Skip to Content

URIP SEPISAN MATI SEPISAN (7)

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

Diyah itu korban ketidakhati-hatian atau ketidaktahuan ibu yang melahirkannya. Ketika masih bayi, masih menetek, ada tetesan air tetek yang jatuh di kelaminnya. Kejadian seperti fatal akibatnya. Wanita akan menjadi buas. Tidak pernah merasa puas. Ia bagai macan betina yang ganas. Tidak musim dingin tidak musim panas. Selalu beringas.

Si lelaki yang menggilainya adalah korban keisengan ibu yang melahirkannya. Mungkin maksudnya sekedar bercanda. Atau karena biasa mengulum “pisang” suaminya. Ketika masih kanak-kanak ibunya iseng mengulum. Kalau saja ibunya mengulum sebelum disunat tidak akan berakibat gawat. Tapi ketika anaknya sudah disunat (dikhitan) maka akibatnya gawat.

Lelaki yang kena keisengan ibu seperti ini akan menjadi lelaki yang tidak pernah kenyang. Malam siang ingin sama-sama telanjang, tengkurap telentang saling tunggang. Senang menyiksa diranjang. Puas jika melihat wanita meregang.

Diyah bertemu kawan. Lelaki gagah bertemu teman. Kimia jiwanya cocok. Saling mengisi. Diyah tak kenal lelah meski badan sudah terasa payah. Lelaki tetap gagah karena bisa menahan muntah.

Jika cocok kimia jiwanya ya begini jadinya, Bagaimana kalau tidak cocok? Perempuannya, atau yang menjadi istrinya akan sangat menderita. Apalagi kalau wanitanya termasuk yang ingin diperlakukan dengan lembut. Jika terlihat ingin lemah lembut yang terjadi bisa sebaliknya, Pakaian dibuka secara paksa. Disobek. Lebih dari itu, lelaki itu tidak segan untuk menggigit. Apa saja yang bisa digigItnya.

Diyah sudah tidak ingat suaminya. Bahkan ia menaruh dendam mendalam untuk urusan khusus suami isteri. Untuk apa mengingat lelaki hancur yang telah menyiksanya bertahun-tahun.

Bisnis jual uang dengan Butet lancar. Ia hanya perlu tinggal di rumah menerima setoran mingguan. Setoran itu cukup buat makan bahkan bersisa. Ia tidak mengeluarkan uang modal. Uang yang disertakannya dalam bisnis dengan Butet adalah uang dari lelaki yang menggilai dirinya. Yang kini datang tak perlu lagi diundang.

Lelaki yang menggagahi Diyah adalah lelaki yang bersembunyi di balik konde. Ia tidak bisa lepas dari istrinya sekaligus majikannya. Ia datang ke kota kecil itu sebagao gelandangan. Lari dari kampung halaman karena menghamili empat wanita sekaligus. Ia lari tanggung jawab karena ia memang tidak berpikir tentang tanggung jawab. Ia hanya melakukan itu karena nalurinya terbentuk seperti itu.

Lalu kerja serabutan. Jadi tukang aduk semen jika ada yang memintanya kerja harian. Dan nasibnya berubah ketika kerja kuli ngaduk di sebuah toko bangunan.

Diam-diam lelaki gagah ini dilirik tajam oleh majikan perempuan. Perempuan yang sudah berumur itu tidak tahan melihat dada telanjang, penuh bulu. Penuh keringat kepanasan.

Sementara suaminya sudah lama istirahat di kursi roda. Kuli yang gagah itu perlahan dijebak dengan tidak boleh pulang. Dimintai tolong untuk meyusun kayu, atau memindahkan tumpukan semen agar tidak kehujanan. Dari halaman dia dijebak ke teras, Ngepel teras, Mengganti keramik yang pecah. Dari teras ia dijebak ke dalam. Nguras bak kamar mandi, memperbaiki jemuran yang rusak.

Majikannya menjebak sambil menahan sesuatu yang menggelegak. Dan ketika lelaki yang dadanya berbulu ini diminta membetulkan langit-langit di kamar belakang ia sudah tidak bisa menahan.

Lelaki kuli ini mengerti suasana yang dihadapinya. Ia sama sekali tidak boodoh seperti yang dilihat orang-orang yang bekerja bersama di toko bangunan itu. Ia paham betul bahwa langit-langit kamar belakang hanyalah alasan.

Ketika majikannya memberi arahan kerja memperbaiki langit-langit, ia melihat majikannya malah berbaring di dipan sambil memperlihatkan pahanya.

Pekerjaannya tidak selesai karena dipan tua ambruk tidak kuat menahan beban dua orang.

Peristiwa itu menjadi jalan untuk peristiwa berikutnya. Jika ada kesempatan selalu dimanfaatkan. Namun jarang selesai karena tiba-tiba saja ada orang belanja.

Subuh lelaki hancur sampai di depan mesjid lagi. Baru ada seorang dalam mesjid itu. Orang itu sedang menggelar karpet. Dalam mesjid tampak terang sedangkan di luar lampunya agak redup. Karena rasa ingin ke wese ia bergegas masuk langsung ke kamar mandi.

Apa yang dilihatnya disana sungguh diluar dugaan. Wese itu kotor. Di lantainya ada kotoran. Begitu pintu terbuka baunya merebak keluar. Baknya kosong. Gayungnya sudah retak.

Lelaki hancur ini melirik mencari ember, Ia berniat untuk membersihkan wese itu. Ia membuka kran dan mengisi ember. Ia jinjing ember. Sapu lidi dekat pintu wese perempuan diraihnya. Kanan embar kiri sapu lidi. Memakai gayung retak ia menyiram kotoran dan menyapukannya dengan sapu lidi. Tapi susah dibersihkan karena kotoran manusia itu telah kering. Ia menginjakkan kaki kananya menekan sapu lidi agar bisa mengikis tahi kering itu.

Orang-orang yang akan shalat mulai berdatangan. Adzan sudah dikumandangkan. Di barisan kran agak jauh dari wese orang berwudhu. Seskali ada yang ongkek karena bau tahi dibawa angin ke arah kran wudhu.

Selain si lelaki hancur sibuk akan menyembah tuhan mengabaikan kotornya wese mesjid. Si lelaki hancur sibuk membersihkan tahi kering dengan air berember-ember.

Ketika do’a qunut dilantunkan si lelaki selesai hajatnya, Ia bersuci, kemudian wudhu dan shalat di luar mesjid. 

Orang-orang pulang. Tuhan telah selesai disembah. Tapi tidak seorangpun yang menerima pesan tuhan untuk menyapa lelaki hancur. Padahal mereka tahu lelaki hancur ini tadi membersihkan wese yang telah tiga hari dibiarkan kotor.

Tiga hari mereka hanya saling melemparkan sumpah serapah. Saling curiga dan saling tuduh.

Orang yang tadi menggelar karpet mengunci mesjid. Sambil melangkah pulang meninggalkan masjid ia agak mendekat kepada lelaki hancur. Merasa tidak perlu bicara benar kepada orang gila ia hanya berkata pendek saja.

 “Pergi …jangan disini.”

Langkah bergegasnya terhenti karena jawaban yang didengarnya.

“Allah.”

 “Apa.”

 “Allah.”

Ia mendekat pelan-pelan, khawatir bau tahi karena lelaki ini bermain dengan tahi hampir setengah jam.

“Apa?”

 “Allah……”

 “Allah?”

 “Allah.”

 “Allah apa?”

 “Allah.”

Kesal dengan jawaban “Allah” lelaki bersorban ini berbalik sambil ngomel.

“Halaaaah … orang gila ngomong Allah…untuk apa dilayani.

Aku heran melihat adegan ini. Siapa yang gila. Siapa yang menerima ayat Allah dan siapa yang menerima ayat setan.

Sampai matahari terbit lelaki hancur masih tetap duduk bersila di halaman mesjid itu. Orang lalu lalang. Kendaraan hilir mudik. Anak-anak yang lewat dan melihat ia bersila berteriak “hiii takuuuut orang gilaaaa … orang gilaaaaa.”

Melihat anak-anak lari ketakutan seorang pengendara motor berhenti. Motor distandarkan dan ia masuk ke halaman. Ia menghampiri lelaki hancur itu.

Punggung lelaki itu ditepuknya.

“Heee …ngapain lu disini?”

“Allah.”

“Apaan?”

“Allah.”

“Ah, brengsek lu… allah allah melulu. Hayoo …pegi…pegi sana.”

Kali ini bukan tangan yang bicara. Kaki. Kemudian tangan lagi tapi bukan menepuk. Ia menyeret lelaki itu sambil marah-marah. Ramai orang menonton.

Aku melihat semuanya ini, aku sudah katakan bahwa lelaki hancur ini tidak akan lepas dari pandanganku. Aku bisa saja mengirim beban ke tubuhnya yang sedang diseret sehingga lelaki yang menyeretnya jangankan menyeret, bergerakpun tidak. Tapi biarlah, Biarlah si lelaki hancur ini merenungi dosa kakinya.

Sampai di luar halaman mesjid lelaki hancur ini ditinggalkan. Di pinggir jalan, pagi-pagi ia jdi tontonan. Dan bibirnya tetap bergumam “Allah.”

Ada rasa sakit fisik yang ia rasakan sehingga ia tidak bisa segera pergi mencari perempatan untuk belok kanan. Ia menunggu rasa sakit itu agak reda. Tendangan di punggung tadi masih terasa. Dan kulit pada mata kakinya juga terasa pedih. Kulitnya terkelupas beradu dengan maparan bata di lepataran mesjid.

Seorang tukang endul –pedagang sayuran, keliling- meletakkan uang di hadapannya. Kemudian ada tukang beca berhenti. Dari sadelnya ia melemparkan uang logam ribuam. Kemudian seorang anak perempuan berjilbab. Kemudian wanita berpakaian seragam, Dan selanjutnya dan selanjutnya.

Matahari mulai naik. Angin berhembus, Semua uang kertas diterbangkan angin. Seorang pengendara motor berhenti. Lalu memunguti uang kertas yang berhamburan itu. Lama juga. Uang itu dimasukkan ke dalam saku baju lelaki hancur.

Bayangan matahari sepenggalah ia berdiri dan ia ke kiri melanjutkan perjalanan. Tukang perabot yang kebetulan melihat yang logam menumpuk di pasir dan ia tahu bahwa yang disini tadi adalah lelaki hancur, bergegas memunguti uang dan mengejar lelaki hancur. Uang itu dimasukkan ke dalam saku baju lelaki hancur.

Ia melangkah dengan “Allah” dalam gumamannya. Agak lama ia berjalan ia sampai di sebuah perempatan. Ditatapnya langit. Lalu ia melangkah. Belok kanan ini akan membawanya ke kota.

Dekat jembatan ketika ia bersandar ke pilar jembatan untuk menghindari ramainya kendaraan ia harus menerima sebutan “anjing” dan “babi” dari pengemudi minibus yang merasa terganggu. Selain anjing dan babi ia juga menerima ludah di bajunya.

Di ujung sebelah sana seorang wanita penjual serabi membungkus dua serabi yang belum laku dan bungkusan itu diberikan kepada si lelaki hancur.

Allah memberinya makanan. Allah juga memberinya minuman. Tangan mungil terjulur dari jendela mobil yang terbuka. Dari jendela mobil terlempar sebuah botol berisi air. Tidak penuh, setengahpun tidak. Lemparan langit. Manusia minum tak usah berbotol. Dan lelaki hancur  lemparan langit ini melelehkan hatinya. Ia menangisi serabi dan botol. Tidak meminumnya.

Allah Allah Allah, dia berdiri. Dibenahi sarungnya dan dia melangkah. Jalan lurus panjang dengan rindang pepohonan dan padi menguning di kiri kanan jalan.

Dia membuka bungkusan serabi dan mengeluarkannya satu. SAtu dipegangnya dengan tangan kiri. Lalu dia berjalan lagi dengan keinginan memberikan serabi terbungkus ini kepada orang lain. Jangankan menerima. Yang disodori serabi malah berteriak ketakutan.

Agar ia segera makan aku kirim ke dalam pikirannya seorang perempuan yang sama “gilanya”. Benar saja, dia duduk bersama perempuan itu dan makan serabi bersama.

Orang gila bisa berbagi, Bahagia bersama. Yang seorang cekikikan yang seorang tetap dalam Allah Allah Allah.

Adakah orang waras yang menahan suapnya sebelum berbagi.

Sama-sama menyimpan api, kuli aduk yang kini sudah menjadi pembantu di toko bangunan dan majikan perempuannya berdua di mobil. Urusan belanja kayu menjadi alasan kepada suaminya yang duduk di singgasana kursi roda. Sang suami tidak bisa menahan karena memang persediaan papan jongjing sudah menipis.

Belanja papan jongjing bukan ke kota tapi jauh ke pelosok desa. Ke hutan tempat batang jongjing bulat diolah menjadi papan. Petani jongjing yang ingin lebih rupiah yang didapatnya lebih senang mengolahnya sendiri dengan gergaji manual. Sebagian lagi lebih senang menjualnya ke pengusaha besar yang punya mesin pengolah kayu.

Ke hutan inilah majikan dan pekerjanya menuju. Hutan sunyi untuk mereka bernyanyi. Menyenandungkan lagu sepi. Bukan hal sulit bagi sang nyonya dengan seabreg penghalaman bisnis untuk berhenti sebentar dua bentar. Dan tentu saja bukan hal sulit baginya untuk menemukan tempat nyaman untuk melepas dendamnya.

Apa yang menutup hati mereka? Hasrat asmara. Hasrat sufiyah. Manusia disebut sebagai mempunyai 4 macam nafsu, Konon nafsu-nafsu itu diberi nama : amarah, lawwamah, sufiyah, dan muthma”inah.

Bagaimana membedakannya dalam kelakuan hidup?

Ketika pikiran dan perasaan lepas kendali, misalnya engkau diludahi oleh seseorang. Engkau marah, mengumpat, memukul, atau balik meludah, atau sampai berkelahi. Kelakuan seperti ini didorong oleh nafsu amarah.

Engkau marah-marah karena gelas pecah, atau pulpen hilang, atau peristiwa yang lebih dari itu. Lalu hatimu berbisik “mengapa engkau marah. Bukankah marah itu mendatangkan keburukan?” Untuk kesalahan kecil kau marah besar. Hatimu sendiri berbisik, “segitu aja kok kau marah besar. Nah, bisikan yang menegur kamu adalah bisikan yang timbul dari nafsu lawwamah. Celakalah orang yang pura-pura tuli atas nafsu lawwamahnya sendiri.

Engkau cinta keduniaan. Cinta kepada harta benda, anak, isteri, saudara. Ibu. Apa saja yang kadang-kadang kecintaan itu membuat kamu lupa. Lupa sebentar, atau lupa lama, atau lupa sama sekali akan tuntunan kebaikan, itu didorong oleh nafsu sufiyah. Cintamu kepada hangatnya berahi membuat kamu berlebihan. Melakukan sesuatu yang hewanpun tidak melakukannya. Itu sufiyah, Sufiyah yang seimbang menjadi barokah. Sufiyah tak terkendali bisa menjadi musibah.

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler