Skip to Content

URIP SEPISAN MATI SEPISAN (10)

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

Banyak yang telah dipelajari lelaki hancur ini. Banyak yang ia alami. Makin dekat ke batas perjanjiannya ia main tenang berbaring di dahan. Dahan itu sekarang bukan hanya sekedar dahan. Itulah dirinya, itulah hidupnya. Jika pada beberapa hari pertama ua masih menjaga tidurnya untuk belajar menyimbangkan diri agar tidak jatuh, sekarang ia tidak terpengaruh lagi. Berat kanan kirinya telah menyatu dengan dahan, dengan batang, dengan ranting, dengan daun. Terutama dengan akar yang telah menancap dalam di tebing sungai itu.

Ia telah berjalan dambil memelototkan mata untuk tidak lepas dari perempatan dan belok kanan. Ia sudah paham bahwa di setiap perempatan  yang ditemuinya ia tidak bisa melepas bilangan tiga. Atau sebalinya sebagai perimbangan, ia harus paham tentag tiga sebelum menentukan empat.

Sinar matahari menembus dedaunan waru doyong. Ia senyum dan senyum terus. Sinar matahari bermain diwajahnya seiring dengan tarian dedaunan yang dihembus angin semilir. Kadang cahaya matahari singgah kadang terhalang.

Ada alunan baru dalam kalbunya. Menekan ingin keluar dari dadanya. Lagu sangat syahdu yang didapatnya dari perjalanan memahami empat dan tiga dan tiga empat.

Ia senyum dalam Allah merasakan nikmat cinta tak terlukiskan pada setiap suapan nasi putih. Hausnya terpenuhi ketika ia terbakar dan jatuh ke sungai dan hanyut sampai ke laut.

Di padang pasir ada tipuan fatamorgana. Pasir yang terlihat sebagai air. Disini tidak. Yang diminumnya air sungai. Air sungguhan. Bukan air-airan.

Surga betulan bukan surga-surgaan. Neraka betulan bukan neraka-nerakaan.

Ribuan anak-anak mengerumuninya. Ia terikat erat ke sebuah tiang kokoh. Ada yang telah mengikatkan kedua tangannya ke tiang itu sedemikian erat sehingga tangannya tk punya ruang gerak sedikitpun.

Anak-anak itu datang hanya dai satu arah depan saja. Ketika jaraknya masih jauh suara ribuan anak itu terdengar seperti teriakan gembira. Ia iangat suara seperti itu biasanya munvul ketika sedsng mandi di sungai atau ketika beramai-ramai mengejar bola.

Tapi ketika jaraknya sudah dekat suara anak-anak itu berubah menjadi suara geraman. Dan wajah anak-anak itu seketika berubah menjadi wajah-wajah yang mengerikan. Tubuh merek tetap seperti tetapi kepalanya berubah. Rambut gimbal, mata merah, ujung kuping runcing. Giginya berubah menjadi gigi taring semua.

Anak-anak itu bergerak dalam irama yang yang sama. Terlihat sepeti sebuah tarian. Kaki kanan terangkat, maju melangkah kemudian dengan cepat berganti dengan kaki kiri.

Pengembara ini diam. Menunggu apa yang akan terjadi. Pikirannya berjalan sehat namun dalam rasa ia masih timbul tenggelam.

Ribuan anak-anak semakin dekat. Hanya tinggal hitungan langkah. Dan ketika hanya tinggal selangkah semuanya bergabung menjadi hanya satu orang. Dan ia hanya bisa menjerit “Allahaaaaaaah ……….” Ketika kekuatan ribuan anak menjadi satu, kekuatan gigitan satu anak ini sama dengan kekuaran gigiran ribuan anak. Dan yang digigitnya sekejap sobek oleh kekuatan ribuan taring. Tajam menancap. Taring itu ikut bergerak seiring kepala yang bergerak seperti macan mengoyak perut kerbau.

Ia menjerit “Allah ………… .”

Gigitan itu dihentak merenggut. Lalu bagian kemaluannya hilang digerogot. Kemudian anak yang satu itu perlahan kembali berubah menjadi banyak. Semakin banyak semakin ramai teriakan mengerikan yang terdengar. Tiap kepala berusaha mencicipi daging yang sedikit itu. Mulut-mulut kecil penuh darah.

Lelaki hancur hanya bisa menunduk memandang lubang di antara dua pangkal paha. Lubang luka dengan darah mengalir membasahi paha dan betisnya, Sampai di tanah akiran itu membeku menjadi darah beku hitam berbau.

Tidak lama kemudian ia merasa dingin. Lalu ia kedinginan. Badannya menggigil hebat.

“Allah Allah Allah Allah ………”

Sebuah kereta dengan empat ekor kuda berhenti. Pengendara kereta itu merangkap sais. Perempuan cantik bermahkota emas. Turun dari keretanya lalu membebaskan ikatan.

Seperti mengangkat secuil kapas tubuh lelaki hancur ini diangkat kemudian dibaringkan di keretanya. Wanita cantik itu melecutkan cambuk. Bunyi lecutannya mengejutkan kuda. Kuda merah, kuda kuning, kuda hitam dan kuda putih bagaikan bersayap. Kaki kuda itu tidak menyentuh tanah. Kuda dan kereta terbang melayang. Tinggi dan semakin tinggi. Menembus awan

Lelaki hancur terbangun. Ia berada di sebuah ruangan indah berkilau terang yang berasal dari batu-batu mengkilap pada dindingnya.

Perempuan cantik itu berada didekatnya. Lelaki hancur mencium wangi yang masuk jauh menusuk kalbunya. Dari bejana perak di tangan kanannya ia menyiramkan air ke bagian yang luka.

Wanita paruh baya yang menjadi majikan lelaki gagah terengah-engah dalam pelukan garang. Pelukan yang nyaris meremukkan tulang bahu dan tulang rusuknya. Lelaki gagah sudah lama tidak hanya sekedar pelayan di toko bangunan. Ia telah menjadi pelayan di ranjang yang sudah lama dingin. Tungku yang sudah lama tidak dipakai memasak.

Wanita paruh baya ini sudah tidak sembunyi lagi dari suaminya yang sepanjang siang dan setengah malam hanya duduk di kursi roda. Ketika ia mau ia sudah merasa tidak ada dosa lagi memanggil lelaki gagah ke kamarnya. Sudah sangat sering ia memangggil saat suaminya sedang menonton televise di ruang tengah.

Baru saja ia melepas telekungnya sehabis shalat isya ia memanggil lelaki gagah untuk minta dipijatkan punggung. Dari punggung yang hanya dijadikan basa- basi pindah ke pinggang. Selanjutnya mereka berdua bagaikan orang yang tidak pernah kehilangan haus meski air dituangkan ke tenggorokannya.

Kalau tadi ia dipeluk garang kini yang kedua kalinya kakinya lurus bagaikan sepasang tiang dipegang erat oleh lelaki gagah. Dan tenaganya habis, tubuhnya lemah lunglai ketika air dari dua gelas ditumpahkan bersama dalam sebuah wadah.

Lelaki gagah tidak berlama-lama. Ia duduk menunggu sampai majikannya memberinya uang. Lalu ia keluar. Di ruang tengah ia dipandang tajam oleh leaki di kursi roda.

Selalu begitu. Ia selalu menerima uang. Majikannya yang memberinya janji. Apa artinya uang bagi majikannya yang pundi-pundi uangnya padat. Dari laci ia meraih seberapa saja terambil.

Wanita paruh baya yang baru saja kehilangan haidnya merasa untung karena ada lelaki yang mau menyentuhnya. Apalagi jika ia ingat saat di desa ketika mereka berdua membeli jongjing. Di hutan, meminjam ruang tengah tukang kayu langganannya lelaki gagah melayani kemauannya yang aneh.

Kemauan aneh itu ditularkan oleh suaminya. Dulu ketika suaminya masih bisa melayani ia merasakan sensasi luar biasa. Setiap akan mengakhiri pendakian suaminya membalikkan tubuhnya dengan paksa. Mengangkat badannya untuk bersikap seperti anjing. Dan suaminya menyelesaikan adegan lewat pintu belakang.

Awalnya ia menjerit-jerit menahan sakit. Tapi sakitnya hilang ketika keesokan harinya dia disuruh ke bank untuk menyimpan uang atas namanya sendiri.

Berikutnya puluhanjuta demi puluhan juta rekeningnya bertambah. Dan ujungnya adalah semua uang modal dan untung perusahaan masuk ke rekening sang isteri.

Kebiasaan suaminya menular secara tidak sadar. Dengan lelaki gagah ini dia sangat ingin merasakan kembali sensasi jalan belakang setiap kali mereka berlomba. Keinginannya hanya dilayani sekali ketika di hutan.

Lelaki gagah itu mau karena ia langsung dihadapkan kepada segepok uang. Melihat gepokan uang dan ingatannya kepada Diyah ia meladeni. Ia disuruh berlari kencang, sekencang-kendangnya. Pada detik-detik puncak ketika lelaki gagah itu akan sampai ke puncak ia melepasnya kemudian dengan mulutnya ia menghisap sambil kedua tangannya mengurut. Ia senang bisa menghisap kering sambil menyaksikan lelaki gagah kelojotan dengan mata membelalak ke langit-langit.

Diyah sesekali ingin juga seperti itu. Entahlah. Mungkin kenangan nyamannya menetek tersimpan terlalu dalam di alam bawah sadarnya.

Kini lelaki gagah itu di rumah Diyah. Terbaring di kasur busa di lantai. Lelahnya berlari bersama majikannya masih ada. Lalu lelaki gagah itu memecah kebisuan .

 Diyah yang lelah karena muntah berhari-hari dan tidak masuk keperutnya selain air, terkejut.

“Bayi ini anak siapa Yang?”

Diyah bangkit dari baringnya menatap lelaki gagah.

“Kok Mas bilang begitu sih?”

Lelaki gagah memainkan putting tetek Diyah. Ia senyum kecil.

Diyah menggelinjang.

“Aku hanya bertanya. Boleh ‘kan? Kamu punya suami meski sekarang entah dimana, Aku hanya suami bohongan. Selain dengan aku kamu juga main ini dengan suamimu ‘kan?”

“Mas, bahwa aku punya suami itu benar tapi jika Mas berpikir tentang aku bermain dengan suami, iu tidak benar.”

“Kok bisa begitu …?”

“Suamiku tidak bisa Mas. Ia hanya terlihat gagah. Ia sama sekali bukan lelaki.”

Lelaki gagah itu diam. Tapi tangannya tidak diam. Perlahan menarik Diyah lebih dekat, Melekat. Diyah mulai menahan nafas.

“Mas adalah lelaki yang pertama yang memakai aku. Yang pertama menjadikan aku seorang wanita.”

 


Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler