Skip to Content

Seekor Kucing Dan Mantan Anak Punk

Foto R'ainy Yusuf

Aku melompat dari meja dagangan Nainggolan. Hampir saja batang sapu yang dilemparkannya melanda kepalaku. Sambil bersungut-sungut aku lari ke bawah meja di depan toko yang masih belum dibuka. Kulihat si Batik baru saja keluar dari warung Mak Aseh. Tangannya menenteng sebuah bungkusan. Pasti dia mau sarapan. Sekarang dia duduk di meja tempat aku sembunyi. Bau ikan sarden menyelusup hidungku ketika si Batik membuka bungkusan. Hmm, lezat. Pelan-pelan aku keluar dari kolong meja lalu hup, sekali loncat aku sudah berada di depannya.

Dia melirik sekilas ke arahku. Kemudian setumpuk nasi dengan campuran ikan sarden sudah terletak dihadapanku. Malu-malu aku mendekat, membaui sebentar lalu menyantap tanpa peduli sekitar. Setelah habis, aku masih menjilati tanganku. Si Batik hanya memperhatikanku tanpa bersuara. Setelah selesai makan, dia menyulut sebatang rokok sambil duduk berselonjor di sebelahku.

Aku mengenal si Batik sejak dua bulan lalu. Kunamai si Batik sebab tubuhnya penuh gambar-gambar seperti batik. Rambutnya gondrong dengan beberapa lubang di hidungnya. Si Batik selalu berpakaian rapi dan bersih. Paling sering dia berada di musalla di sudut pasar. Bahkan beberapa kali dia azan ketika waktu salat tiba.

Orang-orang yang berselisih dengannya selalu memandang dengan ekspresi berbeda. Ada yang kagum, ada yang melengos, bahkan ada yang mencibir. Kata mereka si Batik mantan anak punk. Dia baru keluar dari penjara. Sebenarnya dia ingin pulang ke kampung halamannya, tetapi keadaan tubuhnya membuatnya merasa malu.

Sejak bertemu Batik, makanku agak teratur. Setiap si Batik makan, pasti aku dapat jatah. Walaupun berpenampilan seram ternyata dia tidak seseram Nainggolan yang selalu melemparku bila dekat-dekat ikan dagangannya.

Pagi ini aku tak melihat si Batik. Biasanya setiap pagi dia selalu beli sarapan di kedai Mak Aseh. Dari arah musalla ramai orang berlari-lari.

“Hajar saja!” teriak mereka.

“Sekali maling tetap maling!” sambut yang lain.

“Taubatnya hanya pura-pura!” suara lain menimpali. Di tengah mereka si Batik diseret berlumuran darah. Bibirnya berkomat-kamit mengucapkan sesuatu. Tiba-tiba seseorang maju ke tengah kerumunan.

“Lepaskan dia,” ujar orang itu. Semua mata kini tertuju pada orang yang baru saja bicara. Seorang lelaki paruh baya yang biasa mengurus musalla.

“Bukan dia yang mencuri barang dagangan kalian. Aku berani bersumpah atas nama Allah, anak ini bukan pelakunya,” ujar lelaki itu, “pelakunya sudah tertangkap. Sekarang ada di kantor polisi. Orang-orang serta-merta melepaskan si Batik. Tanpa berkata-kata mereka meninggalkannya di sana. Lelaki tua itu membantunya berdiri. Dan dengan lembut kujilati ujung kakinya.

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler