Skip to Content

Tarian Pengembara

Foto Yudi Tahjudi Sunas

Tarian Pengembara

 

Sore itu matahari seperti lampu petromak pada bukit-bukit yang terjal. Sama seperti jalan kehidupannya, ia melewati kenangannya dengan terjal dipenuhi cahaya pertromak yang samar. Ia menarik nafas perlahan, matanya berkaca-kaca, dan hidungnya di aliri ingus yang lumer karena kesedihannya. Dia terduduk di bangku yang sudah di sediakan dalam acara umum tarian tradisional antar Rt, barangkali ia menangis karena mendengarkan musik tarian tradisional yang kerap melaju cepat masuk ke dalam kupingnya. Tapi akankah musik-musik itu terasa akan lebih menyedihkan ketimbang air matanya yang sudah deras mengaliri pipinya.

            Dia tersayat hatinya, melihat seorang gadis muda belia yang bergemuruh memamerkan auratnya di atas nafsu para lelaki tua, muda, bahkan anak kecil sekalipun yang tak mengerti akan hal itu. Gadis muda belia itu menari tarian jaipong di atas panggung sederhana di depan mata para lelaki yang membawanya masuk kedalam curam kelam masalalu. Dia teringat akan akan perkataan putrinya yang sangat dia sayangi saat selalesai mementaskan tarian jaipongnya, “Ayah, kalaupun aku diperkosa atau pun di bunuh karena auratku yang kerap kupamerkan, itu semata kulakukan untuk membiayai kehidupan keluarga kita…….”Kata-kata itu timbul kembali ketika seorang gadis muda belia pentas di depan pandangannya.

            Ia semakin tenggelam, dia hanya menyaksikan tarian itu dengan penuh penghayatan akan kenangan bersama putri tercintanya. Namun ia merasa robek hatinya jikalau ia ingat akan sebuah fitnah yang pernah di lemparkan ke sekujur penghormatannya sebagai ayah, putri tercintanya memfitnah ia telah di setubuhi oleh ayahnya sendiri. Sungguh mati betinaku, lantunan musik jaipong pun seakan berubah menjadi lantunan suara mesin, berdistorsi, dan bergemuruh hingga terdengar ke kuping yang jauh sekalipun.

            Mungkin baginya duduk di antara banyak penonton dalam acara tarian tradisional yang bertempat jauh bahkan tak ia kenali nama kampungnya, adalah hal yang sederhana untuk menenangkan sekaligus menangisi kenangan pahitnya. Karena kejadian itupun sudah lima belas tahun lamanya terjadi dan selama itulah ia mengembara jauh dari tempat asalnya, namun hatinya masih hangus seperti kain yang terbakar lampu petromak. Kenangan dengan anaknya masih utuh tersimpan dalam laci-laci otak kanannya.

            Lemah gemulai tarian jaipong itu selemah harga dirinya saat ia di fitnah telah menyetubuhi anaknya sendiri, tangisnya tak kunjung reda saat ia menerima keadaan itu. istrinya menyuruhnya ia mengangkatkan kaki dari rumah yang baginya adalah zona ternyaman namun tak senyaman apa yang dia harapkan. Orang –orang sekelilingnya menuntut agar dia di arak keliling kampung, mereka semuanya seakan murka karena syetan dan iblis. Padahal kenyataan yang sesungguhnya dia sama sekali tak menyetubuhi anaknya sendiri. Bahkan tak perlu untuk di arak, ia berani menyerahkan dirinya ke polisi bila memang terbukti bersalah, namun apalah daya jika keadilan sudah tertutupi oleh kemurkaan iblis yang ingin tetap mengaraknya dan menghakiminya di tengah senja yang samar yang membuat ia kabur dari semua keegoisan itu.

            Semakin sesak nafas ini, dada seorang lelaki tua ini semakin sempit untuk mengambil nafas dalam –dalam. Ia tak membenci anaknya, namun ia membenci istrinya, yang kian menyudutkannya pada kesalahan yang seakan-akan itu benar adanya. Juga pada seorang lelaki kerabat dekatnya yang saat itu menumpang satu rumah dengannya, entah mengapa kerabat dekatnyapun ikut membencinya. Namun ia masih tetap sayang pada anaknya sekalipun ia di fitnah oleh mulut busuk anaknya sendiri. Yang ia yakini hanyalah, rasa sayang akan selalu bersama melindungi kehidupannya, sekalipun langit jatuh dan terendam bersama teriakan orang-orang yang berada dineraka, namun rasa sayang akan mengabadi membawa cahaya yang terang ketika dia di alam kubur nanti. Rasa sayang itu hanya ada pada anak semata wayangnya, bukan kepada istrinya juga kerabat dekatnya.

 

“Ayah, terima kasih telah mngajariku bermimpi. Terima kasih untuk semua tari yang kau beri, kelak suatu hari ini akan selalu menjadi abadi dalam kehidupanku nanti”

 

“Iyah nak, tarian ini adalah warisan satu-satunya yang ayah punya. Jangan pernah menyesal jika hidupmu nanti hanya diwariskan tarian jaipong sederhana, karena kelak kesederhanaan yang sudah ayah berikan akan mengantarkamu di kehidupan yang jauh lebih indah dari ini”, jawabnya sambil mengelus kepala putri kesayangannya.

 

Tergumam dia mengenangnya, penari jaipong belia itu yang menari di hadapannya kian melarutkan perasaannya seperti gula yang terendam air panas. Barangkali ia harus bangkit dari tempat duduknya kemudian mengusap air matanya dan membersihkan ingus lumernya, dia harus menghibur dirinya sendiri dengan kehebatan yang ia punya. Tarian jaipongnya adalah hal yang bisa melupakan segala keluh kesah yang ada dipikirannya. Ia merasa harus melupakan perkataan anaknya yang barusan ia nostalgiakan saat bersamanya. Kini ia merasa harus bangkit dan menari dengan pakaian kemeja kotak-kotak dan celana jeans yang tak resmi untuk sebuah tarian jaipong dan berduet dengan seorang gadis penari belia yang serentak mengingatkan kenangan bersama putrinya.

 Tangan dan mata gadis belia itu seakan menantang nafsu lelaki  tua itu untuk turun, goyangan pinggul ke kanan dan ke kiri seolah memberikan tanda bahwa gadis belia ini inginkan gairah yang lebih dari tariannya. Semakin panas lelaki tua itu untuk turun menghibur dirinya karena tantangan dari penari belia itu. Akhirnya keahliannya sebagai budayawan tari jaipong pun di turunkannya. Penonton yang melihat bertepuk tangan yang semula melarangnya untuk turun berduet tari dengan gadis belia itu, lemah gemulainya tarian gadis belia itu pun akhirnya terkalahkan olehnya.

Tak ada gairah, tak ada nafsu, dan tak ada birahi bila seorang lelaki yang harus memainkan tarian ini. Yang ada hanya keindahan seni tari warisan budaya negeri. Rasa kenafsuan penonton yang semula menaik hingga titik klimaks pun akhirnya turun kembali, dan penari belia itu terengah selolah takjub pada tariannya.

 

“Bapak hebat, aku suka gerakan bapak”,

 

“Saya tau itu, kamu lebih berbakat dari saya nak”,

 

“Bolehkan setelah ini aku temui bapak dibelakang panggung ?”,

 

“Oooooh sangat saya perbolehkan, saya sangat suka dengan orang yang mencintai seni tari…..”, kemudian semua kesedihannya pun terhapuskan oleh tariannya yang di akhiri dengan senyuman manisnya kepada gadis belia itu.

 

* * *

Malam semakin sepi, angin membawa kenangan dan terus membasuhku dengan perlahan. Gadis belia itu mendatangi aku yang kian kesepian di bangku taman yang sendu, dia menanyakan tentang diriku, tentang kemahiranku menari tarian budaya, dan tentang seluruh isi yang ada dalam hidupku. Hanya aku dan gadis belia dihiasi lampu taman sebagai penerang kerutan pipi saat berbincang.

Gadis belia itu nampaknya sangat suka denganku, sangat nyaman, dan sangat ingin selalu berbicara minta nasehat padaku, walaupun baru beberapa hari dia mengenalku. Gadis belia itu mengaku padaku bahwa ia tak pernah memiliki sosok ayah, dan hanya ibu yang dia miliki untuk dijadikannya sekaligus seorang ayah. Aku terharu, barangkali aku bisa menyebutnya anak, atau mungkin anak angkat yang akan kuperlakukan dengan kebijaksaan seperti seorang ayah kandung.

Aku beri dia nasehat, mungkin sedikit bisa membuat hatinya sedikit teduh. Aku berkata padanya bahwa aku pun bisa dijadikannya seorang ayah bila mau. Mendengar nasehat dan pernyataanku gadis belia itu hanya tersenyum dan berkata “Mungkin bapak bisa saya jadika seorang ayah yang tetap selalu bersama saya, nanti aku minta pada ibuku agar dia menikahimu”.

Gadis belia itu kemudian pergi, berjalan perlahan dan kemudian melambaikan tangan. “Esok kita bertemu lagi”,Katanya dengan suara yang keras.

 

* * *

 

Tetesan embun dari atas pohon membangunkan aku dari lelap. Cahaya silau matahari menyorot pada sosok seorang wanita muda,tinggi berambut panjang dan yang satunya terlihat Nampak seperti wanita remaja. Sekejap aku melihat sekelilingku dengan penuh ketidak sadaran, seperti mimpi rasanya ketika aku memperjelas pandanganku yang ternyata wanita muda, tinggi berambut panjang itu adalah anakku dan wanita remaja adalah wanita yang tadi malam berbincang dengaku. Ya ampun. Matahari menggampar pipiku, matahari menyorot sosok wanita muda, tinggi berambut panjang  yang aku rindukan lima belas tahun lamanya. Dan akupun percaya. Tak kusangka raut pipiku yang kian mengkerut ini terbasuh kembali  bukan dengan air mata kenangan, melainkan air mata bahagia.

Dia bersujud kepadaku, mencium kakiku yang tak beralaskan dan berbau busuk sebusuk-busuknya. Dia menangis dan memeluk tubuhku yang tak berbaju layaknya baju orang normal, dan masih saja baunya pun busuk sebusuk-busuknya. Dia mencium pipiku, dan membisikan kata maaf di telingaku yang banyak kotorannya dan mungkin itupun busuk. Aku berkata “Ternyata kamu masih menyayangiku. Aku kira, di dunia ini orang tak lagi peduli dengan keadaanku”,Sambil menangis terseduh-seduh aku berbicara di muka putriku.

Kemudian gadis belia yang kusebut anak angkatku hanya berdiri dan tak mengerti apa yang ia saksikan, ia adalah anak yang polos yang belum mengerti apapun tentang semua ini. Dia hanya berkata,”Aku memang tak mengerti sepenuhnya tentang tangisan kalian, aku hanya mengerti semua itu dari air mata. Dan hanya akan kusaksikan lewat hati, yang selalu menjadi bendungan semua itu”. Dan dia adalah cucuku, cucu yang membawa kesialan untuku, hingga aku harus pergi mengembara dari pijakanku yang sebelumnya indah. Betapa sedih jiwa-jiwa lelaki setuaku ini. Aku semakin sesak, dadaku terhimpit, mataku tak habis-habisnya menumpahkan air mata darah. Aku menangis.

Putriku bilang padaku, jangan pernah kembali lagi ketempat yang dulu pernah ada tawa dan tari bersamanya. Karena istriku sudah murka denganku, namun aku tetap menjadi ayahnya sampai kapanpun. Selama ini dia mencariku, lewat angin yang mngharumkan wangi-wangian tentang kesedihanku, lewat malam yang menggelapkan perasaanku, dan lewat kicauan burung yang mengitari langit pertiwi ini. Dan pada akhirnyalah gadis belia itu sendiri yang menemukanku lewat tariannya lusa lalu. Putriku bilang padaku, selama ini istriku sudah muak dengan tarianku saat itu, yang hanya mendapatkan kehormatan sebagai budayawan seni tari, namun uang dari hasil kerja sebagai budayawan tari tak ada. Putriku bilang padaku, selama itu ketika aku difitnah dialah dalang dari semua itu, karena dia ingin meninggalkan aku dengan cara yang berbeda, yang bisa membuatku sakit seperti orang-orang gila diluar sana. Dan putriku bilang padaku, bahwa istriku sengaja menyuruhnya dan memaksanya untuk memfitnahku. Dia sengaja dijual kepada kerabatku sampai saat ini dengan bayaran yang berlimpah seumur hidupnya. Namun kerabatku adalah bajingan yang paling jalang yang pernah aku temui dari antara bajingan-bajingan manapun, bahkan dia lebih busuk dari bangkai babi sekalipun. Putriku bilang padaku, bahwa ia akan selalu merindukanku sepanjang masa, sepanjang aku hidup di dunia ini meski aku tak bersamanya lagi. Putriku bilang, “Cinta yang paling tulus adalah cinta dari seorang ibu sekalipun bila cinta dari seorang ibu tak mampu diharapakan lagi dan membekas menjadi neraka”,Ia terpaksa melakukan fitnah kepadaku karena ibu, namun bukan berarti ia lebih mencintai ibunya, melainkan pikirnya yang hanya bertuju pada satu pemikiran bahwa surga ada di telapak kaki ibu. Mungkin cara berfikinya salah, ataupun mungkin semuanya sudah takdir. Dan putriku bilang padaku, bila nanti aku ingin mengenangnya, kenanglah dia segemulai dan seindah tarianku. Dan putriku juga bilang bahwa anaknya akan mengecup keningku sebagai tanda perpisahan bahwa aku bukanlah ayahnya, melainkan kakeknya. Dan ayahnya adalah seorang bajingan jaman dulu yang tau diri.

Namun di saat kecupan dari seorang cucuku mengelus kepermukaan kulitku, desakan nafas yang tak asing menembus jantung dan memompa darahku semakin kencang. Bertabrakan. Hingga darahku berhamburan dilepas pantai yang luas. Suara itu muncul, suara benci dan suara fitnah itu datang dengan tiba-tiba mengoyak paru-paruku, menyobek seluruh isi perutku, dan mengeluarkan isi bola mataku dari kelopaknya. “Dasar pemerkosa, dasar penjahat kelamin !!!”,Tukasnya menggema ke seluruh jagat raya. Istriku ternyata tahu putriku mendatingiku, dia marah, geram segeram batu karang, tak selemah tarianku yang gemulai sedikitpun. Dia murka semurka syetan di jagat raya. Dia menunjuku dengan tangan kirinya, kemudian memanggil kerabatku dengan tangan kanannya. Kerabatku tersenyum nakal, dia bertandang ke pelaminanku dengan wajah busuk. Dia membawa raja dari segala uang, uang manapun ia punyai. Rupiah, dolar, ringgit, yen, bahkan uang jaman belandapun mungkin masih ada ditangannya. Kerabat busukku geram, tapi dia tak menghantamku, dia hanya diam mungkin karena merasa bersalah. Namun istriku mulutnya lebih busuk dari bau-bau tahi yang ada dalam jamban. Tak kepalang malu, tak tau malu, tak malu-malu istriku tetap ingin uang yang lebih besar dari kerabatku. Kerabatku bilang, pergi saja kamu, usir saja dia, bunuh saja, uang akan kuberikan sebsar-besarnya melebihi bukit emas sekalipun, karena aku pun masih tetap ingin membeli putrimu.

Aku melawan, kukeluarkan tarianku dengan cara yang tak gemulai. Aku kuatkan kuda-kudaku, aku hantam perut si bangkai babi busuk yang berbicara dengan menggunakan uang. Kenapa aku harus takut, dia hidup hanya karena uang, budi pekertinya tak sekalipun seimbang dengan banyaknya uang yang ia dapatkan. Tak adil, seharusnya aku yang di posisi itu. Tapi malaikat membisikanku jangan syirik. Aku geram, aku lari, massa mengejarku, ingin mengaraku lagi, aku dituduh pencuri kelamin lagi, aku masih kuat berlari dan akupun akan mengembara lebih jauh lagi. Putriku menangis, lirihnya menyelamatkan aku dari pengejaran selama ini. Lirihnya membuatku kuat melewati pahitnya garis hidupku. Cucuku yang tak mengerti terus memanggil, mencoba melindungiku dengan tangisannya seperti tangisan putriku, isak tangisnya membius orang-orang yang tengah mengejarku. Isak tangisnya membunuh keeogoisan para babi jalang itu. Aku akan merindukan tarianmu wahai putriku, aku akan merindukan tarian cucuku yang telah menjadi pewaris ibunya. Dan suatu saat ia akan selalu menganggap surga ada di telapak kaki ibu dengan pengertian yang salah seperti pengertian ibunya.

 

“Pergi kau lelaki gemulai, pergi dari kehidupanku, pergi dan jangan kembali dengan tarianmu. Pergi dan jangan kembali membawakan kehidupan kosongmu”

 

Bibirku pahit mengelu, mengenyam keadilan yang kian nyata sembilu, perahu rinduku kandas di terpa badai, di lepas samudera kenangan yang jauh melebihi atlantik. Aku seakan terpuruk, melebihi lelahnya seorang pemabuk. Aku hanya berdiam dan mencoba melangkahkan kakiku kembali dan kemudian terus berlari.

Betapa remuk jiwa-jiwa seorang lelaki tua ini, akupun kemudian pergi dari taman yang indah itu. membawa sebilah pisau kebencian akan kerabatku, istriku, dan membawa sebekal tarian untuk hidup dalam pengembaraanku. Ternyata uang adalah tuan bagi siapapun yang menganggapnya tuan, dan uang pun bisa memberi fitnah padaku. Dan mungkin hanya satu telapak kaki saja yang mungkin harus kita jadikan pacuan untuk masuk kedalam surga nanti. Itu benar. Sunggung mati betinaku, uang yang telah merobohkan tiang keluargaku dam kultur budayaku termakan pula. Kerabatku adalah tuan dari segala uang. Aku akui itu. “Allah selalu bersamaku”,gumamku sambil menengok kebelakang dan mereka pun sudah tak ada.

 

 

Bogor, 18 Desember 2012

Kado kasihku untuk seorang ayah.


hhf

Komentar

Foto Yudi Tahjudi Sunas

Berikan testomi tentang

Berikan testomi tentang cerpen ini !!!

Yudi Tahjudi Sunas

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler