Skip to Content

URIP SEPISAN MATI SEPISAN (8)

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

Hati yang tenang. Selalu menjaga keseimbangan kerja otak dan kerja hati, berpikir dan merasa. Tidak terlalu betah di dunia tidak takut, tidak khawatir akan kematian. Ketidakkhawatiran atas kematian, kehilangan, bukan hanya hiasan bibir tapi betul-betul tumbuh bersemi subur dalam pikiran dan perasaan yang seimbang, itulah muthma”inah. Sedikit orang yang bisa berada pada kondisi nafsu ini. Muthma”inah selalu terdesak, terbenam ke dalam. Kadang-kadang tidak nampak sama sekali.

Allah tidak akan mengubah nasib sebuah kaum jika kaum itu tidak mengubah nasibnya sendiri. Kaum itu kelompok. Dalam kelompok ada orang perorang. Lelaki hancur adalah orang. Sesosok pribadi. Dalam dirinya dan dalam setiap diri ada hak untuk mengubah. Hak yang telah diwariskan kepada setiap manusia.

Dengan kesadaran inilah ia sekarang bergerak mengayun langkah. Matanya yang dulu mati sekarang sudah mulai hidup. Ketika matanya mati yang dilihatnya hanyalah buah dada anak baru gede yang setiap saat bisa diajaknya tidur bersama. Bersama bukan hanya berdua. Tapi bertiga bahkan berempat. Matanya hanya bisa melihat celah yang dikelilingi semak halus, yang dalam pikirannya celah dan semak inilah yang bisa menerbangkannya ke puncak kesenangan.

Lelaki hancur ini buta matanya terhadap orang terlantar, anak yatim piatu, orang jompo, bangunan mesjid yang perlu dana, pesantren. Dan buta tentang tetangga kiri kanannya yang hanya bisa menonton pertunjukan kemewahannya dan kesukaannya menghambur-hamburkan uang.

Kini ia sedang berjalan. Memikul beban berat.Yang paling berat adalah bebannya tentang utang. Ia belum membayar gaji karyawannya. Enam bulan terakhir sebelum perusahaannya ambruk ia hanya memberi janji dan janji. Ia belum membayar utang kepada beberapa orang temannya yang memberinya pinjaman dalam rangka membenahi perusahaannya yang ibarat bangunan maka bangunan itu sudah miring. Dan masih banyak lagi. Dari yang jumlahnya ratusan juta sampai ke ratuan ribu. Bahkan ia ingat belum membayar utang ke warung dimana beberapa bulan terakhir ua tidak punya uang untuk membeli sekedar makan sehari dan kopi pagi hari.

Setelah sekian lama ia tidak memegang uang baru ketika lelaki gagah meninggalkan sejumlah uang, setelah meniduri isterinya ia melihat dan memegang uang. Uang yang menyakitkan jiwa raganya. Uang yang kemudian dijadikan modal oleh isterinya untuk join usaha dengan Butet.

Selama berjalan mencari perempatan kenangan masa lalunya sesekali menjadi tontonan dalam pikiran perasaannya. Setiap kenangan pahit itu muncul ia tekan dengan Allah Allah dan Allah.

Menekan kenangan pahit untuk menjadikan kenangan itu menjadi tidak pahit dan tidak manis bukan hal mudah. Banyak manusia yang terjebak dalam kenangan masa lalunya yang manis. Ia masih bermanis-manis pada saat yang seharusnya ia berpahit-pahit.

Perempuan paruh baya, yang sebentar lagi masuk ke masa menopause kebanyakan menjadi wanita gelisah. Ketika ia sudah tidak bisa bercanda dengan teman-teman seumurnya dengan candaan “aku sedang dapet” atau “wah, aku nggak bisa nih sista, ada tamu” atau “bendera merah berkibar.”

Ketika menopause yang semakin kurang hitungan harinya. Ketika yang keluar hanya berupa bercak ludah yang merah bukan putihpun bukan, masa itu jika tidak terkendali akan menjadi bahaya besar.

Bahaya besar jika disandangkan kepada norma kehidupan yang aturannya sudah jelas. Jika ia tidak paham atau tidak mau memahaminya maka banyak yang jadi buas. Bagi yang banyak duit mereka dengan mudah memasang perangkap untuk menjerat perjaka. Perjaka asli atau bukan tidak masalah. Yang penting bisa mengisi kehausan.

Masa yang dihadapi majikan perempuan ini menjadi lebih parah karena sejak ia masih subur ia sudah kehilangan kesempatan menikmati manisnya madu malam dan madu siang. Madu siang hanya tinggal bayang-bayang. Madu malam hanya tinggal kenangan kelam.

Suami harus duduk di kursi roda. Tidak berdaya. Berdampingan siang hari di toko sudah tidak ada gairah bercanda karena candaan hanya akan menambah berat baginya. Berdampingan malam di ranjang ia hanya bisa membuat khayalan. Apa yang dikhayalkannya ada disampingnya. Di satu ranjang tapi hanya bisa telentang.

Dengan pembantunya, yang awalnya hanya tukang aduk dan kini bisa duduk bersama dalam mobil ia merasa hangat dan segar. Dingin ase mobil bukan mendinginkan hasratnya. Malah membakar. Dan terbakar. Dalam perjalanan sebelum mereka mampir di hotel ini berkali-kali dia berhenti. Ia memeluk dan menciumi lelaki ini. Ia minta lelaki itu membuka bajunya untuk menciumi dada tegap dan berbulu.

Lelaki gagah itu tidak diam. Ia merenggut dan merenggut. Baginya tidak ada apipun selalu panas. Apalagi api ini menghampiri dan sengaja membakarnya. Ia balik menyerang. Tapi tidak bisa selesai.

Keluar dari mobil ia harus memegang bagian depan bajunya yang robek. Basa basi dengan pegawai hotel sebentar untuk kemudian masuk ke kamar. Dingin menekan tapi panas yang terasa. Panas semua.

Belum lagi kamar dikunci lelaki itu sudah menariknya dan membaringkannya. Tidak ada lemah lembut seperti yang diingini oleh majikannya. Majikannya diterbangkan dalam rintih kesakitan. Majikannya diayun berkali-kali sehingga tidak bisa bangun. Tidak bisa berkutik. Ketika lelaki gagah ini sampai ke puncak pendakian dan majikannya sudah berkali-kali mendesah karena basah, raungan kepuasannya menembus pintu kamar.

Pegawai hotel yang karena tugasnya harus mengantarkan minuman terhenti di pintu. Lututnya gemetar mendengar raungan dalam desah yang ditahan. Ia balik kanan meninggalkan pintu. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan dua manusia di dalam kamar. Sang majikan berusaha untuk melegakan nafas karena dada berbulu itu kini menindih badannya, Lelaki gagah itu terlalu lama menahan gejolak. Sejak ia kabur dari kampung karena bingung harus memilih mana satu dari empat gadis yang dihamilinya, baru kali ini ia menemukan lagi.

Tidak ada kesempatan untuk membandingkan tubuh abege yang dihamilinya dengan tubuh wanita paruh baya ini. Yang ia lihat hanya kesempatan. Ia terkulai lemas di atas tubuh majikannya. Entah berapa detik atau berapa menit ia membuat majikannya susah bernafas. Dan ketika ia merasa ada tangan yang mendorong tubuhnya ia berguling dan terbaring. Majikannya memeluk mendekap dada yang digandrunginya. Tangannya lincah menari menelusuri memburu waktu untuk keinginan yang kedua kali.

Pengembara menatap langit. Ia berteriak “Allah”. Untuk kesekian kalinya ia menemukan perempatan lagi. Orang terkejut mendengar teriakannya. Banyak mata memandang. Seorang lelaki, badan kurus, mata cekung dalam, bahu tidak dikancingkan. Sarung yang dipakai sekedarnya.

Entah sudah berapa lama ia tidak mandi. Kulit mukanya hitam terbakar panas mentari kemarau. Ia kini mempunyai sebuah karung. Ia lebih cocok disebut orang gila pemulung. Isi karungnya makanan pemberian. Ia tidak meminta tapi langit memberinya lebih. Ia tidak bisa makan semua makanan itu tapi ia juga tidak mau membuangnya. Tangannya memegang erat mulut karung ketika karung yang berisi lebih dari setenga itu dipanggulnya.

Ia belok kanan menjemput kisah barunya. ia tidak berani lagi singgah di mesjid karena merasa dirinya secara fisik kotor. Dulu saja ketika masih sehari dua hari ia ditolak. Apalagi sekarang. Dengan keadaan yang tidak mungkin untuk masuk. Meski tidak masuk ia menyempatkan diri berhenti. Memandang mesjid dengan pandangan jauh. Di mesjid yang ada kuburannya jiwanya tersentak. Hatinya teriris pedih.

Di kuburan itu ia melihat bapaknya melambaikan tangan kemudian menengadahkan tangan berdo’a. Sudah lama ingatan tentang bapak lenyap dari ingatannya. Tiba-tiba disini ia tidak meminjam mata melihat bapaknya. Ia berteriak keras, “Allah …Allah ….Allaaaaah.”

Adakah yang peduli? Tidak ada. Mereka yang berbondong-bondong keluar, yang jalan kaki, naik mobil, tak ada yang peduli kepada lelaki “gila” yang terisak-isak berurai air mata. Tenggelam dalam rindu dan cintanya kepada bapaknya. Tenggelam dalam cinta yang dititipkan Allah kepadanya. Tenggelam dalam cinta Allah.

Tidak. Bagi kebanyakan orang, Allah itu di mesjid. Coba lihat dan dengar.

Tapi beberapa orang menjadi heran. Tak habis heran.

“Hai…lihat itu… banyak kupu-kupu hinggap di orang gila.”

“Mana?”

“Tuuu, ituuu…liat … aneh ya.”

 ”O iya yaaa… hey ,,,liat nih, di kepala orang gila ada kupu-kupu.”

Akankah kupu-kupu hinggap pada kelopak yang tidak indah? Tidak. Kupu mempunyai takdir cinta keindahan. Dan ini sungguh keanehan. Apakah lelaki ini tampak seperti kelopak bunga?

Ia berjalan terus dan terus dengan Allah. Bukan saja dengan Allah. Ia sudah mulai dengan Allah, sedang dengan Allah, dan menuju Allah.

Belok kanan di perempatan ini ia menginjak jalan tanah di tepi sungai. Sungainya tampak sedang penuh. Itu sebenarnya bukan jalan. Itu tanggul. Air sedang meluap, Jika keadaan begini pasti hujan lebat di hulu. Ia memanggul karung dan memegang erat mulut karung.

Ada dua orang lelaki. Dua lelaki ini sedang berjaga-jaga. Mereka khawatir empang mereka akan kebanjiran. Keduanya duduk di tanggul. Mengira lelaki hancur ini seorang pemulung mereka menegur. Mengingatkan.

“Mau kemana? Disana tidak ada kampung. Balik lagi saja.”

Lelaki hancur menahan langkah dan menjawab “Allah”. Lalu ia meletakkan karung dan membukanya sambil berkata “Allah”.

Kedua lelaki itu tidak terkejut. Keduanya menghampiri lalu melihat isi karung. Ada banyak bungkusan nasi dan macam=-macam makanan lainnya. Ada botol dan gelas akua.

Mereka tertawa dan langsung mengerti ketika lelaki hancur menunjuk empang sambil berkata “Allah.”

Hati yang sama bersih mudah membuat jembatan. Dalam waktu singkat terciptalah jembatan. Yang muda, mungkin anaknya, mengeluarkan isi karung dan memidahkannya ke ember. Yang tua menjumput sebatang rokok, memberikannya kepada lelaki hancur sekalian dengan korek apinya.

Pertemuan dengan dua orang di tepi sungai menghantar energy bagi lelaki hancur ini. Ia merasa diterima sebagao manusia waras karena ia memang waras. Pemberiannya kepada pemilik empang diterima. Ia tidak mau apa yang dimilikinya terbuang. Makanan isi karungnya bisa menjadi makanan ikan peliharaan empang.

Ia bahagia, bahagia sekali bisa memberi sesuatu dan bahagia pemberiannya dengan ikhlas diterima dengan tawa gembira.

Ia berdiri dan berangkat. Ia tidak balik kanan meski diberitahu bahwa arah yang ditujunya tidak ada kampung lagi. Inilah jalannya. Perempatan yang menghadiahkan kebahagiaan yang menusuk ubun-ubunnya.

Ia berjalan. Suara air melawan pohon tumbang yang menghambat derasnya dalam perasaannya menjadi musik pengiring lagu kalbunya.

Allah Allah Allah Allah……Allah Allah Allah Allah

Allah Allah Allah Allah …Allah Allah Allah Allah

Ia sudah merasa dekat ke tujuannya.

 

Diyah muntah. Kali ini bukan muntah kekenyangan kencan. Naluri sebagai perempuan berkata lain. Ada sesuatu dalam rahim. Diyah punya ciri wanita mudah hamil. Bentuk pinggulnya dan pinggang terbaca sebagai tanda akan punya banyak anak.

Sejak sore Diyah muntah. Dekat ke tengah malam sudah berkali-kali  ke kamar mandi. Ia berharap lelaki gagah datang malam ini. Ia akan bercerita kepada lelakinya tentang isi perutnya, Ia sudah yakin sekali karena haid telah terlambat hampir tiga minggu. 

Nafsu makannya beberapa hari ini tak karuan. Makanan yang dibawa sahabatnya Butet tadi siang nyaris tak disentuh. Hanya minum dan minum. Itupun muntah lagi.

Kehamilan tidak aneh jika berpengaruh atas tingkah laku sang ibu. Dan keanehan itu dialami Diyah. Ia sangat rindu pelukan. Kesendirian ini sangat menyiksanya. Dan ia sangat merindukan lelaki gagah memeluknya. Dalam kerinduan yang tak berjawab ini ia bangun dari berbaringnya.

Naluri keperempuanannya membawa ia menghadap cermin yang menempel di dinding. Cermin ini adalah benda kesayangannya. Cermin inilah yang dipandangnya ketika ia bergelut dengan lelaki gagah yang menggilainya. Dia senang melihat diirinyadipeluk, diangkat, digulingkan ke kiri, ke kanan. Ia nyaris tidak memejaman mata ketika adegan asnaranya tampak di cermin. Yang paling dirindukannya adalah ketika lelaki gagahnya terkulai layu sambil terguling setelah menahan geraman kepuasan.

Dan naluri gila syahwatnya yang parah adalah ia senang melihat dirinya meraih kain apa saja yang bisa diraihya untuk membersihkan air kental yang perlahan keluar..

Kali ini didorong oleh keinginannya yang sudah tertahan beberapa hari karena lelaki gagahnya tidak datang ia meraba-raba badannya. Telanjang di depan cermin memandang keindahan tubuhnya sendiri. Ia meraba seluruh apa yang bisa diraba. Tapi rabaan itu terasa dingin. Tiada rasa. Ia merasa berada dalam gua hitam gelap pada malam tanpa bukan tanpa bintang.

Dan ia sungguh meledak ketika kode ketukan pada pintu depan. Telanjang bulat ia bergegas membuka pintu. Di hadapannya kini ada lelaki gagah yang sangat ia tunggu kedatangannya. Sementara lelaki itu mengunci pintu ia sudah jongkok. Jemarinya yang juga ikut terbakar hasrat asmaranya dalam sekejap memegang sesuatu.

Malam dengan tawa setan. Malam dengan dengus nafas kuda jantan liar mengejar kuda betina liar di padang rumput. Malam dengan cerita dosa.

Dan Diyah harus kembali sendiri karena lelaki gagahnya harus pulang. Lelaki itu berjanji kepada majikannya hanya untuk keluar sebentar.

Tidak lama setelah lelaki itu pergi Diyah kembali muntah. Ada sesuatu yang masuk ke tenggorokannya. Jika tadi ia sangat bernafsu untuk menelan lebih banyak lagi, kalau bisa mengeringkannya, kini mendoromg keluar.

Diyah merasa tubuhnya sangat lelah. Sebelum terbaring ia sempat bercermin dan memastikan ada bekas gigitan yang membuat dadanya terasa ngilu. Gigitan yang tadi ia rasakan sebagai sebuah kenikmatan setelah semua selesai kembali kepada aslinya, Gigit yang meninggalkan bekas sakit.

Sang Pengembara berjalan sepanjang tanggul. Hutan bambu di sebelah kiri tanggul mengiringi langkahnya dengan lagu gesekan daun. Sementara di sebelah kanannya ada lagu air deras gemericik.

Suara guruh yang mendekat membawa berita hujan akan datang. Hawa airnyasudah terasa. Dingin menyentuh tubuh. Hari mulai gelap. Langit kelam berawan hitam tebal.

Lelaki yang menemukan kekuatan dari pertemuannya dengan dua lelaki di empang tadi tetap melangkah gagah. Hampir  tiga jam ia berjalan tanpa lelah. Karung kosong dioegangnya dengan tangan kanan sementara tangan kirinya memegang sarung yang hampir lepas.

Pengembara yang telah lama kehilangan pengakuan tercerahkan dengan kata “Allah” yang menjadi jembatan penghubungnya. Ia merasa gumaman Allah bukan hanya pada bibirnya saja tapi ia dibimbing oleh getaran Allah dalam dadanya.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler