Skip to Content

Elegi Buat Agamemnon

Foto Y.S. Agus Suseno

Aku mendengar sunyi datang, Agamemnon

Menanam kesangsian dan tanya dalam dada

Selalu selalu selalu tiba, Agamemnon

Menjelang sebuah rumusan kebenaran sempurna

 

Terbaca perjalanan hidupmu yang kemilau, Agamemnon

Memanggil angin mengurbankan Iphigenia

Kebenaran mutlakkah yang membuatmu terpukau, Agamemnon

Membuatmu lupa menoleh keluasan cakrawala

 

Kudengar suara-suara dari seberang, Agamemnon

Mengimbau perlahan menderap dalam dada

Selalu selalu selalu saja, Agamemnon

Membuatku tahu bahwa aku tak tahu apa-apa

Komentar

Foto Putra Utama

Membaca Elegi Buat Agamemnon

Saya menemukan naskah puisi ini di tahun 2011 sekitar pertengahan tahun, tanpa tahu dan hafal nama penulisnya sampai saya membacanya kembali di sini sekaligus mengenal sosok penulis sepintas. sayangnya disini saya tidak menemukan data tahun penulisan puisi ini.

/Aku mendengar sunyi datang, Agamemnon/, (walau secara logika berbahasa bertentangan:“mendengar sunyi” namun suasanya yang ditinggalkannya sangat prilaku sekali, apalagi internalisasi “selalu” dalam bentuk repetisi) yang saya pahami adalah diri saya saat-saat ide bermunculan yang selalu bertentangan, namun apa yang ditawari larik keempat bait pertama pada saya adalah sebuah nasehat: /menjelang sebuah rumusan kebenaran sempurna/. Ya, menjelang kebenaran itu ditemukan, kita pasti membutuhkan konflik sebagai prosesnya.

Ketika pertama kali saya membaca puisi ini saya membayangkan penyairnya pasti seorang bapak. Laki-laki yang telah sampai pada kematangan berpikir, tahu membaca kondisi dan situasi, dimana terwakilkan dalam dialog yang santun pada bait kedua. Jika merujuk pada cara berpendapat bangsa saya (minang) tidak jauh berbeda yaitu pertama kata memuji lawan bicara, selanjutnya pendapat kita. Bukan secara frontal dan emosi. (iyoan punyo urang, laluan punyo awak).

Dialog si aku dengan panglima perang Agamemnon yang telah memutuskan sikap demi sebuah penyerangan, mempertanyakan “kebenaran mutlak” sehingga Iphigenia harus dimatikan berkata,/ terbaca pengembaraan hidupmu yang kemilau, Agamemnon/ yang bagi saya adalah pujian. Lantas /memanggil angin mengurban Iphigenia/ adalah sebuah pertentangan yang mempertanyakan kebenaran. Kemudian menjelaskan bahwa dunia ini bukan hanya Yunani saja, dimana si aku mendengar suara dari padang-padang seberang, suara-suara yang bukan tumbal, mitos-mitos dan dewa-dewa, sebagai perbandingan sikap. Atau suara-suara ide (ilham) yang datang dari sunyi /aku mendengan sunyi datang, ..../

Sebagai penutup: /membuatku tahu bahwa aku tak tahu apa-apa/. Yang bagi saya adalah sebuah sikap kerendahan hati setelah memberikan pujian, pertentangan, pertanyaan dan perbandingan. Tanyalah siapa orang yang mampu bersikap seperti ini jika bukan seorang Bapak.

sayangnya puisi ini kurang dibaca.
salam pak Agus

Foto Y.S. Agus Suseno

Putra Utama

Maaf, saya baru baca komentar Anda. Senang sekali melihat puisi saya, dari sudut pandang Anda. Betul, ini memang puisi lama (1986) saya, yang saya rilis ulang di sini, lebih sebagai dokumentasi. Titi mangsanya sengaja ditinggal, dengan berbagai pertimbangan. Kawan-kawan sastra di ranah Minang punya kesan khusus di hati saya, 1994 saya menghadiri "Alek Seni Budaya Taraju" di Taman Budaya Sumbar, Padang. Walaupun secara fisik berjauhan, hati saya dekat dengan mendiang AA Navis dan Mursal Esten, dengan Pak Mustafa Ibrahim (mantan kepala TBSB), Bang Harris Effendi Thahar, Gus Tf, Yusrizal Kw, dan banyak lagi. Satu dekade terakhir, saya dekat dengan Raudal Tanjung Banua (Yogyakarta), beberapa kali bekerja sama mengadakan kegiatan dan penerbitan buku sastra. Salam jabat erat untuk kawan-kawan di ranah Minang. Terima kasih atas apresiasi Anda terhadap puisi saya. Sayang, karena berbagai kesibukan, saya tak bisa datang dalam Temu Sastrawan Nusantara Melayu Raya di Padang, 16-18 Maret ini.

xxxx

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler