Skip to Content

Kisah Suatu Malam Ketika Kanak-Kanak - Muhammad Rois Rinaldi

Foto Rumah Sastra Indonesia

Kisah Suatu Malam Ketika Kanak-Kanak

Karya Muhammad Rois Rinaldi

I

Sebelum larut, Ibu melepas ikat kelambu.

Abah membaca ayat-ayat Tuhan.

Sorban hijau yang Abah beli di Mekkah

tak pernah dikenakan—sekadar  

jadi alas kitab suci.

 

Abah yang gemar bersongkok hitam

sering tak mendengar protes Nenek.

Kata Nenek, Abah sudah haji

mestinya memakai kopyah putih dan sorban.

 

Aku seorang anak kecil, hanya mendengarkan

bila Nenek dan Abah bersilang pendapat

di dapur Nenek yang bergaya Belanda

—yang terlihat tua tapi megah itu.

Aku lebih suka pendapat Abah.

Katanya, seorang haji punya tanda pada hati.

Tetapi aku mengerti maksud Nenek,

seorang ibu selalu ingin melihat anaknya

terlihat bermartabat.

 

II

Aku berbaring lemas. Tangan kananku kuletakkan

di paha Abah, tangan kiriku meraba dingin

pada dinding.  Entah aku sangat menyukai suhu

dinding, seperti aku suka meneguk air

dari mulut kendi.

 

Di  langit-langit kamar

ada dua ekor laba-laba yang begitu telaten

menyusun dunianya sendiri.

Sebuah dunia, yang barangkali, semacam kota-

kota besar manusia.

Aku tak tahu, jam berapa

laba-laba tidur.

 

III

Duniaku yang sekadar sekotak ruang

bernama kamar, di antara ayat-ayat

terasa berbeda: teduh dan tenteram.

Seperti gemericik air di sungai

seberang kampungku;

seperti angin pada gemericik air itu.

Itulah mengapa  aku tak suka dongeng

perang. Menakutkan sekali.

Ribuan manusia, bahkan ratusan juta,

mati di ujung pedang,  diporak-porandakan bom.

Aku juga membenci Dragon Ball.

Di sana terlalu banyak monster.

Sialnya, aku suka Conan—serial anak-anak

yang setiap episodenya berisi adegan

pencarian seorang pembunuh.

 

IV

Di bawah lampu lima watt, aku melihat

wajah teman-temanku:

Jejen, Jaelani, Mukmin, Mumtaji, dan Juhron.

Mereka mencurangiku ketika main kelereng

siang hingga petang tadi.

Kecurangan mereka membuatku kehilangan

sekotak kelereng yang kukumpulkan

berminggu-minggu.

 

Tetapi mungkin mereka tak curang, hanya saja

orang-orang kalah sepertiku

sering merasa dicurangi.

 

Jejen, Jaelani, Mukmin, Mumtaji, dan Juhron

mungkin sudah menarik sarung

meringkuk di risbang atau mereka masih bermain

di gang tengah.

Pada malam empat belas purnama

orang-orang di kampungku tidur ba’da shubuh.

 

Besok masih libur.  Aku, Jejen, Jaelani,

Mukmin, Mumtaji, dan Juhron

pasti main kelereng lagi.

 

V

Malam liat makin jauh, mataku makin berat.

Lampu kamar dimatikan. Kitab suci diletakkan

di lembedang.  Abah berbaring

membaca shalawat.

Aku yang sudah cukup hafal, mengikutinya.

 

Suara Abah terasa semakin dalam, suaraku

habis ditelan nyanyian sekumpulan jangkik

di luar. Aku tertidur di sisi Abah,

begitu saja.                                               

 

Cilegon, 2017

 

Sumber: Buku puisi penyair 9 negara, Menembus Arus, Menyelami Aceh, Lapena, Disbudpar Aceh, 2018

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler