Skip to Content

Sebuah Tempat Di Mana Langit Memiliki Tujuh Warna

Foto Raga Nagora

Kuikuti langkahnya. Lelaki cerewet yang bahkan tak kutahu namanya atau kukenal latar belakangnya. Aku bertemu dengannya di dimensi ketiga, dunia di mana langit memiliki tiga warna yang hadir pada waktu yang sama. Orang-orang menyebut dunia ini dengan sebutan, Trina . Semakin  jauh kuikuti langkah setapak lelaki itu, aku semakin sadar, aku sudah jatuh cinta padanya.

Jatuh cinta. Aku. Heh, tidak dapat dipercaya. Aku dilahirkan oleh sesuatu yang disebut Tuhan sebagai makhluk modern dengan alat kelamin laki-laki. Sejak lahir aku adalah seseorang yang oleh sesuatu disebut takdir sebagai laki-laki. Pria. Cowok. Makhluk berdada rata, berjakun, berbahu tegap, dengan janggut, kumis, dan bulu-bulu yang tumbuh sembarangan di sekujur tubuh.  Namun, semenjak aku datang ke dunia ini, aku sadar bahwa aku telah jatuh cinta pada sesosok makhuk yang berjenis kelamin sama denganku.

Benarkah?

Berkali-kali aku mempertanyakan hal yang sama. Pertanyaan yang sama itu memiliki sub pertanyaan lain yang memiliki peluang keluar sama : Jika iya, bagian mana dari ornag itu yang membuatku jatuh cinta, (2) jika tidak, lalu apa makna dari degup jantung dan perasaan tidak menentu ini?

Dalam keheningan malam, di bawah sorot keremangan lampu jalan yang letih pada kehampaan di pinggir jalan, aku terus mencoba mengikutinya. Sudah terhitung tiga jam semenjak kami melangkah dari stasiun.

" Jika hidup di dunia berarti tunduk pada aturan, kenapa memilih hidup yang membosankan? Dasar idiot."

Sial. Aku teringat kembali kata-kata yang diucapkannya saat aku dia merenung di taman burung gereja. Kata-kata dari seorang asing yang muncul secara tiba-tiba seperti hantu dari masa lalu di gelap malam. Kata-kata itu menusukku, tepat diulu hati. Kau tahu, rasanya sangat sakit. Sakit sekali. Kenapa kau bisa mengucapkan hal semudah itu pada orang yang bahkan belum sempat kau lihat raut wajahnya dengan penuh keyakinan? Di duniaku, orang-orang normal yang punya hati cukup baik pasti akan memilih untuk mengacuhkan orang seperti aku, yang duduk sendiri di bangku taman reyot ini. Seperti apa yang akan dilakukan orang-orang jahat. Di duniaku, orang jahat dan baik tampaknya tak cukup jauh berbeda. Dalam bahasa statistik, uji signifikansi membuktikan bahwa "Hipothesis nul tidak ditolak". Artinya, rata-rata 1 (orang baik) dan rata-rata 2 (orang jahat) tidak berbeda secara signifikan. Begitulah duniaku.

Orang baik akan memilih diam karena dia merasa kebaikannya akan di salahartikan,  orang jahat juga akan diam asal bisa masalah orang lain tidak mengganggu dirinya. Orang baik akan bergerak karena dijanjikan surga oleh langit, orang jahat juga akan bergerak dengan bentuk yang sama untuk mendapatkan nama baik dan memperoleh dukungan dalam merebut kursi kedudukan yang menggiurkan.  Mereka semua, bergerak atas nama orang lain, namun sesungguhnya semua untuk diri sendiri.

Ya... aku juga tidak punya kemampuan apa-apa untuk mengubah itu, semuak apapun diriku. Akhirnya, entah bagaimana, aku tergelincir ke dunia ini. Dunia di mana langit menyemburkan tiga warna secara bersamaan. Warna-warna itu adalah : jingga, hijau, dan biru muda. Warna-warna alam. Warna-warna yang kusuka. Karena itulah, saat pertama kali tiba di dunia ini, aku terpukau dengan langit. Pemandangan yang kuluhat tak ubahnya lukisan abstrak yang tak pernah bisa kumengerti, namun lama-kelamaan, aku menyukainya. Ketiga warna itu berbagi langit, membentuk bidang-bidang tersendiri yang rapi dan berukuran sama persis satu sama lain. Mereka seperti tiga sahabat yang saling akur berbagi tempat tidur dalam tenda. Di dunia ini, dengan adanya tiga warna itu, tidak pernah ada pagi, siang, senja, atau malam. Ketiga warna itu setia bersandar di langit., bahkan awanpun tidak pernah tampak.  Warna-warna lembut itu tidak menyilaukan sehingga panas tidak pernah menyengat, yang ada hanyalah semilir angin yang di bawa dari laut di ujung timur sana.

Lelah berjalan, aku memutuskan berhenti di sebuah taman yang memiliki patung burung gereja dari tembaga di tengahnya. Taman Burung Gereja. Luasnya nyaris sama dengan taman kesukaanku, Taman Pelangi. Ada beberapa permainan anak-anak di sana.Tiga laki-laki muda berpakaian sport tampak berlari-lari santai, seorang perempuan tua duduk sendiri di sudut taman, dan sepasang laki-laki dan wanita yang mungkin kekasih berjalan santai di jalan kerikil setapak di pinggir taman. Aku mengambil tempat di sebuah bangku yang menghadap langsung pada air mancur. Kutopang wajahku dengan kedua tangan, kuhela nafas panjang dan pelan.

Aku di mana?

Kuperhatikan sekelilingku. Semua tampak normal, kecuali langitnya. Semua pemandangan yang kulihat sama seperti dunia lamaku. Apakah ada caraku bagiku untuk kembali? Tiba-tiba, sekelebat pikiran menyambar dalam kepalaku, seperti kilat di musim penghujan.

Kalau dunia ini sama, apakah harus repot-repot memikirkannya?

Kenapa aku tidak tinggal di sini saja? Lagipula langitnya sangat indah. Aku bisa betah memandanginya lama-lama, mungkin bisa berguna untuk bahan menulis ceritaku.  Aku mengedarkan pandangan. Ada pamfelt iklan dengan produk yang pernah kulihat, mobil dan sepeda motor yang sama, kebisingan dan keriuhan yang sama. Semua sama, kecuali warna langitnya.

Ya. Mungkin aku tak perlu repot-repot mencari jalan pulang. Aku menyunggingkan senyum untuk diriku sendiri, seakan puas dengan pencapaian akan sesuatu.

 

Sejurus kemudian, kudengar tapak ringan di balakangku. Sebuah siluet berdiri sekitar dua meter di belakang. Ia seorang pria. Cahaya langit bercampur padu yang dibelakanginya, membuat sosok tersebut tidak terlihat begitu jelas.  Kedua tangan orang itu dimasukkan ke saku jaketnya. Rambutnya dicat merah terang, dengan sebuah kacamata berbingkai tipis yang menghiasi kedua wajahnya.

 

" Kau tampak tidak sehat..." Ujar orang itu dengan nada santai dan cuek, seakan-akan pertanyaan itu tidak serius dia ucapkan. Aku membalik badan,memandangnya lebih jelas. Tepat pada saat itu, cahaya langit berkonspirasi dengan mengubah paduan warna hijau, biru, dan jingga, menciptakan bilasan warna cerah pada sosok tersebut,

 

" Jika hidup di dunia berarti tunduk pada aturan, kenapa memilih hidup yang membosankan? Dasar idiot."

 

Aku terpaku. Pada saat itulah kata-kata itu terucap dari mulutnya. Dia tersenyum lebar, hingga menunjukkan barisan gigi purihnya yang rapi. Angin dari timur hadir, melambaikan rambut merah panjangnya, selembar daun yang telah terputus dari sebatang pohon maple di sudut taman hanyut, dan menabrak pipi kirinya. Diambilnya daun mati itu, seraya mengucapkan,

 

" Orang-orang di dunia ini, sama dengan duniamu... mereka bergerak, mencari sebuah dunia ideal. Bangga dengan tiga warna langit yang mereka punya. Mereka beranggapan bahwa hidup adlah mencari dan membuat kesempurnaan. Mereka bertanding, dan akhirnya Sang Pemenang, yang berdiri di puncak membuat aturan, dengan dalih untuk kemakmuran bersama. Mereka membuat aturan seakan mereka sudah merasakan semua fitur kehidupan. Pada akhrinya, yang mereka lakukan hanyalah membuat hidup ini semakin menjemukan. Jika kau mau pergi, sekarang waktunya. "

 

Setelah mengucapkan hal itu, dia berbalik dan melangkah pergi. Aku masih terpaku, dan akupun mengikutinya, Hingga sekarang.

 

Tapak kakinya berhenti di sebuah tiang listrik. Ia mengadahkan wajahnya seakan menatap puncak tiang listrik tersebut. Lama, pria itu tidak bergerak. Aku bersabar mengintai di balik gerobak penjual makanan ringan yang telah kosong.

 

" Kau mau pergi?" Ujarnya tiba-tiba. Deg! Jantungku berhenti berdetak sejenak. Dia sudah mengetahui keberadaanku, entah sejak kapan.

 

"Kalau kau mau pergi sekarang, kau bisa ikut denganku." Ujarnya lagi. Kali ini, orang itu menatap tempat aku berdiri. Merasa bodoh, aku melangkah keluar dari persembunyianku. Saat itu udara semakin dingin, dan angin berhembus semakin menusuk, segumpal rasa sepi berdenyut dalam dadaku. Mungkin ini adalah pertanda malam di dunia ini.

 

"Kemana tempat yang kau tuju?" Aku balik bertanya.

 

Dia tersenyum lebar, sekali menunjukkan barisan gigi putihnya.

 

" Sebuah tempat di mana tujuh warna beredar di langit, di mana angin malam berhembus tanpa perlu menghidupkan sepi dalam diri kita, di mana air akan mengalir sebagai mana mestinya, di mana kenangan adalah energi bagi keterpurukan, dan di mana orang-orang hidup tanpa perlu menuju kesempurnaan, melainkan kemauan. Sebuah tempat di mana tidak ada idealitas, yang ada hanyalah keinginan untuk melakukan sesuatu yang menarik bagi dirinya sendiri dan orang-orang disekitarnya."

 

Aku kembali terpaku. Dan kali ini, cukup lama. Sebuah dunia lain, di mana langit memiliki tujuh warna, bukan tiga. Sebuah tempat di mana tidak ada harapan menuju kesempurnaan tunggal dan disparitas nilai-nilai ideal. Mungkinkah ada?

" Apakah tempat semacam itu.... nyata?" Tanyaku.

Dia diam, sambil terus tersenyum.

" Ada. Kita bisa mewujudakannya tanpa perang mulut atau ide. Cukup ikut denganku, dunia seperti itu akan terlahir, tidak, maksudku... akan memunculkan dirinya sendiri..."

Rasa sepi itu mendadak berrhenti berdetak, meski angin berkali-kali meniupkan kehidupan padanya. Aku sudah memutuskan, aku akan hidup dengan orang ini.

" Siapa namamu?"

"Eterna. Mirip nama perempuan, tapi aku menyukainya..."

Aku menyungginkan senyum, sebuah senyum yang sebenar-benarnya senyum setelah sekian lama. Aku akan mengikuti Eterna, kemanapun. Karena aku telah jatuh cinta padanya. Ya, memang untuk dunia lamaku, pilihan ini tidak tepat, dan tidak normal. Namun bagiku, sekarang, Eterna dan ucapannya lah duniaku yang baru.

Bersamanya, malam tidak akan punya cukup kekuatan lagi untuk menghidupi sepi dalam dadaku.


Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler