Skip to Content

URIP SEPISAN MATI SEPISAN (6)

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

Ia mereguk habis air minumnya kemudian berbaring. Bibirnya masih bengkak. Bibir bengkak itu bercerita  dan ia mendengar cerita itu dengan jelas.

Jalur kisah bibir ini ketika masih dimiliki oleh lelaki pecundang palsu sungguh dahsyat. Didorong oleh hasrat yang muncul dari ketidak mampuannya sebagai lelaki sungguh luar biasa. Banyak wanita yang menjerit meregang karena pendakian yang tak pernah sampai.

Dari bibir ini pula keluar kata-kata yang menyuruh isterinya menjilati bibir mertua perempuannya yang janda. Janda setengah baya itu menolak. Tidak menerima perlakuan menantunya. Sedang anaknya yang tidak punya posisi tawar tidak punya pilihan.

Di bawah ancaman lelaki hancur sang ibu memejamkan mata menjerit dalam hati, melepas sehelai demi sehelai pakaian yang menempel di tubuhnya. Dan anaknya yang sejak masuk ke kamar ini bersama suaminya sudah dalam keadaan telanjang memakai bibir dan lidahnya seperti yang diperintahkan suaminya.

Wanita yang menjadi mertua lelaki hancur ini menyendiri sejak ia melahirkan satu-satunya anak. Dan anak semata wayang yang sudah manjing umur belum menikah juga ditawarkannya kepada lelaki hancur yang hampir seumur dengan dirinya.

Dipeluk sepi puluhan tahun, sawahnya kering kerontang tak ada yang mengairi, membuat janda yang masih subur ini menyimpan bara. Baranya muncul ketika ia mengendap-endap mengintip anaknya dengan suaminya dari pintu kamar yang terbuka sedikit.

Ia ikut terbakar mendengar erangan anaknya. Erangan yang kadang berubah menjadi jeritan, Dan tingkahnya mengintip ini diketahui oleh menantunya, si lelaki hancur.

Lelaki hancur merasa apa yang dirahasiakan yaitu ketidakmampuannya sebagai lelaki terbongkar, Dan ia menaruh dendam, Dan ketika dendam itu sudah memuncak ia nekad berdua telanjang masuk ke kamar mertuanya.

Wanita. Unik. Sebuah mobil mewah bisa tidak ada artinya jika sisi kewanitaannya tidak terpenuhi. Di bibir mereka bersembunyi dari kenyataan hasrat asmaranya. Tapi dalam hati dia mengaku bahwa tujuh kebun tujuh empang tujuh mobil dan tujuh perusahaan menjadi tak ada arti jika lelaki tidak punya burung indah yang rajin berkicau.

Wanita yang usianya hampir sma dengan menantunya ini awalnya menolek masuk dalam adegan ini. Tapi hasratnya terbakar juga, Ia menikmati. Ia meremas keras rambut menantunya. Kepala yang berada di antara dua paha itu melumat habis asa yang bisa dikecup dan dijilat.

Berjam-jam mereka gila.

Kegilaan itu berakhir dengan muntah, Hampir dalam waktu yang bersamaam ketiga manusia itu muntah. Yang bau busuk ketika sufiyah muncul menjadi wangi. Dan wangi itu akan kembali busuk ketika sudah mencapai puncak. Ibu muntah, anak muntah, menantu muntah. Dan kamar itu berbau kain terbakar.

Dari kejauhan sayup-sayup suara adzan maghrib. Lelaki hancur, si pencari, si pengembara, terbangun dan muntah. Air dan sedikit sisa makanan yang keluar diikuti oleh cairan kuning. Keringat dingin membasahi tubuhnya.

Tubuhnya lemas tak berdaya. Ketika ia tidak bisa lagi menahan gigil badannya, ia meraba menggapai jemurannya. Ia berusaha untuk mengenakan kembali pakaiannya tapi bumi dan langit berputar kencang, di matanya bertebaran bintang. Ia terkapar. Sarung lepas berpakaian tak jadi. Maka ia jadi tergeletak setengah telanjang.

Tidak sulit bagiku menampakkan diri dihadapannya. Tapi itu tidak aku lakukan karena aku tahu sebentar lagi akan ada seseorang yang menghampirinya.

Malam mulai gelap. Pohon beringin yang menaungi bangunan sederhana ini telah tampak sebagai sosok hitam. Di sekelilingnya tonggak-tonggak nisan kuburan yang memantulkan cahaya langit malam.

Aku tetap sembunyi dari pandangannya.

Hampir ia salah menjawab ketika tiba-tiba seorang perempuan berkebaya putih dan berkudung putih dengan lembut memegang kepalanya. Suaranya terdengar lirih merintih. Hanya aku yang melihat putih-putih itu. Lelaki hancur itu sudah tidak bisa membedakan. Putih yang dilihatnya hanya buram.

“Kau baru sampai disini?”

“Allah.”

“Ya, Allah….”

“Allah.”

“Duduklah, biarkan aku memijat punggung dan belikatmu.”

“Allah.”

Lelaki itu duduk dan membiarkan punggungnya dipijat. Tera,[il tangan itu menelusuri urat di punggung. Pijatnya membuat lelaki hancur bersendawa. Dan setelah beberapa kali sendawa panjang ia merasa lega. Pusingnya berkurang. Setelah ia berpakaian ia kembali memunggungi perempuan itu untuk dipijat.

“Allah,” ia berucap.

Perempuan putih itu tertawa kecil.

“Hihihi … kamu ingat ibumu ya?”

“Allaaaaaaaaaah…..Allaaaaaahhh….Allaaaaaah….”

Lelaki hancur itu berteriak keras lalu membalikkan badannya memeluk perempuan putih. Ia menyembuyikan mukanya di dada perempuan itu. Suara tangisannya hanya “allah …allah….allah. Ia tenggelam dalam kerinduan kepada ibunya yang sudah lama lepas dari ingatannya.

“Ibumu sangat kecewa ketika kau memutuskan menjual rumah peninggalan kakekmu. Kau memutuskan sendiri. Kau tidak berunding sama sekali. Meski kematian ibumu kau antar dengan pengajian di kuburannya, kau tebus dengan tahlil empatpuluh malam, kamu tidak sempat meletakkan kepala ibu di pangkuanmu ketika sakaratul mautnya.”

“Allaaaaaaah …Allah..Allah,,,Allah ….Allaaaaaaah.”

“Lepaskan aku, duduk dan makanlah. Kamu belum makan dari kemarin, Dan ini air minumnya. Jika sudah kuat berjalanlah terus, Jangan berhenti. Ingat baik-baik.”

Meraba-raba ia mencari sarungnya. Ia menyentuh bungkusan dan botol. Ia membungkus semua itu dengan sarungnya. Ia memeluk erat hartanya. Turun dan berjalan. Berjalan dan berjalan.

Di bawah tiang listrik yang ada penerangan jalan ia berhenti. Perlahan ia makan. Setiap suapan yang diantarkannya ke mulut bercampur dengan air mata yang tak kunjung henti.

Beberapa remaja lelaki perempuan yang tampaknya baru pulang mengaji tampak menghindar, Takut dikejar oleh orang gila yang makan sambil menangis.

Ia makan dalam bayangan cinta seorang ibu.

Ia berbagi makan dengan tiga ekor kucing yang menghampirinya. Coba renungkan. Jangan cari benar atau salahnya. Si Pencari melihat kucing  sebagai dirinya atau kucing melihat dirinya sebagai “kucing.”

Tak jauh dari kucing dan “kucing” ada tukang kue putu yang berhenti memeriksa ban sepedanya. Tukang kue putu bergumam.

“Dasar orang gila, makan bareng sama kucing.”

Malam merangkak. Awal malam tanpa bulan. Ia berdiri meninggalkan kucing-kucing melahap sisa-sisa makanannya.

Jika lelah mengucapkan “allah” ia serahkan ucapan itu kepada pikiran dan perasaannya. Jika hilang lelah kembali ia mengucapkan “Allah” dalam setiap langkah.

Setelah berjam-jam berjalan rasa sakit dalam dadanya yang timbul karena ingatannya kepada ibu mulai reda. Ia tidak menekan ingatannya untuk melupakan tapi “Allah Allah Allah” sedikit demi sedikit menghapusnya.

Sehari ia berjalan. Tenang dan gelisah datang bergantian.

Lewat tengah malam. Ratusan orang berpapasan. Tak sekalipun ia mendapat sapaan. Aku melihat lelaki hancur ini sudah tidak peduli. Si Pencari ini, tampak sangat fokus tentang perempatan.

Dekat sebuah gardu ia berhenti. Langsung duduk di tanah. Ia sungguh lelah. Lapar? Tidak. Ia haus. Air pemberian “ibu”nya sudah sejak tadi habis.

Yang di gardu 4 orang duduk memegang kartu. Seorang berbaring tidur. Di kolong gardu seekor anjing mengendus-enduskan hidung ke arah lelaki hancur. Kuping anjing itu bergerak-gerak. Dengus anjing membuat tuannya curiga. Tuan anjing yang posisi duduknya membelakangi lelaki hancur, menoleh.

“Mau minum?”

“Allah.”

Tuan anjing terhentak. Ia menutup kartu yang dipegangnya. Tiga lainnya yang tertawa terbahak-bahak karena mendengar “si gila” menyebut “Allah” ikut menutup kartu. Menunggu. Yang tidur terbangun karena kaget lalu berbaring lagi melanjutkan tidurnya.

Tuan anjing mengambil botol kosong bekas. Mengisinya dengan air dari gallon lalu membrikannya kepada lelaki hancur. Ia mengusap kepala lelaki hancur dan berkata “minumlah, ini dari Allah”.

Gemetar tangan lelaki hancur menerima botol itu. Tiga kali ia mengucapkan allah lalu langsung minum.

Tuan anjing melanjutkan judinya. Si Pencari bangkit berdiri. Mengayunkan langkah. Limbung menuju subuh.

Di rumah Diyah muntah. Setelah muntah ia kembali ke pelukan lekaki gagah. Badannya letih tapi masih bisa merintih lirih. Tubuhnya lesu tapi nafasnya masih memburu. Entah berapa pendakian yang telah mereka jelajahi.

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler