Skip to Content

Sepenggal Malam

Foto Supardi Sarmadi

Sisa-sisa senja hari itu menambah indahnya cakrawala. Angin pelan membelai manja tubuh lelaki yang sedari tadi belum hilang mengusir lelahnya, Jingga seorang pemuda dengan wajah melankolis terlena dalam lamunan. Entah apa yang ia bayangkan, namun dering hp berhasil melenyapkan bayang-bayang seseorang yang hinggap dipikirannya. “Gimana, jadi mau melihat Ana menari ?” sms singkat sungguh membuatnya terperanjat. Bagaimana mungkin ia bisa lupa bahwa malam ini akan ada pergelaran seni tari yang diikuti oleh Ana, mantannya sekaligus sahabat dari mantannya. “Oh ia, abang baru ingat. Ya sudah tunggu sebentar ya, abang mandi dulu” segera dan bergegas Jingga mengguyur tubuhnya yang seharian membantu Husna mempersiapkan pindahan kontrakannya. Seperti kebiasaan dikontrakannya, Jingga dan penghuni lainnya shalat berjamaah dirumah tersebut. Kali ini giliran Jingga yang mengimami.

Malam kembali hadir setelah melewati siang yang teramat panjang. Tanda-tanda akan turunnya hujan menambah kekhawatiran Jingga “Bisa-bisa terlambat ni, mana tidak ada bawa jas hujan lagi” kesalnya. Namun sebelumnya Jingga harus menjemput Husna dulu karena sudah berjanji untuk pergi bersama. Beruntung hujan belum sempat turun saat Jingga sampai di depan pekarangan kosan Husna. “Assalamu’alaikum, abang sudah didepan, cepat ya kayaknya bentar lagi turun hujan”, “Sebentar ya Husna mandi dulu” jawabnya singkat. “Jadi dari tadi ngapain aja, masa jam segini belum mandi ?” kesal Jingga dalam diamnya. Kembali  Jingga menunggu, hal sangat dibencinya ya itu, menunggu. Belum hilang kesalnya, hp kembali berdering, namun kali ini dari Ana. “Assalamu’alaikum bang, gimana, jadi mau kesini dengan Husna. Kami tampil jam 18.45 ya, jangan telat. Sampaikan pada Husna. Ingat janjinya, sampaikan itu saja, dia pasti mengerti”. Jingga tak segera membalas smsnya, dia berpikir sejenak sambil menghitung sisa-sisa waktu yang ada. “Oh masih 25 Menit, InsyaAllah sempat. Semoga saja kali ini hujan mau mengerti” balas Jingga agak terlambat. Beruntung Husna cepat keluar dan segera memakai sepatunya untuk kemudian mendekati Jingga, pria yang berhasil menyelinap dihatinya kemudian bersemayam dalam waktu yang cukup lama.

Hari ini jalanan cukup ramai, tidak seperti biasanya sehingga Jingga memutuskan untuk mengambil jalan yang mungkin saja tidak terlalu dilalui banyak orang. “Tadi Ana ada sms, katanya dia tampil jam 18.45 dan pesannya satu lagi ke kamu. Ingat janji. Kalau boleh tahu kamu janji apa dengan dia” Tanya Jingga penasaran. “Oh begitu, ya ada lah, urusan wanita” jawab Husna menyengir. Jingga terdiam membisu melanjutkan perjalanannya, memecah keramaian kota dengan jaket lusuh untuk mereda sejuk yang begitu menusuk.

Perhelatan tari berlangsung sudah cukup lama, dari ba’da zuhur rumah adat melayu telah dibanjiri baik dari mahasiswa PGSD ataupun mahasiswa dari prodi lain. Setibanya disana waktu masih tersisa cukup lama, Jingga memarkirkan pada parkiran yang telah disediakan panitia. “Ayo, langsung masuk saja. Cari kursi yang paling depan biar bisa melihat dengan jelas kekasih terkasihmu menari  diatas panggung“ Canda Husna.  Kalimat sederhananya berhasil membuat detak jantung pria kelahiran agustus itu berdetak agak cepat. “Ayoooo” Balas Jingga berani.  Setibanya disana, orang pertama yang mereka jumpai dan mereka kenal adalah Wulan, sepupu dari Ana. “Sudah lama sampainya” tanya Wulan penasaran. “Nggak, baru saja. Oh ya sudah nampil ?” Timpal Husna kepada Wulan. Entah bagaimana mereka mengakhiri pembicaraan dua wanita tersebut, Jingga tidak terlalu memperhatikan. Ia mencari dan menelusuri setiap inci wajah-wajah yang mungkin dikenalnya didalam keramaian. Tak satupun dan tak seorangpun yang dikenalnya kecuali dua wanita disampingnya. Jingga agak maju kedalam, memperhatikan kursi yang mungkin bisa diisi. “Disitu ada dua kursi, mau disana atau berdiri disini?” Tanya Jingga. “Ya udah duduk saja” jawab Husna singkat. Waktu berjalan pelan, Jingga tidak sabaran untuk menyaksikan penampilan dari gadis yang pernah satu desa dengannya, dari gadis yang pernah mencuri hatinya. Hingga tibalah waktunya, irama bertabuh mengiringi penari masuk ke panggung. Mata Jingga tak berkedip, memperhatikan dengan seksama dimanakah dia berada. Tak cukup lama karena ia hapal postur tubuh dari wanita yang mengundangnya hadir diacara tersebut. Tampak Ana mengikuti irama, menari layaknya penari sungguhan. Penari lain sesekali berpasang-pasangan, entah bagaimana skenarionya Ana lebih sering menari sendirian. Jinggapun tenggelam dalam khalayan, berandai dalam lamunan.

Selang beberapa menit setelah penampilan Ana, Isyapun mengambil giliran. Suara Azan memang tidak kedengaran, tapi jam dipergelangan tangan menunjukan sekaranglah waktunya. Jingga mengajak Husna untuk jama’ah dimusholla belakang Aula. “Abang duluan saja, nanti Husna nyusul”. Jingga mempecepat langkahnya untuk menunaikan kewajibannya. Air wudhu membasuh wajah lusuh yang diterpa hujan bercampur debu jalanan, mensucikan diri dari egonya ibu kota. Berdiri tegak mendekap dada dengan pasang tangan yang masih sempurna. “Alhamdulillah, masih kau izinkan Hamba yang penuh noda ini hidup diduniaMu” gumam Jingga dalam hati. Seusai salam, Jingga menoleh kebelakang namun tak tampak wajah Husna yang katanya mau nyusul belakangan. Do’a terlantunkan dengan khusuknya, berharap sang pencipta berkenan mendengar lalu mengabulkan setiap harapnya. “Ah Husna mengapa lalai sekali !” Geram Jingga. Beberapa langkah keluar musholla baru tampak Husna yang keluar dari Aula mendekatinya. “Sudah Sholat ?” tanya Husna. “Sudah, baru selesai. Wudhu Wanita disana” Jawab Jingga sambil menunjukan dimana seharusnya ia berwudhu. Jingga duduk diteras mushola, membiarkan angin menerpa wajahnya. Mengistirahatkan tubuhnya dari sisa-sisa lelah aktivitas seharian. Namun ada yang lebih lelah dari sekedar penat yang mendera, hatinya. Ada satu perasaan yang tak mampu dijelaskan dengan kata, gemuruh berkecampuk menjadi sejadi-jadinya. “Andai saja kau tahu An, betapa aku ingin . . .  “ gumam Jingga dalam hati. “Hayoooo, mikirin Ana ya” tanya Husna tiba-tiba lalu mendekat cepat. Bagaimana Husna bisa tegar sementara yang menjadi candaannya adalah lelaki yang pernah dicintainya begitu dalam dan wanita yang telah menjadi teman sekelasnya saat duduk dibangku SMA. Diteras mushola dua hati terperangkap dalam rasa yang tak biasanya. Lalu bagaimana dengan satu hati yang berteduh di Aula sana, hatinya Ana ? Dari kejauhan Ana tak berani menyapa, dalam benaknya ia tak ingin mengeruhkan suasana dari dua insan yang dianggapnya masih menjalin kisah asmara. Ia tepiskan segala rasa demi ikatan persahatan. Tapi lagi-lagi kesalah pahaman terjadi.

Perlahan Jingga dan Husna meninggalkan mushola menuju Aula untuk bertemu Ana. Setibanya disana tak ditemukan juga keberadaannya. Husna malah bertemu dan ngobrol dengan teman lamanya. “Abang kesana ya, cari angin” Jingga ke Husna “ kalau sudah selesai jangan lupa sms “ sambung Jingga. “Ok Boss”  Husna Singkat. Tak lama berkeliling didapatinya Ana bersandar pada tiang penyangga. “Eh penari jaipong, disini rupanya” canda Jingga. “Wess pangeran bervespa, baru kelihatan batang hidungnya” timpal Ana sembari memperhatikan langkah Jingga mendekatinya. Tatapannya berhenti didada namun tak sampai pada mata. Ia tahu bagaiman hati harus dijaga. “kenapa tidak balas sms ?” tanya Jingga. “Hp Ana mati bang, dari siang belum di charge” jawab Ana pelan. “oh ya Husna kemana?” sambungnya. “Bentar lagi kesini, tadi sedang ngobrol sama temannya, si Anggi dan Keke” jawab Jingga. Kebetulan Anggi dan Keke adalah teman Ana juga semasa di SMA. Ana dan Jingga tenggelam dalam cerita karena memang sudah lama mereka tidak berjumpa. 10 menit berselang Husna pun datang dan bergabung dalam obrolan. Humorisnya Husna menambah tawa dalam keriuhan.

Jam telah menunjukan pukul 21.00 tapi belum ada tanda-tanda bahwa aula akan segera sepi. Ana menagih Janji. “Husna, gimana ? jadi traktir makan ?”. “Oh gampang, rebeeeeessss” Husna tertawa kecil. “Oh ini rupanya janji yang Ana maksudkan kepada Husna” gumam Jingga dalam keheranannya. Merekapun meninggalkan perhelatan menuju lamongan, tempat biasa Jingga dan Husna makan, lebih tepatnya tempat biasa Husna mentraktir Jingga makan. Semeja bertiga dalam satu waktu yang sama. Cerita cinta segi tiga mungkin kalah jauh dibanding cerita mereka bertiga. “Bang pesan apa ?” tanya Husna ke Jingga. “Biasa, ayam panggang + nasi 2 porsi. Kollnya jangan lupa digoreng. Cataat” jawab Jingga. Ya memang seperti itulah porsi Jingga makan. Apalagi di traktir, kesempatan emas baginya memperbaiki dan mencukupi gizi. “Kalau Ana ?” tanya Husna. “Ana Nasi Goreng saja, yang biasa” jawab Ana. “Esnya Teh Es saja ya gengs” canda Husna.

Waktu sungguh cepat berlalu, tak mau menunggu temu menghabiskan rindu. Andai mampu dipacu, tentu Jingga akan memperlambat waktu. ­­Apalah dayanya, saat ini yang hanya bisa dipacu adalah kendaraannya. Menyibak kelam, menembus malam dalam cahaya rembulan. Hingga dipersimpangan jalan, mereka harus berpisah. “Hati-hati dijalan, Assalamu’alaikum” Husna kepada Ana. “Iya kalian juga, Wa’alaikumsalaam” balas Ana. Ana belok kiri, sedangkan Jingga dan Husna belok kanan. Tak seirama, karena memang ini bukan panggung sandiwara.

Seusai mengantar Husna, Jingga kembali melanjutkan perjalanannya. Sepanjang jalan, pikirannya bercabang-cabang. Sekelumit pertanyaan datang silih berganti hingga langkah tak konsentrasi. Hampir saja ia menabrak pembatas jalan raya, beruntung ceritanya tidak berakhir disini, dijalan trotoar Ahmad Yani. Sesampainya dirumah, ia langsung merebah. Membiarkan malam menimbun ceritanya dalam-dalam. Wassalaaaam . . . . 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler