Skip to Content

Sang Penggugah

Foto Rudi Hartono

Bertemu dengannya, pertama kali, ketika Aku mengunjungi kampusnya untuk sebuah urusan organisasi. Saat itu, Aku dan Maria masih berada di dua keranjang yang berbeda; Aku dengan dunia pergerakan, sementara Maria dengan dunianya, hedonisme.

Ketika itu, Aku mengenal Maria sebagai seorang perempuan dengan orientasi pendek; kuliah, pacaran, dan harapan mendapat pekerjaan setelah tamat. Meskipun mengikuti sebuah organisasi, menjadi pengurus di dalam lembaga fakultas, Maria masih memandang berorganisasi sekedar sebagai penciptaan batu loncatan, selain ajang kumpul dan berhubungan dengan banyak orang.

Namun, caraku mengenal Maria pertama kali terlalu dangkal. Maria bukan perempuan seperti umumnya, melainkan punya ketertarikan yang sama denganku; kemanusiaan.

Pada saat aku diperhadapkan dengan pengadilan, sebab dianggap punya niat buruk untuk menggagalkan pemilu 2004, Maria termasuk diantara ratusan mahasiswa yang menyatakan dukungan terhadapku. Tak disangka, orasi pendek di depan gedung pengadilan itu telah memikat hati beberapa orang, termasuk Maria.

Sayangnya, sinyal-sinyal “ketertarikan itu” tidak tertangkap oleh antena perasaanku. Hal itu pula yang membawa kami dalam rentang waktu yang panjang untuk saling memendam perasaan, dan saling menunjukkan ketidak-tertarikan.

Hingga pada suatu hari, Maria akhirnya mengikuti sebuah kursus politik yang diselenggarakan sebuah organisasi mahasiswa. Dari sekitar puluhan peserta, Maria adalah satu-satunya perempuan.

Semenjak itu, ketertarikan terhadap hal-hal yang berbau “kiri” semakin kuat. Sampai-sampai, setiap Aku berkunjung ke kampusnya, selalu kehilangan pin atau aksesoris bergambar bintang, Che Guevara, dan lain-lain.

Suatu hari, aku memutuskan pindah ke kota lain, tanpa memberitahukan sama sekali kepadanya, Maria. Tidak disangka, kepergianku ternyata rasa kehilangan besar baginya. Anehnya, perpisahan ini jusru menjadi awal dari deklarasi persatuan kami.

Bertahun-tahun terpisah, akhirnya aku dan maria bertemu kembali. aku sedang dalam perjalanan ke Sulawesi Barat, namun kusempatkan singgah di tempatnya, sekaligus mengajaknya.

Malam itu, kami berangkat ke sulawesi barat dengan menumpang bus yang sudah agak tua, jadi agak lambat. Malam itu adalah kesedihan bagiku, karena baru saja mendapat pesan singkat (SMS) bahwa nenekku meninggal, orang yang memeliharaku ketika masih kecil. Maria menghiburku.

Setelah semalam di perjalanan dengan bus, kemudian dibonceng motor selama beberapa jam, akhirnya sampai juga ke daerah yang dituju, kampung rakyat. Sebuah daerah yang dipeluk oleh dua pegunungan. Di tempat ini, tidak ada aliran listrik, tidak ada sinyal, apalagi akses internet. Untuk urusan mandi, seluruh penduduk menggunakan sungai alam. Airnya sangat jernih dan dingin, tetapi alirannya sedikit deras. Aku sempat kehilangan banyak pakaian saat mencuci di sungai ini, sebab terbawa arus deras.

Penduduk di sini sangat plural, dari berbagai suku-suku di sulawesi, seperti mandar, bugis, mammasa, dan toraja. Meskipun begitu, mereka hidup sangat harmonis, dan toleran.

Bahkan, di dalam hutan yang sangat jauh, masih terdapat suku nomaden yang katanya merupakan leluhur dari suku-suku di sulawesi barat dan sulawesi tengah. Menurut cerita, suku nomad ini masih mengenakan pakaian dari kulit kayu, dan menggunakan panah sebagai senjatanya. Aku sempat diajak untuk berkunjung ke sana, dan menempuh perjalanan sehari dengan berjalan kaki. Sayang, saya tidak bertemu dengan kepala sukunya.

Antara suku nomad dan penduduk pendatang (bugis, toraja, mandar, dll) dipersatukan oleh sebuah kepentingan; melawan perusahan HTI, mafia tanah, preman bayaran, hingga apparatus Negara.

Hutan belantara ini sudah dikapling oleh perusahaan HTI, tanpa pembatas yang jelas. Masyarakat yang mengolah tanahnya, tiba-tiba terusir oleh patok-patok perusahan. Keterlibatan mafia tanah semakin memperparah keadaan, sebab mereka mengklaim tanah milik penduduk, dan menjualnya kepada perusahaan. Inilah pemicu perlawanan sejumlah penduduk dan komunitas adat di sini.

Di situ juga, Maria menyaksikan bagaimana nyawa dipertaruhkan dalam perjuangan. Nasib petani dan aktifis yang selalu diintai oleh preman bayaran. Disana, keberadaan teori memang penting, tetapi kesanggupan dan kepiawaian memainkan badik jauh lebih penting, sebagai alat pertahanan dan perjuangan kolektif.

Di kampung terpencil ini, Aku dan kawan-kawan sempat membangun sebuah sekolah rakyat, khusus untuk menampung anak-anak petani dari kampung itu dan sekitarnya. Setiap pagi, sebelum memulai pelajaran, anak-anak itu menyanyikan lagu “internasionale”, lagu kaum pekerja sedunia yang terkenal itu.

Di sekolah itu, Aku hanya menjadi guru tamu, khusus untuk mengajarkan soal perjuangan rakyat Indonesia, dan cerita kepahlawan tokoh-tokoh seperti Bung Karno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, R. A Kartini, Amir Syafruddin, Aidit, dan lain-lain. Selebihnya, anak-anak belajar soal teknik, matematika dasar, sastra, dan ilmu sosial. Anak-anak itu memanggil Aku dengan sebutan “bung”, bukan pak guru.

“Bung, bisakah anak petani menjadi presiden?” Tanya seorang anak kepadaku, ketika itu.

“sangat bisa,” jawabku, “asalkan belajar dengan baik, berjuang sekuat-kuantnya untuk bangsa, dan mempelajari setekun mungkin soal kepemimpinan”.

Pernah suatu hari, ada kabar bahwa ratusan preman sedang bersiap-siap untuk menyerbu kampung ini. Aku yang terbiasa dengan teori dan pengalaman aksi demonstrasi, tentu tidak biasa dengan ini. Kami mengorganisir rapat besar, menghadirkan seluruh laki-laki dan perempuan di kampung ini.

Dalam situasi begini, peluang negosiasi sudah tidak ada. Rapat itu mendiskusikan soal metode bertahan dan menyerang balik musuh. Seluruh laki-laki harus dipersenjatai, sementara perempuan mempersiapkan penyelamatan terhadap anak-anak, hewan peliharaan, dan harta benda lainnya.

Malam itu, aku meminum tuak sebanyak-banyaknya, sembari mempersiapkan diri untuk menerima kematian. Laki-laki yang lain pun seperti itu. Bagi semua penduduk itu, berjuang bukan hanya soal mempertahankan hidup, tetapi ini adalah soal martabat sebagai manusia.

“kawan-kawan mahasiswa sebaiknya malam ini segera pulang. Biarlah kami yang mengorbankan nyawa di sini, di tanah kami,” ujar seorang petani.

“Tidak, pak,” jawab temanku.

“Benar, pak. Kami datang ke sini untuk berjuang. Mari kita berjuang bersama-sama,” aku berusaha menjelaskan.

“Hidup rakyat! Hidup rakyat,” sambut massa atas penjelasanku.

Malam itu, kami mempersiapkan sejumlah jebakan, semua jembatan kami hancurkan untuk menghambat musuh dan pasukan bantuannya (polisi). Kami juga membentuk beberapa pos, untuk mengkoordinasikan keadaan. Beberapa telik sandi kami kirimkan ke penduduk yang tersebar di luar kampung itu, supaya mereka mau memberikan dukungan.

Pagi hari, seluruh penduduk lelaki sudah berkumpul, lengkap dengan seluruh persenjataan; parang, badit, tombak, panah beracun, hingga senapan rakitan. Ada sekitar 2000 an laki-laki berkumpul pagi itu. Sungguh sebuah kekuatan besar. Dari jendela, perempuan-perempuan memberikan senyum, semangat, dan doa. Maria juga terlihat begitu tenang, dan melemparkan senyum ke aku.

Kami pun berjalan menyusuri jalanan kampung menuju perbatasan untuk menyongsong musuh. Saya dan kawan-kawan berjalan di depan, dan di kawal sejumlah pemuda terpilih. Kami sudah siap bertempur.

Di perbatasan, ketika bertemu musuh, sebuah pertempuran pun terjadi. Musuh yang berjumlah ratusan tidak sanggup memberi perlawanan terhadap ribuan massa kami. para preman terbaik ini pun kocar-kacir. Para petani menang kali ini.

Memang benar, seperti yang dikatakan Multatuli, tugas manusia adalah menegakkan kemanusiaannya. Pada saat itu, kami yang mengenal perjuangan kebanyakan dari teori, akhirnya menemukan perjuangan yang sebenarnya. Dari sini pula, kami menyakini bahwa kita tidak boleh menghamba kepada uang, jabatan, status sosial, kepangkatan, dan sebagainya, tetapi yang terpenting, sebetulnya, adalah solidaritas, penghargaan sesama manusia, kerjasama, dan kemanusiaan.

Semua orang tentu punya pengalaman masing-masing soal hal-hal yang melatari kenapa mereka harus berjuang. Bagi Maria, mungkin, pengalaman itu yang telah meneguhkannya, hingga dia teguh berdampingan dalam berjuang bersamaku hingga kini. Terima kasih kepada pengalaman dan kemanusiaan.***

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler