Skip to Content

tamu spesial

Foto Anassompret

Tamu spesial                                                                            

 

Pagi itu sekitar pukul delapan lebih,mentari sudah meninggi meninggalkan ufuk timur.Cahayanya menerobos di ranting ranting pepohonan dan ke jendela-jendela rumah, jalanan telah ramai dengan lalu-lalang kendara’an dengan pengemudinya masing-masing.langitpun nampak telah kehilangan hilang birunya pagi itu.

Langkahnya berhenti di depan gerbang sebuah rumah.tangannya memegang gerbang besi yang mulai berkarat. Matanya mengawasi setiap sudut pekarangan sebuah rumah di depannya.Pagi itu ia berharap sang pemilik rumah menyambut kedatangannya.Bangunan itu masih tetap sederhana,dan ia berharap, bangunan itu akan tetap menyimpan kerinduannya kepada seseorang. Banyak sekali kenangan di rumah sederhana yang ia anggap sebagai rumah kedua.

Nampak di halaman rumah itu seorang dengan kaos oblong putih dan celana kolor sedang merapikan bunga-bunga,di kepalanya sebuah topi yang di balik ke belakang,sama seperti sepuluh tahun yang lalu.    

“Assalamualaikuuuum”. . . .

Mendengar ucapan salam,udin segera membalikkan badannya, pandangannya lurus menuju arah gerbang rumah, ”Waalaikum salam”, jawab udin sambil berlari kecil meninggalkan aktifitasnya pagi itu.’siapa pagi-pagi sudah bertamu’, gumamnya pelan. Seorang pria dengan badan tinggi besar berdiri gagah di depan gerbang,pria itu mengenakan kaos merah berkerah dengan bawahan jeans hitam. Dari kejauhan ia tersenyum kepada  udin.

Ia menghampiri pria tersebut dan membukakan gerbang.”dia hanya tamu biasa,wong aku nggak kenal wajahnya kok” pikir udin.”tapi tak seperti biasanya ada tamu sepagi ini”. ”ma’af mas,cari siapa ya?”  Tanya udin pada pria itu. Pria itu mendongakkan wajahnya, ”P.imrannya ada pak udin?” hah,kok dia tau namaku”,udin merasa keheranan,seketika muncul beberapa pertanya’an sekaligus di otaknya”. Sebenarnya siapa pria ini dan apa tujuannya kemari,apakah dia pernah kemari sebelumnya”.

Udin mencoba mengingat-ingat lagi,siapa gerangan pria gagah itu,”kalau dia tau namaku pasti dia pernah kemari sebelum ini”. Lalu tiba-tiba ia teringat tentang dua orang yang dulu sering mampir setelah pulang sekolah, dua anak bengal kesayangan majikannya.mereka adalah FARID dan DENY, apa mungkin dia adalah salah satu dari kedua nama tersebut.dengan ragu-ragu udin bertanya. ”sampean ini Farid  to?” Pria itu tersenyum sambil menghela nafas  “Pak udin nggak  pangling dengan aku to?” entah siapa yang memulai,kemudian mereka tertawa .

Ternyata benar,pikirnya,dia adalah Farid yang dulu sering mampir kerumah ini. Udin masih tak percaya dia adalah salah satu dari dua anak bengal itu,wajahnya kini sudah berubah dengan sedikit kumis dan berjenggot. Dia memang Farid yang sering membawakan kopi untuk Udin,”monggo-monggo masuk langsung”,Udin’pun membuka gerbang, kemudian mengantar farid berjalan sampai di ruang tamu,sambil berjalan mereka melanjutkan obrolan. ”Duuh..duh,cah bagus kok makin ganteng sekarang, pak udin sampai pangling”,“ah.. pak udin ini bisa aja ”,”sudah sukses sekarang ?”. ”Alhamdulillah pak’. Oya  pak,gimana kabarnya pak imran?”,Udin masih geleng-geleng melihat perubahan Farid.”Sudah.....!” udin menunda untuk menjawab pertanya’an farid.” Kamu duduk-duduk disini saja dulu, tak panggilkan p.imran,mungkin orangnya masih sarapan,beliau pasti sudah kangen banget sama kamu”. Udin bergegas berjalan meninggalkan farid di ruang tamu,sambil sesekali menengok dan tersenyum kepada farid. Farid tidak langsung duduk begitu saja,ia masih berdiri di antara kursi tamu, berusaha membangkitkan kenangannya. Kedua matanya melihat-lihat sekeliling, mengamati foto-foto di dinding rumah  itu.

”Masih seperti dulu” gumamnya. Tepat di hadapannya masih ada lukisan keluarga p.imran dengan istri dan kedua anaknya Andin dan lutfi.Matanya tertuju ke sebuah meja tamu, seketika saja ia membayangkan dirinya sendiri sedang belajar disana bersama deny, teman karibnya. Di antara mereka Imran shaleh menemani keduanya belajar, dan selalu berusaha menjawab apapun pertanya’an yang di ajukan kedua muridnya.Waktu itu deny yang paling sering bertanya. Tangan kirinya di simpan di saku celana, dan tangan kanannya mengelus-elus dagu. Ia tersenyum-senyum sendiri mengingat kejadian itu, kenangan itu masih sangat jelas sekali dalam ingatannya, di sudut bawah foto keluarga ada sebuah mesin jahit lengkap dengan benang putih, matanya berbinar dan tampak agak memerah,telinganya seperti mendengar bunyi mesin itu juga omelan sang penjahit.

”Riid....” suara itu membuyarkan kenangannya, Farid memutar pandangannya 180 derajat . Di sana seorang pria paruh baya sedang berdiri, perlahan berjalan kearahnya dengan senyum dan terlihat sangat berwibawa. Suaranya tak berubah meski sudah 10 tahun tak bertemu. hening sejenak,farid berjalan tergesa menuju pria paruh baya itu.Di rangkul erat tubuh yang mulai menua itu, kepalanya bersandar di bahu kiri pria tua itu. Tangan tuanya mengelus kepala farid dengan lembut, terasa tangan itu telah berubah menjadi kurus dan keriput. Suasana berubah menjadi haru. Pria tua itu adalah p.imran, lengkapnya Imran shaleh, guru yang sangat di hormatinya,seorang guru yang telah menginspirasi perjalanan hidupnya, ia juga seseorang yang sangat berpengaruh dan membawa perubahan besar dalam kepribadian farid. Sepuluh tahun yang lalu, Farid adalah salah satu murid yang paling nakal se SMAnya, farid tidak sendirian, sebab ada seorang lagi yang selalu setia dalam membantu misi-misi isengnya. Dia adalah deny si dengdeng. keduanya adalah biang dari segala keonaran yang terjadi di sekolah pada waktu itu. Hampir setiap hari mereka berhadapan dengan hukuman. ”Bagaimana le sekarang?” suara itu lagi. Kemudian hening kembali.

Perlahan ia melepaskan pelukan dari  tubuh tua itu. ”beginilah”, jawabanya di iringi dengan anggukan dan hela nafas panjang. Kedua matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar, berusaha sekuat mungkin mempertahankan agar airmatanya tidak tumpah di hadapan sang guru. ”sudah-sudah,kita ngobrol sambil duduk saja”. Perasa’an haru membuat Farid seperti tengah kehabisan kata-kata di hadapan sang guru yang ia hormati. Imran shaleh merasa ada yang berubah dari murid kesayangannya. Tapi apakah itu, seakan masih tak percaya, di depannya adalah salah satu dari dua brandalan yang ia jagokan sepuluh tahun yang lalu. Pada waktu pertama kali datang ke rumah ini, ia adalah kandidat terkuat dari daftar murid yang akan di keluarkan dari sekolah. Ia sadar,kini penampilan barandalannya menjadi berkumis dan berjenggot dan itu memperlihatkan kesan dewasa.

Dengan menghela nafas ia memulai pembicara’an,”kamu sekarang terlihat lebih dewasa rid,juga terkesan mateng”. Farid masih mengatur emosi sebelum menjawab pertanyaan dari sang guru. Mengumpulkan tenaga untuk menjawab pertanyaan yang di ajukan sang guru. Oya,kok gak bareng deny, biasanya dulu kemana mana berdua”. Farid terdiam , mengingat sahabatnya tersebut, ia ingat pertama kali datang kerumah p.imran, deny lah yang memaksanya, dengan alasan agar tidak jadi di DO dari sekolah.”Iya pak,tadinya mau ke sini sama-sama, tapi hari ini deny sibuk dengan pekerjaannya, farid kembali diam sambil mengusap matanya, tapi deny tadi titip salam kok buat bapak, jawab farid sedikit meyakinkan sang guru.”Iya, salam balik buat dia ya”.

Wajah p.imran sumringah sekali hari itu,’ternyata dua brandalku masih mengingat aku, meski sudah sepuluh tahun tak bertemu’.Meski deny hanya titip salam itu sudah cukup membuatnya senang.”Sekarang kerja di mana rid? Farid diam lagi, berusaha menahan jawabannya, untuk memberi kejutan pada sang guru.Kepalanya menunduk,tangannya mengetuk meja sehingga mengeluarkan suara.”Saya sekarang sedang berusaha menulis terus”. “Maksud kamu,kamu jadi penulis?,tanya Imran shaleh dengan nada penasaran.farid tidak menjawab,hanya menganggukkan kepalanya.”hebat”, p.imran mengacungkan kedua ibu jarinya. Kemudian senyumnya mengembang seperti bunga mekar.Tak bisa di bayangkan perasa’annya sa’at mendengar jawaban dari murid kesayangannya itu.”Bapak masih mengajar....?” tanya farid menyambung pembicaraan. “ ya masih le”.

“Wah. . . bapak ini, semangatnya dari dulu sampai sekarang gak habis-habis”.” Bapak ngajar, tapi di mushola samping itu”,jawab p.imran dengan nada canda.,merekapun tertawa kemudian diam lagi. “Sudah hampir dua tahun ini saya pensiun rid”.”Assalamualaikum”. . . ., seketika Imran shaleh bangkit dari tempat duduknya, salam seorang pria menghentikan obrolan mereka.pikir p.imran ‘siapa lagi itu yang datang. Tanpa menunggu jawaban , laki-laki itu buru-buru masuk ke dalam ruang tamu.kini ia berdiri di hadapan sang guru. Kemudian hening di lagi. ”ya Allah… deny…” suaranya pelan,seakan hilang,kini dua brandalan kesayangannya telah berkumpul di markas besar.”deng-deeeng” sebutan p.imran untuk Deny. Deny meletakkan sebuah bungkusan yang di tangannya, dan berjalan menuju Imran shaleh.

Mata itu masih sama meski tanpa kacamata dan sedikit lebih keriput.Di peluknya sang guru yang telah senja, haru biru pagi itu di ruang tamu.setelah satu dasawarsa lamanya, kehadiran Deny dan Farid layaknya seperti hujan di akhir kemarau panjang.

 

Imran shaleh sekarang telah berhadapan dengan kedua jagoannya, Abdullah farid dan juga deny styawan.  ”mimpi apa aku semalam,sekarang kalian berdua sudah berada kembali ke rumah ini “.” Aku benar benar bangga pada kalian,setelah sepuluh tahun,kalian masih sudi datang ke rumah ini”.deny dan Farid hanya tersenyum mendengar ucapan imran shaleh.”Sebentar pak” tukas deny, kemudian bangkit untuk mengambil sesuatu yang di letakkannya tadi. Sesuatu yang di bungkus koran, nampak sepeti figura ukuran besar,di raihnya benda itu,kemudian berbalik untuk memberikan bungkusan itu kepada sang guru. ”Ini NDAN” sebutan deny kepada Imran shaleh.

Kini benda itu berada di tangan imran shaleh.di robek koran yang membungkus benda itu, terlihat sepasang lukisan tua yang berkaca mata sedang mengantuk sambil tersenyum.sekilas mirip dengan dirinya.”Ini saya ?”. Farid dan Deny meringis, Imran shaleh melihat kedua muridnya, kemudian tertawa sambil geleng-geleng kepala.

Ketika ketiganya sedang asik menertawakan lukisan itu,tak sengaja Farid melihat sesuatu yang asing berjalan ke arahnya,’siapa itu’,pikirnya berusaha mengingat-ingat apakah sepuluh tahun lalu ia telah melewatkan pemandangan seperti ini, seorang gadis baru saja lewat,ia memakai baju putih berlengan panjang hingga menutupi sebagian jarinya. penampilannya menjadi lebih anggun dengan bawahan yang hampir menyentuh lantai,kemudian terlihat lagi, berjalan kea rah mereka, dia membawa nampan dengan beberapa suguhan.”Apa dia itu pembantu p.imran, ah tapi apa mungkin pembantu kok cantik kaya gitu.Langkahnya berhenti tepat di samping p.imran.kemudian meletakkan apa yang di bawa tadi. ”Silahkan mas”, ucapannya di teruskan dengan senyum yang menawan.Farid berusaha memperhatikan dan mengingat-ingat lagi siapa gadis itu,apa mungkin itu istri muda p.imran,”Ah gak mungkinlah” pikirnya dalam hati. Tak beda dengan Farid, Deny pun bertanya-tanya siapa gerangan gadis cantik itu, apa mungkin itu lutfi yang dulu sering kami gendong itu.”Kalian ingat siapa ini?, sambil tangannya memegang pundak gadis cantik itu. Pertanyaan p.imran segera membuyarkan pikiran-pikiran mereka.

( Hening)..... “coba di ingat !,dia yang dulu suka nangis kalo pulang sekolah. Ini lutfi anakku le.”Masak pak,aku gak percaya”, sanggah Farid.”Betul sekali’,”aku sampe pangling”,deny menyahut.lutfi tersenyum malu,pipinya memerah menebarkan pesona indah. “Dulu itu kamu  masih kecil banget waktu aku sering maen ke sini”,lutfi masih dengan senyumnya yang menawan, “sekarang sudah besar kok mas“. ”Fi... tolong minumnya satu lagi,tolong juga ambilkan kacamata bapak,oya sekalian panggil ibumu, beri tahu kalo brandalan ayah datang “. Lutfi hanya mengangguk,kemudian meninggalkan mereka bertiga. “oh saya sampe lupa pak ,gimana kabarnya ibu? “Udah tunggu saja”,tak beberapa lama Bu Isna keluar sambil ngomel.

”Ya Allah....mana paak brandalan yang ibu kangenin?”. sambil agak tergesa bu isna berjalan,ingin segera ia melihat dua brandal itu.Farid berdiri kemudian cium tangan.kemudian deny pun melakukan ritual yang sama seperti sepuluh tahun yang lalu,tangan bu isna sudah mereka anggap seperti tangan ibu mereka sendiri.kemudian bu isna duduk  di antara farid dan deny,tangannya mengelus-elus bahu keduanya,matanya berkaca-kaca.”ibu kuangen  sama kalian berdua le”,hening beberapa sa’at,ternyata kalian masih ingat juga kepada bapak dan ibu.ibu sering mimpi kalian maen kesini.gimana sekarang kabarnya,cerita  to lee....sudah sukses ya? .begitu bersemangat bu isna meng introgasi kami berdua.”Ya Alhamdulillah bu,sekarang sudah jadi brandalan kelas kakap “.jawab Farid sambil pamer gigi.seketika tawa pecah di ruang tamu.”yang bener rid”,”baik bu”,”trus brandal yang satunya ini gimana kabaranya?”.” Alhamdulillah bu,saya sudah bisa lebih hebat dari farid”.

Bu isna agak keheranan mendengar ucapan deny,di perhatikan wajah mereka satu persatu,”lebih hebat gimana deng? Dengan sedikit malu-malu deny menjawab “saya sudah menikah bu”.

(Hening). . . . . pikir bu isna “aku tak bisa percaya,mereka menikah tak mengundang suamiku,pengen kualat mereka,apa munggkin ada yang nggak beres sehingga deny menikah lebih dulu,padahal menurut sejarah yang tidak tercatat,Farid adalah yang lebih berprestasi untuk menggaet gandengan di banding kompatriotnya itu.ah..mungkin saja yang di nikahi itu pacar si farid!.” O o... jangan-jangan deny merebut pacar kamu ya rid?” mata bu isna terarah kepada deny,pandangannya berubah seakan mencurigai ucapan deny,”sebab dari dulu yang ibu tau,Farid yang lebih jago kalo masalah wanita,bukan si deng-deng”.bu isna mengingat-ingat sesuatu,pada waktu masih belajar di rumah ini,sering kali ada gadis yang mencari farid hanya untuk mengantar makanan,meskipun farid tak begitu menghiraukan,tapi dari semua yang datang pasti memanggil dengan sebutan sayang dan kata-kata mesra lain,sampai-sampai farid pernah sembunyi,gara-gara ada tiga gadis sekaligus yang mencarinya.

Menjelang siang suasana ruang tamu p.imran tak ubah seperti panggung ketoprak.mereka saling adu banyolan satu sama lain.jika dalam tokoh ketoprak bisa dikatakan farid sebagai bagong,deny sebagai petruk,bu isna sebagai kanjeng mami,p.imran sebagai kanjeng romo,dan tentunya lutfi sebagai bidadari cantik yang nyasar membawa minuman buat kami.”nggak buk,si dendeng itu nikah karna lagi laku aja kali hehehe,ngak ngak,kami belum ada yang nikah”,ujar deny meralat ucapannya,” trus kapan nikah?”sanggah p.imran dengan mendongakkan kepalanya,” kapan-kapan “ farid menyahut dari seberang”,mereka tertawa lagi.”kalian ini masih seperti dulu,guyonnya nggak abis-habis”.ya.. siapapun di antara mereka yang nantinya menikah,aku akan selalu mendoakannya’ ucap Imran shaleh dalam hati,karena mereka adalah murid terbaikku sepanjang masa.”lihat bu,bapak dapat hadiah lukisan dari mereka”,imran shaleh menunjukkan lukisan wajahnya kepada sang istri.”sekarang Farid jadi penulis lo bu”,p.imran dengan tersenyum kecil memamerkan prestasi muridnya kepada sang istri.senyum bu isna merekah mendengar ucapan suaminya

”wahh kamu hebat ya”.

Ada perasaan bangga juga di hati bu isna,bukan hanya bangga karena Farid telah menjadi penulis,tapi kebanggaan itu juga untuk suaminya,p.imran yang selalu sabar membimbing dua brandal ini.”Fiii . . .  mana kacamata ayah? Sebentar yah.” Sahut lutfi dari dalam sambil merapikan kerudungnya di depan cermin. lutfi adalah gadis yang selalu menyibukkan diri di kamar ia jarang keluar rumah,kecuali pada hari hari kuliah.kesehariannya banyak di habiskan untuk membaca buku,atau kadang sesekali membantu ibunya.si cengeng kini tak lagi merengek seperti sepuluh tahun lalu.”ini mas brandal yang jadi penulis”,sambil memegang pundak kedua muridnya. pandangan lutfi tertuju pada keduanya,lutfi tidak terlalu yakin dengan ucapan mamanya. “ah ...apa mungkin dua orang ini jadi sehebat itu.padahal dia masih sangat ingat riwayat yang di ceritakan ayahnya.

Dulu ketika mereka masih sama-sama sekolah,sudah bisa di pastikan dua anak ini masuk daftar exkul ilegal,yaitu tidur,ngusilin guru dan berkelahi,lalu ibu bilang sekarang mereka jadi penulis,bener-bener nggak nyambung dengan ceritanya yang dulu.,tapi .....ah sudahlah,“oooo iya ma,tapi kok bisa ya,padahal dulu kata ayah kan kalian suka tidur kalo sekolah”.”loh... jangan salah Fi”.potong imran shaleh,farid menengok ke arah imran shaleh,merasa keheranan apa yang akan di katakan,apakah pujian atau hanya guyonan.”justru dari tidur itu mungkin dia dapat inspirasi, mungkin ini yang disebut penulis bangkit dari tidur ”.tawa pecah lagi di ruang tamu.seperti itulah keluarga Imran shaleh dari dulu hingga sekarang,meski dulu farid dan deny adalah murid paling nakal di kelas,tapi setelah berhadapan dengan Imran shaleh,anggapan itu perlahan hilang.

Dari semua yang berada di rumah p.imran,mungkin hanya lutfi lah satu-satunya yang berubah.lutfi yang dulu kami sebut si cengeng kini sudah tumbuh menjadi gadis cantik dan mempesona.”di minum mas tehnya” tukas lutfi di seberang meja.seperti sedang terjadi siklus diantara enam mata(deny,farid dan lutfi),agak lama juga moment saling pandang antara mereka bertiga.”i . . i iya iya” jawab keduanya hampir bersama’an.”oya mas.ibu sama bapak sering ngomongin kalian lo”.deny dan farid hanya menyimak ucapan lutfi.seakan mereka terbius dengan suara anak gadis sang guru.di sebrang lutfi merasa ada yang aneh dengan dua orang yang di samping ibunya.tapi perasaan itu berusaha tak di hiraukannya.”oya fi,lalu apa aja yang sering beliau bicarakan tentang kami?”.” Banyak mas.tapi yang paling sering itu cerita kalo aku dulu sering nangis.trus minta kalian yang gendong” .lutfi kembali dengan snyumnya yang menawan .”la trus sekarang kamu masih suka nangis nggak?” tukas Farid sambil matanya tetap memendang bidadari pengantar minum tersebut,”ya enggaklah”.

Matahari sudah di atas kepala,deny mengajak farid untuk pamit,karena mereka akan melanjutkan bersilaturahim ke rumah kawan-kawan lama.sebelum pulang bu isna dan p.imran memberi pesan,pesan yang sama seperti sepuluh tahun silam.”jangan bertengkar,jangan bikin onar,sebab kalian bukan pendekar”. kemudian mereka berjalan keluar dari rumah sang guru.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler