"Belum pernah aku berjumpa dengan seorang perempuan
yang darinya kuharapkan memberiku anak,
selain perempuan (kekekalan) ini yang kucintai :
karena kumencintaimu, wahai kekekalan.
Karena kumencintaimu, wahai kekekalan . . . "
(Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, 1967:272-5)
Aku membunuh Nietzsche, pagi ini, di Villandry,
Saat ia mencumbu lavender tua, kering meriang, tak jua gersang,
Akhir musim semi, dan patah hati
Sebelum binasa, aku berkata padanya;
"Wanita itu adalah seluruh resolusi absolutku atas definisi cinta."
Bunga-bunga raya.
Raya kaya; Sama saja
"Tapi bukan atas nama cinta, cinta itu hanya sebuah kata benda dalam kalimatku."
Ia takkan pernah mengerti . . .
Karena bukan kekekalan.
Bukan sore itu, di Ōtsuka, pertengahan bulan lalu, tiada aku; selalu, hanya suara, dan sorot matamu, pada bayi Semit
Dalam pelukmu, seraya berkata
"Untuk membuat dunia menjadi tempat tinggal yang lebih baik untuk generasinya . . . "
Ah April, yang lenyap dimangsa tentangnya,
Sebuah percumbuan anyir dalam niskala
Dibalut orkestra tanpa nada
Harmoni tanpa tanda tanya
Akromatisme warna melankolisme buta
Iris-iris ungu tak lagi bernyawa
Sudahlah, ia takkan pernah tahu, pukul 8.16, sabtu itu,
Dalam kelopakku, tangisderudebu;
Bunga-bunga lara.
Entah mengapa, Giverny tak lagi bermakna
Alanna.
Beserta segala; Mati saja
Karena kumencintaimu.
Aku kah yang membunuhmu?
Wahai kekekalan.
Akromatisme
- 1111 dibaca
Komentar
Tulis komentar baru