Skip to Content

SASTRAJENDRA HAYUNINGRAT (1)

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

Tamuku tak pernah mau menjawab pertanyaan. Selalu berkelit. Karena seringnya aku mengulangi pertanyaan itu ia tak sadar kalau kelitannya sudah dipakai berkali-kali. Kutanya bagaimana mulanya sehingga ia memutuskan untuk datang ke rumahku untuk mempelajari sastrajendra hayuningrat.

Kutanya dari siapa ia tahu alamatku. Mengapa ia mau mempelajari itu. Dia selalu berkelit. Kebanyakan jawabannya adalah “ini keinginan saya sendiri”.

Bisa jadi ia ingin tapi bagaimana rasa ingin itu membawa langkahnya menemuiku, kupikir ia pasti bertanya, atau setidaknya mendengar namaku dari orang lain.

Demikianlah singkat ceritanya.

Dia ingin belajar ilmu yang disebut sastra jendra hayu ningrat pangruwating diyu. Berkali-kali aku menjelaskan bahwa aku memang pernah mendengar tentang ilmu itu tapi aku tidak tahu banyak. Hanya sebatas namanya saja. Apalagi mengajarkannya kepada orang lain. Malah aku ingin berguru kepada siapa saja yang mau mengjarkan ilmu itu.

Tamuku tak mau mengerti.

Sudah belasan kali ia datang. Aku sudah mulai bosan dengan kedatangannya. Menyita waktu. Ke barat ke timur utara selatan. Selalu begitu, mengetuk pintu, uluk salam, kubuka pintu, kupersilakan duduk dan obrolan balik lagi ke masalah itu-itu lagi.

Ibarat pertarungan dalam dunia persilatan, akhirnya terpikir olehku sebuah jurus. Jurus pamungkas. Setelah matang jurusnya aku siap dengan kuda-kuda.

Ketika dia datang lagi -kali ini membawa gula kopi- kamipun ngobrol lagi.

Betul ingin belajar”

Ya, Pak, saya ingin belajar.”

Siap menghafalkan mantranya”

Siap Pak.”

Siap untuk bertapa?”

 

Siap Pak, saya sudah biasa bertapa, di gunung, di hutan, di balik curah air terjun. Wah pokoknya saya siap.”

Ini adalah puncaknya ilmu. Ini adalah langit tertinggi dari 70 lapis langit yang tak tampak oleh orang lain. Untuk mempelajari ilmu ini kamu harus mau berkorban. Sanggup berkorban.”

Siap Pak, saya siap berkorban.”

Mantranya mudah, hanya dua suku kata. Mantranya sudah menempel di badanmu sejak kau keluar dari rahim ibumu, kau akan segera tahu, asal kamu siap berkorban. Setiap manusia yang ada di dunia ini, siapapun, dimanapun, bagaimanapun terlahir telah membawa ilmu ini. Hanya ada yang eling ada yang tidak, dan kebanyakan tidak.

Ia tampak gembira. Ia mengubah posisi duduknya, lalu menatapku, siap-siap mendengar kalimatku berikutya.

Jika sudah siap dengar ya, jangan memotong kalau bapak belum selesai bicara. Mengerti?”

Siap Pak.”

Sekarang malam Kamis, besok, hari Jumat pagi , isterimu suruh kesini. Suruh ia berpakaian bagus. Pakai wewangian, bawa salin untuk menginap disini. Istrimu menginap disini hari Jum'at, malam Sabtu, hari Sabtu, malam Minggu, Minggu pagi baru kamu datang lagi menjemput isterimu. Selesai, dan kau boleh bicara sekarang, mau bicara apa?'

Kukira ia akan bicara, ternyata tidak. Matanya tajam menatap mataku. Ia membisu. Ia merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan kunci motornya, meraih helm yang tergeletak di bawah meja, berdiri, berbalik menuju pintu, keluar, singkatnya dia pulang.

Tanpa menoleh, tanpa bicara sepatah katapun, termasuk tidak uluk salam. Bungkusan gula kopi yang sejak tadi masih di meja dibawanya juga.

Jurus yang kurencanakan mengena. Ia tidak pernah datang lagi. Jika kebetulan berpapasan di jalan pun ia tidak menegurku. Dalam hati aku tertawa.

 

Manusia hidup dengan pikiran masing-masing. Pikiranlah yang membuat manusia jadi kuat atau lemah, jadi kaya atau miskin, jadi pintar atau bodoh, dan jadi-jadi lainnya.

Barangkali dia berpikir isterinya akan “kupakai”, padahal aku hanya berkata menginap, INIPUN BELUM TENTU.

Tidak mudah belajar ilmu dua suku kata sama bunyi ini.

Hanya dua suku kata.

201205101345_Kotabaru_Karawang

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler