Skip to Content

Ziarah

“Bukan aku yang membunuh bapakmu. Tapi dia datang ke sini untuk mati!”

Suara itu masih ada di sini. Itu suaramu, emak. Jelas sekali aku mendengar itu keluar dari mulutmu. Kata-kata itu hinggap dalam ingatanku. Aku tak akan pernah mungkin melupakanya.

Sebelumnya, aku mendengar bapak berteriak keras sekali. Teriakan yang keluar memenuhi ruang hampa kamarku. Rumah yang sebelumnya sunyi, sekejap menjadi bising oleh keramaian orang-orang melayat. Mereka ingin melihat jenzah bapakku yang kau bunuh, emak. Aku sangka demikian. Hanya kau yang ada dalam ruangan itu. Sesaat setelah kalian bertengkar hebat. Tiba-tiba bapak berteriak dengan keras sekali. Bapak mati!

Dengan nafas beringas, kau keluar dari kamari itu. Wajahmu terlihat pucat basi. Seperti menyimpan ketakutan yang maha besar. Tapi kau tidak berbicara sedikitpun. Aku melihat raut wajah yang tidak mengenakkan. Aku terjebak di sana. Keringat yang sedikit-sedikit mengalir dari dalam rambutmu menenggalamkanku dalam satu cerita tentang pembunuhan yang kau susun rapi demikian.

 ***

Malam itu, bulan setengah mati. Aku dan bapak sedang asyik bercerita tentang nama-nama kampung di sini. Bapak suka menerka yang bukan-bukan. Ia ceritakan tentang sejarah nama-nama kampung. Tapi, semuanya tak ada yang benar. Kurasakan seperti itu. Aku dibikinnya tertawa lepas. Bapak orang yang sangat lucu. Ketika ia bercerita, wajahnya terlihat serius sekali. Sampai-sampai aku pernah yakin ketika dia bilang bisa berjalan di atas air. Tapi, setelah dia tertawa, akupun tak percaya kalau orang-orang bisa berjalan di atas air. Bapak juga demikian, dia tak percaya. Hanya saja, dia mau bercerita banyak agar aku tidak teringat pada emak yang selalu tak sempat menemani kami bercerita.

Kau ingat, emak. Saat itu kau pulang larut malam sekali. Bapak menyimpan marah dalam hatinya. Ia tak mau menyerangmu dengan pertanyaan-pertanyaan yang kau anggap konyol itu. Bapak begitu mencintai kedamaian. Dia tidak pernah berharap untuk membikin rumah bising dengan teriakan-teriakan yang tak berguna itu. Tapi, kenapa kau tak pernah sadar. Kenapa kau selalu bikin bapak menyimpan dendam. Bukankah dengan cinta aku bisa kau lahirkan?

Saat itu, aku langsung pergi ke kamarku. Menyendiri dan menjauh dari mangsa beringasmu. Aku begitu takut karena kau pulang dengan wangi tak sedap. Aroma alkohol ada di mana-mana. Bau yang keluar dari mulutmu hinggap di ruang tamu rumah kita, di asbak rokok, di sofa dan tempat kau campakkan baju yang kau gunakan untuk menutupi tubuhmu yang mungil itu. Tubuh yang telah kau jual dengan harga yang bisa di tawar.

Seberapa paham kau dengan kegundahan yang dirasakan bapak? Hingga kau tak pernah mengenal caranya berbicara. Kau selalu membenarkan diri, emak. Kau tipu kami dengan kedok bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Aku tak pernah menyalahkan bapak yang tak pernah memilki pekerjaan yang tetap. Tapi, betapa indahnya senyum bapak ketika pulang ke rumah meski hanya membawakan segenggam beras untuk dimasak.

Tapi, tidak dengan kau. Kau pergi ketika matahari sedang diusir malam. Tak kau hiraukan suara tilawah yang dikumandangkan dari surau tepat di depan rumah kita. Bahkan aku lihat kau mengacuhkan saran bapak agar kau pergi setelah langit tampak gelap. Sialan, kau bilang kau malas mencium bau bapak yang tak sedap itu.

Siapa sangka bibir tipismu itu telah menjadi racun bagi bapak. Emak, kau tutupi rupa aslimu dengan bedak dan perias lainnya. Kau tampak cantik sekali ketika malam hari. Tapi, sayang sekali, aku tak pernah melihat kecantikan itu kau peruntukan bagi bapakku yang malang. Dengan sengaja kau rias diri untuk mereka yang bajingan itu. Mereka yang selalu menikmati setiap keindahan yang kau miliki.

Sebelum kau pulang, bapak selalu menyempatkan diri duduk di teras. Dia menunggu kepulanganmu. Kadang-kadang, aku menemani kesendiriannya. Biasanya bapak mau jika aku temani. Bahkan, ia akan menceritakan tentang kisah cinta yang kalian alami semasa remaja. Bapak tak pernah malu menyimpan rahasia padaku. Meski kadang raut wajah merah jelas dia tampakkan padaku. Tapi, aku setia mendengar cerita-cerita itu. Ia begitu bersemangat sampai-sampai aku dibikin tidur dalam pangkuannya. Dan, ketika pagi menjelang, kau tak kunjung pulang. Bapak begitu gelisah. Kau tak pernah merasakannya, bukan?

Bapak tak bisa menghubungimu. Telepon genggammu mati. Dia menyuruhku untuk bergegas pergi ke sekolah. Sedang dia menunggu kepulanganmu. Aku pun menuruti kemauannya. Aku tak ingin membuat dia sedih seperti yang telah kau lakukan padanya. Tidakkah kau membayangkan betapa sudah keringnya air mata bapak. Dia selalu mencintamu, emak. Selalu. Aku tahu dia tak akan pernah menjadikan emak sebagai musuh apalagi untuk diburu dan dibunuh. Tapi, mengapa kau tak pernah sadar akan cintanya, emak?

***

Aku ingat sekali kata bapak tentangmu. “Cintailah emak mu, Agam. Kau akan merasakan hal yang paling bahagia di sana. Meskipun dia tidak pernah sadar akan cinta yang telah kita tampakkan. Tapi, kita harus yakin pada cinta kita agar suatu hari emak tahu bahwa kita begitu mencintanya.” serupa itulah kata bapak untukku. Dia selalu menginginkan aku mencintai dan menyayangi emak.

Waktu kau pulang ke rumah, malam itu. Aku mengintip dari lubang pintu yan kubuat. Aku mendengar perkataan ayah untukmu. Semuanya kudengar dan masih kuingat sampai sekarang. Saat itu, bapak menasehatimu agar lebih memperhatikan keluarga kita. Tapi, kau menyangkalnya. Kau menyalahkan bapak yang tidak memiliki perkerjaan tetap sepertimu. Kau mengatakan bapak seorang pemalas. Dia marah bukan. Aku melihatnya, emak. Tapi, rupa marah bapak itu tidak benar. Dia hanya ingin meyakinkan agar kau tak lagi bekerja seperti itu. Dia ingin kau lebih sering di rumah ketimbang harus bergaul dengan malam yang aneh itu. Kau kembali menyalahkan bapak. Katamu, bapak itu seorang yang tak berguna karena tak bisa memberikan apa yang kau minta.

Aku melihat bapak menarik kau ke dalam kamar. Kalian bertengkar hebat sekali. Aku tak tahu persisnya kenapa. Yang kudengar kalian seling berteriak dan tidak mau mengalah. Kau terlalu keras untuk dinasehati. Sedang bapak, terus berusaha membuatmu bisa mematuhi apa  yang menjadi keinginannya.

Tiba-tiba bapak berteriak keras sekali. Setelah itu, semua menjadi diam. Aku takut dan gelisah. Aku mencoba mendekati kamar kalian agar bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, aku tak berani melakukannya. Aku takut kau dan bapak marah padaku. Maka aku putuskan untuk diam diri sembari menunggu kau dan bapak keluar dari kamar.

Lama sudah tak ku dengar suara bapak. Kau pun demikian. Diam, tanpa suara apapun di sana. Aku semakin gelisah. Hatiku merasa sangat ketakutan sekali. Ada yang aneh di sana. Aku pun memutuskan untuk keluar dari kamarku dan mendorong pintu kamar kalian. Aku begitu terkejut dan sepertinya tak bisa kupercaya. Kau memegang pisau yang tertancap di dada bapak. Darah bapak membalut baju dan tubuhmu. Kau pembunuh. Kau telah membunuh bapakku, demikian ucapku. Tapi kau mengelak. Sambil menangis kau mengatakan, “Bukan aku yang membunuh bapakmu. Tapi dia datang ke sini untuk mati!”

Aku melihat wajah pucat dan tubuh bapak yang telah terbaring kaku. Sedang kau, sibuk mencoba membangunkan bapakku yang sudah mati. Setelah itu kau mengangis sedih sekali. Aku melihat cinta dalam tangis itu. Tapi, mengapa kau tak pernah memelukku. Sampai, ketika pisau kecil itu kau tujukan kejantungmu. Aku pun tak pernah tahu apakah kau mencintaiku? Apakah kau menganggap aku sebagai anakmu.

Aku yakin bapak telah tenang di sana. Tapi, apa kau juga demikian? Sepertinya kau tak pernah tenang. Tapi, apapun itu. Kau tetap orang yang telah melahirkanku. Kau tetap emakku. Aku mencintamu seperti abah mencintaku dan juga mencintamu.

Emak, aku pamit dulu. Lebaran nanti, aku akan kembali ke sini. Kelak, jika aku meninggal, aku ingin dibaringkan di sampingmu dan bapak. Semoga kalian berdua selalu dalam ampunan tuhan. Selamat lebaran bapak dan emakku. Aku mohon maaf karena tak sempat singgah lebaran yang lalu.

Banda Aceh, November 2009

Akmal M. Roem lahir di Lam U, Aceh Besar. Saat ini bekerja sebagai penulis lepas dan pengurus ruang seni di Episentrum Ulee Kareng, Aceh

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler