Di bangunan tinggi bekas gedung perkantoran,yang terbengkalai karena efek dari krisis ekonomi, dari perpecahan etnis, dari konflik beratasnamakan agama, dan dari perang atas nama kemerdekaan dan kebebasan. Tak tampak lagi warna cat pada dinding yang hampir semua retak, tak utuh lagi tembok yang menjadi sekat, retak hampir di seluruh dinding bangunan yang terabaikan. Pagi ini yang mati seorang gelandangan tua pengumpul botol minuman, mati terkapar dalam kardus yang biasa digunakan sebagai selimut, mati terkena disentri, malaria, dan dehidrasi. Para penghuni gedung yang mayoritas, gelandangan, pengemis, dan bocah pengamen tak begitu kaget melihat kematian yang tampak didapan matanya, selain keadaan seperti itu memang terbiasa, ditambah mereka malah mendoakan agar si gelandang tua lekas segera mati, bukan mereka kejam, justru iba rasa hati mereka melihat si gelandang tua yang renta, tiap malam meraung kesakitan, dan kelaparan. Apa boleh buat mereka tak bisa bantu, mereka juga sama susahnya mencari kesejahteraan.
Tak ada Tuhan ditempat ini, itu kata mereka. Dengan rasa derita, sakit bercampur bau busuk tak cukup lagi buat mereka untuk percaya tentang harapan apalagi Tuhan. Sebenarnya ada tempat yang lebih baik, dari pada gedung ini, tentunya lebih baik disini ibarat kotoran manusia dibanding kotoran sapi. Sama-sama kotoran namun lebih baik. Dan tempat yang lebih baik tersebut lumayan jauh, jaraknya kira-kira 68 KM kearah tenggara dengan jalan yang penuh ranjau juga duri. Dan mayoritas penghuni disana para preman, pelacur, dan para manusia berkepala kotoran. jadi kalo dipikirkan ya sama saja buruknya. Maka begitulah mengapa mereka para pengemis, gelandangan, dan pengamen cilik masih berdiam diri di gedung seram ini.
Ini seperti akhir dari namanya dunia, terasa bahwa kehidupan berakhir dengan cara ini, seperti tanpa campur tangan Tuhan, bukan bencana senyatanya, bukan karena bumi terbelah, bukan karena gunung berhamburan,bukan karena lautan membuncah, bahkan bukan karena matahari yang pecah dengan planet-planetnya. Hidup berakhir ditangan manusia, manusia yang berulah, manusia yang mati karena manusia, manusia yang mati dengan sendirinya. Gedung tua yang terabai, menjadi salah satu saksi dimana manusia punah secara tragis dengan hitamnya siang, gelapnya cahaya, kematian mengakar diantara udara yang dihirup manusia.
Ada gambaran indah yang masih tersisa. Diantara geletak mayat, tampak wanita paruh baya memeluk seorang anak dengan kasih dihiasi darah, yang tercampur dari kedua tubuh tak bernyawa tersebut.
Komentar
Saya ingin tahu
Benarkah?
Saya mengerti, akhirnya
Mereka sudah x_x
Tulis komentar baru