Skip to Content

weling

Foto Anjungan Anwar

Malam makin larut, hujan yang turun sedari tadi sore tak kujung reda. Suasana kampung tak seperti biasanya, ramai. Tak banyak kendaraan yang lalu lalang di jalan itu, mungkin karena malam itu malam jum’at lagipula hujan, kebanyakan warga desa memilih bertahan di rumah mereka masing-masing.

Jarum Jam telah menunjuk pukul 22.00 malam. Pak Karta masih duduk termenung sendiri di dipan bambu, di ruang yang sempit. Dalam ruanga itu terdapat sepasang kursi dan sebuah meja. Keadaannya tak begitu rapih. Ruang itu kira-kira hanya berukuran tiga kali tiga meter.

Segelas kopi pahit beserta sebatang rokok lintingan buatannya setia menemani pria paruh baya itu. Entah apa yang sedang ia fikirkan, sedari bahda Isa, yang dilakukannya hanya melamun sepertinya ada permasalahan yang sedang menyelubungi hatinya. Entah apa. Sepertinya ia lebih suka hanya menyimpannya sendiri. 

Tiba-tiba terdengar bunyi geretan dari sebuah bilik, suara itu berasal dari pintu yang terdorong. “Glereeet ….”

Dari balik tirai muncul istri Pak Karta. Serentak menyapa.

“belum tidur to Pa …?” Dengan nada sedikit serak istrinya.

Tak ada firasat apapun ia hanya menyira-ira apa yang difikirkan suaminya. tanpa menoleh pada istrinya pak Karta berkata. “Belum ngantok Bu, Ibu hendak ke mana?”

“Anu, … Pa aku mau ke sumur mengambil air wudhu. (solat isa) jawabnya kemudian lalu.

Saat istrinya kembali, Pak Karta masih asyik merenung. Berkali-kali dihisapnya rokok yang sudah hampir tinggal putungnya itu. Berkali-kali pula ia menyeruput kopi pahit hitam. Kali ini istinya tidak berani menyapa dan bergegas kembali ke kamar.

Malam kian larut, hujan berangsur-angsur mereda. Pak Karta beranjak dari duduknya, ia nampak mencari sesuatu di almari. Sebuah senter batrai sudah ditangan, sepertinya Pak Karta hendak keluar rumah. Ia tak perlu membangunkan istrinya karena kebetulan ia membawa kunci cadangan. Setelah memastikan pintu rumah itu terkunci rapat, Pak Karta berjalan ke arah samping rumah, lalu hilang dalam gelap.

Entah pergi ke mana malam itu, yang jelas ia tak membawa apapun hanya sebuah batrai dan sehelai kain sarung yang melingkar diperutnya.

 

****

Suara kumandang azan dari surau Mbah Abu sudah sayup-sayup terdengar ditelinganya. Namun Pak Karta masih asyik bergulat dengan cangkulnya, ia beniat menyelesaikan beberapa petak lagi agar hari itu semua cangkulannya bisa selesai. Besok harinya ia tinggal memotong benih ketela yang akan ditanam. Sepertinya harapan itu tak dapat dipenuhinya, Rintik-rintik hujan tlah mengingatkannya bahwa sudah maktunya ia pulang. Sebelum, seperti biasa Pak Karta mampir di sebuah pemandian umum yang berada tidak jauh dari sawahnya. Kadang ia mandi di situ, atau sekedar mencuci muka. Sesampainya disana Pak Karta mengambil beberapa rumput liar disekitar pemandian itu, kemudian mencuci cangkulnya hingga bersih. Setelah semua beres ia melepaskan pakaiannya dan mandi di pancuran itu.

Hari makin gelap, suara burung hantu yang bersemayam di pohon beringin tepat di atas pancuran sudah berkali-kali didengarnya, namun Pak Karta sama sekali tak menghiraukan ia tetap asyik dengan segarnya air pancuran. Mata terbelalak lalu ia tersentak, ia tak percaya tiba-tiba tepat disampingnya muncul seorang wanita yang sangat cantik berpakian serba putih dan membawa sebuah guci kecil di tangannya. guci itu menyerupai kendil yang sering digunakan untuk menyimpan ari-ari jabang bayi yang baru lahir. Pak Karta tak dapat berkata sepatah katapun, hanya menatap wajah yang bersinar itu dengan tatapan tajam. Seperti mata elang yang siap menerkam mangsanya. Gadis misterius itu berlahan mendekatinya. Dengan gugup Pak Karta bergegas menyingkir dan mengenakan pakaiannya. Gadis itu diam berlahan melangkah mendekat pancuran itu lalu mengisi guci kecil itu dengan air pancuran, setelah penuh kemudian pergi. Lalu hilang.

Pak Karta masih terkesima dengan kemolekan gadis itu, setahunya tidak ada gadis secantik itu di desanya. Bayangan gadis itu masih terngiang-ngiang dalam fikirannya. Sampai tak terasa ia sudah sampai di depan rumah.

 

*****

Keesokan harinya pagi-pagi buta, para warga di hebohkan dengan berita diketemukanya sesosok mayat laki-laki di desa Randualas. Mayat itu tidak lain adalah Pak Karta, ia diketemukan warga desa sudah terbujur kaku dalam posis tergantung di belakang rumahnya sendiri. Entah apa yang menyebabkan orang tua itu mengakhiri hidupnya dengan cara demikian, hal itu masih menjadi sebuah misteri dalam peristiwa tragis itu. terlebih lagi pihak keluarga menolak untuk diadakan optipsi pada mayat Pak Karta.

Kabut hitam yang kelam menutupi langit, hujan gerimis merintik mengiringi peristirahatan terakhir Pak Karta. Para pelayat yang datang mengantarnya hingga kepintu pemakaman, bahkan ada yang sampai mengikuti prosesi pemakamannya. Gerimis yang turut mengantarkan Almarhum, lama-kelamaan makin besar, namun para pelayat tetap betahan sampai selesai prosesi tersebut. Linangan air mata tak henti-hentinya mengalir seperti gerimis yang enggan untuk mereda. Sanak famili dari jauh pun turut hadir melayat untuk memberikan penghormati terakhir pada Almarhum.

Tak jarang para Pelayat yang menggunjingkan perihal kematiannya yang tidak wajar. Seorang ibu dengan nada yang sinis berkata ”mungkin anak gadisnya tidak pernah memberi makan padanya, ketimbang jadi beban ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.” Seorang lain mengutarakan pendapat “Mungkin matinya untuk tumbal anaknya yang pengin jadi orang kaya, yang saya tahu Pak Karta orangnya alim kalo tidak dibunuh saya yakin beliau tidak mungkin bunuh diri.” Pergunjingan urung berakhir, hingga selesai prosesi pemakaman itu. Perihal kematian Pak Karta masih menjadi mesteri yang belum terungkap.

Satu persatu pelayat meninggalkan pemakaman itu, mereka berlalu turut membawa misteri kematian yang menimpa Pak Karta. Ada seribu tanya yang masih mengganjal di hati mereka masing-masing, ada seribu kemungkin yang masih terfikirkan di hati para pelayat, karena mereka masih menyangsikan kamatian Pak Karta yang menurut mereka tidak wajar.

Di rumah duka masih ada bebarapa pelayat yang masih bertahan mereka adalah para kaum kerabat Pak Karta sendiri. Sebuah bendera putih kecil berkibar saat angin menyibaknya berlahan. Para penggunan jalan tanpa perlu bertanya-tanya mereka menatap iba saat melintas di depan rumah Pak Karta, tak hanya itu mereka juga menatapi kerumunan orang dan beberapa polisi yang masih berjaga-jaga di tempat kejadian. Dalam kamar Inong masih meringkuk menangisi kematian Bapaknya, ia tak kuat lagi sampai-sampai ia pingsan dua kali. Tarwo suaminya masih sibuk dengan tetek begek pemakaman Bapak mertuanya. Belum lagi mengurusi data yang harus ia serahkan ke polisi. Semua itu sangat mereputkanya hingga dia belum bisa menegok istrinya sendiri yang sedang hamil empat bulan itu. Ia percaya istri dan anak yang di kandungnya kepada Bibinya.

Hingga sore menjelang magrib masih ada orang yang melihat tempat kejadian ditemukannya mayat Pak Karta, walau garis Polisi yang terpasang sedikit menghalangi mereka untuk melihat dari dekat.

Hujan kembali turun, kabut gelap tiba-tiba turun menutupi perkampungan itu. suara gemuruh menggelegar kencang seperti menyambar telinga. Rumah itu nampak tidak seperti biasa. Ada pesta kecil yang tak direncanakan sebelumnya. Malam ini akan diadakan Yasinan dan Tahlil untuk mengirimkan do’a kepada yang meninggal. Biasanya prosesi itu dilaksanakan selama 7 hari.

 

Anjungan Anwar

Salam Sukses dari hati.

 

 

Wasalam

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler