Skip to Content

Wajah Palsu

Foto ilham weha

WAJAH PALSU

 Oleh : Ilham Weha

Ding !Sebuah permintaan pertemanan dari orang entah muncul ketika facebooku aku buka. Namanya tak ku kenal. Fotonya asing juga.Info di profilnya gelap. Pekerjaan tidak disebutkan. Asal kota tidak ada. Termasuk asal sekolah dan kuliah. Semua tidak disebutkan. Bahkan foto diprivasi hanya untuk teman. Daftar teman kosong. Mungkin diprivasi biar hanya dia yang lihat. Halaman berandanya juga. Semua bersih. Tak ada satu statusnya bisa kubaca.

Klik ! Dengan segudang tanda tanya akhirnya aku klik tab confirm. Pikirku hanya dengan begini info orang itu dapat jelas. Tapi salah. Setelah permintaan pertemanan kuterima, satu-satunya yang bisa kulihat hanya status yang ditulisnya.

Hampir semua statusnya protes dari keadaan. Protes tunjangan sertifikasi guru yang telat. Protes perubahan kurikulum sekolah yang membingungkan. Proses tugas tambahan guru yang memberatkan. Protes buku-buku pelajaran yang tidak bermutu. Selebihnya postingan foto profil berisi kata-kata motivasi.

Dari sini aku simpulkan orang itu guru. Tapi siapa dia aku tidak tahu. Aku tidak punya teman guru. Tidak juga teman dari teman guru. Juga saudara guru. Bahkan tetangga guru. Lalu siapa orang itu?

Makasih dah confirm” tiba-tiba orang itu inbox aku. “Semoga pertemanan ini menghasilkan hal positif” sambungnya.

“Iya sama-sama. Apakah kita pernah kenal sebelumnya?” tanyaku padanya dan dijawab dengan emoticon tawa. “Apakah berteman di dunia maya ini harus kenal dulu di dunia nyata? Tidak bukan?” katanya kemudian.

Aku diam. Diam-diam juga membenarkan omongannya. Memang tidak satu pun undang-undang di negara ini melarang pertemanan. Termasuk Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Transaksi Informasi dan Transaksi Elektronik. Sial !

***

Ding ! Sebuah permintaan pertemanan datang lagi. Kali ini orangnya beda. Semua info profil dapat dilihat. Asal kota ada. Pekerjaan ada. Asal sekolah ada. Status hubungan ada. Daftar temanpun dapat aku lihat. Hanya status yang ditulisnya tidak tampak. Tapi ini wajar. Kadang orang memprivasi status untuk teman saja.

Penasaran dengan statusnya yang tidak bisa kubaca akhirnya kuterima permintaan pertemanannya. Klik ! Detik selanjutnya semua terbuka. Aku teliti satu demi satu. Mulai dari status terbaru sampai terbawah.

Semua status tentang perasaannya. Tentang kesepiannya di malam Jumat. Tentang haus  pada cinta saat malam datang. Tentang hatinya yang diabaikan seseorang. Tentang keinginannya bersama hawa. Tentang pagi, siang, sore dan kelam yang sendiri dihadapinya.

Makasih dah confirm” tiba-tiba orang itu inbox aku. “Semoga pertemanan ini menghasilkan hal positif” sambungnya.

“Ok. sama-sama. Kita pernah kenal sebelumnya kah?” tanyaku padanya dan dijawab dengan emoticon tawa. “Apakah berteman di dunia maya ini harus kenal dulu di dunia nyata? Tidak bukan?” katanya kemudian.

Aku telan ludah. Ada yang aneh dari orang ini rasanya. Tapi apa entah. Aku tak berani menilainya sebelum semua jelas.

Tapi adakah yang benar-benar jelas di dunia maya ini? Adakah yang bisa dipercaya? Adakah yang benar-benar tak bertopeng menunjukkan pelangi diri? Sepanjang mata kupandang hitam jadi putih jadi merah jadi kelabu menipu mata dan hati.

Dalam situasi seperti ini sikap menjadi kompas. Salah arah tenggelam. Ikut angin kemana tiada berwajah. Kompas itulah yang menentukan. Tinggal kita setia atau tidak padanya. Hati yang menentukannya.

***

Kututup laptop. Perih mata. Mungkin karena terlalu lama di depan layar. Mungkin juga karena jarak mata dengan lid terlalu dekat. Ada yang bilang jarak aman mata dengan monitor itu 20 senti. Ada yang bilang 50 senti. Lainnya bilang 2.5 kali diagonal layar. Dari mana angka-angka itu entah. Hanya pusing kurasa. Mata berat. Seperti ada kabut melayang-layang di hadapan. Kabut itu semakin tebal merambat dan bergulung di udara.

Dalam gulungan kabut itu tiba-tiba kulihat sosok bapak. Awalnya remang. Tapi lama-lama semakin jelas. Tubuhnya masih seperti yang aku kenal. Tinggi dan gempal. Seperti biasanya, bapak mengenakan sarung dan telanjang dada. Kumis dan rambutnya memutih semua. Keriput di wajah seperti anak sungai mengalir di padang gersang. Tapi matanya bersinar penuh semangat.

Bapak mendekat lalu duduk di sampingku. Darahku beku saat tangannya pegang pundakku. “ingat pesanku dulu!” ucap bapak. “Hiduplah jujur meski di sekitar kita banyak yang palsu”

Suara bapak bergema. Mulutku terkunci walau ingin berkata. Hanya mataku bergerak. Lalu kulihat sekeliling kabut perlahan pudar. Semakin tipis dan menghapus bapak dari hadapan.

Kupandang laptop yang tergeletak. Betul kata bapak. Di sekitar kita ada begitu banyak kepalsuan. Bukan di dunia nyata saja tapi juga di dunia maya. Status palsu. Komentar palsu. Jempol palsu. Foto palsu. Lokasi palsu. Kelamin palsu. Umur palsu. Pekerjaan palsu. Hobi palsu. Minat palsu. Sekolah palsu. Produk palsu. Alamat palsu. Kota palsu. Teman palsu. Orang palsu. Sama seperti dua orang teman baruku tadi. Mereka dua manusia dengan nama beda tapi fotonya sama. Palsu !

Malang, 21 Desember 2016

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler