Skip to Content

URIP SEPISAN MATI SEPISAN (5)

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

Dulu ia pencundang palsu karena masih bisa bersembunyi di dada kenyal wanita-wanita yang tidak mampu mengelak dari kilauan rupiah yang dihamburkannya.

Dan kini ia memulai perjalanan sebagai pecundang sejati.

Aku mengikutinya. Sekejap matapun aku tidak akan lepas.

Tengah malam ia mulai tampak lelah. Tidak ada seorangpun yang menyapanya. Apalagi kini, malam. Ia duduk dekat tiang listrik, Tidak lama ia bangkit lagi dan berjalan. Di jalan bercabang ia selalu belok kanan. Belum satupun perempatan yang dilewatinya.

Seiring dengan adzan subuh ia sampai di perempatan pertama. Di salah satu sudut perempatan itu ada mushala. Ia masuk dan bersila di halaman.

Adzan selesai. Seorang lelaki berpeci haji keluar menghampirinya. Dan ia hanya berkata “allah” untuk setiap pertanyaan yang didengarnya.

Ia amsih duduk di halaman ketika para jama’ah keluar dari mushala. Tidak banyak, Semua menghampiri dan mereka hanya mendengar “allah, allah, allah.”

Salah seorang kembali ke mushala kemudian kembali lagi dengan segelas air mineral lalu meletakkannya di depan lelaki hancur.

Masih hancurkah lelaki ini. Sudah pantaskah aku sebut “pengembara”, atau aku sebut “si pencari”, entahlah. Aku masih ingin menyebutnya lelaki hancur.

Dari asyar sampai subuh tak seteter air minum tak sesuap nasi masuk ke dalam perutnya. Ia keluar dari halaman mesjid sambil memegang air dalam gelas plastic itu dengan kedua tangannya yang gemetar,

Ia belum lapar, Ia belum haus. 24 jam terakhir ia di rumah ia makan dan minum yang lumayan lezat. Lelaki itu datang dengan membawa makanan dan minuman. Ia makan dengan sabar. Ia minum dengan tenang. Selesai makan dan minum ia berbaring mendengar musik mengalun syahdu dari kamar tidur.

Di rumah lesung mereka menumbuk. Lesung telungkup ditelentangkan. Lubang lesung di lap. Dan jika sudah ada padinya maka menumbuk dimulai. Menumbuk sendiri tentu saja makan waktu lama. Menumbuk berdua hemat waktu.

Alu dipegang diangkat ditumbukkan. Seorang lelah yang lain tetap menumbuk. Lelah dua-duanya, dua-duanya berhenti. Senyum. Lalu melap keringat yang membasahi kening.

Jika keringat telah membasahi badan, baju dibuka. Digantungkan di jemuran. Lelah dilemaskan dengan menghela nafas panjang.

Bagaimanapun susahnya keadaan petani tidak pernah bilang sedih ketika menumbuk pagi. Karena tahu ujungnya. Setelah menumbuk, menampi, menumbuk lagi, menampi lagi. Selanjutnya jika sudah jadi beras, akan ada proses mencuci beras lalu menanaknya. Tanakan menjadi nasi. Makan sepiring berdua, saling suap.

Demikianlah musik Kamis siang itu. Bahkan musik itu sejak malam Kamis. Malam Kamis lelaki itu datang sebentar seperti elang menyambar anak ayam. Diyah si anak ayam disambar dengan kasar dibawa ke kamar. Terdengar cekikikan berkelakar. Lalu suara yang terdengar menjadi samar-samar. Bukan berita bukan kabar.

Dari tanah datar mereka mendaki dengan sekuat tenaga menuju puncak yang sangar tapi segar. Gemetar di puncak selesai. Turun lagi ke tanah datar. Di semak belukar mereka terkapar.

Tanpa basa basi lagi lelaki itu pulang diantar Diyah dengan senyum manja sambil berbisik minta agar besok bisa mendaki lagi.

Emosi lelaki hancur itu kini sama sekali tidak terpengaruh. Ia menganyam bulu mata. Tugasnya 43 kali pengulang Surat Kunci selesai. Ia menghanyutkan diri dalam kesadarannya sebagai pecundang. Ia sadar bahwa dirinya adalah pecundang sejati.

Semuanya diterima sebagai hal yang mesti terjadi karena kelemahan dirinya.

Kamis siang juga diterimanya dengan sadar. Ia sudah tidak bisa menasihati dirinya dengan kata sabar.

Teriakan “Allah” di depan rumah sebelum ia berangkat menambah ketegaran jiwa raganya untuk siap mengembalikan waktunya yang hilang. Teriakan itu juga merupakan ungkapan rasa sadar atas kelemahnnya. 

Ia berusaha untuk menutup semua kenangan itu. Tapi mana bisa. Manusia hidup dengan pikirannya dan pikiran tidak bisa lepas dari helaan nafas. Begitu liar semua masa lalunya tergambar.

Tangannya gemetar memeluk segelas air. Mulutnya komat-kamit “allah allah allah” terus. Kadang pelan, kadang bisikan, kadang keras, kadang teriak. Dan ketika orang-orang mendengar teriakan itu, mereka hanya berkata “o, baru mulai” atau “wah, mabuk wirid” atau “masih bagus belum telanjang” dan kalimat lain yang tidak nyaman. Tapi ia nyaman mendengarnya.

Ia berjalan terus. Tidak menghitung langkah. Matanya tajam menatap jalan. Dimana perempatan? Langkahnya sudah mulai gontai. Bajunya basah keringat panas terik siang hari. Kerongkongannya kering. Air segelas plastik masih digenggamnya dengan penuh cinta. Cinta nanti.

Ini perempatankah atau pertigaan. Ke kiri ada jalan, Ke kanan ada jalan. Ke depan juga ada jalan. Tapi jalan lurus di hadapannya berakhir di sebuah mesjid. Mesjid itu dipagari dengan tembok. Halamannya luas. Orang-orang baru saja pulang jum’atan.

Dengan “allah allah allah” dia melangkah masuk ke rumah Allah. Ia duduk di anak tangga paling bawah. Ia sadar kotornya. Tidak lama dia berdiri dan berjalan menuju tempat wudu. Rindu membakar tubuhnya.

Ia meletakkan gelas air dekat tiang kemudian kembali ke kran.

Allah …allah …allah …

Selesai wudhu ia menaiki anak tangga dan kini ia berdiri di teras.

Lemari di pojok depan dihampirinya. Ia mengambil sebuah kain sarung yang campur baur dengan mukena dan kerudung serta sajadah.

Berharap menemukan peci dia membongkar tumpukan itu. Dan dia hanya bisa berteriak “allah” ketika sebuah tempelengan mendarat di wajahnya.

“Kamu mencuri yaaaa….”

“Allah”

Dia menahan sakit tempelengan orang marah, tempelengan setan. Mendarat untuk kedua kalinya. Kali menyerempet bibirnya sehingga berdarah.

“Allah …..Allah.”

“Allah Allah apa hah.” 

Kali ini setan menendang. Tendangan pertama di perut. Ia tergeletak. Tendangan kedua membuat ia tenggelam dalam hitam. Dalam hitam ia masih mengucap “allah…allah…allah……allah.”

Ia terbang. Melayang ringan, Sayap-sayap tanpa badan menyangganya. Ringan terbang melayang. Semua rasa badannya hilang. Ketika ia melihat menara mesjid itu sudah agak jauh dari padangannya tiba-tiba ia merasa dingin.

Ia terkejut dan bangun duduk. Ia basah kuyup. Sudah ada beberapa orang mengelilinginya. Tampaknya seorang setan telah mengguyurnya agar ia sadar dari pingsannya.

“Kamu yang kemarin mencuri uang dari kotak, ya?”

“Allah”

“Apa?”

“Allah…..”

Seseorang terdengar berkata. “Apa yang dicurinya Ma’il?”

“Tidak ada. Belum ada yang dicurinya. Saya lihat dia tadi mengaduk-aduk isi lemari ini. Pasti dia akan mencuri.”

“Ah … belum tentu dia akan mencuri ….eh …kamu akan mencuri ya?”

“Allah”

“Jawab yang bener, kamu akan mencuri atau akan apa?”

“Allah”

Pokoknya semuanya Allah. Orang-orang bingung. Semuanya “allah.”

Siapa nama? Allah. Dari mana? Allah. Mau kemana? Allah, Punya keluarga? Allah. Ini air dari mana? Allah. Siapa yang ngasih? Allah.

Terus-terusan mendengar “allah” orang menjadi bingung. Bawa ke desa percuma. Akam “allah” lagi. Bawa ke polisi akan “allah” lagi.

“Sudahlah, kita suruh keluar saja dari sini. Percuma diurus. Orang gila, allah allah terus. Lagi pula kan tidak ada bukti dia mencuri.”

Sepakat. Digiring keluar halaman mesjid. Diantara setan-setan itu ada manusia. Manusia itu memberinya bungkusan kantong plastik. Isinya kain sarung dan sebuah peci putih paci haji yang sudah kusam.

Matahari sudah condong ke barat. Dari halaman mesjid ia belok ke kiri. Meski ada yang mengingatkan bahwa jakan itu adalah jalan ke kuburan ia tetap melangkah.

Gelas air yang masih utuh dimasukkannya ke dalam tas kresek dan dipeluknya erat.

Lapar dan haus. Ia tetap melangkah gontai dalam “Allah Allah Allah.”

24 jam sudah sejak berangkat dari rumah. Ia merasa lelah. Dirinya mengizinkan untuk berhenti. Masih ada cahaya matahari. Ia ganti sarung dan menjemur pakaiannya yang basah.

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler