Skip to Content

Sepatu

Foto Syariah Siregar

SEPATU

 

“Harganya pas ya buk, gak bisa ditawar lagi.”

“tolong lah pak,”

“yasudah , turun 10 ribu aja, segitu kurangnya.”

Ibu melihat kearahku yang hanya bisa tertunduk diam menahan malu, beberapa pembeli di toko sepatu itu melihat kearah kami berdua yang sedari tadi masih  berusaha merayu bapak penjual sepatu yang wajahnya garang, aku malu lantaran keluguan ibu yang pertama kali pergi ke mall. Katanya dia ingin sekali-sekali pergi kesana karena kakak ku bilang harganya murah-murah. Dan karena dua pekan belakangan aku mengadu jika sepatuku sudah rusak , ibulah yang berinisiatif untuk mengajakku ke mari. Tidak tau bahwa harga barang disini tidak bisa di korting, alias ditwar-tawar, ditambah lagi, mall bukanlah tempat yang pas bagi kami karena kondisi keuangan yang dibilang pas-pasan.

“gak bisa kurang lagi pak?”

Ibu masih tidak menyerah pada sepatu Nike hitam bertali yang kini dipegangnya, aku makin menunduk. Bapak  cina itu mendesah, mungkin jengah melihat ibuku yang kelihatan kampungan. Karena nyatanya masih banyak pelanngan yang belum dilayaninya.

“kalau ibu mau yang harga 40 ribu, ibu beli yang ini saja. Acing, tolong ambil sepatu KW di gudang.” Suruh Pria tua itu pada seorang pegawai laki-laki, lalu pegawai tersebut lekas  mengambil sepatu kedalam penyimpanan toko. Menunggu itu, aku berbisik kepada ibu

“buk,  sudah gak usah beli disini.”

Ibu hanya diam saja, tidak melihatku sama sekali. Mungkin ibu kecewa karena sikapku yang kentara sekali merasa malu. Padahal ini semua karena permintaanku, sampai-sampai merengek setiap malam supaya dibelikan sepatu sesegera mungkin. beberapa menit kemudian pegawai toko yang berperawakan kurus pun datang sambil membawa kotak sepatu berwarna cokelat, warnanya sudah usang sesuai dengan kondisi sepatu yang kemudian dikeluarkan oleh bapak pemilik toko itu, aku hendak menangis melihatnya, betapa malangnya aku dan sungguh kasihan ibu,

“ini 40 ribu buk, kalau ibu mau yang harga segitu.”

Ibu melongo, kutatapi kulit keriputnya dari sisi samping . wajahnya sudah pucat dan ia kemudian mengambil sepatu dengan merek yang tidak aku kenali itu. Sungguh jelek dan modelnya ketinggalan zaman.

“buk, gak usah ajalah. Masa aku dibeliin yang begitu. Malu lah sama teman-teman.” Aku berbisik, mataku melirik kesana-kemari, khawatir kalau saja ada temanku yang tau kalau aku berada disini. Kulihat ada ibu dan anak datang ketoko itu, penampilannya terlihat jelas bahawa mereka dari keluarga kaya, dan segera saja bapak pemilik toko menghampiri mereka dan mengabaikan kami.

“buk, ayolah pulang.” Aku mengajak ibu, entah kenapa aku mendadak ingin menangis. Harga diriku kiini terasa diinjak-injak oleh bapak pemilik toko sepatu itu, tapi bukannya menurut. Ibu malah menghampiri pria tua itu.

“yasudah lah pak, saya ambil ini.”

“yakin buk? Gak jadi yang Nike tadi?”

Ibu tersenyum malu, dan kelihatannya bapak tersebut memaklumi ketidakmampuan ibu untuk membeli sepatu dengan harga  150 ribu tersebut. Karena ibu hanya membawa uang 50 ribu tidak lebih dan tidak kurang, dan airmataku tak lagi mampu terbendung, sedih lantaran ibu seperti tidak punya perasaan dengan membeli sepatu jelek itu dan membiarkanku merasa malu. Aku marah pada ibu dan  karena tidak peduli padanya, aku berjalan mejauh karena harga diriku yang kini terasa diinjak-injak.

Setelah itu , kamipun pulang. Dengan membawa sepatu 40 ribu yang jelek itu. Aku tidak bicara selama perjalanan pulang. Menghiraukan ibu yang masih diam saja.

“uang kita gak cukup buat beli sepatu tadi,” akhirnya ibu berbicara setelah sampai rumah, ia menghampiriku yang menangis dikamar.

“kan gak usah jadi dibeli buk.”

“sepatumu kan sudah rusak parah, lagipula sepatunya gak terlalu jelek kok.”

“apanya yang gak jelek, sepatunya mirip sepatu kakek-kakek.” Tangisku semakin meledak. Ibu hanya mampu menarik nafas, dan tidak berbicara lagi setelah aku memutuskan untuk menutup wajah dengan bantal, enggan melihat wajahnya.

Pada akhirnya mau atau tidak mau aku tidak punya pilihan untuk tidak memakai sepatu jelek itu, dengan memasang wajah setebal beton aku memakai sepatu itu kesekolah meskipun ditertawai oleh teman-teman.

Kekecewaan itu masih terus teringat dalam pikiranku, dan aku masih marah pada ibu. Hingga suatu hari aku melihat ibuku bersama ibu-ibu lain baru pulang dari kondangan, para ibu tertawa  sementara dari kejauhan kuperhatikan wajah ibu yang lembut kelihatan murung.

Aku melihat sendal ibu yang dipakai kondangan telah usang,  sendalnya berwarna cokelat namun telapak kaki bagian belakangnya sudah peyot dimakan aspal, sehingga kelihatan sangat jelek.

Aku bertanya pada ibu,

“kenapa gak beli sendal baru buk? Masa sendal kondangan dan sendal pergi kekebun sama.”

“ah nanti lah,” jawab ibu,

Kemudian suatu siang sepulang sekolah aku menghampiri ibu yang sedang menjahit baju dibelakang rumah,  aku melihat baju yang dijahit milik ibu sudah sangat jelek, warnanya sudah sangat pudar dan robeknya sudah sangat banyak. Entah berapa kali ibu menempelnya sehingga menurutku baju itu lebih mirip baju ibu pengemis yang tadi sepulang sekolah kutemui.

“kenapa gak beli baju baru aja sih buk?”

“belum ada uangnya, mau beli pake apa?” jawab ibu.

Beberapa hal mulai menyadarkanku, aku melihat ibu selalu mengenyampingkan kebutuhannya demi kebutuhanku. Aku sadar ketika ibu hanya memakan tulang ikan lantaran ikannya sudah habis kami makan dan ibu makan belakangan, aku sadar ketika ibu  harus berhutang untuk abang yang kuliah diluar kota , ibu berhutang kepada tentangga kami yang bermulut pedas dan ditolak begitu saja di depan para ibu, tidak terbayang olehku bagaimana malunya jika hal tersebut terjadi padaku. aku sadar katika ibu gemetaran sehabis pulang dari kebun namun dia masih sempat memasak untuk kami.

Betapa kejamnya aku, marah padanya disaat dia memperjuangkan segala hal demi aku, demi  anaknya dan mengenyampingkan harga dirinya untuk itu.

Aku tidak merengek lagi padanya sejak kejadian itu,  aku berusaha menabung untuk membeli kebutuhanku sendiri agar tidak menyusahkannya. Dan sepatu itu tidak pernah kulupakan. Suatu saat jika aku sudah dewasa dan sukses,aku berkeinginan untuk membahagiakan ibu. Meski kini aku masih belum memiliki apapun untuk membalas kasih sayangnya. Tapi aku selalu berdoa pada Tuhan agar Dia memberikan ibuku kebaikan selamanya.

 

 

 

-selesai-

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler