Skip to Content

Wanita Pejuang itu Masih di Situ; Mengingat Anaknya di Depan Jendela yang Menganga

Foto jay

ANGIN malam masih mengalun lembut bersama-sama suara-suara malam. Keheningan menyambar di segenap lingkungan. Sunyi menusuk-nusuk, makin menambah sunyilah perasaan wanita tua itu. Dia membuka jendela. Dibiarkannya angin malam berebutan masuk. Dia ingin bercanda dan bercumbu sepuas-puasnya bersama malam. Langit di luar kontras sekali dengan ruangan kamarnya yang serba putih.

Wanita tua itu membuang pandangannya ke langit. Nampak mata tua yang lelah dan kosong. Suasana malam makin membuat larut lamunan wanita tua itu. Lamunan wanita usia tujuh puluh limaan lebih itu larut bersama angin, melintas bersama bintang-bintang malam, bersama langit yang hitam.

“Bintang Margono…,” suara batin wanita tua yang rambutnya lebih banyak warna putih dibandingkan warna hitam yang menghiasi kepalanya itu kembali berkata-kata sendiri. “Aku merindukanmu saat ini, anakku. Kamu pasti merindukan ibu bukan? Aku ingin memelukmu, bintang.”

“Kamu memang anak ibu yang gagah. Kamu masih ingat ketika ikut berbaris di belakang peleton-peleton infantri. Kamu dengan senapan kayumu, dan tanpa baju. Kamu juga pernah melempar genteng rumah Mayor Verdomme, bersama dengan anak-anak sepermainanmu. Kamu menganggap batu-batu itu adalah granat. Kamu nakal Bintang dan ibu bangga itu.”

“Saya baru saja menggempur markas Belanda, bu,“ katamu waktu itu. Padahal kamu habis melempari rumah Mayor Verdomme, yang artinya dalam bahasa Indonesia 'terkutuklah kau'.

Kamu memang bandel, bintang. Dan itulah yang ibu suka. Kamu juga masih ingat dengan rengekkanmu yang selalu ingin ikut ayahmu berjuang. Kamu masih ingat itu, Bintang. “Aku ingin ikut pula mengusir penjajah, yah…,” katamu. Bintang…Bintang usiamu kan saat itu belumlah tujuh tahun!

Kamu memang gagah seperti ayahmu, Bintang. Ayahmu Sersan Margono Jaya Poetra adalah pejuang patriot sejati yang gugur di medan pertempuran. Ah, kenangan itu selalu bermain-main dibenak ibu, Bahri. Kita yang selalu mengungsi dari desa ke desa atau terkadang ke tengah hutan. Kita yang selalu makan apa adanya yang bisa  dimakan buat mengganjal perut untuk hidup demi perjuangan. Ibu rindu dengan kenangan itu Bintang. Ibu rindu dengan pekik-pekik suara merdeka. Dan ibu rindu pada suaramu, Bintang. Suara kecil yang meneriakkan dengan lantang pekik merdeka. Ah, kenangan-kenangan itu begitu manis. Begitu indah untuk dikenang kembali. Kenangan ibu ketika pertama kali bertemu dengan ayahmu pun tak akan pernah bisa ibu lupakan. Kenangan itu telah terbingkai pada hati ibu, Bintang.  Pada pikiran dan ingatan ibu.

Kamu tahu, Bintang? Perkenalan ibu dengan ayahmu di dapur umum. Ibu bertugas memasak dan menyediakan makanan untuk para pejuang. Dan salah satu pejuang itu adalah ayahmu. Ah, mata ayahmu bagaikan elang, Bintang. Dia selalu memperhatikan ibu. Ibu jadi salah tingkah dibuatnya. Ayahmu memang pejuang yang gagah berani, tak takut mati. Tapi dia takut pada perempuan, Bintang. Dia sangat pemalu, tapi ibu sangat memakluminya.

Ah, kurasa kamu tak perlu tahu, Bintang. Kalau ayahmu menyatakan cinta lewat seorang temannya, sebagai penghubung.  Ayahmu bukanlah seorang pengecut. Dia adalah seorang pejuang sejati yang gugur di medan pertempuran. Dan setelah itu ibu  juga menyambut cinta ayahmu. Beberapa bulan kemudian ayahmu melamar ibu, Bintang. Perkawinan kami  dalam suasana perjuangan. Sangat sederhana sekali. Perkawinan ibu dan ayahmu di antara desingan dan dentuman peluru dan bom. Dan dalam suasana itulah kamu lahir, Bintang. Suara-suara peluru dan bom-bom yang dijatuhkan dari pesawat tempur seakan turut menyambut kehadiranmu, anakku. Suara-suara merdeka bersamaan dengan jeritan tangismu. Jeritan tangismu nyaring, Bintang. Mengalahkan suara-suara peluru, suara-suara granat, suara-suara bom. Ayahmu senang sekali. Anak laki-lakinya telah lahir. Ah, kenangan itu terlalu manis dan tak sangup ibu melupakan itu semua.

Bintang… anak laki-laki ibu yang gagah, kamu merindukan ibumu saat ini, bukan? Kamu menyayangi ibumu, bukan?. Pertempuran-pertempuran melawan penjajah terus berlangsung di mana-mana. Berjuang untuk kemerdekaan, bintang. Untuk kebebasan yang membelenggu diri kita. Tubuh-tubuh tanpa nyawa telah banyak bergelimpangan. Darah-darah ikut pula mewarnai kemerdekaan. Penjajah harus diusir kan, Bintang? Penjajah dalam bentuk apapun.

Tangisan-tangisan anak-anak yang kehilangan ayahnya sudah biasa terdengar dimana-mana. Nyawa-nyawa terasa begitu tak berharga. Penjajah memang kejam, Bintang. Apakah kamu tahu pertempuran di Surabaya, di Bandung, di Yogyakarta dan di kota-kota lainnya di Indonesia. Kamu masih ingat itu, Bintang. Kamu tahu artinya mayat-mayat itu, Bintang? Kamu tahu artinya tulang-tulang dan darah-darah itu, Bintang? Perang memang kejam, Bintang. Dia bisa menginjak-injak kepala kita. Memborgol tangan dan kaki kita hingga sulit bergerak. Hingga kita tak bisa berbuat apa-apa. Dan perang pula yang menghancurkan harapan-harapan kita. Bintang, anak ibu yang gagah. Ibu ingin mendekap dan mencium kamu saat ini.

                                                                                                ***

 

BINTANG Margono sedang duduk di kursi dalam ruangan ber-AC. Dia menyandarkan kepalanya pada sandaran kursinya yang mewah. Dia menghisap kembali rokoknya. Dan asap kembali mengepul-ngepul. Dia memperbaiki dudukannya, perutnya yang buncit ikut bergerak dan kedua kakinya kini terletak di atas meja di hadapannya.

Kini kepalanya pusing. Baru kali ini dia tak bisa tidur. Biasanya jam-jam begini dia tidak berada lagi di sini, di kantornya. Kepalanya pusing, dia tersangkut masalah dengan seorang cukong kenalannya. Karena katebelece!  Bintang Margono. Kepala dia pusing tujuh keliling, kini. Biasanya, sebagai  seorang pejabat pemerintahan, Bintang Margono sering membuat pusing orang. Tapi kini dia pusing, jabatannya terancam. Jabatan, pangkat dan uang. Hanya itu sekarang yang ada dalam pikirannya. Tidak ibunya.

 

                                                                                                ***

 

ANGIN malam yang membawa dingin merangkul wanita tua itu. Tapi dia tak perduli. Matanya yang kosong terus menatap kelangit, seolah-olah  Bintang Margono, anaknya berada di sana. Memang, saat itu lamunannya sedang bermain-main di sana. “Bintang, anak ibu yang gagah…,” suaranya kini benar-benar keluar dari mulutnya. “Ibu rindu akan semangatmu yang dulu. Ibu rindu pekik merdeka-mu dulu,” mata wanita yang lelah itu teru menatap ke langit. Hanya di langit ada cahaya. Malam yang pekat semakin pekat. Angin malam dan suara malam masih mencumbui dan bercanda dengannya.

“Apa kabarmu, Bintang?” suara wanita tua itu lagi. “Ibu rindu kamu. Ibu ingin memelukmu. O, ya Bintang. Bagaimana dengan cita-citamu, kamu ingin menjali pembela yang lemah, kamu ingin membantu orang kecil? Bagaimana, Bintang? Apakah cita-citamu kini sudah berhasil?” suara wanita tua itu. Mengumam dia. Karena kerinduan seorang ibu?.  “Bintang, anak ibu yang perkasa, kamu ingat ibumu bukan? Ibu yang melahirkan kamu. Ibu yang mencintai kamu. Oh, Bintang dimanapun kini kamu berada semoga kamu ingat ibu.”

Wanita tua itu masih di situ, di depan jendela yang menganga. Tak ingin sedikit pun dia beranjak dari situ. Tak ada tanda-tanda untuk beranjak.  Padahal angin malam bukanlah sahabat yang baik.

 

                                                                                                ***

 

BINTANG  Margono kembali menyulut rokoknya. Padahal di situ jelas-jelas ada tulisan: Dilarang Merokok. Tapi dia tak perduli, karena dia pimpinan kantor itu. Sehabis menghembuskan asap rokoknya, Bintang Margono tersenyum sendiri. Lalu dia mengangkat telepon. Mengapa harus pusing-pusing semuanya bisa diatur, pikirnya. Dia masih punya taring dan cakar. Dia masih menggunakan itu, mengapa harus pusing, pikirnya. Bukankah masih banyak kenalan-kenalannya. Sehabis menelepon, Bintang Margono kembali meletakkan horn telepon. Dia ingin pulang. Dia ingin tidur bersama istrinya. Yang cantik malam ini. Dia tidak ingin ke rumah Marsa Wulandari, sekretarisnya yang aduhai itu. Biarlah besok saja. Dia ingin mulai besok semuanya berjalan normal kembali. Menyulap uang kantor dan bercinta dengan Marsa Wulandari.

Sementara itu tak jauh dari rumahnya yang mewah : Ada lapangan tennis di samping rumah. Ada kolam renang di belakang rumah. Juga rumah-rumah yang lain. Di tambah dengan tiga mobil dan isi rumah yang wah!, sekitar tiga ratus meter dari rumahnya, seorang wanita tua masih melamun sendiri di depan jendela yang masih menganga. Terkadang dia tersenyum-senyum sendiri atau sebentar-sebentar dia menangis sendiri. Hampir tiap malam (kalau tidak ada suster rumah sakit jiwa itu) dia melamun di depan jendela itu. Di benaknya dia ingin (berharap) suatu saat sang anak, Bintang Margono, segera menjemputnya.

“Lho kok Ibu Pertiwi belum tidur?” seorang suster cukup manis mengagetkan dan membuyarkan lamunan wanita tua itu. “Ibu Pertiwi!” suster itu Nampak  marah, tapi hanya sebentar, lalu katanya : “Sersan Mayor Ibu Pertiwi Margono!” suster itu menegakkan badannya dengan sikap siap.

 Dan wanita tua itu lalu berbalik dengan sikap siap pula.

 “Sersan diharap tidur!” suara suster itu tegas.

 “Siap! Merdeka!” wanita tua itu lalu pergi. “Merdeka!” . ***

 

 

=============================================

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler