Skip to Content

Untuk Siapakah Itu Nanti?

Foto Veronica Um Kusrini

Untuk Siapakah Itu Nanti?

Kuletakkan puntung rokokku, tepat di atas asbak yang tersedia di atas meja berwarna coklat di teras depan tempatku tinggal. Angin semilir membawa terbang abu rokok yang masih menempel di pinggiran asbak, sebagian lagi yang tidak dapat terbang, terjerembab di atas meja, tapat di antara warna sulur coklat muda, corak meja kesayangan keluarga kami. Rokok, benda ini telah menemaniku sejak aku masuk SMA. Hampir semua anggota keluargaku yang laki-laki adalah perokok, tidak heran karena ayahku juga seorang perokok. 

Selain rokok, ada satu benda lagi yang menjadi kesayangan kami, mobil. Mobil yang bertengger di depan rumah kami belum lama kami miliki. Usianya sudah cukup uzur dengan daya juang yang agak payah dibanding dengan mobil-mobil keluaran terbaru yang sering digunakan untuk mengangkut penumpang online. Tidak masalah, minimal benda ini bisa mengukuhkan keberadaan kami di tengah kekurangan hidup yang bertahun-tahun kami alami sebelumnya. Dengan benda ini, beberapa mulut nyinyir berhasil terbungkam. Lumayan, meski dari segi manfaat, sebetulnya aku tak merasa cukup bisa merasakan manfaat mobil ini. Tapi aku juga tidak terima jika hanya dibuat sebagai pajangan, penjaga gengsi keluarga kami yang lama terhina oleh kekurangan dan kemiskinan.

Begitulah aku selanjutnya. Berawal dari mobil, kemudian aku merambah ke kesenangan lainnya, banyak kesenangan yang berlomba-lomba untuk bisa kurealisasikan. Salah satu yang belum kurealisasikan dan masih menjadi pertimbangan tentu saja pasangan. Ya, umurku sudah masuk tahun kelima puluh.  Cukup uzur untuk usia menikah, namun itu tak menganggu kenyamanku untuk hidup sendiri.

Dibesarkan dalam kondisi sulit dan kekurangan, membuatku merasa harus sangat hati-hati memilih pasangan. Kriteria pertama yang kutetapkan tentu saja satu : kehadirannya tidak boleh mengangganggu kesenanganku, entah kesenanganku akan rokok, mobil atau benda-benda lainnya. Aku ingin, perempuanku adalah perempuan pembawa rejeki bagi keluargaku, bukan malah mengurangi rejeki kami. Tidak, itu tidak boleh terjadi, karena itulah, beberapa kali kisah cintaku kandas. Perempuan-perempuan yang kupacari rata-rata ingin hidup di luar rumah kami, rumahku, rumah tempat aku memupuk kenyamanan dan kemewahan yang telah kubangun bertahun-tahun. Aku jelas tidak mau. Keluargakupun tidak mau melepasku. Mereka ingin istriku kelak tinggal bersama kami, mengurus dan menambah harta kami yang pelan tapi pasti kami kumpulkan.

"Bukankah, dalam Kitab Suci dikatakan, bahwa laki-laki akan meninggalkan bapak dan ibunya untuk bersatu dengan pilihan hatinya?" begitu tanya pacarku yang terakhir. Aku diam saja karena memang aku tidak mampu menjawabnya. Dia terlalu kritis dan cerdas untuk kujadikan istriku, belum lagi apa yang dia miliki pasti tidak akan menambah pundi-pundi keluarga kami. Ahh, lepaskan saja. 

"Mungkin belum jodoh" bisikku dalam hatiku sendiri. Sebuah bisikkan semata untuk membenarkan argumenku. Begitulah biasanya aku menenangkan diriku.

"Apakah ini yang dinamakan materailistis?" tanya pacarku yang sebelumnya. "Kamu enggan meninggalkan kenyamanan  dalam keluargamu dan tak ingin mencoba mandiri bersamaku?" lanjutnya. Ah tidak, aku tidak materali, apalagi materialistis.  Mana ada laki-laki materai, yang ada ya perempuan materai. Lagian apa yang kumiliki juga hasil kerja kerasku selama bertahun-tahun, salahkah aku jika mempertahankan dan ingin tetap memiliki serta menikmati bersama keluargaku yang kusayang? Bersama orang tuaku?

***

Lamunanku terganggu oleh batuk yang menyerangku. Serangan yang kian lama kian membuncah, membuat dadaku yang sesak semakin sesak saja dibuatnya. Abu rokok yang tadi terjatuh di meja beterbangan tak tentu arah terkena udara yang keluar dari mulutku, sebagian mengenai kembali wajah dan mulutku.  Ketika kuusap, kutemukan telapak tanganku berwarna merah. Yaa, rupanya batukku telah menghasilkan darah yang cukup kental, ini kuketahui setelah aku batuk lagi dengan cukup keras. Dadaku makin perih, perih dan sesak. Sulur ornamen di meja tempat asbak kuletakkan kini tak lebih blur dari sebelumnya.

Aku segera dibawa ke rumah sakit, entah oleh siapa. Aku sungguh tak berhasil mengingat apapun, kecuali sebuah kertas di dalam mobil, pun entah mobil siapa, bertuliskan "Kabar Gembira di Tengah Gaya Hidup Modern". Aku tidak tertarik dengan buku itu, namun perjalanan ke rumah sakit yang membutuhkan waktu lama, memasksaku untuk mengambil buku itu, sedianya akan kubaca untuk melupakan perih dan sakit di dadaku serta beberapa gumpal darah yang keluar dari mulutku. Kubuka acak buku itu, mataku terpaku pada satu kalimat "Tetapi firman Allah kepadanya : Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil darimu dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?"

Aku terkesiap. Dadaku makin sakit dan perih. Tenggorokanku kini mulai menegang. Hawa dingin merasuk pelan melalui ujung kaki, tangan, dan kepalaku, menuju ke satu arah yaitu jantungku. Sambil terus terbatuk, aku melihat bayangan rokok, mobil, rumah, motor, dan semua barang yang berhasil kubeli berarakan menuju entah kemana, sementara bayangan gadis yang kutahu amat pernah mencintaiku pun, hanya diam dalam kebekuan yang tak kumengerti, mungkin seperti ketidakmengertiannya dia terhadapku dulu, ketika aku enggan bersamanya hanya karena kenyamanan yang kurasakan di rumah. 

Entahlah, yang pasti, asbak dan abu rokok yang biasanya ada di teras rumah kami, kini tak ada lagi. Angin tak lagi membawa abu itu kemana dia suka. Corak coklat meja kami juga kini makin bersih. Aku tahu kabar itu dari Santo Pelindungku!

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler