Skip to Content

URIP SEPISAN MATI SEPISAN (4)

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

Bermotor Butet sampai di rumah teman baru bisnisnya. Agak lama ia menunggu sampai pintu terbuka dan sesosok tubuh semampai hanya berhanduk muncul dari balik pintu.

 “Kamu Butet ….sori ya … agak lama …aku baru bangun, Masuk. Tunggu ya aku akan mandi dulu”.

Butet masuk duduk di lantai. Tidak ada tempat duduk selain lantai. Dari belakang ia mendengar suara muntah. Ia mengernyitkan kening ketika melihat ada sepasang sandal. Dan sandal itu bukan sandal perempuan. Ia menyimpan rasa herannya ketika tuan rumah sudah bersamanya.

Butet ingin bicara bisnis tapi yang muncul bukan.

“Lu bilang gua boleh datang kalau suami lu kagak ada di rumah”.

“Memang ya, suami gua lagi pergi, Entah kemana.”

 “Lah, ini sandal siapa?”

Tuan rumah terdiam. Di luar dugaannya Butet datang ketika lelaki gagahnya masih ada di rumah, masih ada di kamarnya. Masih terkapar letih lesu setelah berkuda hampir sepanjang malam.

Lelaki gagah itu masih mabuk dodol. Dodol yang ia temukan ini sangat beda jauh denga dodol di rumahnya. Lelaki gagah yang bersembunyi di balik sanggul ini sungguh mabuk rasa. Lewat tengah malam ia mengetuk dan dibukakan pintu oleh tuan rumah. Setelah pintu ditutup dan dikunci lelaki gagah ini menikmati apa yang dibuka oleh tuan rumah. Setengah malam bermain lidah bertukar ludah. Melayani permainan adu betis dengan pundah, permainan yang disenangi tuan rumah. Beradu kaki dengan pundak. Berguling di padang rumput. Lalu terhempas menatap redul langit-langit. Kuda dan penunggangnya sama terhempas kehabisan nafas.

“Udah dah … jangan ngebahas sandal,” tuan rumah menghentikan rasa penasaran tamunya sambil melirik ke dalam.”Lu bilang perlu lima lagi tapi gua cuma nyimpen tiga. Tiga itu setoran lu kemaren. Gimana?”

“Gua bawa sekarang, ada langganan yang lagi perlu banget, mendadak, Mana duitnya.”

Butet menunggu sambil merasakan panas aneh. Ia panas melihat tanda merah pada leher tuan rumah. Dan lebih panas lagi melihat tanda merah pada betis dan paha yang tidak tertutupi oleh pakaian pendek tuan rumah.

Butet pulang. Di luar sinar matahari panas. Butet tambah panas.

Setelah kurang lebih satu jam berjalan kami sampai. Tanah warisan yang dijual murah ini di atasnya telah berdiri sebuah pabrik. Telah dipagari dan dijaga oleh sekurit. Di tengah halaman parkir aku “melihat nyala api.”

Aku menepuk pundak lelaki hancur ini dan menyuruhnya masuk ke halaman pabrik dan mengencingi nyala yang juga terlihat olehnya setelah pundaknya kutepuk.

Lelaki hancur ini benar-benar sudah siap. Ia tidak ragu-ragu lagi melaksanakan perintahku. Sudah tidak tampak khawatir apa yang akan terjadi pada dirinya. Ia harus melewati gerbang dan di pos itu ada petugas.

Sekali lagi aku tepuk pundaknya dan dia melenggang berjalan masuk. Ia berhasil melewati gerbang dengan pos keamanan dan sekuritinya. Ia kencing berdiri sampai api itu padam.

Api itu bukan bakaran benda. Air kencing itu hanya syarat pemusnah. Kalau api sesungguhnya jelas tidak akan padam. Dia keluar dan sempat menoleh kepada petugas. Aku yakin sekali petugas itu tidak melihat ada orang masuk dan keluar.

Selesai sudah 3 tempat. Aku menyuruh lelaki hancur ini naik ojek yang kebetulan lewat.Ia harus pulang. Harus pulang. Aku menyusul dengan ojek lain, begitu kukatakan kepadanya.

Lelaki hancur ini mengetuk pintu menyebut nama isterinya. Tak lama kemudian terdengar suara muntah. Isterinya hanya membuka pintu lalu kembalike kamar. Tidak ada lagi sandal di balik pintu,

Aku memberi beberapa pesan kepada lelaki hancur sambil bicara agak santai melepas ketegangan yang berkecamuk dalam pikirannya.

“Aku percaya kau akan kuat untuk menempuh jalan yang akan mengubah jalan hidupmu ke depan. InsyaAllah kau akan kuat.”

 “Alhamdulillah, terima kasih Pak.” katanya menunduk penuh.

“Namun demikian kau harus berpikir lagi dengan matang karena tugas ini resikonya tinggi. Salah-salah kau bisa mati. Dan orang yang menemukan mayatmu akan merasa aneh karena mayatmu ada di muara sungai tersangkut di dahan pohon.”

“InsyaAllah saya siap Pak. Saya mohon doa agar saya tidak salah.”

“Hmmm …aku ingin tahu siapa nama isterimu.”

“Diyah….”

“Sebelum aku suruh kau berangkat untuk tugasmu aku ingin dengar berapa banyak hutangmu dan kepada siapa saja kau berhutang.  Aku juga ingin tahu berapa jumlah utang orang kepadamu dan kepada siapa saja kau harus menagih.”

Dia minta izin untuk masuk. Keluar dengan sebuah tas. Dari tas itu dia mengeluarkan catatan. Dari buku yangagak tebal dia membaca daftar utangnya dan daftar piutangnya.

Tiba-tiba ia kaget. Isterinya meminta Butet untuk datang segera.

 “Tet lu dimana … bisa nggak kesini ….aku dirumah …sebentar aja ,,, gawat … laki gua Tet … pokoknya kamu kesini …bukan …. nggak … laki gua sakit kali….laki gua …bukaaan … udah pulang … ini masalah laki gua …beneran …. Dia ngomong sendiri Tet ….tologn gua …ngomongin duit …sambil lihat buku …”

Aku melarangnya agar jangan mengganggu isterinya. Teleponan selesai dan ku dengar pintu kamar dikunci dari dalam.

“Sekarang dengar baik-baik apa yang aku sampaikan.”

“Ya, Pak.”

“Mulai Rabu sore pk 4 sampai Kamis sore, lusa, 24 jam, kamu tidak boleh kemana-mana. Tinggal di rumah.”

“Ya, Pak.”

“Makan tidak makan kau tetap di rumah,keluar rumahpun tidak boleh.”

“Ya, Pak.”

 “Kamu boleh tidur setelah mengulang Surat AlFatihah sebanyak 43 kali.”

“Ya, Pak.”

 “Kamis sore, lewat pukul 4 kau pergi dari rumah.”

“Ya, Pak.”

 Lelaki hancur ini terganggu lagi oleh suara istrinya.

“Butet ….cepetan …tolong aku …laki gua parah Tet …ah …lu…gua bilang sekarang …sekarang … ya … cepetan ya ….”

Kembali aku memberi isyarat agar ia tidak usah terganggu oleh ulah isterinya.

“Jangan membawa apa-apa selain apa yang menempel di badanmu.”

“Ya, Pak.”

“Berjalanlah terus selagi kau mampu berjalan. Kau boleh berhenti jika capek.”

“Ya, Pak.”

“Jangan menengadahkan tangan, meminta, mengemis, meskipun kau lapar dan haus.”

“Ya, Pak.”

Terdengar suara motor di depan rumah dan terdengar orang mengetuk pintu. Kupersilakan dia membuka pintu. Butet masuk dan isterinya keluar dari kamar bersamaan.

 

“E…abang, Lagi ada tamu Bang,” Butet menyapanya. “Diyah minta saya datang Bang, katanya Abang sakit.Diyah,lu macem-macem aja. Laki lu lagi ngobrol sma tamunya. Lu bilang sakit.”

Lelaki hancur diam, Aku diam. Butet diam. Diyah diam penuh tanda tanya.

Tidak lama Butet disana karena ia memang sedang sibuk. Butet segera pergi, Terdengar deru motornya menjauh. Diyah melihat aku dengan tanda tanya. Pasti.

Aku melanjutkan arahanku untuk lelaki hancur.

“Selama dalam perjalana kau akan menemukan perempatan. Ingat perempatan. Di perempatan pertama kau tidak boleh belok. Perempatan kedua juga tidak boleh. Di perempatan ketiga yang kau temukan kau harus belok. Ingat, harus belok. Belok ke kanan.”

“Ya, Pak. insyaAllah saya ingat.”

“Terakhir, dan ini yang paling penting. Selama kau melaksanakan perjuangan ini kau tidak boleh mengucapkan kata-kata selain ‘Allah’. Apapun yang terjadi hanya “Allah” yang boleh kau ucapkan.”

“Ya …Pak…”

“Aku sudah tahu keputusanmu berapa lama waktu yang kau pilih. Keputusanmu sudah bagus.”

Aku pergi meninggalkan mereka.

Kamis sore aku melihatnya berangkat. Di depan rumah ia menengadahkan tangan. Memandang ke langit lepas. Kulihati badannya gemetar dan ia berteriak “Allah”, dan mulailah perjalanannya.

Ia baru saja menetapkan dirinya sebagai diri yang mencari. Ia menjadi pengembara yang tidak tahu dimana akhir perjalanannya.

Selama ini ia tidak kenal dengan sisi lain kahidupan. Ia dimanjakan sedemikian rupa dengan segala kesenangan dunia. Ia tenggelam dalam pelukan dusta terhadap diri sendiri. Ia bertingkah gagah padahal ia hanya seorang pecundang.

 

(bersambung)

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler