Skip to Content

Salju di Musim Gugur

Foto R'ainy Yusuf

Aku keluar dari stasiun metro bawah tanah dengan perasaan masygul. Sesuatu yang mengganggu pikiran ketika berangkat kerja tadi pagi, kembali merasuki otakku yang lelah. Baru saja usai menghadapi klien yang hendak mengundurkan diri dari kontrak dengan perusahaan. Suhu ekonomi eropa yang sedang tidak kondusif menyebabkan beberapa perusahaan ingin merampingkan pengeluaran. Dan sebagai assistant sales manager pada perusahaan yang bergerak di bidang jasa perbankan, aku harus berusaha keras agar perusahaan tempatku bekerja tidak ikut semaput.

Di kantor, aku sempat berdebat dengan atasanku, Patrick O’Donnel, yang menolak opsi yang kutawarkan dalam menghadapi masa-masa sulit bagi perusahaan. Patrick adalah sales manager di perusahaan. Wajahnya tampan, khas kaukasoid. Pria yang tetap melajang walaupun sudah berusia hampir empatpuluhan itu selalu berusaha menjegal setiap masukan yang kuberikan. Untung saja Mr. Clark Wilson, direktur perusahaan yang kharismatik memahami watak Patrick. Dan Mr. Clark mengetahui kalau sikap Patrick itu lebih dilatari alasan pribadi. Patrick tak pernah berhasil mengajakku berkencan, padahal aku adalah seorang wanita yang  juga singel dan tinggal sendirian di London.

“Patrick, sebaiknya kita menghargai usul yang ditawarkan Miss Riani. Lagipula membuka kredit lunak bagi beberapa perusahaan yang memiliki kredibilitas baik akan memberi keuntungan bagi kita.” Mr Clark membelaku saat rapat tadi. Patrick hanya diam sambil melihat kepadaku dengan tatapan yang tidak bersahabat.

  Dan kini kembali pada kehidupan pribadi yang tak kalah memusingkan otakku. Aku merapatkan kerah mantel ketika tiba di puncak tangga stasiun kereta api bawah tanah yang langsung berhadapan dengan gedung apartemen tempat tinggalku. Angin dingin di akhir musim gugur mulai terasa menusuk bagi kulit Asia-ku yang terbiasa dengan matahari daerah tropis. Suasana kota London yang selalu bergerak mengikuti detik jam bigben langsung menyergapku. Orang-orang dengan payung-payung hitam bergerak seperti robot-robot. Aku melangkah ke seberang jalan. Menaiki lift menuju lantai sebelas gedung apartemen, aku mengendurkan kerah mantel yang terlalu menjepit leher.

 Memasuki ruang tamu apartemen yang sekaligus berfungsi sebagai kamar tidur, mataku langsung tertumbuk pada supucuk surat yang telah kubaca tadi pagi. Surat itu tergeletak begitu saja. Isi surat itu  mengganggu pikiranku selama bersiap hendak berangkat kerja. Dan sekarang aku kembali menghadapi surat itu bersama dengan persoalan yang dibawanya.

Surat itu tiba dua hari lalu lewat titipan kilat. Nama yang tertulis di sampulnya membuat aku berpikir lama sebelum membacanya. Jadilah dua hari kemudian baru surat itu kubuka. Dan isinya benar-benar sama mengejutkan seperti pengirimnya. Lalu berkelebatlah siluet masa silam di ruang mataku.

Hampir duabelas tahun lalu, di pertengahan tahun sembilan puluhan, aku sedang menempuh ujian akhir SMA sewaktu kakek kedatangan seorang teman lama. Aku yang ketika itu baru pulang dari sekolah langsung ditarik kakek ke ruang tamu.

“Ini cucuku. Namanya Riani, Riani Eka Putri. Dia ini masih ujian akhir SMA. Tapi prestasinya bagus. Selalu juara,” kakek membanggakanku di depan tamunya, “Bapak ini teman kakek waktu mengungsi di jaman pemberontakan dulu, nduk. Namanya Pak Suryo. Sekarang sudah jadi pengusaha kaya,” kata kakek lagi padaku.

Tamu kakek hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa. Aku menyalami dan mencium tangannya sebagai layaknya pada orang yang lebih tua.

Cukup lama Pak Suryo berbincang-bincang dengan kakek di ruang tamu rumah kami yang sederhana. Hingga menjelang maghrib barulah beliau berpamitan.

“Aku akan mengunjungimu lain kali bersama istriku,” janjinya pada kakek ketika pamit.

Kami hampir melupakan pertemuan dengan teman-lama kakek itu hingga suatu Minggu pagi sebuah mobil mewah muncul di halaman rumah. Waktu itu aku tengah menyapu halaman. Daun-daun jambu dan sawo berdesiran ketika mobil itu berderam sejenak sebelum mesinnya mati. Lalu Pak Suryo keluar dari mobil diikuti seorang wanita yang masih modis dan cantik, walaupun sudah tidak muda lagi.

“Kakekmu ada, Riani?” tanya Pak Suryo begitu turun dari mobilnya.

“Ada di dalam, Pak,? Silakan masuk dulu,” jawabku.

“Bapak duduk di teras saja. Kenalkan ini istri Bapak,” ujarnya memperkenalkan wanita paruh baya bergaun biru di sampingnya.

    Aku menjabat tangan istri Pak Suryo dan melekatkannya ke keningku. Perempuan itu tersenyum dan mengelus pipiku sesaat. Dengan jengah kupersilakan mereka duduk lalu buru-buru permisi untuk memanggil kakekku.

   Ketika aku menghidangkan minuman, kakek sedang memegang sebuah foto. Kakek melirik sekilas kepadaku tetapi cepat-cepat dia mengalihkan pandangannya lagi. Kemudian aku masuk ke dalam rumah.

  “Itu foto anakku. Aku ingin persahabatan kita dieratkan dengan hubungan yang lebih kuat. Kamu ingat anakku Supandri, yang ketika zaman geger dulu masih dalam gendongan ibunya? Sekarang dia sudah dewasa. Malah sudah bekerja di sebuah perusahaan asing. Tapi sampai sekarang belum juga menikah. Usianya sudah hampir tigapuluh tahun. Bagaimana kalau kita besanan. Kita jodohkan anakku dengan cucumu si Riani itu. Bagaimana?”

  Hampir saja nampan yang kupegang terjatuh dari tanganku. Kata-kata Pak Suryo dapat kudengar dengan jelas.Aku mengintip ke teras tempat mereka duduk. Pak Suryo tersenyum sambil berkata demikian. Aku yang menguping pembicaraan itu dari balik pintu ingin mengetahui apa jawaban kakek. Beberapa saat lamanya kakek hanya terdiam.

Aku tahu kakek sulit untuk menolak keinginan Pak Suryo.   Menurut cerita yang ku dengar langsung dari beliau, kakek banyak berhutang budi pada keluarga Pak Suryo selama dalam pengungsian dulu. Tapi untuk langsung menerima usul Pak Suryo, kakek pasti takut menyinggung perasaanku, cucu satu-satunya yang dipelihara beliau sejak kedua orangtuaku sudah tiada.

“Tapi cucuku itu masih anak ingusan, Suryo. Belum lagi lulus dari SMA. Lagipula siapa tahu dia ingin melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi,” kakek mencoba mengelak.

Pak Suryo tertawa pelan mendengar alasan kakek.

”Kalau Riani mau kuliah, dia kan bisa kuliah setelah menikah. Lagipula mereka akan tinggal di kota agar dekat dengan tempat kerja anakku, Supandri.”                    

Kakek terdiam mendengar perkataan Pak Suryo.

“Apa Supandri mau menikah dengan cucuku yang gadis kampung. Diakan sudah jadi pegawai perusahaan swasta besar dan sudah lama hidup di kota. Siapa tahu dia sudah punya calon sendiri,” kudengar kakek masih mencoba mengelak.

“Masalah Pandri tak perlu dirisaukan. Dia sudah menyerahkan pilihan jodohnya pada kami, orangtuanya,” kali ini istri Pak Suryo yang buka suara, “kalau Riani ingin kuliah setelah menikah, juga akan kami biayai.”

Kakek kehabisan kata-kata untuk menolak keinginan Pak Suryo dan istrinya. Hingga kedua tamu itu pulang masih terdengar kata-kata Pak Suryo mengharapkan persetujuan kakek.

“Mudah-mudahan kamu tidak mengecewakanku Pardi. Aku hanya ingin kita bersaudara,” ujarnya lalu masuk ke dalam mobil.

           Suara jangkerik mulai bernyanyi di sela-sela rerumputan yang tumbuh di seberang halaman. Tetapi kakek seolah tak mendengar semua itu. Pandangannya kosong mengikuti kepulan debu yang ditinggalkan mobil Pak Suryo. Hingga derunya hilang dari pendengaran dan mobil itu menghilang di belokan ujung jalan, barulah kakek masuk dengan langkah lesu.

  Pandangan kami bersiborok waktu beliau berdiri di pintu teras. Aku mengalihkan pandanganku dengan mengemasi gelas-gelas bekas minuman kedua tamu tadi. Suara azan maghrib terdengar nyaring dari masjid di tengah desa. Kakek masuk ke dalam rumah dan tak lama kemudian terdengar kecipak air menandakan beliau sedang berwudlu.

  Hingga lepas azan Isya, kakek belum juga keluar dari kamar. Khawatir dia ketiduran sebelum makan malam, aku mengetuk pintu kamarnya.

 “Kek,” panggilku. Tak ada jawaban.

 “Kakek, ayo kita makan. Nanti sayurnya keburu dingin,” ulangku lagi.

 Pintu kamar berderit ketika akhirnya kakek keluar. Mata lelaki tua itu sembab.

 “Kakek menangis, ya?” tanyaku.

 “Nggak. Ayo kita makan. Kakek sudah lapar,” jawabnya berusaha tersenyum.

 Aku tidak bertanya lagi. Kami makan tanpa saling berbicara. Hanya denting piring beradu dengan sendok yang terdengar. Suara cerecet burung malam terdengar melintas di samping rumah. Suasana jadi benar-benar kaku. Tak biasanya kakekku bersikap diam seperti ini. biasanya dia akan bertanya tentang kegiatanku seharian di sekolah. Pasti berhubungan dengan kata-kata Pak Suryo tadi.

Selesai makan, kakek duduk di ruang tamu. Aku mengemasi sisa-sisa makan malam kami. Ketika menghidangkan segelas kopi panas yang biasa menemani kakek duduk sambil menonton TV, beliau memintaku duduk di dekatnya.

“Ri, mungkin kamu sudah mendengar kata-kata Pak Suryo sore tadi,” katanya membuka pembicaraan.

Lalu aku hanya mendengar suara angin yang berdesir  di pelataran rumah kami. Bibir kakek yang bergerak gemetar terekam erat dalam ingatanku. Lelaki tua itu terlihat kian rapuh dalam suara yang bergetar menahan haru. Bukan karena bahagia, tetapi lebih karena perasaan gagal untuk melindungi diriku. Justru di saat peperangan yang dihadapinya bukan dengan senapan dan peluru.

***

Dan begitulah, ketika aku baru saja menandatangani ijazah SMA, keesokan harinya aku melangsungkan akad nikah sederhana di rumah kakek. Ketika itu aku tidak menangis. Tak ada perasaan apapun yang ingin kutumpahkan.

Pria yang jadi suamiku berwajah tampan. Kulitnya putih dan tinggi badannya sejengkal diatasku. Aku tak sempat mengamati detail wajah pria yang telah menikahiku. Segalanya berlangsung dengan kecepatan seperti kereta yang berlari kencang di atas rel tak berujung.

Sehari usai pesta besar yang digelar di rumah keluarga Suryo, suamiku langsung keluar kota meninggalkanku bersama ayah dan ibunya. Dia beralasan ada perintah mendadak dari atasannya untuk berangkat ke luar pulau mengurus anak perusahaan yang baru dibuka.

Untuk pertama kalinya aku menemukan diriku kembali setelah acara pesta meriah itu benar-benar usai. Setelah seluruh tamu  dari keluarga jauh dan dekat kembali ke rumahnya masing-masing, maka di rumah ini tinggal aku dan kedua mertuaku. Seminggu sudah aku resmi jadi nyonya Supandri. Dan suami yang menikahiku pergi begitu saja dengan alasan urusan pekerjaan. Ketika sendirian di kamar pengantin, ku amati wajah suamiku di foto pernikahan kami.

Benar dia lelaki berwajah tampan. Dengan rambut lurus yang sengaja dibiarkan agak panjang menyentuh tengkuknya. Ada rasa hangat di dadaku ketika mengamati wajah pria yang telah menjadi suamiku itu. Perasaan yang mungkin hanya kurasakan sendiri. Sebab ketika suamiku pergi, dia hanya pamit pada ayah dan ibunya. Kepadaku dia hanya memandang seraya menghela nafas dengan pandangan yang sukar ku artikan. Selama menjalani prosesi nikah hingga selesai pesta  hanya beberapa patah kata yang diucapkannya. Itupun karena menyambung pembicaraan tamu yang hadir. Dan selebihnya ketika istirahat berdua di kamar pengantin, dia hanya diam sambil menghisap rokok. Caranya mengembuskan asap rokok ke udara menunjukkan keputusasaan. Atau kemarahan? Aku tak pernah mengerti.

Dan datanglah kabar darinya sebulan kemudian, yang menyatakan dia akan ditempatkan di kantor cabang yang baru dibuka selama empat tahun ke depan. Dia mengatakan itu pada ibu mertuaku. Ku dengar  suara ibu gusar menjawab perkataan suamiku lewat telepon. Ketika kemudian bapak pulang, pembicaraan di telepon kian menghangat. Aku tahu Mas Pandri keberatan membawaku ke tempat tugasnya yang baru. Tapi kedua orangtuanya memaksa membawa serta diriku. Karena tak ada kata sepakat dengan putranya,  bapak memanggilku.

“Bilang pada suamimu kalau kamu tidak mau ditinggal disini ya, nduk,” pesan bapak padaku sebelum menyerahkan gagang telepon.

Tapi ketika kemudian pesawat telepon  menghantarkan suara suamiku ke telinga, aku hanya terdiam.

Dan akhirnya yang keluar hanya jawaban,” baik, Mas.”

Aku tidak tahu argumen berikutnya antara suamiku dan kedua orangtuanya. Yang pasti kedua mertuaku pasti merasa tidak enak pada kakek atas kelakuan putra mereka padaku. Tapi aku tak akan menceritakan apa yang terjadi pada kakek. Beliau tak boleh mengetahui keadaanku saat ini.

Kalau akhirnya aku mengusulkan pada kedua mertuaku agar diijinkan kuliah sembari menunggu kepulangan Mas Pandri, itu adalah hal yang tak mungkin mereka tolak.  Sesuai janji mereka pada kakek akan membiayai kuliahku setelah menikah dengan putra mereka, maka kepergian Mas Pandri menjadi alasan yang menguatkan niat itu. Aku menelepon suamiku untuk mohon persetujuannya atas rencanaku. Lama baru telepon diangkat. Dan diujung sana seorang wanita menyambut dengan gaya manja.

“Hallo, dengan Retno.”

“Mas Pandri ada?” tanyaku.

“Maaf, ini dengan siapa?”

“Katakan ini dari istrinya.”

Beberapa saat wanita itu terdiam. Lalu terdengar suara berdebat yang samar.

“Hallo, ada apa? Aku lagi rapat.” Suara suamiku terdengar gugup. Aku tak bertanya apapun tentang perempuan itu. Aku merasa pria ini telah menyembunyikan sesuatu dariku. Ku ceritakan rencanaku untuk kuliah dan tanpa berfikir panjang suamiku langsung setuju.

Dia hanya berkata,” bagus kalau kau berencana begitu, jadi tak perlu menungguku.”

Ada nada lega dalam suaranya. Ataukah itu hanya perasaanku saja? Aku tidak mengerti maksud ucapannya. Dan aku merasa tak perlu bertanya. Pembicaraan kami berakhir dengan kaku.

Dan begitu saja aku telah mulai kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di kota terbesar  di Indonesia ini. Aku memilih jurusan keuangan dan perbankan. Sesuai dengan minatku pada dunia ekonomi.

Memasuki tahun kedua kuliah, aku mendapat kabar kakek meninggal dunia. Suasana berkabung rasanya takkan pernah berakhir seandainya tidak ingat kalau kini aku sebatang kara. Aku mulai bangkit dari kesedihan dan menemukan diriku kembali. Tapi hal itu pun tak berlangsung lama.

Seorang sepupu jauh suamiku berkunjung saat lebaran. Dia memintaku untuk bersabar menghadapi kenyataan karena dimadu. Aku hanya memandangi wajahnya dengan ketidakmengertian yang lugu. Mungkin itu hanya candaan iseng seorang sepupu karena melihatku jauh dari suami. Tapi waktu sepupu itu pun keheranan dengan ketidakmengertianku, aku jadi faham.

Istri baru suamiku merupakan kekasih yang tak direstui kedua orangtuanya. Penjelasan itu diberikan kedua mertuaku yang merasa sangat bersalah. Di awal mendengar berita itu rasanya aku ingin meremukkan seluruh yang ada di dekatku dalam genggaman. Aku melihat orang yang berbicara di depanku tiba-tiba berwajah begitu buruk dengan liur hijau berleleran di bibirnya. Wajah itu timbul tenggelam diantara genangan air mata yang begitu saja menyeruak tanpa dapat kubendung. Tapi hanya sebentar. Rasanya seperti sebuah denting tajam menyadarkanku kembali ke kehidupan nyata. Dua hari berikutnya mertuaku menanyakan keadaanku. Dan aku menjawab dengan suara yang sangat biasa. Sampai aku pun keheranan dengan suaraku yang terlampau tenang.

Mulailah rutinitas yang kaku dalam hidupku. Entah karena dendam pada keadaan atau kesadaran untuk dapat terlepas dari perasaan menderita, aku menjadi seorang workaholik yang dingin. Sehari-hari aku menenggelamkan diri dalam kesibukan tugas kuliah dan berbagai kursus yang cukup menyita waktu dan tenagaku. Apakah aku telah menjadi seorang frigid? Tak pernah sekalipun aku membiarkan hati dan perasaanku hanyut dalam susana sentimentil yang berlebihan. Jika tiba-tiba datang perasaan sengsara tentang hidupku, dengan kejam aku membunuhnya lewat kebencian terhadap lelaki yang sudah mambuatku seperti ini.

Semua benda-benda yang berhubungan dan dapat mengingatkanku pada pernikahan itu kusingkirkan jauh-jauh. Aku tidak membuangnya, masih kujaga perasaan kedua mertuaku yang benar-benar merasa serba salah padaku. Aku hanya menyimpannya di sudut kamar dalam sebuah peti yang tergembok rapat, seakan ingin mengubur semua kenagan dengan lelaki yang dengan terpaksa menjadi suamiku.

Agar dapat hidup lebih tenang dan terpisah dengan keluarga suamiku, aku mohon izin pada mertuaku agar diperbolehkan tinggal di tempat kost.

“Agar Riani lebih dekat ke tempat kuliah, Pak, Bu,” ujarku beralasan.

Kedua orangtua itu terlihat bimbang sesaat. Mereka tentu keberatan bila aku tinggal sendiri. Dan lagi rasa bersalah pada kakekku membuat mereka seolah ingin menebusnya dengan memajakanku. Memang aku merasakan kemanjaan yang diberikan oleh kedua mertuaku. Semua fasilitas dan kebutuhan hidupku selalu dipenuhi oleh mereka. Terkadang aku merasa kasihan pada keduanya. Setiap Mas Pandri menelepon, selalu mereka usahakan agar aku dapat berbicara dengan suamiku itu. Aku tak pernah menolak. Hanya saja mereka tak pernah tahu bahwa begitu pesawat telepon itu berpindah ke tanganku, maka aku langsung memutuskan sambungannya. Aku tidak mau mendengar suara lelaki itu. Lelaki pengecut yang lebih membiarkan kedua orangtuanya tinggal bersamaku, wanita yang sama sekali tidak diinginkannya, untuk dapat hidup bersama kekasihnya. Lelaki yang sangat kerdil karena telah mempermainkan hidup dan perasaanku.

Akhirnya aku tinggal di sebuah pondokan yang tak jauh dari kampus. Hidup sendiri dalam sebuah kamar kost yang cukup  mewah, memberi kesempatan lebih luas padaku untuk menata hati dan hidupku kembali. Perlahan-lahan rasa sakit hati mulai dapat kulupakan. Biaya hidupku masih ditanggung oleh mertuaku. Mereka tak menghentikan kiriman ke rekeningku walaupun aku telah mendapat pekerjaan sebagai pengajar les di sebuah pusat bimbingan belajar.

Ketika Praktek Kerja Lapangan, aku ditugaskan di sebuah bank yang mempunyai cabang di berbagai belahan dunia. Iklim kerja di lapangan yang berbasis internasional memberi kesempatan padaku untuk menunjukkan kemampuan dengan penghargaan yang seimbang. Dan begitu saja aku telah mendapat tawaran untuk bekerja di tempat itu sebagai tenaga freelance.

          ***

Aku hampir lupa pada statusku sebagai istri saat sebuah peristiwa  seolah menarikku ke dalam lubang yang asing. Ketika itu acara wisuda sudah berakhir. Bersama teman-teman sesama wisudawan kami sedang berfoto untuk kenang-kenangan, ketika seorang gadis berseragam panitia wisuda memanggilku.

“Di depan ada tamu untuk mbak Riani,” gadis itu berkata sambil menunjuk ke arah gerbang.

“Kenapa nggak disuruh masuk saja. Kan acara resminya sudah selesai.”

“Orangnya nggak mau mbak, nunggu di gerbang saja katanya.”

“Kamu kenal?”

“Nggak mbak. Cowok. Orangnya ganteng lagi.” Saskia, gadis panitia acara wisuda itu coba menggodaku sambil tersenyum nakal.

Orang-orang yang mengenalku, tahu kalau aku tidak pernah dekat dengan seorang lelaki pun selama kuliah. Aku hanya tersenyum menanggapinya, lalu berjalan menuju ke gerbang kampus. Di dekat pintu masuk yang mulai sepi, seorang pria bersafari abu-abu membelakangi pintu.

“Maaf, Anda mencari saya?”

Pria itu berbalik menghadapku. Sebelah tangannya memegang rangkaian mawar merah muda. Sambil tersenyum tangan kirinya melepas kacamata hitam yang bertengger di atas hidungnya.

“Aku ingin mengucapkan selamat padamu.”

Suaranya tenggelam jauh di dasar angan-anganku yang tiba-tiba melayang seperti desiran daun gugur di halaman kampus. Wajahnya sejenak memudar dalam bayangan kabut yang tiba-tiba mengaburkan pandanganku. Tapi hanya sebentar. Ketika berpijak pada kesadaran kembali, mataku memanas. Aku berusaha menekan air yang menggenang di pelupuk mata agar tidak jatuh saat ini. Lelaki itu tak boleh melihatku menangis.  Dia harus tahu  kalau aku seorang wanita yang tegar.

“Apa kabar, Mas Pandri?” akhirnya aku mampu mengeluarkan suara. Kuusahakan menarik sudut bibirku agar tercipta sebuah senyuman.

Lelaki itu Supandri. Suami yang meninggalkanku sehari setelah pesta pernikahan untuk bertugas di luar pulau. Suami yang tidak bersedia membawaku bersamanya. Lelaki yang telah menelantarkan hatiku selama hampir lima tahun. Yang diam-diam menyimpan wanita lain tanpa berani berterus terang.

“Aku ingin mengajakmu makan malam sebagai perayaan kelulusanmu. Sudah kupesan tempat di sebuah restoran,” ujarnya sambil menyodorkan buket bunga yang ada di tangannya. 

Untuk beberapa saat aku hanya membiarkan tangannya terulur. Otakku masih mencerna yang baru saja terjadi. Sebuah skenario yang dipicu rasa dendam berkelebat di otakku.

“Kurasa aku tidak bisa, Mas. Teman-temanku sudah merencanakan pesta perpisahan nanti malam.”

Dari arah belakang suara teman-temanku mendekat. Dan.

“Hey, disini dia rupanya. Diam-diam sudah punya teman kencan. Pantas tak pernah mau kalau kita ajak jalan.”

Itu pasti suara Tigor.

”Bah, kurasa acara perpisahan nanti malam bisa kita undur lain waktu.”

Suara Tigor mendapat dukungan teman-teman yang lain.

Aku tak menghiraukan celoteh teman-temanku. Lelaki yang berdiri di depanku seperti tak pernah hadir di sana. Hingga kami berpisah dan kembali ke pondokan, aku belum memberi jawaban apapun padanya.

***

          Kami sedang makan bersama di pondokan, waktu induk semang memberitahu ada seseorang yang mencariku. Teman-temanku saling melontarkan kata-kata ledekan yang ditujukan padaku. Tanpa memedulikan mereka, aku menuju teras.

“Selamat malam, Riani. Aku menjemputmu sesuai janjiku,” ujar seorang lelaki yang berdiri di sana. Dalam balutan kemeja biru bergaris halus, lelaki iru terlihat lebih muda dan gagah. Tetapi entahlah, setiap menatap tubuh tegap itu, ada denyut menyakitkan di dadaku.

Setelah terdiam beberapa saat aku setuju pergi dengannya. Pada teman-teman aku mengatakan  akan kembali sebelum pukul sepuluh malam. Mereka hanya berkata-kata tak  jelas untuk menggodaku.

Sebuah restoran mewah di tengah kota dengan udara terbuka dan suasana romantis benar-benar tempat yang tepat untuk berkencan. Apalagi bagi pasangan yang sedang jatuh cinta. Tapi aku dan suamiku tidak berkencan dan juga tidak sedang jatuh cinta. Aku lebih merasa, pertemuan kami sebagai perhitungan. Setelah usai makan malam yang tidak terlalu berat, suamiku memesan minuman ringan untuk menemani menghabiskan waktu. Dia meraih tanganku ke dalam genggamannya. Ini adalah kali pertama dia menyentuhku sejak kami  menikah.

        “Aku benar-benar menyesal dengan apa yang telah ku lakukan padamu,” Ia berhenti sejenak sambil menatap mataku, “ternyata orang yang kupilih sebagai kekasih bukanlah wanita yang setia. Aku akan menerima hukuman apapun yang kau jatuhkan padaku. Tapi aku mohon ijinkan aku memperbaiki hubungan kita. Aku ingin menata kembali ikatan pernikahan kita yang sempat kunodai. Apakah aku masih punya tempat di sisimu, Riani?”

Aku yakin wajahku tak menunjukkan ekspresi apapun. Aku sudah terlalu lama kebal  terhadap kata-kata rayuan seperti itu. Lalu dengan ketenangan yang telah lama jadi andalanku dalam setiap langkah, aku menjawab dingin.

        “Mas Pandri, saya juga ingin menyampaikan sesuatu,” aku berhenti untuk melihat reaksinya, “selama ini saya terpaksa memutuskan segala yang berhubungan dengan hidup dan masa depan saya tanpa ada teman, saudara atau pun suami sebagai teman bertukar pikiran. Mas jauh di seberang dan setiap saya hubungi selalu tidak punya waktu lama untuk berbicara.”

Kuamati sebentar wajahnya sebelum melanjutkan.

        “Sejak masih kuliah saya bekerja sebagai tenaga freelance di sebuah perusahaan perbankan asing. Dan karena prestasi kerja yang baik, perusahaan itu mempromosikan saya untuk melanjutkan kuliah paska sarjana di tempat asal perusahaan itu. Di London. Perusahaan itu juga telah menjanjikan pekerjaan buat saya setelah selesai kuliah kelak,” aku melihat perubahan pada wajah pria di depanku, “tawaran itu sudah saya setujui. Kontrak kerja dengan perusahaan juga sudah ditandatangani.” Aku merasa ada kelegaan dalam nada suaraku. Apakah aku sedang membalaskan dendam?

Lama pria itu terdiam. Kurasakan jemari tangannya meremas tanganku erat.

        “Aku mengerti,” akhirnya dia berkata,”kapan kau akan berangkat ke London?”

Matanya bersinar redup oleh pantulan cahaya lampu. Bila tidak salah, apakah airmata yang menggenang di kelopak matanya?

        “Dua hari lagi,” jawabku.

          Pria di depanku tak berkata apa-apa lagi. Sepanjang perjalanan pulang seusai makan malam itu, dia hanya diam sambil tak henti-hentinya menghela nafas. Sesekali dia melihat padaku yang berusaha terlihat tenang. Aku tak boleh terbawa suasana romantis palsu ini, kataku pada diri sendiri.

Sesampai kembali di pondokan suasana telah sepi. Mas Pandri menggenggam tanganku dan mendekatkan ke bibirnya. Aku mengelak  ketika dia berusaha menyentuh wajahku dengan tangannya.

        “Sebaiknya kita tetap saling mengenal seperti apa adanya, Mas. Aku takut membawa kenangan tentangmu ke tempat yang jauh. Biarlah aku hanya mengetahui kalau suamiku sedang bekerja jauh dan tidak ingin diganggu.”

Sekarang butiran airmata benar-benar mengalir di pipiku. Aku turun dari mobil dan membiarkannya berlalu. Hatiku masih terasa sakit di sudut-sudut yang paling dalam. Tapi ada sedikit kepuasan  di sana.

Keesokan harinya aku sudah berada di pesawat yang membawaku ke London. Aku berdusta pada Mas Pandri waktu kukatakan akan berangkat dua hari lagi. Aku hanya tidak mau melihatnya lagi. Dan beberapa kali telepon darinya tidak kujawab. Akhirnya menghilang dan sama sekali tak pernah lagi menghubungi.

Dan aku tenggelam dalam aktivitas yang menyita banyak waktu. Masa lalu terlupakan begitu saja. Selesai kuliah paska sarjana dengan predikat yang lumayan, aku menempati posisi lumayan di induk perusahaan. Keyakinan bahwa tak ada yang harus kutemui di tanah air, membuat aku betah berlama-lama tinggal di negeri orang. Jadilah aku bagian dari kota London selama hampir delapan tahun.

 Sampai surat itu datang. Isinya mengabarkan kalau Mas Pandri mendapat tugas dari perusahaan untuk meninjau induk perusahaan tempatnya bekerja di Belgia. Dan di sela kegiatan yang sudah tidak terlalu padat dia berencana mengunjungiku ke London. Sekilas terbayang sikapnya padaku di awal pernikahan kami. Dan perasaan hangat yang tumbuh ketika  memandangi fotonya. Lalu berkelebat pertemuan menjelang keberangkatanku ke London delapan tahun lalu. Terbayang raut penuh penyesalan yang waktu itu kutepiskan  karena dendam. Tetapi aku masih tetap sendiri.

Surat itu masih kugenggam di tanganku. Kupandangi lagi tulisan yang tertera di atas kertas putih itu seakan ingin mengeja satu demi satu kata-kata yang tertulis di sana.

Jakarta, September 2007

Semoga bahagia selalu menemani hari-harimu, istriku.

Dari benua yang jauh kukirimkan surat ini melewati jarak ribuan mil, menyeberangi sekian samudera. Hanya untuk dapat menyampaikan isi hati yang telah lama terpendam di sanubariku.

Setelah lama tak pernah  berhubungan lagi, memberi kesempatan padaku untuk berpikir tentang segala perbuatan yang pernah kulakukan padamu. Aku memang lelaki kejam. Sikap yang tidak terpuji bagi seorang lelaki sejati. Setelah menelantarkanmu selama sekian tahun, begitu beraninya aku meminta tempat di hatimu.

Aku benar-benar egois selama ini. Dengan memintamu kembali sungguh suatu sikap tidak berperasaan. Tetapi sekarang aku sadar, seandainya ada kata maaf yang dapat kau berikan padaku, bahkan itu pun tidak sepantasnya kuterima. Aku terlalu jahat untuk menerima kata maaf dari istri yang telah kubiarkan tanpa status selama bertahun-tahun. Aku memang pengecut dengan meninggakanmu secara diam-diam.

Hingga saat aku sadar bahwa kau begitu jauh untuk dapat ku rengkuh kembali, barulah aku dapat berdamai dengan diriku sendiri. Tidak sedikit pun ada hak ku untuk memintamu kembali. Aku memang menyesal. Hal yang tak seharusnya kukatakan sebagai lelaki dewasa yang mengerti dengan segala konsekwensi dari setiap perbuatan.

Tetapi istriku tersayang, saat ini aku hanya ingin mendapatkan maaf darimu. Aku tak akan memintamu kembali padaku. Kedua tanganku mungkin bukan sesuatu yang dapat melindungimu. Bahuku bukan tempat yang damai untuk dirimu berlabuh. Namun aku mohon, maafkan aku. Jika ada kata lain yang dapat dirangkai untuk mendapat maafmu, maka aku adalah orang pertama yang akan mencarinya hingga dapat bertemu.

Istriku, Riani.

Pertengahan bulan depan aku akan berangkat ke Belgia untuk suatu tugas. Hanya sebentar aku di negara itu. Izinkan aku menemuimu sekali saja. Setelah itu, aku tak akan mengganggumu lagi. Aku tahu hatimu begitu lelah karena seorang lelaki seperti aku.

Suamimu,

Supandri Suryohadi.

Aku membaringkan tubuhku di atas sofa. Surat itu terlepas begitu saja dari tanganku. Dari balik jendela, daun-daun terakhir musim gugur seperti menari mengikuti angin. Titik-titik putih salju tampak jatuh satu-satu. Titik-titik salju pertama mulai turun di awal musim dingin yang beku. Namun ada rasa hangat yang mencairkan kebekuan hatiku. Kupejamkan mata menikmati perasaan yang tumbuh dari dasar hatiku.

***

Pagi ini aku terbangun ketika bel pintu berbunyi.  Jam meja kecil di dekat tempat tidur menunjukkan pukul delapan kurang seperempat. Pasti Mrs. Jameson, petugas kebersihan kamar. Minggu pagi adalah jadwal layanan kebersihan apartemen. Ku ikat rambut menjadi kunciran tinggi dan membersihkan muka di wastafel sebelum membuka pintu. Pada cermin di atas wastafel terlihat pantulan wajahku. Sebuah wajah tirus dengan rona yang tidak lagi segar. Usiaku memang sudah memasuki tigapuluh tahun. Usia yang benar-benar matang untuk ukuran wanita Asia. Sambil menghela nafas aku menuju pintu.

 Dan aku terpana melihat seseorang  yang kini berdiri di depan pintu apartemenku. Di sana, seorang lelaki dengan garis-garis  kematangan di wajahnya namun tetap terlihat gagah, menatapku dengan pandangan teduh. Untuk beberapa saat aku tidak tahu harus bersikap apa.

           “Mas Pandri,” hanya itu yang mampu terucap. Dan begitu saja aku sudah menjatuhkan diri ke dalam pelukan lelaki itu. Tangannya  kukuh merengkuh tubuhku dalam dekapannya. Dan aku merasa tak butuh seribu kata. Keangkuhan dan rasa dendamku selama ini telah luruh bersama jatuhnya salju di akhir musim gugur kali ini.     

Kotapinang, 8 April 2012. 08.40 wib.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler