlah sejenak, biar aku coba menenangkan si bungsu,” ujarnya penuh perhatian. Si bungsu masih tergeletak di lantai, tetapi tangisnya mulai melemah. Mungkin si bungsu sudah merasa kecapekan. Danu tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu, karena biasanya, jika sudah demikian tak lama lagi anaknya akan mengakhiri tangisnya dengan terlelap di mana saja.
Danu mendekati si bungsu. Membelai rambut serta mengelus-elus punggungnya dengan lembut. Lalu perlahan-lahan ia berusaha mendadungnya. Dan benar adanya, tak lama kemudian anak itu sudah terbuai dalam dekapannya. Setelah dirasa tenang, kemudian ia membaringkannya di kasur, serendeng dengan si sulung yang lama sebelumnya telah terlena dalam mimpi. Danu keluar menemui istrinya kembali. Menitipkan sepucuk surat itu kepadanya. Lalu dia menyuruh isterinya untuk mengambilkan jas hujan dan senter.
“Memangnya, Mas hendak kemana?” tanya isterinya.
“Ke menara,” jawab Danu.
“Dari atas sana kurasa lebih leluasa melihat sekitar, siapa tahu ada perahu di dekat-dekat sini yang hendak singgah ke pulau. Dengan begitu aku akan segera menyongsongnya dan cepat-cepat menitipkan surat itu agar selekasnya disampaikan kepada Juragan Ansori.” Tegas Danu.
“Ini surat untuk Juragan?”
“Ya. Aku meminta tolong padanya. Sekedar meminjam beras dan kebutuhan lainnya.” Danu mengenakan jas hujan dan senter yang telah siap di tangannya.
“Hati-hati, Mas, bukankah tangga menara di saat hujan terasa licin?” Danu menjawab dengan senyum.
Karena terhalang garis hujan dan gulita, dalam sekejap bayangan Danu tak terlihat lagi oleh isterinya yang berdiri di ambang pintu, kecuali sorot senternya saja yang berkedip-kedip. Bunyi pintu menara terdengar mengeretak, dan langkah kaki yang menggema saat menaiki anak tangga masih nyaris terdengar oleh isterinya. Ia masih berdiri di ambang pintu sebelum yakin bahwa suaminya sudah berada di atas menara setinggi 65 meter itu. Hujan masih terus berlangsung hingga menjelang petang.

Ransum dari sang Penyamun

sebuah malam telah dilafalkan
bulan atas sepi yang memberat di antara orangorang
menyulam hari tanpa cahaya di musim penghujan dan
kusaksikan bayang-bayang berlarian berbalik arah dan menghilang…**)

Sekonyong-konyong Danu turun dari menara. Tergesa-gesa. Di bawah guyuran hujan ia berlari memasuki rumah dinas. Isterinya yang semenjak tadi menunggu di ruangan tamu sempat terkejut melihat Danu yang terengah-engah.
“Ada apa tho mas?” Danu tak langsung menjawab. Jenak ia mengatur jalan napasnya yang sempat tersengal. Mukanya sedikit terlihat pucat. Setelah jalan napasnya teratur, barulah Danu menceritakan apa yang tadi dilihatnya dari atas menara. Isterinya menyimak dengan perasaan was-was.
“Sekalipun samar, tapi aku yakin apa yang kusaksikan tadi bahwa mereka telah merampok sebuah kapal. Mereka itu penyamun!” simpul Danu dengan nada sedikit berbisik dan tergagap.
“Kurasa kelompok itu sekarang sedang menuju kemari!”
“Bagaimana ini Mas?” Isterinya begitu cemas.
“Sebaiknya kamu masuk kamar, berpura-puralah tidur.”
“Terus apa yang Mas lakukan dengan penyamun itu?”
“Aku akan menabiknya seperti layaknya tamu yang singgah ke pulau ini. Dan aku akan berpura-pura tidak mengetahui kejadian itu. Urusannya panjang menghadapi penyamun.” Isterinya bertambah cemas, kelihatan betul saat mondar-mandir seperti orang kebingungan.
“Sudah. Lekas ke kamar, dan berpura-puralah tidur!”
“Tapi….” Isterinya ragu-ragu.
“Lekas sana!”
Tidak begitu lama sayup-sayup terdengar suara mesin mendekat. Danu mengintip dari celah gordyn. Sekalipun samar-samar ia masih dapat menangkap dua buah bayangan perahu yang merapat ke jetsky. Di atas perahu itu terdapat bayangan belasan orang. Lima di antaranya turun dari perahu dan beranjak menuju ke rumah dinasnya.
Cukup keras saat pintunya diketuk. Danu menarik napas sedalam mungkin dan berusaha menyembunyikan garis tegang di wajahnya.
“Siapa?” Seru Danu. Seandainya tidak dibarengi dengan berisik hujan, mungkin nada sahutan Danu jelas terdengar agak gemetar saat itu. Orang yang berada di luar rumahnya tidak serta-merta menyahut. Kini ketukan pintunya bertambah kencang.
“Sebentar!” Sekalipun ada perasaan takut, Danu terpaksa membukakan pintunya. Berusaha untuk tenang, kemudian Danu mempersilahkan tamunya masuk. Tubuh mereka sudah basah-kuyup. Dan sehubungan hanya ada tiga kursi di ruangan tamu itu, maka hanya dua orang saja dari mereka yang menghempaskan pantatnya di kursi tamu. Sisanya mengambil duduk sembarang.
Danu begitu gugup saat tahu bahwa kelima tamunya itu—sekalipun tidak memiliki tampang yang menyeramkan, namun apa yang digenggamnya sudah membuat bulu kuduknya meremang. Di tangan masing-masing jelas menggenggam senjata tajam; golok, parang maupun celurit. Yang terakhir mengingatkan Danu pada sebuah peristiwa yang mengerikan pada tahun 60-an. Masih hangat dalam ingatan saat bapaknya terbunuh akibat tebasan senjata itu. Entah siapa pelakunya, hingga saat ini peristiwa itu hanya menjadi bagian dari kabut misteri. Hufff….Danu berusaha mengusir jauh-jauh ingatan yang mengerikan itu, sebab jika tidak, di hadapan mereka ia akan terlihat benar-benar gugup dan takut.
Sebisa mungkin ia bersikap wajar di hadapan tamunya.
“Maaf, jika kedatangan kami mengganggu. Cuaca malam ini kurang bersahabat, sehingga kami urungkan perjalanan menuju darat. Jika tidak keberatan, kami numpang istirahat sejenak seraya menunggu hujan reda.” Kata salah satu dari mereka.
“Oooo…silahkan….silahkan!” jawab Danu masih tampak gugup.
“Terima kasih,”
“Bagaimana kalau aku buatkan air putih hangat untuk kalian? Maaf sekedar air putih,”
“Tak perlu repot Pak,”
“Ah… tidak mengapa.” Sebenarnya tawaran Danu hanya siasat belaka untuk menghindari kontak langsung berlama-lama dengan penyamun itu. Sungguh dia belum dapat menyembunyikan rasa tegang yang terbersit di wajahnya.
Apakah mungkin kehausan atau karena merasa tidak enak saja sehingga mereka tenggak habis air hangat yang tersaji itu. Mereka tidak banyak bicara, sekedar basa-basi mereka hanya menanyakan perihal kecil tentang pulau. Karena tak dapat menutupi perasaannya Danu pun menjelaskannya dengan sesingkat-singkat mungkin setiap pertanyaan. Oleh karenanya perbincangan malam itu terasa kaku dan janggal.
Tak lama kemudian hujan mereda. Salah-satu dari mereka (sepertinya pemimpin kelompok itu) mengakhiri perbincangan dengan cara kaku pula. Sebelum berpamitan, pemimpin itu menyuruh tiga orang anak buahnya dengan kalimat yang kurang dipahami oleh Danu. Ketiga orang itu segera pergi. Pemimpin kelompok meminta Danu untuk menyediakan segelas air hangat lagi untuknya.
Beberapa saat kemudian ketiga orang itu telah kembali sambil membawa beberapa kardus, kaleng dan karung kecil.
“Terimalah Pak!”
“Apa ini?”
“Sekedar ucapan terima kasih. Ini ada mie instant, beras dan biskuit, terimalah!” Seperti tidak memberi kesempatan pada Danu untuk menyanggah atau berbasa-basi mengenai pemberiannya, kelompok itu segera beranjak dari tempat duduknya. Danu terlihat bingung, dan semakin bingung ketika pemimpin kelompok itu mengatakan sesuatu padanya;
“Kami tahu bahwa Anda mengetahui kejadian tadi. Apa yang kami lakukan karena alasan yang bagi sebagian orang itu klise. Terpaksa. Ya… kami terpaksa melakukannya agar keluarga kami tak kelaparan.”
“Aku sungguh kurang mengerti,”
“Sekalipun kami tahu apa yang kami lakukan itu berisiko—dalam waktu beberapa hari mungkin kami akan dicari, seperti halnya maling-maling kecil yang selalu diuber-uber, sementara garong besar dapat melenggang dengan nyaman. Namun kami tak kehilangan akal. Belajar dari maling besar, kami praktekan bagaimana caranya kami menghindar hingga tidak dapat terlacak. Hehehehe” Untuk pertama kalinya pemimpin kelompok itu terkekeh.
“Kami berharap Anda mengerti hal itu. Baiklah terima kasih atas diijinkannya kami berteduh. Selamat malam!” sebelum Danu sempat bertabik kelompok itu sudah menghilang di antara kegelapan. Beberapa menit kemudian suara mesin pun menderu. Lambat-laun suara itu semakin menjauh, lantas tak terdengar lagi oleh Danu yang masih kebingungan di ambang pintu. Yups, Danu teringat akan sepucuk suratnya. Sialan! Mengapa tidak kutitipkan saja surat itu padanya.*****

Indramayu – Bogor, Okotober 2010

*) Didedikasikan untuk Pak Manto dan Pak La-Anang, penjaga Pulau Bompis.
**) Sepenggal puisi karya Yohanto A. Nugraha

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler