Skip to Content

TOHA

Foto Wahyu Barata P.

TOHA

Cerita PendekWahyu Barata P.

 

       Toha (19) anggota kompi 2 Barisan Banteng  Republik Indonesia yang bertubuh kecil bercada dengan Hadi Saputra anggota kompi 4 Barisan Banteng Republik Indonesia yang dipimpin komandan batalyon Rachmat Sulaeman dan komandan resimen Soetoko.

       “Ayo lawan aku, kalau aku kalah ambil saja nasi bungkusku!” Toha menantang Hadi Saputra.

       “Masa melawan orang tua?” tolak Hadi (36) yang memiliki dua anak. Toha hanya tertawa. Setelah adu panco pukul 17.00 mereka dan pasukan pejuang Republik Indonesia lain naik kereta api dari Ciparay ke Baleendah menuju front untuk bertempur.

       10 Juli 1946, merah surya menandakan senja akan meninggalkan hari. Semilir angin mengantar dharma suci sebelas pemuda pembela bangsa sejati. Di saat tunas-tunas harapan negri merdeka mulai tumbuh bersahaja, namun di serang dan ditindas agresi penjajah yang ingin kembali berkuasa di bumi Pertiwi.

       Mereka terbagi dalam dua regu, masing-masing bersenjatakan karaben, pistol, dan dua atau tiga granat tergantung di pinggang. Regu pertama dipimpin  Mohammad Toha terdiri atas lima orang dari Barisan Banteng Republik Indonesia, yaitu Mohammad Toha, Iwan, Jojon, Suntama, dan Muin. Regu ke dua dipimpin Akhmad, terdiri dari enam orang, tiga orang dari Pangeran Papak masing-masing Akhmad, Memed, Wakhri. Tiga orang lainnya dari Hizbullah adalah Ramdhan, Warta, dan Idas.

       Mereka menemui Sayyid Abbas Makbul pemimpin pertahanan Barisan Pemberontak Republik Indonesia seksi Pasir Cina, di sebrang sungai Citarum sebelah timur Dayeuh Kolot.

       “Kepala Barisan Pemberontak Indonesia, Bapak Mohammad Rivai, memerintahkan kami untuk meledakkan gudang senjata dan mesiu Belanda di Dayeuh Kolot.” lapor Toha.

       Setelah melapor mereka pun menikmati waktu luang beberapa saat saja. Dari sinar mata mereka tampak mereka telah siap berjibaku jika dalam keadaan terdesak. Tetapi mereka tidak membawa perbekalan untuk makan malam. Abbaspun mengalah, diberinya mereka jatah nasi bungkus pasukannya yang diterima terbatas dari dapur umum di Ciparay.

       Malam itu komandan Barisan Pemberontak Republik Indonesia, Mohammad Rivai memeriksa pertahanan seksi Pasir Cina. Ia mendapat laporan dari Abbas, dan segera memerintahkan, “Deking pasukan Toha sampai ke tempat penyebrangan!”

     Malam semakin larut dan cuaca semakin dingin. Para pejuang tertidur kelelahan kecuali Abbas dan Toha yang tidur-tidur ayam. Mereka menanti waktu yang sudah ditentukan. Di keheningan, tiba-tiba Toha mengungkapkan isi hatinya. Ia seolah  sudah bias membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Kepada Abbas yang yang sedang tidur-tiduran di sebelahnya, ia menyampaikan pesannya, “Kang kalau saya gugur, sampaikan salam maaf saya ke Emak. Tolong jelaskan, saya ikhlas menjalankan tugas ini demi kepentingan tanah air dan bangsa. Titip Emak ya Kang!”

       “Ya nanti pesanmu Akang sampaikan! Tapi buat pacarmu ada pesan tidak?” jawab Abbas.

       Dengan suara agak parau karena mengantuk, Toha mengiyakan seraya mengungkapkan janji kepada pujaan hatinya, “ Iya Kang, tapi saya sudah janji tidak akan menikah kalau kemerdekaan belum tercapai sepenuhnya.”

       Mereka akhirnya terdiam dibalut perasaan masing-masing. Toha sering diam melamunkan cintanya yang tak kunjung berbalas dari Euis Salamah, cinta sejatinya. Di kala mau tidur ia selalu menceritakan gadis pujaan hatinya itu.

       Tengah malam lewat 30 menit, pasukan Mohammad Toha dilindungi pasukan Abbas mulai bergerak ke tempat penyebrangan di Dengklok, letaknya sangat dekat dengan gudang senjata Belanda yang jadi sasaran utama. Sebelum menyebrangi sungai Citarum Toha berpesan kepada teman-temannya, “Saudara-saudara, mungkin kita hanya bisa bersama-sama sampai pada pukul 02.30 pagi ini. Tapi, perjuangan jangan berhenti di tengah jalan. Teruskan sampai dapat kemerdekaan yang abadi. Kalau pada pukul 12.00 siang ini terjadi ledakan jangan harapkan saya kembali. Saya pasti sudah jadi abu.”

       Toha dan sepuluh temannya pun berenang menyebrangi sungai Citarum. Sementara pasukan Abbas bertahan di sebrang sungai. Toha hanya membawa korek api dan granat buatan Tasikmalaya. Setibanya di sebrang ia berusaha menggapai akar pohon yang menjuntai untuk naik ke atas tanggul. Empat kali baru ia berhasil meraihnya. Penyebrangan berjalan lancar, mereka selamat sampai ke sebrang.

       Sepuluh menit berlalu, tak terdengar apa-apa. Seperempat jam kemudian terdengar ledakan ranjau disusul tembakan senapan mesin. Setelah itu tidak terdengar tembakan balasan. Ramdhan gugur dan Sembilan orang lainnya menderita luka-luka. Mereka kemudian berusaha kembali sambil mengusung jenazah Ramdhan.

       Toha yang sudah siap berjibaku bertahan di pertahanan Belanda. Ia menderita luka-luka di bagian pahanya. Mengetahui keadaan itu, Mohammad Rivai berusaha menyusun strategi. Untuk mengalihkan perhatian musuh, pada pagi harinya pasukan Abbas melakukan serangan pengacauan dari arah lain.

       Pukul 10.00 terjadi pertempuran seru antara Belanda dengan pasukan Abbas. Dalam pertempuran, Akhmad dari Pangeran Papak, anggota penyusupan yang dipimpin Mohammad Toha memperlihatkan keberaniannya. Namun tubuhnya terkena tembakan peluru mitralyur musuh. Dalam keadaan luka parah, ia diangkut Belanda ke markasnya. Di sana ia diperas dimintai keterangan. Namun karena bungkam, ia dibuang ke Sabang, Aceh, walaupun luka-lukanya masih belum sembuh.

       Pertempuran berlangsung sampai lewat tengah hari. Sekitar pukul 12.30, tiba-tiba terdengar ledakan dahsyat yang menggetarkan alam sekitarnya, disusul asap hitam tebal yang membubung tinggi. Semua yang sedang bertempur terperangah, sangat terkejut.

       Gudang senjata dan mesiu yang dijadikan target Mohammad Toha hancur berantakan. Seluruh truk peninggalan Jepang di sana lumat dilalap api, termasuk dua kampong di dekatnya. Dilaporkan sekitar 20 orang tentara Belanda mati. Mesiu yang meledak kurang lebih 1.100 ton. Toha telah menyelesaikan tugas mulia.

       Menurut beberapa orang penduduk Dayeuh Kolot, orang pembakar gudang senjata dan mesiu itu tidak ditemukan. Yang ditemukan di sekitar gudang senjata dan mesiu itu hanya sepotong tubuh mulai pinggang hingga kaki dalam keadaan terbakar. Potongan tubuh lainnya entah di mana. Mereka tidak mengenalnya. Toha gugur. Belanda berusaha menutupi kejadian itu, dengan alasan itu terjadi bukan karena sabotase, tetapi karena kelalaian petugasnya.

 

Bandung, 20 Agustus 2012.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler