Pagi kemarin, ada seorang laki-laki masuk ke rumahku.
Ia meninggalkan benih di rahim Mama dan meninggalkannya untuk melahirkan.
Penerus petaka nan tidak terkata. Lalu Mama melahirkannya.
Petaka itu berenang dalam sukmaku. Yang mengeras dan hening.
Ku bilang, “ia bakal jadi laki-laki. Kurang tanggungjawabnya dan tidak mengerti matematika!”
Benar kata ku. Cepat sekali ia bertumbuh. Kini digotongnya lah aku menuju pintu rumah.
Dalam goyah, aku dengar Mama meringsak sakit gigi, sakit punggung, juga kehilangan minat membaca.
Gawat. Rel waktu seperti melebar, lamban sekali. Sedang ia bertumbuh semakin kencang.
Tahun ke tahun, kita semakin tua namun makin lincah menari. Mama masih sakit gigi.
Sudah siang, hari ini. Petaka sudah bisa memasang dasi sendiri. Ia janji akan pulang makan siang
Doa-doa kami ditaruhnya di dalam kopernya yang dibelinya di Perancis.
Kita sudah biasa melihatnya membawa barang mewah dari luar negeri, termasuk obat sakit gigi Mama.
Sering ia bacakan sajak cinta dari India, dari Aljazair dan diujung pembacaannya dititipkannya pesan.
Ia bilang, “Ke mana kita menuju mama? Sudah telatkah kita?”
Dua tahun yang lalu, ia belikan jam di Amerika. Namun kita sudah terlepas dari sayap waktu
Kita sudah tak terbawa waktu. Sakit gigi mama abadi. Mama bilang petaka ini yang mengakibatkannya!
Ternyata siang ini ia tak pulang makan siang. Seperti siang-siang yang lalu.
Mama yakin ia terjun ke politik.
Malam menjelang. Hari-hari terasa panjang karena direkatkan gerimis petang.
Tak ada kunang-kunang juga harapan yang datang. Terkecuali petaka yang sudah pulang.
Ia membawa gadis yang dikenalnya di Thailand ketika berbisnis udang.
Ku rasa ia akan bersumpah akan menikahi gadis itu dan berakhir di rumah ini seperti kami.
Satu hal yang ku tahbiskan di dalam doaku “Semoga laki-laki ini tak panjang umurnya!”
Namun ia tidak tahu doa itu yang ia bawa di dalam kopernya.
Komentar
Sukur
Sukur
Tulis komentar baru