Skip to Content

Sungguh Tulus

Foto shintapuji

Ibu Jena meletakkan nampan berisikan sarapan sembari mengambil bekas makan semalam. Kebiasaannya seperti itu sejak satu bulan belakangan ini. Dia bertugas menyajikan makanan dan minuman untuk anaknya yang mengurung diri.

Tidak ada kata satupun yang terdengar sejak senja kala itu—tepat ketika kelasnya usai. Perempuan yang awalnya ceria mendadak berubah. Bahkan tubuhnya tidak lagi ditampilkan pada orang tuanya sekalipun. Kamarnya pun hanya terbuka ketika mengambil makanan ataupun minuman.

“Masih belum mau keluar, Bu?”

Ibu Jena menatap lelaki yang selalu rajin datang ke rumahnya dan menanyakan hal serupa. Raut wajahnya selalu mengkhawatirkan Jena selaku kekasihnya.

“Bu, maaf, saya gagal menjaga Jena.”

Lelaki tersebut kembali mengatakan hal serupa. Ketika perkataan itu muncul, raut wajahnya berubah menjadi bersalah. Kepalanya pun menunduk sebagai pemerkuat bahwa dia sungguh merasa bersalah dan berharap kesalahannya dimaafkan. Akan tetapi tentu saja Ibu Jena begitu kesulitan memberinya maaf.

Bagaimana tidak demikian jika sudah sepenuhnya memercayai seseorang justru kepercayaan tersebut dimusnahkan. Suatu kepercayaan bahwa lelaki itu akan mampu menjaga Jena, pada nyatanya tidak bisa. Jena gagal terjaga dengan baik.

Usai Ibu Jena menjauh, lelaki itu mendekati kamar Jena. Ibu Jena selalu membiarkannya berusaha membujuk Jena keluar meski dirinya muak sekali sebab masih begitu kesal kepercayaannya terabaikan.

“Kau tahu, Jena? Penjual batagor di gang Baskara menanyakanmu. Nona Jena kenapa tidak membeli sendiri? Dia baik-baik saja, kan? Begitu tanyanya, sama khawatirnya seperti aku.”

Lelaki itu berkata dengan suara lirih, tapi dia tahu bahwa penghuni kamar tersebut mendengarnya dengan jelas. Sebisa mungkin dia mengajak Jena berkomunikasi meski tidak bisa menatap wajah Jena seperti sebelumnya.

“Banyak yang khawatir, Jena. Banyak yang takut kau kenapa-kenapa. Keluarlah, Jena, katakan pada orang sekitar bahwa kau memang tidak baik-baik saja, tapi kau mampu melalui semuanya.”

Tidak mampu melanjutkan, lelaki itu membuka ranselnya dan mengeluarkan kertas beserta bolpoin. Seperti biasa, dia menuliskan sesuatu yang kemudian diberikan pada penghuni kamar melalui celah bawah pintu.

Aku mencintaimu dengan sungguh, tidak peduli apa yang telah terjadi pada tubuhmu. Bukan karena kasihan atau merasa bersalah, sedari awal aku memang sangat ingin segala hal tentangmu. Kita tetap akan bersama, Jena.

“Batagornya aku gantung di gagang pintu. Selamat menikmati, Jena.”

Seperti siang biasanya, Jena membuka pintu. Dia mengambil makan siang. Ada makanan yang disiapkan Ibunya dan selalu ada batagor dari kekasihnya. Jena hanya mengambil batagor dan air yang disiapkan Ibunya. Dia tidak pernah memakan masakan Ibunya di siang hari.

“Jen....”

Rupanya kekasihnya tidak benar-benar pergi hingga ketika pintu terbuka bisa meraih tangan Jena dan menatap wajahnya. Dengan penuh ketakutan, Jena lekas melepas genggaman tangan kekasihnya dan mengunci pintu kembali.

Sedang kekasihnya itu terdiam di tempat sembari mengingat genggamannya pada tangan Jena tadi. Tidak semulus sebelumnya. Penuh sayatan di sana. Ada yang sudah mengering, ada yang setengah kering, dan ada yang masih baru sayatannya. Lelaki itu baru tahu hal memilukan. Jena sejauh ini rupanya menyakiti diri. Sebagai bentuk hukuman atas dirinya sendiri, kah?

“Jen, jangan biarkan tubuhmu terluka. Jangan hukum tubuhmu. Tubuhmu sungguh tidak bersalah. Salahkan aku, Jena. Hukum saja aku!”

Terdengar suara tangis dari kamar Jena. Perempuan itu sungguh mendengar perkataan kekasihnya dengan baik rupanya. Dia semakin bingung siapa yang sebenarnya salah atas keadaan ini. Tapi jelasnya, Jena merasa bahwa kekasihnya tidak bersalah sama sekali. Jena yang sebenarnya sangat patut disalahkan dan diberi hukuman atas kesalahannya itu.

Di hari berikutnya kekasih Jena datang kembali dengan batagor kesukaan Jena dan berharap kali ini Jena mau membuka diri. Kekasih Jena paham bahwa begitu sulit bagi Jena untuk melupakan hal yang memang sangat memilukan hingga menorehkan trauma. Akan tetapi dia tidak boleh berdiam diri. Dia harus bisa membuat Jena pulih dan keluar dari keterpurukan.

“Jen, hari ini ada kelas pengganti. Aku tidak bisa berlama-lama di rumahmu. Batagornya aku taruh seperti biasa. Oh, iya, dapat salam dari penjual batagor dan teman-teman.”

Usai menulis tulisan semangat pada suatu kertas dan menyelipkannya di celah pintu bawah, kekasih Jena pergi sejenak. Dia sebenarnya membohongi Jena supaya perempuan itu lekas membuka pintu dan mengambil batagor darinya. Kali ini kekasih Jena berhasil menahan pintu kamar.

Mereka saling tatap sebelum akhirnya Jena menundukkan pandangannya. Jena kalah dari kekasihnya yang tentu punya kekuatan lebih. Perempuan itu bergetar hebat tubuhnya, pertanda ketakutan. Dengan cepat pula Jena menjauh dari kekasihnya. Tapi, dengan cepat pula kekasihnya itu mendekap tubuhnya yang gemetar. Pecah sudah tangisnya.

“Ada aku, Jena. Tidak perlu takut lagi. Aku sungguh akan menjagamu. Aku juga hanya akan memastikan bahwa lingkunganmu hanya akan ada orang baik yang selalu mencipta hal baik.”

Kepala Jena diusap dengan lembut. Sesekali diberi kecupan untuk menenangkan sebab selama ini Jena tenang dengan kecupan serta pelukan dari kekasihnya. Kali ini sedikit berbeda, Jena kesulitan menenangkan diri.

“Harus apa lagi aku untuk membuatmu percaya bahwa aku sungguh dan tidak akan memedulikan hal pilu yang terjadi beberapa waktu lalu, Jena?”

Kekasih Jena bertanya ketika tidak sengaja menatap satu sisi dinding yang dipenuhi dengan kertas berisikan tulisannya selama ini untuk membujuk Jena. Semuanya disusun rapi, berjumlah 30 dan hampir memenuhi sisi dinding tersebut. Semuanya tersusun dan terkumpul seolah untuk mengukur seberapa pantas tulisan itu menumbuhkan kepercayaan dalam diri Jena.

“Lupakan, Jena. Lupakan!”

Pelukan terlepas meski isakan tangis belum terhenti. Kekasih Jena menatap dengan lekat perempuan yang masih menunduk serta menangis tersedu. Tangannya kemudian berusaha mendongakkan Jena untuk menatapnya.

“Apa yang aku tulis itu sungguh, Jena. Aku siap mati kapan saja jika tulisan itu tidak terbukti. Tugasmu hanya pulih dan melupakan segala hal pilu. Tumbuhkan kepercayaanmu untukku, Jena.”

Kedua tangan Jena digenggam erat. Dan akhirnya mereka juga saling tatap. Tatap sendu yang membuat orang sekitar akan merasa hal serupa.

“Perempuan yang tubuhnya telah dicicipi ini tidak lagi pantas untuk siapapun.”

Benar, Jena, kau pasti akan berbicara seperti itu. Tapi, kekasihmu akan selalu abai. Kekasihmu tidak akan peduli sekalipun tiap detik kau akan berbicara seperti itu. Kekasihmu terlampau cinta hingga tidak akan memedulikan hal buruk dalam dirimu. Dia penuh kesungguhan, Jena. Percayalah.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler