Skip to Content

Seekor Anjing Dan Lelaki

Foto R'ainy Yusuf

Cerita Seekor Anjing

Dua pagi sudah aku tidak melihat si lelaki. Dan ini pagi yang ketiga. Biasanya dia lari pagi di sekitar kompleks perumahan sambil menghirup udara segar. Di tikungan jalan yang ada taman kecil dengan air mancur, dia berhenti sambil melemaskan otot. Aku suka berlama-lama memandanginya. Dia seorang lelaki berwajah tampan. Tubuhnya gagah atletis. Kulit putihnya, terlalu halus untuk ukuran lelaki. Rahangnya bergaris kuat dan terkesan garang. Alisnya tebal menggaris membagi pangkal hidung yang mancung. Bila sedang diam atau pun berbicara dia selalu membasahi bibir. Dan sebaris gigi yang terawat akan muncul kala dia tersenyum lebar. Setelah mengitari jalan di depan rumah hingga ke ujung komplek, dia pulang, menyiapkan sarapan berupa roti panggang dan segelas susu hangat, lalu duduk di beranda samping, menikmati sarapan pagi sendirian sambil membaca koran pagi.

Si Lelaki berusia sekitar tigapuluh tahunan. Dia berprofesi sebagai dokter. Itu kudengar dari Bik Imah yang selalu memanggilnya Pak Dokter. Aku tidak pernah melihatnya menerima pasien selama di rumah. Setiap hari dia pergi dengan sedan putihnya. Dia tidak mempunyai banyak teman. Kalau yang ini tak kuragukan, sebab tak pernah melihat teman-temannya. Yang paling kerap datang, seorang pria sebaya dengan lelaki itu. Hanya saja, Lelaki Tamu terlihat lebih maskulin daripada Si Lelaki.

Lelaki Tamu biasa datang setiap Sabtu sore. Dia langsung masuk ke dalam. Pasti dia punya kunci sendiri. Aku tak pernah menyalak lagi walaupun dia sering nyolonong begitu. Waktu pertama dia datang, Si Lelaki menghardikku karena menyalak terlalu keras. Sekarang aku tahu,  Lelaki Tamu adalah bagian dari rumah ini. Walaupun hanya seminggu sekali.

Lelaki Tamu dan Si Lelaki selalu pergi berdua. Tentu saja aku tak pernah dibawa. Aku kan harus selalu menunggui rumah. Biasanya mereka pulang  menjelang pagi. Dan seharian besoknya tak seorang pun diantara mereka yang keluar hingga tengah hari. Yang lebih dulu terlihat pasti Si Lelaki untuk memberiku makan. Itupun setelah suaraku tinggal erangan kecil karena sangat haus dan lapar.  Terkadang mereka tidak pergi. Hanya duduk di ruang dalam melihat layar yang gambarnya selalu bergerak. Aku sering mengintip lewat jendela rendah yang terbuka, mereka bercanda bak sepasang kekasih. Tak lama kemudian seluruh lampu di ruang tengah akan meredup. Dan aku diam-diam kembali ke kandangku di samping garasi.

Tapi sudah beberapa lama aku tak melihat Lelaki Tamu. Dan Si Lelaki selalu  duduk sendirian di teras sambil memandang ke tembok tinggi yang memagari sekeliling rumah. Aku tidak yakin apakah dia tertarik dengan relief yang terpahat di sana atau sedang menerawang jauh. Si Lelaki  berkali-kali menarik nafas panjang. Dan rokok yang terpasang sejak awal dia duduk disitu, lebih banyak yang menjadi abu tanpa pernah dihisapnya.

Begitulah. Tiba-tiba saja di pagi ketiga tanpa Si Lelaki, halaman menjadi ramai. Bermula dari kedatangan Bik Imah yang akan melaksanakan tugasnya bersih-bersih rumah dan mencuci pakaian. Seperti biasa Bik Imah datang dan langsung menuju ke belakang. Mungkin karena mendapati pintu masih terkunci, Bik Imah berusaha mengetuknya. Karena tak ada jawaban, Bik Imah mengitari rumah dan mengitip lewat sebuah jendela yang tirainya agak tersingkap. Dan tiba-tiba Bik Imah berlari ke jalanan seperti orang kehilangan akal. Mobil-mobil yang melintas terpaksa berhenti karena Bik Imah histeris di tengah jalan. Kemudian beberapa orang masuk ke halaman dan melihat ke jendela yang ditunjuk Bik Imah. Aku sebenarnya ingin mengusir mereka tapi tak sanggup lagi karena perutku sangat lapar.

Orang-orang itu juga segera menjauh kembali dari jendela. Seorang di antara mereka berbicara pada sebuah benda yang dilekatkan di telinga. Dan tak lama kemudian datang orang-orang gagah berseragam coklat disusul beberapa yang berseragam putih. Mereka mendobrak pintu depan. Ada yang masuk ke dalam rumah dan sebagian berkeliling di halaman. Sepertinya mereka mencari sesuatu. Kemudian orang-orang berseragam putih keluar dari dalam rumah. Mereka membawa sesuatu di atas tandu yang ditutup sehelai kain putih. Lalu terdengar suara sirine kian menjauh.

Sekarang halaman kembali sunyi. Orang-orang berbaju coklat juga sudah meninggalkan tempat ini setelah memasang pita di sekeliling pagar. Tinggal aku sendirian di sudut halaman. Aku kedinginan dan kelaparan, tapi tak seorang pun peduli padaku.  

***                                                                   

Cerita si Lelaki              

Sudah hampir sebulan Bino tak pernah datang. Sebelumnya sudah kujelaskan bahwa aku ingin mengakhiri hubungan kami. Dia tidak begitu saja menerima apa yang kukatakan. Tentu saja, karena kami sudah menjalin hubungan selama lebih dari satu tahun.

Aku mengenal Bino ketika dia datang ke tempatku bertugas sebagai seorang dokter di sebuah klinik, di kawasan perkantoran. Melihat tempat kerjaku, dapat dipastikan klienku berasal dari golongan menengah ke atas. Bino mengantarkan sepupunya yang sedang bermasalah dengan organ intim.

Bagiku Bino begitu istimewa. Dia berkulit hitam manis dengan kumis tipis di atas bibirnya. Entah bagaimana kami seolah punya pemahaman yang aneh lalu begitu saja menjadi sepasang kekasih. Bino selalu datang ke tempatku setiap Sabtu malam. Itu jadwal liburku setiap minggu. Biasanya aku dan Bino pergi ke klub atau diskotik yang menjadi langganan kami. Di klub, tidak ada yang menganggap hubungan kami aneh atau tabu. Semua sudah saling memahami bagaimana kehidupan pribadi masing-masing. Hanya bila berada di tempat umum aku tak pernah menunjukkan kemesraan dengan Bino. Kami bersikap sebagai layaknya teman pria biasa. Bagaimanapun aku masih memiliki rasa sungkan menunjukkan hubungan kami yang bagi sebagian orang tidak normal.

Tiga bulan yang lalu, perawat yang biasa menemaniku bertugas, pindah ke luar kota. Dia mengikuti suaminya bertugas di tempat yang baru. Untuk mencari penggantinya aku memasang iklan di beberapa surat kabar. Banyak calon yang mendaftarkan diri. Tapi seminggu kemudian, baru aku dapat memutuskan pelamar  yang akan kuterima bekerja di tempatku. Pelamar itu seorang wanita muda.

Waktu pertama melihatnya datang membawa surat lamaran, aku merasa seperti terlempar kembali ke masa kecilku. Entah apa yang ada dalam dirinya membuat aku merasakan keteduhan yang aneh tetapi nyaman. Dan rasa nyaman itu tidak dapat kulepaskan ketika mempertimbangkannya jadi perawat pendampingku.Wanita itu tidak terlalu cantik. Wajahnya bundar mendekati oval. Ia tidak berhidung bangir tetapi memiliki mata besar dilengkungi alis tebal. Matanya bercahaya penuh percaya diri. Dan alisnya itu pasti masih asli. Yang paling menarik dari wajahnya adalah bibirnya yang tetap sensual walaupun tanpa polesan lipstik. Bila berbicara, selalu senyum mendahului suaranya. Dia berkulit putih, terlihat dari ujung lengannya yang menyembul dari lengan bajunya. Dan yang paling unik bagiku tapi menumbuhkan rasa penasaran yang dalam, wanita itu berbusana muslimah. Ketika datang dia berkerudung putih dengan garis-garis kebiruan. Wajahnya semarak dan segar. Mungkin karena bajunya. Atau kerudung putihnya. Atau sesuatu yang tersembunyi yang membangkitkan rasa ingin tahuku. Tapi yang pasti aku seperti ditarik kembali ke masa yang jauh tertinggal dan terselip dalam ingatanku.

Aku anak tunggal dalam keluarga. Kedua orangtuaku sukses di bidangnya masing-masing. Papa seorang pengusaha properti yang sangat berhasil dan pemilik saham di bidang perbankan. Mamaku seorang staf dalam sebuah kondominium bisnis raksasa. Sehari-hari aku hanya bersama para pembantu yang ada di rumah. Sejak sekolah dasar aku mengikuti bermacam les tambahan di rumah. Papa mendatangkan berbagai guru les privat untuk menemaniku belajar. Tapi yang paling kusukai dari semua guru privatku adalah Ustadzah Dedeh. Beliau guru mengajiku. Usianya belum limapuluh tahun.  Orangnya lembut dan baik hati. Tatapan teduh dari balik kacamata bening yang bertengger di atas hidungnya selalu menenteramkan.  Bila aku bertanya tentang apa saja beliau pasti menanggapinya dengan penuh perhatian. Dan yang terpenting senyumnya tak pernah lepas saat dia berbicara.Tapi ketika aku mulai dapat mengeja huruf-huruf  hijaiyah, Ustadzah Dedeh tak pernah muncul lagi ke rumah kami. Menurut Papa, beliau dibawa anaknya kembali ke daerah asalnya. Dan aku tak pernah mendapat guru mengaji pengganti.

Beberapa wanita pernah kukagumi diam-diam ketika di SMA. Tetapi karena aku adalah orang yang tertutup, maka perasaan itu tinggal terpendam saja di dalam hati. Salah satunya adalah Frederika, putri seorang pengusaha properti rekanan bisnis Papa. Dia kakak kelasku. Ketika lulus dari SMA, Frederika dikirim Papanya ke Amerika. Dan sifat tertutupku menyebabkan aku kehilangan kontak dengannya.

Setamat SMA aku memilih kuliah di fakultas kedokteran. Sudah pasti Papa dan Mama tidak menyetujui pilihanku. Mereka ingin aku masuk fakultas ekonomi atau bisnis agar dapat meneruskan dan mengelola usaha mereka. Tetapi aku tetap bersikeras. Mungkin karena aku adalah anak kesayangan  satu-satunya, kedua orangtuaku akhirnya mengalah. Jadilah aku kuliah di fakultas kedokteran di sebuah universitas swasta terkenal di kota ini. Dan aku memilih tinggal terpisah dari orangtuaku. Di sebuah apartemen mewah dan mahal yang tidak jauh dari kampusku. Itu karena paksaan mama yang tidak ingin aku tinggal bergabung dengan mahasiswa lain dalam pondokan.

Seperti sudah selayaknya, walaupun telah menjadi mahasiswa kedokteran, juga menyandang fasilitas yang berlebih dari orangtuaku, ditambah lagi penampilan fisik yang bisa jadi modalku untuk bersikap sebagai Don Juan, aku tetap saja lelaki tertutup yang pemalu. Pergaulanku di kampus sangat terbatas. Mahasiswi di kampusku walau tergolong cantik-cantik tetapi tak ada yang menumbuhkan minatku sebagaimana normalnya antara pria dan wanita. Apalagi ketika keakraban kami menghilangkan rasa sungkan saat bercanda. Jadilah candaan dan seloroh yang kudengar setiap hari terkesan vulgar bahkan jorok. Untung saja bahasa yang kami, atau tepatnya teman-temanku, pergunakan adalah bahasa khas bidang kedokteran. Jadi hanya anak-anak kedokteran yang akan memahaminya dengan jelas. Pada waktu bercanda seperti itupun aku lebih sering jadi pendengar.

Lulus dari fakultas kedokteran, Papa memberi dua buah kunci kepadaku. Sebuah kunci mobil dan sebuah kunci rumah. Menurut papa sudah sepantasnya aku mempunyai mobil dan rumah pribadi. Aku tidak merasakan gairah apapun waktu itu. Karena selama ini pun aku hanya memiliki segalanya secara pribadi. Rumah, kehidupan, bahkan masalah yang kuhadapi adalah milikku pribadi. Kecuali, kedua orangtuaku. Aku menerima saja pemberian papa. Waktu pertama menempatinya, aku sudah merasa kalau rumah itu terlalu besar untukku. Tetapi dengan ketertutupanku, tak pernah ada teman yang kubawa tinggal bersamaku.

Rumahku terletak di sebuah kompleks perumahan elit. Di depan gerbang perumahan ini ada pos satpam yang dijaga oleh enam orang bergantian siang malam. Komandan satpam, Pak Min, satu-satunya orang di kompleks yang paling sering berbicara denganku. Kami selalu berpapasan ketika aku lari pagi dan dia berkeliling mengawasi keadaan kompleks. Terkadang dia menyapaku sambil membuka atau menutup  pintu ketika aku melewati portal.

Mengerjakan tugas-tugas mencuci dan membersihkan rumah, aku mempercayakan pada Bik Imah. Pak Min yang menawarkan agar aku mempekerjakan Bik Imah. Beliau janda paruh baya tetangga Pak Min. Bik Imah kuminta datang dua kali seminggu, setiap Senin dan Kamis. Aku jarang berbicara dengannya. Setiap dia datang, aku sudah berangkat ke tempat kerja.     

Setiap pagi aku lari keliling kompleks ditemani anjingku, Bill. Anjing itu kudapatkan dari seorang tetangga yang akan pindah rumah beberapa waktu lalu. Karena kerepotan membawa beberapa anjing peliharaannya, tetanggaku itu memberikan Bill padaku. Aku memerima Bill karena kupikir cocok dijadikan teman. Bill kubuatkan kandang di samping garasi. Dia boleh berkeliaran di halaman rumah asal jangan masuk ke dalam.

Setelah menyelesaikan spesialisasi bidang penyakit kelamin dan kandungan, istilahnya obstetri dan ginekologi, jadilah aku benar-benar kehilangan rasa terhadap wanita. Setiap hari aku berkutat mengupas segala bentuk bagian tersembunyi dari wanita. Ditambah pergaulan kota besar yang serba permisif dan individualis, aku merasa tak perlu mencari pertimbangan apapun lagi terhadap pilihan hidupku. Setelah berganti-ganti teman pria, akhirnya aku bertemu dengan Bino. Dia adalah yang kesekian dalam petualangan cinta sejenisku. Hanya saja dengan Binolah aku menjalin hubungan terlama.

Namun kehadiran wanita berkerudung putih itu tiba-tiba membuat aku malu mengakui kehidupan pribadiku.  Memandang keteduhan wajahnya seolah menghadirkan sebuah kenangan yang jauh dari masa silam. Ketika sedang berada di klub atau diskotik bersama sesama jenisku, bayangannya begitu saja melintas di pikiran seperti seberkas cahaya putih menyilaukan. Lama kemudian baru kusadari bayangan masa lalu itu adalah wajah Ustazdah Dedeh, guru mengajiku dulu, yang lembut dan teduh.

Suatu ketika kami menangani pasien hingga pukul sepuluh malam. Setelah merapikan segala peralatan di ruang praktek, dia permisi pulang. Ketika aku keluar dari klinik, dia masih termangu di depan menunggu angkutan.

“Belum dijemput?” tanyaku. Dia menoleh, seulas senyum menghiasi bibirnya.

“Saya menunggu angkot, Dokter,” jawabnya pelan. Aku melirik jam tanganku. Pukul sepuluh lebih seperempat.

“Saya antar?” tawarku. Dia menolak dengan halus. Akhirnya kutemani dia menunggu angkutan umum. Kami saling berdiam diri. Sesekali kulirik wajahnya. Dia berdiri dekat disampingku, wajahnya begitu tenang dan anggun. Sebenarnya aku ingin menanyakan banyak hal padanya, tapi semuanya tinggal tenggelam jadi gema dihatiku. Hingga suaranya yang jernih mengatakan kalau angkot yang ditunggunya sudah datang.

Malam itu aku pulang dengan hati diliputi berbagai perasaan. Sesampai di rumah aku duduk di beranda. Dengan kesal kubanting tas berisi peralatan ke atas meja. Lalu aku terdiam menahan kekesalan pada diriku sendiri. 

Dan begitu saja aku mulai menghindari pertemuan dengan Bino. Puncaknya sebulan lalu ketika aku menegaskan ingin memutuskan hubungan kami. Berbagai alasan kukemukakan agar Bino dapat memahami keputusanku. Tapi Bino tetap berkeras. Hingga akhirnya kuakui kalau telah tertarik pada seorang wanita. Bino terpana cukup lama. Aku yakin dia tidak mempercayai apa yang didengarnya. Bagi orang seperti kami amat mustahil tertarik pada wanita. Aku merasa tidak perlu menjelaskan padanya. Ketika itu dia langsung pergi meninggalkanku.

Cukup lama Bino tak pernah muncul ke rumahku. Selama itu aku lebih banyak termenung memikirkan jalan hidup yang telah kualami. Sering aku berlama-lama duduk di teras samping tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Kadang rokok di tanganku habis begitu saja tanpa kusadari. Hanya Bill yang tetap setia menungguiku. Dia duduk di dekat tangga teras mengawasiku dengan matanya yang kecil. Kadang aku berfikir, seandainya binatang dapat diajak bicara seperti manusia, mungkin anjing adalah hewan yang paling baik dijadikan teman curhat.

Hingga kemarin malam, tiba-tiba Bino muncul di depan pintu rumahku. Waktu itu hampir tengah malam. Aku masih mengerjakan laporan bulanan pasien-pasienku.

“Boleh aku menginap malam ini?” tanyanya. Aku terdiam beberapa saat.

“Untuk yang terakhir,” ujarnya lagi. Aku membiarkannya masuk dan dia menuju ke kamar tamu.

Dini hari aku mendengar suara benda terjatuh. Suaranya cukup keras berasal dari kamar depan tempat Bino tidur tadi malam. Penasaran aku membuka pintu kamar yang ternyata memang tidak terkunci.

Seandainya ada sebuah meriam yang diledakkan di telingaku saat itu, mungkin dentumannya mengalahkan rasa terkejut menyaksikan pemandangan di depanku. Bino tergantung pada seutas tali di lampu-hias kamar tamu rumahku. Sebuah kursi bundar, yang biasanya berada di ruang bar, tergeletak didekat kakinya.

Ketika berpijak kembali ke dunia nyata, yang ada di pikiranku hanyalah menjauh dari tempat itu.  Lama aku terduduk di ruang tamu untuk mencerna yang baru terjadi. Otakku memberi perintah agar aku pergi dari sana. Aku harus meninggalkan rumahku segera. Tanpa suara, aku keluar dan mengunci pintu kembali. Jalanan kompleks terlihat sepi. Bill mendekat tanpa suara dan langsung kuberi isyarat agar kembali ke kandangnya. Binatang itu memandangiku. Pandangannya membuat aku merasa ditelanjangi. Lalu pelan-pelan Bill kembali kedalam kandang. Setelah menutup gerbang, aku meneruskan langkah. Berjalan ke gerbang kompleks, aku mengendap-endap seperti seorang pencuri. Pak Min sedang tertidur  di meja jaga. Mungkin ketiga temannya sedang patroli keliling kompleks. Itu memberi kesempatan kepadaku keluar dari kompleks itu tanpa seorang pun yang tahu.

Dan sekarang, di dalam bus antar kota yang kutumpangi, kucoba mengurai apa yang baru saja kualami. Biarkanlah saja apa yang akan terjadi esok hari. Yang pasti saat ini aku hanya ingin menjauh. Menjauh dari kesesatan jalan hidup yang pernah kutempuh. Menjauh dari perasaan bersalah yang mulai kerap menghantuiku. Aku berharap semoga suatu saat nanti ada waktu dan tempat yang memberiku kesempatan untuk bertaubat. Semoga saja Tuhan masih menerima taubatku. Tanpa kusadari setitik air bening mengalir dipipiku. *****    

Kotapinang, Maret 2012.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler