Skip to Content

URIP SEPISAN MATI SEPISAN (12)

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

Matanya yang cekung yang tadi dipenuhi air mata hingga mengalir membasahi pelipisnya kini dipenuhi air mata lagi. Tangis apakah ini. Ia tidak tahu. Yang dirasakannya adalah dadanya yang terasa luas dan lepas.

Ia berjuang terus menghidupkan jasad kakunya yang kini sudah mulai lemas. Setelah berhasil menggerakkan telapak kaki ia mencoba menggerakkan lutut.

Dan akhirnya ia bisa duduk berpeluk lutut di dahan itu tanpa rasa takut akan jatuh.

Desir dedaunan bamboo tiba terhentak oleh suara deru motor. Deru itu semakin dekat dan persis di pohon tempat ia berada satu motor berhenti. Dua lainnya melaju kencang. Yang membonceng turun dengan sangat terburu. Kedua pengendara motor itu tampak cemas. Berkali-kali menengok ke arah mereka datang. Tampak khawatir dikejar.

Celingak celinguk mencari sesuatu pengendara motor yang turun itu dengan mudah mendaki dahan dan mengambil karung putih di sela dahan. Karung yang dibawanya dimasukkan ke dalam karung putih. Dengan cekatan ia menuruni tebing kemudian menyelinap ke lubang di bawah akar pohon waru raksasa itu. Kecepatannya geraknya ternyata kalah gesit oleh motor-motor yang mengejarnya. Suara motor yang mengejar semakin jelas terdengar.

Mendengar suara motor pengendara yang masih di motor berteriak menyuruh kembali ke tebing. Setelah sekali terpeleset ia berhasil naik. Baru saja ia duduk di belakang pengemudi terdengar tembakan dan ketika motor di gas untuk berangkat, tubuh itu bukan terbawa tapi jatuh telentang.

Letusan-letusan berikutnya membuat tubuh yang seorang lagi jatuh, Sebelum jatuh kendalinya liar. Tubuhnya jatuh di tepi sungai dan motornya melaju limbung terjun ke sungai.

Dua motor diperintah untuk mengejar. Satu motor diperintah untuk kembali. Satu motor dengan dua pengendara tetap berada disitu. Dengan gerak siaga dua yang tertembak diperiksa. Keduanya mati.

Kurang lebih satu jam kemudian dari kejauhan terlihat sebuah mobil. Dua mayat dibawa. Dua orang masih berada disana. Keduanya dengan seksama melihat bahkan memeriksa hampir tiap jengkal tanah di sekitar itu. Hari mulai gelap baru mereka berangkat.

Gua kecil di bawah pohon waru raksasa luput dari pencarian. Dan sungguh lelaki hancur tidak menyangka. Keberadaannya di dahan waru itu sama sekali tidak terlihat oleh mereka yang datang.

Yang mengejar tidak melihat. Yang dikejar juga tidak melihat.

Malam tiba dan ini adalah malam terakhir ia berada di rumah damai dahan waru doyong. Hari ke delapan malam kesembilan. Jika ia hidup maka hidup dan jika ia mati maka mati.

Langit malam terang. Banyak bintang. Kemerlip gemintang hanya dilihatnya sebagian. Daun-daub lebar yang tenang tanpa angin menutup pandangannya untuk bisa melihat langit utuh.

Ia kembali berbaring. Satu hal yang sesekali masuk ke alam perasaannya berubah menjadi pertanyaan dalam alam pikirannya. Ia sangat yakin bahwa ia melihat 3 motor dengan 6 pengendara, 2 motor dengan 4 pengendara melaju cepat meninggalkan 1 motor dengan 2 pengendara. 1 motor lenyap ditelan air dan 2 pengendaranya mati.

Kemudian datang lagi 4 motor dengan 8 pengendara. 2 motor dengan 4 pengendara melaju mengejar, 1 motor dengan 2 pengendara kembali ke arah datang. 1 motor dengan 2 pengendara mencari-cari. 1 mobil dengan 2 pengendara membawa mayat. Kejadian itu menyampaikan pesan yang aneh dalam pikiran dan perasaannya.

Ada 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8. Kemudin bilangan itu menari-nari menjadi 1 berpasangan dengan 2, 2 berpasangan dengan 4, 3 berpasangan dengan 6, dan 4 berpasangan dengan 8. Ada bacaan yang tidak bisa dibacanya.

Ia pernah mendengar angka-angka ini dari lelaki yang menunjukkan jalan ini dalam sebuah pembicaraan rahasia sebelum ia melangkah berperang menuju hidup atau menuju mati.

Renungannya tentang bacaan itu hilang. Berganti dengan suara rintihan dari arah jalan tanggul. Rintihan kesakitan. Suara jauh itu mendekat lalu sangat dekat. Sekarang jelas. Bukan hanya rintihan. Rintihan itu di telinga kanannya sedangkan di telinga kirinya suara orang memainkan genangan air di tenggoorokan.

Ia ingat mayat-mayat yang mati ditembak. Dibiarkannya semua suara itu bermain dekat telinganya. Jika memang itu bagian yang harus didengar, dengarlah. Begitu bisikan kalbunya. Sedikitpun ia tidak berusaha menolak. Dan ketika senandung dari dalam kalbunya ia ikuti …Allah…Allah…Allah. Semua suara itu hilang. Malam hening. Ia berusaha membeningkan pikiran dan perasaan.

Merasa bahwa persendiannya harus lebih baik lagi ia mengatur nafas keluar masuk seperti yang dilakukannya hampir setengah hari. Hangat tubuhnya kadang terpusat di bawah pusar. Kadang menyebar ke seluruh tubuh. Terasa bergerak menelusuri daging dan otot-ototnya.

Ia lakukan terus Allah….hu. tarikan dan hembusannya semakin ringan. Setengah betis sampai telapak kaki hangatnya sudah mulai nyaman. Pergerakan sendinya juga semakin nyaman.

Rasa nyamannya tiba-tiba berubah. Ada wangi yang mendegupkan dadanya lebih kencang. Diyah. Ini wangi Diyah. Bagaimana mungkin Diyah ada disini.

Terasa ada gerakan lembut membuka celananya. Jantungnya berdegup kencang. Pertama kali dalam hidupnya harta lelakinya bergerak. Cepat sekali. Sentuhan lembut berikutnya membuat urat itu semakin tegang dan tegang.

Sedetik kemudian ia berteriak “Allaaaaaaaaah….” Wangi Diyah terbang berubah menjadi tawa, berputar-putar mengurung. Teriakan “Allah” berikutnya tawa itu semakin nyaring berputar memusat di wajahnya. Lelaki nekad ini berteriak untuk ketiga kalinya “Allaaaaaah….”.

Dan suara itu melengking tinggi terbang menjauh dalam kegelapan malam.

Tawa itu lenyap. Sunyi. Hanya nyanyian satwa malam terdengar. Tawanya lenyap tapi wangi Diyah masih ada. Tiba-tiba rindunya kepada Diyah memuncak.

Esok hanya bersisa dalam hitungan jam. Esok akan ada matahari terbit.

Diyah sedang dalam pelukan lelaki gagah. Lewat tengah malam sudah. Dua ekor kuda ini sedang merumput melepas lelah setelah berlari kejar-kejaran di padang rumput.

Kuda jantan itu sedang asik melihat kuda betina melahap rujak pedas tengah malam. Satu piring irisan mangga muda dan tumbukan garam cabai yang telah lewat tenggorokan seperti tidak berbekas di lidah Diyah. Kuda betina ini memang luar biasa.

Tidak ada desah pedas. Irisan demi irisan dilahap. Lalu segelas air yang bisa dibilang masih panas direguknya hanya dalam beberapa tegukan.

Tidak sabar menunggu irisan, mangga muda di tangan lelaki gagah diambilnya sambil bermanja-manja dan mangga itu digerogoti tanpa dikupas lagi. Tapi tidak habis. Ia menggeletakkan mangga itu begitu saja. Diyah yang labil dengan kasar mendorong lelaki gagah sehingga terjerembab di kasur busa itu dengan agak keras.

Tangan Diyah liar menyambar. Orang-orang tanpa beban berlari liar di tepi tebing miring. Tidak khawatir jatuh tidak khawatir runtuh. Ini tubuh masih bisa menggeliat. Menggeliatlah.

Ujung malam tiba lelaki gagah dan Diyah sudah sepakat berpisah. Sudah biasa Diyah mengantar lelaki gagah ke pintu. Kekasihnya akan pulang. Dan Diyah selalu kembali datang.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler