Skip to Content

UNTUK KITA

Foto Watowuan Tyno
files/user/5614/th.jpg
...

Magma jantungku gemuruh, lava meleleh, jatuh menggoreskan merah pada selaput mata, saat menatap cerita kita yang tak pernah lekang dari lilitan duri yang membelenggu. Ada decak ragu pada gontai langka menelusuri petilasan jejak mimpi yang nyaris suram, tak ada cahaya. Rasanya ingin segerah mengakhiri petualangan ini, berhenti di persimpangan jaln. Biar mereka yang tak henti-hentinya menertawai kita, selalu merasa menang dan paling hebat di jagat ini. Tapi rupanya itu terlalu pengecut buatku.

Lihatlah, kala senja menempel pada bukit" yang tak berpenghuni, ada rona yang terlukiskan pada atap langit, merah membara, dan kadang" lembayung, kemudian menampakan kidung kerinduanku untuk kalian yang ada di ujung pulau. Malam-malamku adalah catatan cinta. Karena cinta pula, kini aku layaknya anak ayam kampung yang telah kehilangan induknya. Dan aku tak pernah mengeluh. Aku masih berpetualang, mengais damai di tanah asing. Aku tidak sedang mengumbar janji, karena inilah saatnya aku yang memikul tongkat pangeran kesatria yang tak lagi setegar dulu.

Mungkin tidak sedikit orang berfikir, semua ini bagai alu pencungkil duri. Tak apa. Aku masih punya lilin fatwa sucimu pahlawanku. Ku pastikan tak akan padam cahaya itu, walau banyak setan yang selalu menggoda, banyak manusia munafik yang ingin meniupnya. Percuma meniup lilin orang lain, tak akan membuat lilinmu bersinar lebih terang. Bicaralah sampai mulutmu berbusa, tak pernah bisa menyurutkan langka ini. Ku anggap itu hanyalah sampa. Mungkin terlalu berlebihan, terlalu emosional, tapi sesungguhnya aku cinta damai, karena hadirku di tanah asing ini hanya ingin menggamit dawai damai. Tidak lebih dari itu. Cukup...aku tak mau bicara lagi soal ini. Lagi pula hari ini hari Tuhan. Nanti dibilang fitnah.

Aku mau merasakan embun pagi, tanpa ada beban yang ingin membelenggu jiwa. Aku mau menulis. Menulis apa saja yang ingin kutulis. Menulis sesuka hati. Karena judulnya pun judul-judulan. Tak mengapa. Dari pada membiarkan waktu berlalu hanya untuk menyapa mereka lewat inboks yang tak kunjung dibalas. Atau dari pada membaca status-status nysar yang hanya akan memperlambat lajunya tulisanku.

Aku selalu ingat, saat kita masih bersama. Terkhusus kau cinta pertamaku. Senyum iklas kepakan kedamaian di bibirmu, membuat aku ingin menjadi boca kecil lagi, biar terus ditimang dalam irama lagu syhadu. Mengingatmu, membuat aku seakan tak sanggup jauh darimu, dari kalian. Namun, rentang waktulah menyadarkanku, bahwa aku sudah terlalu dewasa. Biarlah aku sendiri menyelami lautan harapan dan menjelajahi samudera takdir. Bukan untuk diriku sendiri, bukan juga untuk siapa yang menjadi mitraku nanti, tapi semuanya intuk kita. Suatu saat nanti kubawakan damai dan tawa yang dulu pernah hilang dari genggaman kita karena ujian Sang sutradara kehidupan. Hidup ini srperti baling-baling yang sedang berputar. Tak perlu kita sesalkan apa yang pernah terjadi, tak usah cemas dengan apa yang sedang tetjadi, tak semestinya kita khawatir dengan apa pun yang akan terjadi nanti. Bulan dan matahari tak pernah meninggalkan bumi. Air laut tak pernah meninggalkan pantai. Begitupun Tuhan tak pernah meninggalkan kita. Harap dalam doa, tak perlu cemas. Aku tercipta tidak ingin menjadi manusia pecundang yang hanya tunduk pada imajiner tanpa makna. Apa jadinya, jika hidup ibarat baling-baling yang berputar mengikuti setiap penjuru angin, tanpa bisa bangkit setelah jatuh? Maka, sekali lagi, Kita tak perlu cemas!!!

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler