Skip to Content

Senandung sapu di tanah pendidikan

Foto Liliez Arini

Senandung Sapu di Tanah Pendidikan

 

 

Lemparan batu ketidakadilan ini seakan menghantamkanku hingga memar membiru pada relung-relung terdalam. Tak kuasa kedua pundak bertengger seimbang. Ulah mereka tlah memberatkan sebelah, mengirimku batu tindihan yang memuat ragam kata penghunus raga. “Apa salahku?” Batin merintih. Aku lelah tapakan kaki di tanah pendidikan yang membakar diriku sendiri, tanah yang seharusnya mengaliriku dengan air pengetahuan. Kinilah puncaknya... Saat lidah-lidah membaranya tak bisa ku hindari lagi. Makhluk-makhluk sebangsa tega memakan bangsanya sendiri. Akulah makhluk paling tertindas. Penyimpangankah yang ku perbuat hingga ku dihakimi di tanahku sendiri. Bertitik-titik pulakah penyimpangan itu, hingga membentuk satu garis kesalahan. Tidak... Aku hidup dalam kebebasan yang mendidik dan suatu penyimpangan yang jujur. Aku masih belia, pelajar yang membentengi pertahanannya dari gejolak dunia remaja, dunia yang ku yakin akan tenggelamkan satu citra kebaikan. Meski ku tahu yang ku lakukan membuat diriku terasingkan di tanah ini, karena mereka tlah meragukan kedewasaanku. Ku harus rela tiap kali menghembuskan nafas tak bisa ku saring udara ketenangan, bahkan saat lecutan kata-kata mereka menampar-nampar mata batin ini. Dulu tak terasa perih kujalani semuanya, dua mata bola kristal itu slalu pancari keruhnya suasana hati. Tapi lain kali ini, kala sinar itu tlah berpindah mengikuti perjalanan orang tuanya. Harus ku telan pil pahit takdir yang mengubah hidupku sejak waktu itu. Ah...aku tak kuasa lagi bercerita tentangnya, hanya kepedihan yang terasa. Tak tega jatuhkan gumpalan bening di mataku ini untuknya. Ia hanya menginginkanku melesungkan pipi menarik senyum bukan mengatupkan mata meratapi duka. Kata-katanya lah yang membuatku tegak menjalani hidup. Kan ku ingat slalu dirimu sobat.

            “Assalamu'alaikum...” Terdengar suara parau seakaan mendekati posisiku. Sangat jelas ku rasakan nafas keteduhan meredakan perang batin yang sedari tadi ku galakkan. Pancarannya seakan tak asing lagi bagiku. Ya...dua bola kristal itu. Akankah dia??.. Ku angkat dagu perlahan-lahan cepat sorotkan mata ke sumber suara. Seketika hatiku ngilu. Imajinasiku memang tlah lampaui kesadaran, yang ku temui hanyalah sepasang mata damar yang tersayup oleh sapuan angin. Tapi subhanallah sinar keteduhan yang dulu seakan kembali lagi. Dua bola mata kristal tlah sejajar dengan sepasang mata damar.

            “Wa'alaikum salam...” segera diri ini tersadar bahwa si empunya sepasang mata damar adalah seorang berumur setengah abad lebih yang akrab dipanggil Kek Tua, seorang yang mengabdikan hidupnya untuk menyenandungkan sapu di tanah pendidikan ini.

            “Tidak pulang Nak, matahari sudah berada di tiga perempat perjalanannya?” Dengan langkah yang tertatih-tatih kek tua menekuk kakinya untuk duduk di sampingku. Terlihat jelas garis wajahnya yang melukiskan kelelahan. Ku jua tlah mendengarnya menghembuskan nafas berkali-kali. Mungkin karena separuh hari lebih beliau bertarung dengan matahari tuk menyenandungkan sapu dari tangan keriputnya.

Merekam kejadian ini refleks jemariku menyelundup dan menelusuri ke dalam tas untuk menemukan sebuah botol yang berisikan air putih.

            “Hmm...masih pengen di sini, Kek. Merenungi suatu penyimpangan. Kakek haus? “kataku pelan seraya menyodorkan minuman yang sudah kubuka penghalangnya agar isinya bisa mengalir ke luar.

            “Makasih Nak, matamu sembab...seperti di dalamnya menyimpan suatu beban.”

Ku hanya melipat bibir, memandanginya dengan sayup. Haruskah kukeluarkan ruwetan benang hati ini pada Kek Tua.

            “Kakek nggak memaksamu tuk menjawabnya, tapi ada baiknya jika kau tengah rasakan kegundahan basuhlah dirimu dengan air wudlu dan bersujudlah pada-Nya. Insya Allah ketenangan kan segera menghampirimu.”

Kata-katanya memang begitu meneduhkan, meski ku rasakan itu adalah nasehat klasik para orang tua. Namun perlahan-lahan hasrat pita suaraku bergema membunyikan satu pernyataan.

            “Kek salahkah yang kulakukan ini?” Ku diam sejenak dan merangkai kata kembali.

            “Salahkah jika aku menyimpang adat di tanah pendidikan ini, suatu adat yang menurutku menjerumuskan jalanku sendiri.” Tak ada respon suara dari kek Tua, mungkin beliau belum bisa mencerna kata-kataku.

            “Aku harus bagaimana Kek, kuakui diri ini layaknya kembang yang belum mekar yang tengah disejajarkan dengan beribu bunga yang siap hadirkan madu untuk si kumbang. Hingga ku terseret oleh bujuk rayunya mengikuti kehidupan bunga yang bermekaran. Sekarang aku tlah mencoba melepas diri  dari jeratannya. Tapi yang kutemui hanyalah cemoohan dan hinaan. Mereka menganggapku kekanakan. Apakah kedewasaan harus diukur dengan seberapa banyak kumbang yang mendekati? Seberapa pandai sekuntum bunga bersolek diri? Seperti inikah perjalanan yang harus ku tempuh di sini? Yang sedang ku pihak ini kan tanah pendidikan, bukan sebuah kehidupan untuk bergaya.”

“Srakk...” kata-kataku tlah terhentikan oleh irama yang ku rasa sumbernya adalah sebuah sapu yang terjatuh. Segera ku tercengang, ku baru saja meluapkan kekesalanku pada Kek Tua. Ku hanya bisa berharap semoga tidakanku kali ini bukan penyimpangan. Ku pinta ini bukan suatu pengaduan yang sia-sia atau pengaduan yang bisa menyeret kek Tua ke dalam lembah permasalahanku.

            “Kakek paham apa yang kau maksud dan apa yang kau alami sekarang. Pergejolakan zamanlah yang sedang menuntutmu untuk berfikir dewasa bukan untuk menjadi dewasa.”

            “Aku selalu terasingkan Kek. Aku merasa pada diriku tertumpuk lapisan kesalahan. Tiap hari ku harus terima senyum sinis dari mereka segala todongan tentang kedewasaan slalu diarahkan padaku. Apa aku harus menggadaikan prinsipku demi bisa berjajar dengan mereka kembali? Berat sungguh beban mental yang ku alami Kek”

Entah mengapa begitu mengalir ku luapkan segala isi hati ini. Pada siapa lagi ku curahkan semuanya. Kalau bukan kepada Kek Tua, seseorang yang sudi untuk mendengarkannya Beliau begitu lihai dalam menasehatiku mungkin banyak pengalaman yang sudah beliau dirasakan dalam menjalani kejamnya dunia ini..

            “Nak, jadilah diri sendiri. Apa yang kau yakin benar maka teruskanlah. Kau harus siap menerima segala resikonya. Dunia remaja memang banyak memberikan pilihan. Tinggal sepandai-pandainya kita memilih mana yang baik dan buruk. Kedewasaan bukan dilihant dari luar, melainkan dari sikap kita. Tak perlu muluk-muluk, dengan kamu menjadi seorang yang berguna bagi orang lain sudah menunjukkan kamu adalah seseorang yang memiliki sifat dewasa. Kamu lihat kan sapu tua yang mungkin tak mempunyai nilai ini. Orang-orang selalu menganggapnya hina hingga dengan sekedar menyentuh untuk menyenandungkan irama serakannya pun mereka tak sudi. Tapi pikirlah lebih jauh tiap pagi ia sudah menari dan bersenandung untuk mengibaskan dedaunan di tanah pendidikan ini, membersihkan yang tak bersih dan mengindahkan yang tak indah. Seperti halnya kamu, mungkin sekarang kamu tak berarti bagi mereka hingga terasingkan. Tapi, berhentilah menghembuskan nafas kekesalan, berhenti mengiramakan nada-nada kekecewaan. Kini saatnya kau buka pintu gerbang pembenahan, menata elemen-elemen diri kamu tuk menyusun satu sikap yang menunjukkan bahwa tindakanmu memang benar.

Segera temukan jati diri kamu Nak, tapi ingat jangan sampai melenceng dari ajaran-Nya.”

            Ya Allah selama ini dalam benakku hanyalah berisi pemikiran bahwa orang-orang seperti Kek Tua tak ubahnya seperti benalu, yang terus menempel dan mengemis sesuatu tuk menyambung hidupnya. Na'udzu billahi min dzalik, tak kan ku biarkan mulut kotor ini membisikkan kata murka itu lagi.

Diri ini benar-benar mengagungkan nama-Mu Ya Allah, Kau tlah tunjukkan satu kearifan dari sisi Kek Tua hingga mengubah jalan pikiranku. Beliau membuatku ingin menitikkan cairan bening di mata ini menyesali segala kesalahan dan mensyukuri segala kenikmatan.

            “Benar kata kakek, makasih kek, sudah mengajariku tentang sesuatu yang berharga. Nasehat kakek kan selalu jadi perintis perbenahanku. “ Hati ku benar-benar ngilu pandangannya padaku pancarkan kasih sayang kasih sayang seorang ayah yang tak pernah ku rasakan.

            “ Nama kamu siapa?” tanya kakek pelan

            “ Nayla kek ....”

            “ Nayla, kakek senang bertemu kamu, sekarang lebih baik kamu pulang. Orang tua kamu pasti khawatir.”

Sepasang mata damar itu seakan memberi arti, menyimpan siratan kepedulian. Wajahnya selalu piaskan senyum keikhlasan, walaupun jalan hidupnya tak selaras dengan perjuangan yang  dilakukannya. Setahun lebih ku paten menjadi penghuni ditanah pendidikan ini. Tak pernah ku hiraukan senandung sapu dari tangan keriputnya. Seseorang yang tegar menjalankan hidup meski hanya berteman sebatang sapu. Sebelum ku langkahkan kaki menuju pintu yang mengantarkanku keluar , kupegang tangan kakek dan menempelkan pada keningku sebagai tanda penghormatan dan kasih sayang.

            “Assalamu'alaikum”, ku ucapkan salam sebelum diri ini menanggalkan kehidupan kakek pada sore itu. Ku harap esok hari duniaku semakin indah dengan segala nasehat-nasehat yang diberikan Kek tua.

            “Waalaikum salam“ Kek tua masih tetap dengan pancaran mata damarnya. Sungguh berat tinggalkan sinar keteduhan itu.

Lalu ku biarkan akar-akar kaki ini menuju jalan pulang, mengitari ruas jalan penuh kelokan, menantang lajuan kendaraan yang berseliweran. Kadang dagu menengadah saksikan silaunya sinar diufuk barat. Dengan balutan putih abu-abu mungkin terasing mata saksikan. Seorang pelajar yang menuntaskan pergelutannya hingga sore hari.

* * *

            Hingga gelap menghantui bumi  dan bulan pun rela mensecarkan sinarnya. Bola mataku masih berkeliaran memandang atap kamar yang mungkin sedang menertawakanku atas kebodohan ini. Malam diturunkan teruntuk makhluk pejamkan mata , mengusir lelah. Tapi tidak dengan ku, begitu sulit mengusir penat yang berputar di pemikiran, layaknya jarum jam yang kini tidak berputar diangka 11. Masih terekam erat peristiwa tadi siang bersama Kek Tua. Betapa jernihnya pemikiran ini, betapa tenangnya hati ini. Tapi sekarang seakan beban berat itu menghantamku kembali. Saat suara mereka berkicau digendang telinga, panas ku mendengarnya hingga menusuk ke hati memberi percikan luka. Saat kata-kata itu berubah menjadi tangan-tangan besar yang menampar-nampar hati. Tahukah mereka bahwa ku alami gejala memar hati. Ku terbakar oleh kawanku sendiri. Beku oleh sikap dinginnya. Kucoba hembuskan nafas berulang-ulang maksud keluarkan segala beban. Tapi yang terasa hanya ucapan panas. Ku kerahkan sekuat tenaga tuk mengusirnya, tapi yang terasa hanya keringat dingin. Panas dingin mengucuri tubuhku, tak kuasa lagi melerai ruwetan benang yang berlipat-lipat di otak. Tak bisa  kuhentikan bibir bergerak mengatup dengan gigitan jari, kurasa semakin kencang ....... panas, dingin, menggigil hingga tak tahu apa lagi yang kurasakan pada malam itu.

            “Srakk......” terdengar tirai jendela yang terbuka. Fajar seakan menyilaukan, ku buka kelopak mata kurasa sesuatu yang dingin bertahta di keningku.

            “Sudah bangun kau nak, dari tadi malam tak mengigau. Badan mu panas, makanya ibu kompres. “ Samar-samar kulihat bayangan wanita bergelung yang matanya pancarkan sinar kekhawatiran kemudian langkahnya menuju keluar.

            “Astaghfirullahaladzim “ reflek mulutku berucap kala bola saksikan arah jarum jam pada posisi angka 5 lebih seperempat. Segera ku berenjak dari posisi terbaringku. Ah kenapa ibu tak membangunkanku dari tadi. Padahal beliau paling rajin membunyikan satu lafazd nasihat kepada ku  untuk selalu mengerjakan kewajiban sebagai seorang muslim. Kurasa pening semakin menyerang kala air wudlu itu membasuh muka namun Alhamdulillah tak sampai membekukan langkah ku tuk menghampiri labiran sajadah yang setia mempatenkan posisinya ke arah kiblat. Selesai ku bersujud padaNya ruwetan benang hati sedikit terlerai. Namun ada apa dengan pandangan itu? Kulihat kaligrafi di sudut kamar semakin membentuk 2 bayangan, 3, 4 dan seterusnya sampai pandangan ini benar-benar tak bercahaya lagi, gelap kurasa, sunyi menyapa, tak tahu entah kemana memory sadarku. Tiga hari tubuhku hanya terbaring di tenpat tidur, menjalani satu ujian dan satu kenikmatan. Ku akan menganggap rasa sakit ini sebagai sebuah jalan terbaik yang diberikan Nya pada ku, tlah tertancap dalam hati bahwa ku akan tetap pada prinsip ku, sesuai dengan ajaran-Nya, tak akan kubiarkan dunia remaja di tanah pendidikan itu menghancurkan martabatku sebagai seorang muslim.

* * *

            Tak biasanya ku iqrokan lafadz kesyukuran tiap kali ku masuki pintu gerbang di tanah pendidikan, yang ada hanyalah ayat-ayat ketakutan dan kekhawatiran akan cobaan apalagi yang harus kuterima disalah satu kelas yang kuhuni. Mungkin karena sekarang beban itu sudah tak memberatkan sebelah lagi. Mungkin pula keinginan untuk segera bertemu dengan kek Tua. Kutajamkan telinga mengapa senandung lembut sapu itu tak kudengar. Dimanakah jejak sapu yang kurindukan itu. Nafas kekhawatiran mulai menyerangku. Pupilku pun semakin membesar menyusun setiap sudut tanah yang biasa kek Tua dan sapunya tapaki. Tapi tak ada layar yang merekam pose kek Tua memainkan sapu dari tangan keriputnya. Kemanakah nada-nada itu menghilang, nada-nada serakan dari lilitan lidi yang bertahun-tahun mengabdikan dirinya di tanah pendidikan.

Ku alihkan pandanganku ini ke arah mading yang terletak tak jauh dari tempatku berdiri. Tiba-tiba terbesit niatku untuk mengetahui kabar terbaru di tanah pendidikan ini yang biasanya memang terpotret di mading.

Apalagi sudah 3 hari aku nggak berangkat, pasti sudah banyak cerita, warta, dan suratan yang telah terjadi. Mataku mencoba menjelajahi satu persatu tulisan yang terpampang. Mulutku pun tak berhenti membunyikan suara.

“Latihan rutin pramuka mengasah mental dan kedisiplinan.” Tulisan ini terpampang pada pojok atas, lalu di sampingnya ada pengumuman pemenang lomba kepenulisan artikel, juga sebuah laporan kegiatan clas metting yang dilaksanakan 2 hari yang lalu. Lalu mataku mengarah pada satu titik, ku menajamkan pandangan, membelalakkan mata.

“Turut berduka cita atas meninggalnya Bapak Mahfud Syahlani.” Sekiranya seperti itulah yang berhasil tertangkap, mata batinku masih mengira-ngira, nama itu masih asing bagiku. Ku telusuri terus wacana tsb, ternyata di bagian bawahnya terdapat catatan hidup almarhum. “Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un.” Bibirku tak kuasa berkata-kata

“Kek Tua...” nama itu hanya mampu ku dengungkan dalam batin yang teriris perih.

            “Mbak, ini yang meninggal siapa?” Tertatai-tatai ku bertanya pada salah seorang yang sempat lewat di depanku.

            “Oh..itu lho Kek Tua tukang sapu sekolah ini.” Ringan ia menjawab dan melanjutkan langkahnya. Sementara diriku hanya mematung dalam kepedihan, mematung dalam kisah kelabu yang kian menghitamkan catatan hidupku. Petir menyambar tak henti-hentinya seakan ingin membelah langit, meruntuhkannya padaku. Awan kelampun sebagai panorama pilunya hatiku. Basah..sekujur tubuhku basah oleh derasnya awan yang terbelah yang mengucuriku dengan beribu tetesan air mata.

            “Ya Allah mengapa kau mangambilnya, sepasang mata damar yang meneduhkan itu.” Ku terpungkur menyandarkan tubuhku di tembok seakan tulang-tulang tipis ini tak guna lagi menopang tubuhku. Persendian layaknya tlah tercopet mor-mornya.

            “Apa yang salah dengan diriku... di saat lesung pipi ini dengan riang bermain, mengapa kau segera menusuk-nusuknya hingga tetesan darah yang ia keluarkan. Di saat ku mulai damai dengan kehadiran Kek Tua, mengapa kau tega merampasnya. Dunia seakan tak sudi lagi menengok padaku tuk menabur benih-benih kebahagiaan. Yang ada ia hanya memaksaku untuk menyecerkan air mata. Astaghfirullahaladzim...” ku hembuskan nafas berulang-ulang, maksud tuk menenangkan hati.

            “Cepat...cepat...cepat...” Dari jarak yang tak jauh dari posisiku berdiri terlihat kerumunan yang tak tahu apa kepentingannya. Ku coba hapus tetesan yang masih membasahi pipi, meninggalkan suasana haru biru yang sedang kualami, mesti itu tidaklah mudah. Lalu ku melangkah mendekatinya. Datang-datang dari mana keramaian itu. Segera ku tumpahkan rasa penasaranku pada Fitri, teman sekelasku yang tadi sempat berada pada kerumunan itu.

            “Ada apa sih Fit?”

            “Rama and the Genk kena kasus. Tuh lagi diamankan Guru BK.”

            “Lho kok bisa? Gimana ceritanya?” Sungguh ku tak bisa menyembunyikan kekagetanku, sesuatu sedang terjadi pada mereka, orang-orang yang selama ini menindihkan beban di hatiku.

            “Kemarin pas kamu nggak berangkat kan ada acara class metting. Lha waktu acara perlombaan antar kelas terjadi perkelahian antara Rama dan Rifky. Denger-denger sih tadi orang tua Rifky datang ke sekolah melaporkan Rama karena merasa nggak terima anaknya dipukuli. Nah barusan Pak Ramli mencari Rama nggak disangka beliau memergoki Rama and the Gank lagi pesta rokok di belakang sekolah. Ada cewek-ceweknya juga lho, salah satunya si Vika. Mau nggak mau harus digiring semua. Nggak tahu tuh nasib mereka nanti gimana?”

Ku hanya terdiam mendengar cerita Fitri. Ku harus menganggapnya ini sebuah musibah atau justru berkah. Merekalah yang selama ini mengasingkanku dan sekarang tengah tersandung batu masalah karena ulahnya sendiri. Tapi mereka sebenarnya tidak bersalah, egolah yang telah memperbudaknya.

            “Nay kok bengong? Eh aku ke kelas dulu ya!” Fitri segera menyadarkanku, ku iringi langkahnya yang kian menjauh dengan anggukan kepala.

            Vika, dulu aku pernah bersahabat dengannya, tapi ia tak pantas dikatakan sahabat. Ia hanya teman di saat suka bukan teman di saat duka. Ku terjerumus dalam lingkar pergaulannya. Pergaulan panas yang menitikkan pada larangan Tuhan. Ku tercubur dalam lembah dosa, hingga tersadar yang ku lakukan adalah sebuah kesalahan besar. Tertaatih-tatih ku mulai menaiki bukit keinsyafan. Tapi yang kutemui malah api membara pada diri Vika. Ia mencemoohiku, menghinaku, menganggap yang ku lakukan adalah sebuah penyimpangan yang tidak wajar.

            Sementara Rama, kutak pernah menyangka sebelumnya, kedekatanku dengannya berujung pada masalah. Berawal dari kejujurannya yang memberiku madu cinta. Tapi sungguh ku tak siap dengan serangan sang kumbang. Berulang-ulang ia nyatakan tapi ku slalu menolaknya. Ku tak mau mengikrarkan cintaku pada seseorang yang menyatakan ingin bersama karena ketertarikan fisik, bukan dengan adanya pertemuan dua hati yang tulus. Hanyalah fatamorgana pada dirinya. Bayang-bayang cinta hanyalah kesemuan yang kian nyata. Pantaskah kala mendambakan sang bunga, kumbang tega menyengatnya dengan serangan racun?...Itulah yang Rama lakukan padaku. Ia merasa tak rela ku biaskan cahaya kasihnya. Ia merasa ku permalukan, menganggapku sangat kekanakan kala ku nyatakan pacaran tak pernah ada dalam kamus hidupku. Hingga akhirnya Rama dan Vika melucutkan api dendam kepadaku, memojokkanku, memfitnahku. Sampai tiada satu kawan pun mau menjajarkan tapakannya dengan tapakanku. Inilah sejarah titik awal ku terasingkan di tanah pendidikan. Mengapa seseorang yang ingin berbenah lebih baik malah kepahitan yang harus slalu diterima. Namun peristiwa yang sedang kusaksikan kini menjawab keraguanku, keraguan terhadap keadilan Tuhan. Mereka tlah menanam benih dengan ego yang melenceng kuat dari ajaran-Nya, harus dituai pula satu buah ujian yang ku harap bisa membuat logikanya terbuka tak hanya ego yang terbudak setan.

            “Kawan meski kau tak lelah menusuk-nusuk lesung pipiku yang terlekuk ringan, hingga sakit yang slalu ku rasa. Tapi ku kan slalu tersenyum jikalau mendengar lafadz-lafadz syahdumu, merasakan lika-liku perubahanmu, bukan untuk yang lebih menjerumus, melainkan mementaskan diri, berfikir bahwa pijakan ini hanyalah sedetik dalam ribuan tahun di alam berbeda yang selalu menanti kita.”

            “Nay...” Rama&Vika berjalan di depanku yang dikawal oleh langkah Pak Ramli. Sinar keberaniannya seakan-akan redup. Getir senyum tak lagi piaskan kesinisan, namun yang kurasa adalah senyum kepasrahannya. Ku hanya bisa menatapnya dengan pandangan yang kian berkaca-kaca.

            Semuanya kan segera berakhir, sekarang yang terpenting dalam hidupku adalah membiarkan diriku bersenandung seperti sapu di tanah pendidikan ini. Seperti Kek Tua, membersihkan yang tak bersih dan mengindahkan yang tak indah. Memang kini tiada lagi senandung dari tangan keriputnya, tapi ku akan menyenandungkannya, meski senandungnya tak seindah dulu.

 

Komentar

Foto Nauvant Nughos

ceritanya bagus banget

ceritanya bagus banget

Foto Kazhara Agenta

Aku setuju

Detail, dan sangat menarik. Meski aku bukan Muslim, tapi aku dapat merasakan alirannya..

Jessica♢[Kazhara♡]

Foto Kazhara Agenta

dan ajaib..

dan ajaib..

Jessica♢[Kazhara♡]

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler