Skip to Content

MATAHARI TANAH BORNEO

Foto Xball Ariyaza

SAJAK PERTAMA

:Sebuah keingian untuk kusampaikan ketika sengketa melebur dalam dada, kepada Shinta Ayu Lestari

 

Lalu kepada siapa aku bersuara

Menadaruskan hujan di mata

Pada dadaku yang penuh dusta

Kata-kata menjadi limbah

 

Kepadamu dek,

Barangkali bisa

Karena rubaiyat hidupku yang nyata

Hanya semata-mata wilayah luka

Yang membabat makna

Jadi lautan lintah

 

Aku masih bersimpuh diantara keruh ombak

Samudra fana menjarah kisah

Semacam dendam lama

Menyeretku kedalam petaka

 

Kelemahanku berbuah kesempatan

Bagi orang-orang yang menikam dari belakang

Kata kunci ini tak semerta ada

Namun telah kuanalisa

Dari pertama hingga selanjutnya

Entah,

Masihkan kau akan percaya

 

Sukorejo, 19 Mei 2016

 

 

 

 

 

SINGGAH DI KAMPUNGMU

 

Tiba dikampungmu aku membawa kata maaf yang gugur sebelum terucap
Pulang membawa air mata sesal yang menggumpal
Lalu kenangan itu masih mengganjal dalam nurani

Singgah dikampung halamanmu
Malam yang mencengkeram dengan dingin suhu yang nyaris membuatku tenggelam 
Tak lagi dapat kubedakan antara langkah dan lelah
Mungkin lantaran kata-kata yang baja
Niat ku tertunda jadi nyata
Usaha jadi sia-sia rasa
Dan derita mengubur penuh murka
Aku belum sepenuhnya semesta
Kampungmu yang sumber dari wangi bukit raung
Menjelma pilu yang meraung
Entah...
Maafku akan diterima
Atau hadirku hanya menjadi berita

 

Sumber Arum, 17 Juni 2016 00:01

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

RATAPAN TEDUH DARI LANGIT

 

Puisi ini aku persembahan

Kepada setiap orang yang memiliki kekuatan tangguh

Dalam menjalani kerasnya kehidupan

Semoga selalu terlimpahkan berkah

Dan kenyataan yang membahagiakan

 

Sehampar hektar sawah-sawah terserang hama

Menjemput keterpurukan gerobak yang makin lapuk

Dunia yang kejam adalah panggung hidup

Bagi orang-orang yang tak terkalahkan

Walau nasib menghimpit

Walau cobaan mencekam

Walau tangis tak henti-hentinya padam

Memecah sunyi dilorong petang

 

Ku lantunkan kata sebagai do’a

Lalu air mata yang tak kunjung reda

Menyampaikan salam seribu pengampunan

Mengharap istijabah sampai menjadi ketenangan

Kabulkan keinginan-keinginan agung

Menjelma sebuah hikmah yang mendalam

 

Oh, Allah

Ratapan teduh dari serangkaian kisah

Kau hadirkan nyata di hadapan mata

Betapa rahmatmu begitu berharga

Agar selalu benar dalam mencapai berkah

 

Ini adalah rubaiat yang menjadi pelajaran

Dimana seseorang harus mensyukuri nikmatmu

Merenungi uji coba menjadi berkah

Lantaran bagaimanapun ujian

Kau takkan berikan diluar kemampuan

Hidup adalah pelajaran dalam memaknai perjalanan

Karena tangis harus ditebus dengan kesuksesan

Dan usaha yang tak berkesudahan

 

Widoro payung, 29 Januari 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

"AKU RINDU PERDAMAIAN ITU"

 

Hujan membawa berita kebaikan

Didalam tabir kusam tak tersingkap dulu

Kita belajar menganalisa rasa

Pada ketidakpastian kata-kata

Yang meletakkan luka jadi air mata

 

Atas pahatan-pahatan kisah

Tertera patahan-patahan senyum sumringah

Lalu langit malam menuang do'a

Dan tengadah-tengadah munajat hari ini

Sungguh mengakui

"Aku rindu perdamaian itu"

 

Disini...

Arti hujan telah menghapus debu-debu usang

Sisa pertikaian caci terdahulu

Semua indah pada waktunya

 

Widoro payung, 25 Januari 2017 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PUISI  ALMANAK DUA ENAM

 

Puisi ini aku persembahkan untuk seseorang yang sempat hadir

Dan pergi ketika luka didadanya memerah

Hanyutkan air mata dan darah pilu

Atas sebuah penghianatan diri

Mengabaikan seucap janji suci

 

Kepada Arina Faridhatul Munfaiza

Aku arungkan perahu maafku

Berserta layar perdamaian

Yang sempat semu dimataku memandang

 

Aku telah nyatakan ketidak bersalahanmu lantaran kau yang tak mengerti siapa "dia"

Berusaha menjadikanmu boneka

Sesalku berlumpur tanah

Deras membanjiri dadaku yang belum rata

Walau baru saat ini ku mengerti

Karena cerita sudah lenyap

Dan berganti narasi

 

Kepadamu juga

Aku berusaha renungi maksud tuhan menyapa dalam sekian baris mimpi

Lalu do'a-do'a yang tertata terbata-bata

Mengajakku usaikan perselisihan sementara

 

Selama ini

Satu sama lain

Kita mungkin saling benci

Saling enggan menata kebenaran

Tanpa mengerti

Ditengah kita singgah genderang perang

Yang menjelma seseorang

 

Sekarang

Setelah waktu menjadi senyum nirwana

Lalu tiba-tiba purnama memancar

Dihadapan kita

Apakah persaudaraan itu akan tetap ada

Semoga saja

 

Widoro payung, 26 Januari 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PUISI DUA  PULUH ENAM

 

Sajak ini juga aku persembahkan kepada seseorang

Yang sempat terkena tumpahan bara

Oleh amarah yang tiba-tiba memenggal cerita

 

Hujan kali ini mengajakku bernostalgia

Tentang rindu ditanahmu

Kala itu gerimis masih belum reda

Dan langit tetap mendung dimataku

Mengganjal setiap hembus nafas

Menghempas disela-sela hariku

 

Bulan juli berbicara soal resah

Tentang dua orang bersaudara

Memenggal kisah

Atas amarah yang tak kunjung padam

Menyayat senyum-senyum jadi air mata

Menghantam tentang jadi perang

 

Dua puluh enam

Telah simpulkan berita

Menyampaikan do'a dan harapan

Semoga esok dan seterusnya

Tak lagi ada caci

Yang mengubah ikatan saudara

 

Widoro payung, 26 Januari 2017

 

 

 

 

 

 

 

SAJAK HUJAN BUAT DINDA  SHINTA

 

Tentangmu yang tengah larut ditepi hujan

Menyertai air mataku jatuh berguguran

Makna bertahan

Berjuang taklukan riuh rancu kehidupan yang enggan terkalahkan

 

Kekuatan tangguh

Sekeras batu-batu dijiwamu

Banyak hikmah tercurah

Membuka gerbang hidayah

Dalam hatiku yang berjubah keangkuhan batara

 

Untukmu yang berlinang menahan arus berliku kerasnya nasib kehidupan

Seusiamu,

Ah...kau tangguh

 

Katakan!

Kau patut dibanggakan

Buktikan pada mereka

Pada dunia

Pada langit dan cakrawala

Bahwa kau bisa menjadi ujung kebahagiaan berharga

 

Lihatlah, dinda

Matahari tetap sama warnanya

Dan sampai kapanpun juga

Terus terangi petangnya jiwa

Waktu yang sementara jadikan lebih bermakna

Do'amu pula

Yang menyimpan harapan-harapan ayah bunda

Menjadi surga mulia

 

Berusahalah

Kekuatanmu adalah kelebihan nyata

Untuk senantiasa kau persembahkan

Dialtar jumantara

 

Widoro payung, 27 Januari 2017 23:35

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KALIMANTAN MENJELANG KAU HIJRAHKAN KENYATAAN

 

Kalimatku mulai tertatih membaca

Bukan karena kepudaran aksara

Melainkan salam air mata

Menuang senyum yang berlayar

Antara laut kalimantan dan jawa

 

Dari kepingan-kepingan rinduku

Aku masih tadaruskan kisah yang tengah berlalu

Ketika selisih angka mengajukan bara api

Merenggut matahari sampai benci

 

Kepada adikku

Seseorang yang tangguh dan patuh

 

Meratapi nasib bumi perantauan

Apakah sama dengan teduh tanah kelahiran?

Kiranya kata-kataku masih selalu menyesap dalam dadamu

Lantas gemuruh rindu

Serta makna yang kuajarkan mengeja langit biru

Dapat kau telaah lebih dalam lagi

Menjadi semangatmu yang utuh

 

Kalimantan kau sebut dalam sebuah pesan

Beragam kisah tangis berlinang menjamur dalam angan

Kau gambarkan penderitaan tak berkesudahan

Sedu sedan malam bertabur hujan

Deruh cemohan-cemohan mengurungmu

Belum lagi luka-luka yang harus terobati

Haruskah kau tanggung beban sendiri?

Menjalani hari-hari bisu tak mau tau

Atau kau tetap membatu dalam keluh kisah

 

Enam tahun itu bersuara paruh

Hadirkan lembar-lembar hampa tanpa cerita

Aku yang merasa lambat menaruh sejuk himalaya

Mampukah membuatmu terus berupaya?

Taklukan susah dan payah yang mengaung dalam jiwa

 

Dari balik ketenanganmu yang berkumandang

Aku telah temukan serumpun hikayat

Yang memecah air mata siapa saja

Bahwa kesedihan tak patut dihadirkan

Bahkan rasa rapuh harus segera enyah

Karena hidup tak boleh setengah-setengah

Oleh hatimu yang lemah

 

Dalam sekian banyak ratapan mulia

Kaulah yang dibanggakan ayah bunda

Jangan pernah retaskan harapannya

Teruslah melangkah

Walau berkali-kali air mata

Teruslah melangkah

Walau berkali-kali derita menjamah

Teruslah melangkah

Walau caci maki hina sampai muntah

Berbusa di mulut-mulut tetangga

Karena satu do’a yang paling berharga

Terletak di telapak tangan kedua orang tua

 

Widoro Payung, 29 Januari 2017

 

 

 

 

 

 

MATAHARI TANAH BORNEO

 

Aku memilih kata Borneum/borneo menjadi alternatif

Kalimantan dalam jawaban resahku

Menunggu matahari khatulistiwa singgah

Entah sementara

Atau waktu yang lama

Menyusun jumlah rindu milikku

Untuk sekedar meminta senyummu

 

Bumi perantauan

Memang jauh yang terbayang

Jarak hamparan langit menjulang

Memanjang terpisah lautan

 

Aku persembahkan rangkaian kata ini

Tak semula aku mengerti

Bahwa kau akan pergi dari tempat merintis diri

 

Baik-baik disana adikku

Walau aku lambat menyayangimu sepenuh kalbu

Baik-baik disana adikku

Walau separuh waktu yang tertera

Belum menjadikan kita samudra dan telaga

Seribu kalimat rinduku tak cukup redah

Seiring air matas yang membasuh sesal

Lantaran amarah terdahulu begitu kental

Membuatmu kesal

Biarlah

Serumpun kasih yang kau layarkan tersimpan

Menyapa puisi-puisiku tengah malam

Lalu ketika subuh

Kularutkan namamu dalam do’aku

Disetiap sujud sunnah dan fardu

Widoro payung, 31 Januari 2017

LESEHAN SENJA 

: nostalgia senja, di lesehan warung Ayunda Sukorejo memorial 26 juli 2015

 

Ketika itu, aku jatuh cinta kepada saudaramu

Menjelang malam ketika matahari mulai tenggelam

Tepat tanggal dua puluh enam

Aku menyusun sebuah janji ikatan

Yang kau sebut pacaran

 

Di sebuah warung

Tempat sunyiku biasa melarung

Dan rindu yang mengaung

Menakar senyum ranum

 

Lesehan senja itu masih teringat

Saat-saat amarah belum kita kenal dalam hati

Bahkan tak satupu kata-kata berserak menanam benci

 

Kau melihat sudut latar yang sepi

Hatimu rindu barangkali

 

Widoro payung, 31 Januari 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

:bahwa dia telah mengingatkanku kepadamu.

 

Malam ini mengajakku bercumbu rindu

Mengantar serumpun senyum

Ke latar sunyi yang penuh ambisi

Hari telah berujung

 

Kau hadir kembali menyapaku

Mengajakku merindumu lagi

Dengan tingkah meningkah

Dengan kata-kata yang tak cukup sudah          

Yang rebah dalam hati ini

 

Selalu teringat matahari senja

Meluluhkan kebekuan rasa

Dalam hening siapa yang tengah terkenang?

 

Aku menemukanmu disini

Bukan dalam wajah yang sama

Sosok dia yang kini menyesap

Mengusung sebuah rubaiat tentangmu

Apa kabar masa lalu?

Apa kabar luka itu?

Benarkah sudah lenyap dalam dada

Atau air matamu masih runtuh membasuh wajah

 

Disini aku sekedar mengandaikan waktu

Bermain-main dengan ingatan terdahulu

Lalu aku tulis lagi puisi untukmu

Sebatas bernostalgia indah

Walau ku tau kau tak lagi menanam rasa

 

Widoro payung, 01 Februari 2017

 

 

BUKAN LAGU KEMBALI PULANG

-Kepada zulfi sosok widoro payung 

 

Berita hari ini : Hujan absen dalam kealfaan malam 

Karena serangkaian acara lepas pisah

Terselenggarakan

Meminta redah dan tak jadi kendala

 

Iya, ada yang berbeda dari malam sebelumnya

Mungkin hujan sore hari

Mengajak hati bersua rupa

Yang nyaris sama dengan silamku

Berteduh menjadi rindu

Ini bukan soal lagu-lagu blantika negri

Tapi ini puisi

Menyepakati keinginan hati

Agar tertulis sekedar merangkai perasaan

Atas dasar kenangan

Kembali teringat ilusi, menuntut seikat janji

Wajahmu mengingatkanku

Dengan kekasihku dulu

Dengan masa laluku :kangen band 

 

Widoro payung, 01 Februari 2017 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SEMOGA BELUM LAMBAT

 

Kurang lebih enam tahun berembun

Jalan-jalan yang mengantar kita adalah malam

Menuntun sekian banyak rindu

Rindu angin pada lautnya

Rindu matahari pada buminya

Rindu pepohonan terhadap mata air

Lalu juga rindu kakak pada adiknya

 

Seperti langit yang terus bergemintang

Rasanya aku lambat mengenalmu lebih dalam

Sampai pada batas menjelang sekian

Keakraban baru berani menjemput perhatian

Memberi ruas-ruas penerang hidup

Pada arus yang tak mampu diperkirakan

 

Kepadamu

Aku telah sematkan kisah

Anatara lapar dan dahaga

Yang sama

 

Widoro payung, 28 Januari 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KAMIS GERIMIS

:senyum yang tertuang tak selalu sama dengan perasaan, kau adalah sebatas kenangan.

 

Siang menjelang matahari melayang

Angin telah mengantar rinduku

Mengikis resah yang terus bergemuruh

Dalam dadaku itu

Kau hadir lagi tiba-tiba

Membawa senyum yang sempat enyah

 

Fikiran ini

Masih bersedia berandai-andai

Sesekali mengajak air mata berderai

Mengingat kisah yang usai

Sebelum saatnya

 

Detik detakku bersuara paruh

Entah apa yang menjadi deruh

Kamis

Tengah hari nyaris gerimis

Di matakuYang layu ini

 

Sukorejo, 02 Februari 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KETIKA ITU HARI RAYA SEMINGGU

Mengenang pertemuan dan perkenalan

 

Entah angka keberapa?

Aku lupa mengingat enam tahun lalu

Dalam sebuah pertemuan matahari dan bumi

Tujuh hari raya idhul fitri

Mengajakmu menyapa sang bumi

Lantaran jalan yang tak kau kenali

Nyaris membuatmu mengembalikan asal

 

Aku mengucapkan salam kenal

Bukan untuk menanam hati

Karena silaturrahmi

Harus menjadi isyarat alam

Sebagai wujud persaudaraan

 

Teringat waktu itu

Senja mengajakku bisu dalam kata

Belum berani bersuara

Sebatas menitikkan senyum

Pada batas huruf dan angka

 

Sukorejo, 05 Februari 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

AKU MASIH MENYIMPAN, TANPA KUSENGAJA

-       Sekedarnya saja, AFM adalah rubaiat sunyi

 

Kata-katamu yang berdebu

Masih tersimpan juga tanpa sengaja

Alangkah ku ingat ketika itu

Kau meminta pertahanan rasa

Lantaran hatimu yang ketakutan

Menjelma bayang-bayang ganda

 

“mas, janji ya gak bakalan ninggalin arin apapun yang terjadi diantara kita dan semoga hubungan kita baik-baik saja. Jika mas memang mempunyai tujuan yang sejalan dengan arin, lambat laun arin akan bercerita pada kedua orang tua arin, dan memperkenalkannya pada mas, seperti yang mas lakukan pada arin!”

 

Aku sempat mencari huruf-huruf milikmu

Dalam sekian banyak ilusi

Namun nyatanya nihil tanpa pasti

Faktanya aku juga yang menyesap dalam sunyi

Syair-syair itu

Arrgghh, shit!

Kalender dua puluh

Bulan sebelas

Dua ribu lima belas

Kau menulisnya dipojok atas

Begitu jelas

Ah, kandas

 

Setelah hari pengulangan itu

Terasa pilu kubaca terbata-bata

Nyatanya tetap saja rekah

Kau enyah

Tanpa kata

Sebatas ucap yang belum sempat ku terima

Makna dalam pesan sederhana  

 

Rupanya

Tak ku sengaja

Aku masih menyimpan lembaran lusuh

Dalam almari penuh berkas-berkas usang

Yang tak pernah kusapa dalam kerinduan

 

Sukorejo, 06 Februari 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MELIHATMU, ADA  BATUAN RINDU

: Faimz Ardiganz

 

Seperti juga hujan yang menyapa malam

Saat pelepasan tali temali rasa

Dihadapan luka yang tertera mendalam

Kau telah runtuhkan segala pengharapan

Melihatmu malam ini,

Ada kikisan senyum-senyum tandus

Tersiram gerimis, berteduh diantara angin

Rindu yang layu,

Aku menjengukmu, lantaran sejenak kekalutan kata

Menikam mimpi dan sebagian sajak-sajakku

Didalam asrama tercinta leluhur

Kau dan aku masih berbaur satu ruang

Hati meraung

Mencari peluang

Kau terkurung

Aku kau larang

Kisah yang hilang

Kapan datang

Ah, sebatas kenang

 

Sukorejo, 06 Februari 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

RUBAIAT GANDA

 

/1/

: s. ayu lestari

Kata-katamu pun sempat sepi

Disapa beberapa abjad yang basah

Yang tak bisa terpungkiri

Karena aku yang salah

 

Pagi kala itu yang mempertemukan

Lewat dunia tak nyata

Aku berharap ada keteduhan merambah

Menjalari ruas-ruas fikiran

Menabur tenang

Barangkali bisa

Lalu ingin ku suakan penjelasan

Bagaimana?

Tentang alur air mata sampai singgah menjadi badai

Ingin ku berkata perihal kabar

Namun layar kaca yang terhampar

Seolah membatasi suaraku

 

Ini soal luka itu

Yang menderas di bening saudaramu

Karena aku juga yang membibit

Tumpahkan duri-duri dalam bejana

Menembus tabung

Yang menyimpan merah darah

 

Letak yang tak lagi berbuah jejak

Bahkan kebencianpun

Luluhkan mimpi busuk

Hati remuk

Tak juga menggenggam harapan semula

 

/2/

: arina aiza

Akan terus ku ingat

Menjadi pelajaran berharga

Walau tak ada kisah yang sempurna

Tanpa cerita abadi

 

Terima kasih

Atas kesediaanmu menanam manis madu

Di pelataran sejarah

Karena begitu ku tau

Bahwa senja telah lama berlalu

 

Dan hilir air mata awan gemawan

Ku biarkan menunjukan jalan

Ke arah mana harus kupersilahkan langkah

Menemui hikayat suci

Yang indah dan abadan

 

Sementara kau yang tertoreh dalam kitab kehidupan

Adalah senyum rembulan saat malam

Menjadi matahari ketika siang

Tanpa lagi gerhana mengutukku

Atas kedustaan perih didadamu

 

Sukorejo, 07 Februari 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

TADARUS HUJAN

 

Bila gerimis menyapaku malam ini

Sungguh terasa manis jum’atku

Menarikan salam kata

Menyedu rindu yang lama tak bertuah

 

Segenap pengandaian aku

Kau masih saja membisu

Meletakkan batu-batu luka

Dalam dada sejalur hilir air mata

Tetap saja suaramu sepi

Berpaling ke arah yang tak kumengerti

 

Hujan malam ini

Adalah tadarus awan tanpa bintang-bintang mewarnai

Ah, kau itu

Masih saja tak mengerti

Maksud baik

Yang tersimpan dari dulu

 

Sukorejo, 09 Februari 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DERMAGA  AKHIR  RINDU

 

Kapal-kapalpun berlayar mengarungkan do’a

Menjelang keberangkatan

Angin masih bertiup kearah rasa

Turun menjadi air mata

 

Ketika hendak bersuara

Sirine mengajukan tanda dan waktu

Bahwa kisah senja segera jeda dalam kesementaraan

Lalu matahari yang menunggu

Masih tertimbun seribu pertanyaan-pertanyaan

Menjelang malam,

Runtuh dalam keadaan kelabu

 

Bayangan  dermaga biru khatulistiwa

Mendadak juga singgah

Menakar-nakar jumlah air mata

Lalu akan kubasuh nanti

Dalam setiap do’a

 

Sukorejo, 11 Februari 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KEDUA KALINYA, SETELAH MALAM KEMBALI MENYAPA

 

Harus berapa banyak lagi lembaran-lembaran kutemukan

Dibibir malam yang masih gontai

Puisi-puisi kembali ramai dalam ilusi

Saat ini

Senjumlah empat rakaat tersimpan bayang-bayang

Belum sepenuhnya aku faham

Sebab bintang-bintang masih suram

 

Dibisiki angin rindu yang jatuh berguguran

Suara risauku

Ah, sialan

Aku masih lumpur dan batuan

Tak sampai teduhkan kenyataan

 

Terlalu sulit

sulit menyimpan sakit

sakit terus terungkit

ungkit terus biar makin sakit

tetap terbesit makin gesit

air mata tak mau irit

Jan%#$@^@#%crit

 

Sukorejo malam, 11 Februari 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

JIKA  AKU INGAT            

 

Mengingatmu tertera dalam kilau air mata

Tiada henti jua hati mendera

Berbaur merah darah

Retasnya cerita adalah kepedihan terlama

 

“jerune tatu hang sun roso, nggawe bengi nono sempurno”

Mungkin terlalu dalam

Malampun masih tampak kelam

Aku yang tenggelam

Tertikam

Angka dua puluh enam

Sungguh buram

 

Biarlah gemuruh mengakar segumpal kepedihan

Suatu ketika kelak

Akan redam juga perlahan

Walau tak dangkal kupastikan

 

Ku ikuti saja alur yang diberikan semesta

Bagaimanapun juga

Meski nanti kau benar-benar enyah dalam prakira

 

Sukorejo, 12 Februari 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KARENA AKU BELUM INGIN LUPA SEPENUHNYA

 

Sebuah diskusi,

Membahas hati

Malam tadi

Sejenak puisi

 

Rasionalisasi kisah

Jestifikasi

Pemberian solusi

Kata dan seperti

Anmesia ringan harus ku ingini

Agar tak lagi

Perih

Rerintih

 

Sukorejo, 12 Februari 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

GEMURUH SYAIR MERAH ARIYAZA!

-Faimz Ardiganz

lipatan sajak meletakkan jejak kelorong renta tanpa kata

matahari yang mengeram dahaga luka

tertera seribu nanar darah ditangkai angka

tentang penolakan rasa yang enggan menjenguk teduh sebatas rindu

sebagai perih tak kunjung lenyapkan ambisisi hati

akulah angin yang kau cengkeram dalam peluh

tiga tahun air mata kunyanyikan dalam sunyi waktu

menaruh haru, menyusun deruh, menyayat hati dan reruntuh keluh

 

sebuah malam kau antarkan kedalam lorong pengap penderitaan

kau cincang harapan-harapan menjelma brutal dendam

malam itu kau menyambut  tanganku dengan lukisan jenuh

membimbing kebencian bara api pada air jernih

mengajak rindu kepada syair-syair peneduh

petir! menikam hujan pada nyanyian rindu yang terhamparkan

 

inilah syair pengelana dendam kembang tubuh kumbang

tiga tahun mencari tenang, aku menacari hujan diladang-ladang kerontang

aku mengaji banjir bandang, aku menjenguk padang tanpa ilalang

disinilah matahari mulai kejam memanggang perasaan

bulan mulai padam tengah malam

bintang mulai enggan bertemaram

kata-kata makin kental beraroma luka

 

aku menelan rasa yang tak berkesudahan

aku bersyair tanpa ujung hilir persinggahan

aku berjalan tanpa tuju mata angin mengantarkan

aku singgah dalam wisma kealpaan

aku teguk anggur sampai mabuk

pisau sampai perih risau

tombak sampai retak

parang sampai pedang

 

inilah syair pengelana dendam kembang tubuh kumbang

tentang tiga tahun benci menyingkap kebisuan belati

menangisi perih hujan pada rerumputan

ingat, masih ingin kutaklukan aroma darah

membersihkan sisa-sisa luka dan air mata lama

redam, tak akan kubiarkan rembulan biaskan lentera agung

diatas awan gemawan yang leburkan  kegelapan

padam, kan kuruntuhkan gejolak cinta dwipangga

takluk kedalam tangan para batara

oh, inikah hidup dan siksa

sulit dibedakan dala rasa

aku tebar gemulung halimun menyapa jalan-jalan rimba

ku ternakkan semangat cinta rahmawana

menjadi saksi luka syair Ariyaza

 

Pasca Diklat Seniman SMABRA, 25 februari 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

RUBAIAT GERIMIS

 

Dan sebelum awan terkikis menjadi hujan

Geremang suara-suara telah lama kerdam

Hanya sajakku yang tersisa dalam bingkai sejarah

Wujudnya bayangan luka dan air mata

 

Gerimis yang menegur kegersangan itu

Menutup rapat luas langit biru

Satu ingatan masih lengkap mencuat

Kearah sunyi yang kuanggap lenyap

Ah, gerimis januari

Tiada lagi uraian makna mendalam

Setelah pelan-pelan halilintar merobek senyum pelangi

Lalu kedamaian berubah jadi api benci

 

Kini, setelah kisah itu sebatas rubaiat

Tak kan lagi kusapa senyummu

Menjadi sajak do’a yang biasa melantun

Lantaran tamatnya cerita

Itu karena keputusanmu yang mendadak jadi guruh

 

Sukorejo, 31 Januari 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sebuah Cerpen

MATAHARI TANAH BORNEO

-         semua indah pada waktunya, ingatlah setiap air mata dalam do’a selalu memberikan berkah, Kepadamu aku persembahakan kisah ini.

Suara kokok ayam masih sangat familiar di telinga Ayu pagi ini. Masa-masa liburan yang hanya tinggal menghitung detik untuk ditinggalkan ditanah kelahiran ini. Ya, dia akan segera kembali ke pesantren untuk menuntut ilmu sebagaimana yang selalu diharapkan oleh kedua orang tuanya yang begitu bangga memiliki anak seperti ayu yang sudah mau memondok. Dibanding dengan teman-teman desanya yang memilih untuk sekolah di luar dari pada harus mendalami ilmu agama. Terasa berat langkah kakinya untuk meninggalkan kampung halamannya itu, mungkin karena rindu di hatinya belum puas meminum dahaga sejuk bebukitan lereng gunung berapi Raung. Mungkin ayu bukanlah anak seorang yang kaya, kesederhanaan yang setiap kali tertanam dalam dirinya adalah sebuah warisan yang diajarkan kedua orang tuanya tentang bagaimana menikmati hidup agar lebih bermakna.

Ketiga bersaudara itu. Ayu, sherly, dan shendy berserta ayah dan ibunya sama-sama melangkah menuju jalan raya untuk mengantarkan ayu kembali ke pesantren. Tepat lima puluh hari sudah masa liburan ramadhan yang dilewati seakan-akan sejenak dalam perasaan ayu untuk berkumpul bersama keluarganya. Dan tidak ada alasan lagi untuk sekedar lambat karena waktu yang diberikan lebih dari cukup.

Tahun ini ayu telah menduduki bangku kelas akhir sekolah menengah kejuruan Sukorejo Situbondo. Puncak dari enam tahun sejak 2011 silam ia berada di pondok dan rela hidup mandiri berjauhan dengan keluarganya yang berada di desa Sumber Sari kota Banyuwangi. Jarak tempuh yang sangat menguras waktu telah lama diabaikan, bagi ayahnya memondokkan anak agar tahu lebih dalam ilmu agama adalah surga yang sangat membahagiakan hatinya. Dengan adanya anak mengerti soal agama, ia juga akan tahu bagaimana taat dan mendo’akan orang tua agar selalu diberi kesehatan dan rizky. Ayahnya begitu yakin bahwa pilihannya sangat tepat, karena melihat pergaulan remaja saat ini sangat miris dan perlu diwaspadai.

“nak, ayu. Ingat nggeh...kamu jangan pernah mencemaskan kami, yang terpenting disana nanti kamu harus fokus sama pelajarannya, sudah kelas akhir. Banyak-banyak berdo’a dan jangan pernah memikirkan soal rezeki. Semua sudah ada yang mengatur nak” ujar ayah ayu dengan penuh lembut kasih kepada anaknya.

“iya, yah. Ayu mengerti, ayu akan berusaha buat selalu semangat belajar”

Dengan hati yang selalu menyelipkan pesan kepala keluarganya itu ayu berusaha mengulang-ulang dan menjadikannya alarm dihari-hari selama berada dipesantren. Walau sebenarnya ayu adalah seseorang yang berkepribadian keras namun ketika dihadapkan oleh kedua orang tuanya dia terdiam dan menuruti apa yang dikatakan. Dia sangat pandai menyimpan kesedihannya rapat-rapat sehingga yang diketahui oleh kawan-kawannya. ayu adalah orang yang anti oleh rasa galau, sangat keras kepala dan tidak bisa dicari masalah. Dia akan memberontak ketika salah seorang berbuat kesalahan kepadanya, tak heran kalau dia begitu ditakuti. Dan hanya orang tertentu saja yang berani.

Perjalanan menuju Situbondo kurang lebih dua jam dengan menggunakan transportasi umum, saat ini sudah melewati tiga kecamatan dari Songgon, Rogojampi dan Kabat. Masih tersisa empat kecamatan lagi untuk sampai di kabupaten Situbondo, tetapi mata ayu yang mulai sayu seolah-olah tak lagi bisa menahan rasa kantuk akibat semalam suntuk chatingan dengan teman-temannya di sosial media, kepalanyapun perlahan bersandar dipundak sang ayah. Sementara kedua adiknya sherly dan shendy masih menikmati perjalanan dengan melihat ruas-ruas kota yang begitu banyak perubahan setiap tahunnya. Tak luput juga dengan perkembangan wilayah taman nasional alas baluran yang juga mengalami perubahan dibidang pariwisata tambahan yaitu waduk bajulmati yang menaungi dua kabupaten Situbondo dan Banyuwangi.

Gapura selamat datang pun telah terlihat dimata ayu yang agak setengah sadar, ia beserta keluarganya turun dari bus angkutan antar kota dalam provinsi. Lalu beberapa tukang becak yang juga sudah melakukan modifikasi dengan sepeda motor mulai menawarkan jasanya untuk mengantarkan beberapa orang menuju kompleks pesantren. Merekapun langsung naik. Jarak antara komplek dan jalan raya cukup jauh melelahkan, tak heran banyak orang yang memilih naik becak motor dari pada harus jalan kaki yang menguras waktu dan tenaga. Tampak beberapa santri dan keluarganya dari seluruh kota di indonesia saling berdatangan meramaikan kembali kompleks pondok. Hal itu mengingatkan ayu sebulan yang lalu ketika dia pulang untuk menikmati libur ramadhan. Tapi keadaan sekarang berbeda, wajah-wajah santri baru juga turut mewarnai kebetulan pendaftaran peserta didik baru juga baru dibuka jadi beberapa tempat parkir sangat padat oleh kendaraan bermotor.

Lokasi santri yang terpisah membuat ayahnya tidak bisa memasuki kompleks santriwati, jadi ayahnya hanya bisa mengantarkan di gerbang sementara ibu dan adik-adiknya ikut masuk menuju asrama ayu yang terletak di blok Ny. Nur sari nomer 05. Beberapa temannya pun menyambut, salam kerinduan yang lama tidak bertemu selama sebulan terlepas begitu saja dari dalam hati. Dan Ayupun kembali menjadi santri seperti sedia kala.

Faizah yang melihatnya juga turut menyambut sahabat yang sekaligus saudaranya itu. Ya, keduanya memang sangat akrab bahkan kemanapun selalu bersama. Keduanya saling melengkapi dan mengingatkan, bahkan ketika satu persoalan rumit yang melanda faizah. Ayupun mengingatkan agar tidak menghiraukan siapapun saja yang menghasut fikirannya, keduanya saling menyayangi.

Hakikat yang memang harus dijaga oleh keduanya, ayu dan faizah. Sama-sama berada dikelas akhir mereka memiliki rencana untuk melanjutkan kuliah di Unej. Impian untuk bisa menembus perguruan tinggi negri adalah keinginan siapapun yang berada di bangku kelasa akhir tak terkecuali mereka berdua. Satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa melangkah untuk sesuatu yang baik tidaklah mudah, banyak hal yang harus dilalui.

*****

Beberapa bulan kemudian...

Terhitung sudah seminggu lebih ia lambat kiriman, itu membuat ayu resah dan merasa tidak nyaman. Entah apa yang terjadi sebenarnya ayu tidak sedikitpun tau, panggilan interlokal mendadak terdengar menyebut namanya di wartel milik pesantren. Langkah kakinyapun bergegas keluar menuju asal suara itu tanpa ada rasa ragu-ragu dihatinya. Sejenak menunggu giliran telvon petugas wartel memanggil ulang ayu. Ia pun menghampiri dan diberi waktu lima menit berbicara dengan ibunya.

“Assalamualaikum nak. . .”

“waalaikumsalam bu. . .”

“ayu apa kabar, baik-baik saja kan?, nak maaf ayah kamu telat mengirim. Ayah kamu mau kesana tidak menunggu hari minggu tapi hari rabu sudah kesana. Nanti kalau ayah kamu bilang apa-apa kamu jawab iya dan manut saja apa kata ayah kamu. Nak, kamu yang sabar dibalik cobaan pasti ada hikmah tersendiri. Tanaman cabe yang dirawat ayah kamu semuanya gagal panen. Padahal semua biaya itu hasil dari hutang tapi apa boleh buat tidak ada jalan lain. Dagangan bakso juga sudah sepi nak, kamu tetap sabar ya nak”

“bu, ayu manut apapun yang dikatakan ayah nanti. Ayu minta maaf kalau selama ini ayu selalu merepotkan ayah sama ibu. Ayu menyesal belum bisa bahagiakan ibu dan ayah”

“ayu tidak boleh berbicara seperti itu nak, ini sudah takdir. Yang terpenting kamu harus tetap semangat belajar dan tidak boleh rapuh, jangan pernah kecewakan ayah kamu yang sudah susah payah membiayaimu, semua akan indah pada waktunya”

Tak terasa air matanya jatuh perlahan membasahi wajahnya, teringat selama ini ayu masih belum mampu membuat kedua orang tuanya tersenyum. Ayu lebih banyak bersenang-senang dari pada harus memikirkan kewajibannya. Kesempatan masih ada dan tidak seharusnya ia terpuruk dalam keadaan yang membuatnya lemah. Sosok yang tangguh, selalu tabah adalah kunci dari sebuah masalah yang dihadapi. Walau rintangan menjadi batu terjal dalam hidupya yakin dan selalu berusaha akan menjadi tekat yang nyata untuk melalui semuanya.

Jam masuk madrasah sudah berbunyi di alarm pesantren. Telvon singkat ia akhiri dengan tetes bening yang terus berderai di matanya. Tinggal menunggu kedatangan keluarganya nanti siang yang mungkin adalah terakhir kalinya dia dijenguk, hati yang masih berkecamuk dan kacau yang terasa. Lantas langkah demi langkah ia menuju tempat wudlu menggapai ketenangan ia basuh wajah lesuhnya itu berharap ada ketenangan meresap walau tak benar-benar hatinya tenang. Ayu kembali keasrama untuk mempersiapkan diri pergi ke madrasah, melupakan sedikit masalah yang menimpanya.

*****

Sepertiga hari yang masih memanggang terus saja menyajikan sinarnya yang tak enggan kusam terlihat. Ayu telah bersiap-siap untuk menemui keluarganya yang datang hari ini, walau dihatinya penuh kepasrahan mendengar pernyataan ayahnya nanti tapi dia berusaha untuk selalu tegar. Sampai suara panggilan petugas tikanan mulai terdengar, ayu sengaja tidak masuk sekolah  sore karena menurutnya bertemu keluarga sangat penting. Di blok bagian barat tepat berdekatan dengan gerbang masuk pertemuan disana ibu dan ayahnya telah menunggu bersama kedua adiknya sherly dan sendy. Pelukan hangat sembari ia menjemput tangan kedua orang tuanya sebagai pelepas rindu, begitu juga ia mencium kedua kening adik-adiknya.

“nak, ibu tidak perlu ke asrama kamu ya, soalnya gak bawa apa-apa. Cuma bawa seadanya saja, hanya cukup untuk kita.”

“bu, ayu bisa berkumpul seperti ini saja sudah bahagia. Bertemu adik, ayah, juga ibu. Ayu sudah bahagia”

“ayu harus sabar nggeh disini. Ayu, jum’at besok ayah sama ibu berangkat ke kalimantan. Nak, ayah bangga punya anak kamu, sherly, dan shendy, kamu sudah manut sama ayah, sudah mau ikuti keinginan ayah buat mondok. Maaf Ayah hanya bisa ngasih 200 buat ayu, nanti kalau sudah sampai di sana ayah tambah. Banyak orang yang bahagia melihat penederitaan kita, tapi ayah minta tolong kamu jangan sampai putus asah. Kamu adalah harapan ayah dan ibu. Nanti kalau sudah lulus kamu ikut ke kalimantan untuk sementara kamu cuty kuliah nanti kalau sudah ada biaya kamu lanjutkan”

“iya, ayah . . .dibalik ujian pasti ada hikmah. Ayah sama ibu baik-baik disana ayu akan selalu mengingat pesan ayah, ayu bakal menjaga dek sherly dan shendy.”

Mendengar apa yang disampaikan ayahnya itu ayu memeluk erat ayahnya. Seolah-olah hatinya benar-benar terpukul, bahkan ia memiliki keinginan untuk berhenti mondok. Ayu ingin ikut ke kalimantan bersama ayah dan ibunya. Air matanya tak habis-habis tumpah diwajahnya. Namun dengan penuh keikhlasan dia berusaha untuk menerima yang terjadi.

Suasana haru membasahi tanah yang kerontang dengan sedu sedan tangis yang terus bermuara didalam jiwa keluarga itu. Shendy yang masih tak mengerti apa-apa hanya bisa diam melihat kakaknya menangis dalam pelukan ayah dan ibunya. Sementara sherly juga turut berisak mengusap air mata. Mungkin hidup diperantauan ayu sudah pernah mengalami, namun shendy dan sherly mereka harus butuh berproses. Terlebih usia mereka masihlah sangat anak-anak. Tuhan maha tau, maha memberi keindahan dalam seluruh penjuru waktu. Dan apapun yang terjadi di muka bumi ini dialah yang memegang kendali. Bagai hidup sebatang kara ia terus meratapi nasib yang tak selalu sama diinginkan.

*****

Waktu demi waktupun ia lalui dengan penuh linangan air mata kesedihan, setiap kali ia harus menyendiri mencari ketenangan. Tak terasa jika hari-harinya telah membuatnya jarang masuk sekolah. Menjadikannya nakal, dan jarang berada dikamar. Apakah hal itu yang bisa menyelesaikan masalahnya, sementara harapan-harapan masih tertata rapi di hati orang tuanya. Ayu nyaris menjadi seseorang yang tak lagi menemui tujuan hidup, faizah sanggat bingung melihat saudaranya seperti itu. Ia hendak mengingatkan, namun takut menyakiti perasaannya. Dalam hati faizah sebenarnya ia sungguh menyayangi saudaranya itu, ia sangat peduli dan tau bagaimana respon kedua orang tua ayu jika melihat kenyataan ayu yang sedemikian adanya.

Memang harapan untuk kuliah bersama telah retas, namun apakah harus? Sisa-sisa hari di pesantren juga kandas dengan kenangan-kenangan yang terlalui. Air mata faizah terus berderai dalam setiap do’anya, mengharap ada hidayah yang larut dalam diri ayu saat ini. Dan kebisuan sapa yang selama ini ia lakukan kepada ayu semata-mata hanya untuk membuatnya sadar dan mengerti apa keinginan sebenarnya.

Kemungkinan sebuah surat yang ia tulis untuk ayu, akan membuat kebekuan dihatinya runtuh secara perlahan.

 

Assalamualaikum. . .

Tidak banyak yang ingin aku sampaikan, ini tentang waktu yang ibaratnya pedang, begitu singkat

hari demi hari yang selalu memberi warna.

Kini entah harus aku kemanakan warna itu, jika tidak untuk dinikmati bersama.

Kau saudaraku, waktu yang tersisa hanya tinggal melihat hitungan bulan saja.

Banyak cita-cita yang kita inginkan, dan semua tersusun rapi dalam angan-angan

Kenyataan yang ada. Kita memang tak akan melanjutkan pendidikan bersama, tapi aku mohon sisa waktu yang ada ini. Aku ingin melalui hari-hari bersamamu. Ingat, kamu adalah harapan kedua orang tua kamu. Jangan kau retas impiannya dengan tingkahmu saat ini.

Walau aku tau kenyataan yang ada tak lagi sama untuk kita.

Mengertilah,

Karena aku menyayangimu

Wassalamualaikum

Saudaramu

 

A.M. Munfaizah

 

Membaca surat sederhana yang dikirimkan sahabatnya itu, mendadak air mata ayu jatuh Situasi yang tak selalu sama dengan kenyataan entah, sebenarnya apa yang terbesit didalam hati ayu sebenarnya. ujian sudah hampir, Dan pengurusan skor juga mulai dijalankan oleh guru bk, terhitung skor alfa yang dimiliki ayu dua puluh lima. Melihat sahabatnya seperti itu faizah merasa prihatin, Mungkin kekuatan ruh dalam suratnya itu bisa meluluhkan hati ayu yang kaku.

Benar nyatanya, seusai ia membaca surat itu dengan air matanya yang masih membasahi wajahnya ia pergi menemui faizah diasrama Ny. Nur sari 13. Ia sampaikan kata maaf berulang kali karena merasa bersalah.

“mbak aku minta maaf karena sudah tidak pernah memperdulikan kamu, aku tau mbak faizah enggan untuk menegurku. Dan surat ini adalah perwakilan kata hati mbak faizah yang kesal melihatku berubah menjadi lebih buruk”

“dek, aku tidak pernah merasa kesal sama kamu, tapi aku sekedar mengingatkan. Memanglah keinginan kita untuk kuliah bersama tidak lagi ada untuk kita, namun sekiranya sisa hari yang ada, akan lebih indah dan bernilai lebih untuk persahabatan dan persaudaraan kita ini.”

“mbak, aku merasa tidak kuat melihat kenyataan yang sangat menyakitkan ini. Adekku dua hari yang lalu kemari ikut dengan tetangga, dia sangat malu. Di tawari kue dan makanan, jika saja orang tuaku masih ada disini tidak mungkin sherly ikut numpang menjengukku dengan tetangga. Aku kasihan sama adekku mbak, sampai saat ini aku merasa tidak kerasan. Aku terus kefikiran dengan adik-adikku disana, sherly yang masih sangat belia masih harus memikirkan makan dan segala perlengkapan sekolahnya sendiri, dan nenek yang sudah begitu tua harus mengurus kedua adikku itu. Aku kasihan mbak, aku ingin membantu nenek dirumah”

“ayu aku tau perasaan kamu saat ini seperti apa, namun dengan yang kau lakukan. Itu malah membuat orang-orang yang menyayangimu kecewa. Dek, masih ada waktu untukmu merubah semuanya menjadi lebih baik lagi. Kamu harus sabar, ini adalah proses kamu Aku yakin dengan usaha kamu pasti bisa”

“terimakasih ya mbak faizah, kamu sudah berkenan mengingatkan saudaramu ini. Walaupun sudah banyak kesalahan yang aku buat. Namun kau tetap sabar untuk menghadapiku”

“ini adalah kewajibanku dek, dan sebaliknya. Jika aku salah langkah kau juga harus mengingatkan, kita harus saling melengkapi”

Kata-kata adalah do’a yang tersusun ketika bibir mulai menjiwai dari dalam hati, senyum dan tangis menyatu dalam rangkulan erat kedua saudara itu. Dan tentang hari-hari yang tersisa mereka telah memulai kembali hari ini, mereka tak akan menyia-nyiakan waktu yang ibarat pedang menebas begitu tajam.

*****

keesokan harinya ayu merasa tidak enak badan, suaranya agak berat dan seperti ada sesuatu yang mengganjal ditenggorokannya. iapun hanya bisa terlentang diatas kasur lantai asramanya hendak menelanpun terasa sakit dan tidak enak. entah ujian apa lagi yang ia alami saat ini, seolah-olah tiada henti mengujinya. semenjak kecil ayu memang memiliki penyakit amandel, menurut dokter penyakit itu bisa saja kambuh suatu saat dengan beberapa penyebab seperti terlalu sering mengkonsumsi es dan sesuatu yang membuat penyakit itu tumbuh membesar. beberapa anak kamar dan seniornya menganjurkan ayu untuk periksa ke unit kesehatan pesantren namun karena tak ada keberanian dari pihak petugas akhirnya ayu dilarikan ke unit gawat darurat yang masih bernaung di pesantren. hal itu membuat ayu merasa berat hati, ia sangat takut jika terjadi apa-apa pada dirinya dan satu hal terpenting dia tidak ingin merepotkan ibu angkatnya. sudah banyak ayu merepotkan ibu angkatnya itu.

namun karena tidak ada solusi lagi selain harus mengabari orang tua angkatnya. tak sampai beberapa hari ibunya itupun langsung bergegas datang. hendak dibawa pulang kekampung halaman namun ayu tetap tidak mau dan perlahan menangis, ia ingin dirawat di asrama saja dan tak ingin pulang. amandel yang parah itu tidak akan pernah sembuh tanpa oprasi yang harus segera dilakukan. sementara dokter yang praktek di rumah bersalin ibu dan anak tidak berani karena tidak ada  izin untuk itu. ya, kesembuhan dan keinginan untuk sembuh ayulah yang menentukan. lewat rayuan yang dilakukan oleh ibunya itu akhirnya ayu mau untuk dibawa pulang dan melakukan oprasi. tentu akan ada kerinduan dihatinya ketika harus meninggalkan anak kamar dan sahabatnya dipesantren. tak bisa dipungkiri memang itulah kenyataannya.

ada alasan tersendiri dalam hati ayu mengapa dia tak mau dibawa pulang, ia hanya tak ingin tetangganya mengerti dengan kondisinya saat ini. ia akan ditertawakan jika para tetangga yang memiliki kebencian mengetahui ayu pulang dalam keadaan sakit. sampai di Banyuwangi ayu hanya ingin berada dirogojampi dan tidak mau pulang ke sumber sari. rumah sakit muhammadiyah menjadi rujukan untuk oprasinya itu telah menyiapkan beberapa peralatan. hatinya gemetar penuh dengan ketakutan.

“bu aku takut bu” ujarnya sambil meneteskan air mata kekhawatiran.

“kamu tenang saja ya nak, setelah oprasi ibu akan mengabari orang tua kamu di kalimantan biar untuk saat ini mereka tidak cemas” ucapan ibunya itu penuh dengan keyakinan sangat penuh kasih sayang.

beberapa saat kemudian oprasi dilakukan selama satu jam,  rasa lega ibu dan ayu tersenyum karena oprasi berjalan dengan lancar. barulah ibu angkatnya itu mengabari kedua orang tua ayu yang berada dikalimantan untuk sekedar memberitau kabar ayu saat ini. namun untuk ayu sendiri disarankan oleh dokter jangan terlalu banya bersuara dikarenakan kondisinya masih belum pulih betul. leher yang telah tertutup kain kassa dan terjahit itu menjadi tanda kenangan tersendiri bagi ayu.

*****

beberapa bulan kemudian

terkenang dalam hati ayu saat-saat indah masih berada dipesantren, lika-liku kehidupan yang ia jalani penuh dengan penderitaan. tak terasa ia telah berada ditanah khatulistiwa ini kurang lebih dua tahun. selama ini ayu hanya bisa menghubungi sahabatnya faizah lewat media sosial. itu cukup meretas rasa rindunya sesaat, banyak hal yang telah ia pelajari selama ini. kehidupan yang harus dilalui dengan penuh ketabahan, perjuangan dan perenungan. tulisan-tulisan sederhana yang terangkai begitu indah pun tak lepas menjadi saksi hari-harinya yang kelam. namun karena itu juga ia bisa belajar untuk menghargai agar hiudp lebih berharga. di halaman rumahnya inilah dia menuliskan kerinduan terhadap tanah jawa, dan terkadang air matanya meleleh sendiri ketika melihat status teman-temannya di sosial media yang menyatakan berkunjung diponpes sukorejo. ayu ingin seperti mereka ketika ada acara-acara penting dipesantren datang sebagai seorang yang pernah mengenyam pendidikan selama enam tahun. namun takdir berkata lain ayu hanya bisa iri ketika harus melihat foto-foto yang diunggah oleh teman-teman di sosial media.

mungkin dia akan melakukan hal yang sama ketika waktu sudah memberinya kesempatan untuk datang. dan hanya ada satu cara untuknya melepas kerinduan yakni dengan menghadiri agenda kegiatan yang dilaksanakan oleh santri sukorejo yang berasal dari kalimantan. seperti halnya juga kegiatan yang pernah ia diikuti ketika masih nyantri, seperti halnya acara santri kerja nyata dan halal bihalal yang sekaligus reuni alumni.

mengamalkan ilmu yang didapat adalah belajar yang nyata jika dibanding hanya menguasai materi. ia dipercaya untuk mengisi mushala setempat dengan mengajari anak-anak mengaji, dan jika ada waktu luang ia mengajari santri-santri darul ulum memainkan hadrah. bekal itu ia dapat ketika dia pernah mengikuti sekolah hadrah yang diadakan oleh pengurus organisasi iksas pusat.

dan satu hal lagi ia selalu menyempatkan untuk selalu menyambung sambungan do’a kepada guru-gurunya dipesantren, karena tanpa adanya sambungan tidak ada keberkahan yang didapatkan. wasiat itu pernah diutarakn oleh kiai sepuh sebagai mana juga yang tertera dalam kitab ta’lim muta’alim. ya, inilah yang selalu tersemai dalam hatinya selalu teringat dan ketika terjadi kesulitan ia terus bertawasul kepada pendiri dan pengasuh pesantren. meskipun ayu nakal, namun nakalnya masih ada manfaat. bakat yang dia miliki jarang sekali ada dihati kawan-kawan sebayanya. inilah matahari jawa yang singgah diatas bumi khatulistiwa. matahari yang memberi sinar terhadap keluarga sederhananya. matahari yang terpancar untuk selalu menjadi peminpin bagi adik-adiknya. matahari itu tegak berdiri diatas luasnya pulau borneo. mengepakkan senyum fajar dan menyusun malam dihaluan senja.

SEKIAN

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(Akankah Dek,)

 

Belum sepenuhnya resah ini reda

Ribuan angan tiba menjadi genderang perang

Pertikaian,

Kemanakah angin damai itu?

Aku lelah mengangkat pasrah

Tersadari, akulah yang bersalah

Masih gerimis diteras pipiku

Harapan-harapan menanti pasti

Bersuara, aku belum berani menatap senja

 

Akankah dek,

Matahari muda runtuh tersapu

Sementara langkah masih maju

Menuju arah yang seharusnya tetap utuh

Aku masih ingat, bagaimana janji itu terpahat

Didinding hati kita yang lapang

Bahwa “aku ingin berubah, dan tidak lagi menyentuh dusta”

Iya, senja itu menyaksikan kelingking pandu

Hati kita bersatu.

Nyatanya

Keadaan jauh tak sepenuhnya sepakat dengan tekat

Hatiku lengah terbuai kilau kemilau

Menyimpan uru hara

Sesal, tak sampai aku bersua

Akankah dek,

Aku masih ingin melangkah

Denganmu aku ingin berubah

Walau tak mudah membalik warna cakrawala.

 

Jember, 10 April 2016

 

 

PISAU MATA RANTAI

 

Dijerat ribuan bijih rantai

Terhunus kemilau pisau

Inilah, aku yang risau

Air mata yang berderai,

-ngarai

Bukan sansai

Aku belum permai

Taukkah,

“peristiwa itu tiba begitu saja, karena ada jejak yang mendadak singgah

Lalu hasut kerancuan bersemayam, menimang-nimang bayangan mendatang

Samar terlihat, aku masih saja menjadi pencundang

Yang menghilang sejenak dari sebuah keputusan berharga”

Ah, tidakkah aku berfikir seribu kali sebelumnya

Ceroboh

Bodoh

Pendusta

Apa saja yang hina

Akulah orangnya, siapa yang berkata.

Kemarilah

Akan kusuguhi dengan hidangan hargadiri yang tak lagi tinggi

Kemarilah

Bawakan aku seribu jeruji api

Hunus lidah, mulut yang berbusa janji

Maka, barangkali aku akan mengerti

Apa itu perih luka

Dan perih nganga jiwa

 

Jember, 10 April 2016

 

TENGGELAM  AMARAH

 

Masih dihuni rasa rindu dulu

Terhadapmu dari tadi pagi

Bahkan nanti

Bayangku berselimut senyum-senyum

Yang masih jeda tanggelam amarah

 

Bukan kemarin kesadaranku tiba

Namun sudah lama

Akan tetapi jarak yang kupunya

Semata-mata menyimpan musibah

Aku khilaf sayang

 

Kasihku terbelah ganda

Kaupun terluka

Lalu kita bertikai pada kata

Kepada air mata

 

Sukorejo, 11 April 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SEDUSEDAN TANGIS

 

Aku rebahkan pula sayap penyesalan

Kearah cakrawala

Setelah ku buka perlahan surat airmata

Diujung sunyi milikku pula turut bicara

Mengapa lajur petaka kulalui

Sementra persetujuan telah lama berjanji

 

Sedusedan tangis menggila bersama hujan

Kemana arah kasih yang kusemayamkan

Sementara kini

Cinta berubah jadi genderang perang para batari

 

Akulah yang menggali perigi

Bermuram rintih dijiwamu

 

Sukorejo, 11 April 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

:

Mungkin hanya titian

Tertulis sebagai pelajaran

Aku masih ingin melangkah

Bersama jejakmu yang masih gagah

 

Karena kau juga

Bagianku yang terselip dalam setiap do’a

Arina Faridhatul Munfaizah

Selamanya

 

Sukorejo, 11 April 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PERAHU KERTAS

 

Gelombang hingar tiba menghunus layar

Angin sunyi diatap samudra

Mengeja lalu lalang hujan

Petir yang tak berkesudahan

 

Perahu kita guncang

Butuh lembaran baru

Untuk kembali dilabuhkan

Sebelum pada saatnya singgah

Dirumah tepi nirwana

Sebuah istana masa depan

 

Kuharap masih ada kertas yang tangguh

Lalu ku layarkan senyum

Kisah kita kembali

 

Sukorejo, 11 April 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LINANG TANGIS

 

Terletak dalam hati

Jariku masih begitu bimbang menorehkan kata

Lantaran keruh yang basah

Lengket tak juga enyah

 

Harus bagaimana

Jarak dekat terhampar tali-tali jari menjerat

Waktupun belum sepakat

Sedang jiwaku makin penat

 

Entah syarat yang seperti apa?

Mampu menumpah sekerat nestapa

Sementara bibir berbusa

Sekedar menjadi lambang dusta

 

Menaruhmu dalam linang tangis

Mungkin adalah caraku mengemis kesempatan

Sebab tiada langkah kokoh

Agarku tak kembali roboh

 

Sukorejo, 11 April 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DIHADAPANMU

 

Ingin kusimbahkan airmata

Dari rintih rintik yang menyimpan gemuruh

-petir

Aku bersandar pada sunyi yang mengalir

Dan jiwa inilah mendetak-detak penat

Tak berkesudahan

 

Jerih payah ingi berubah

Gusti,

Pasanglah kutukan-kutukan perih

Agar menemani penantian

Sesenggukan

Tak juga habis linangku menangis

 

Kadang juga wajahmu terang terhampar

Ditabir mimpi malam

Aku menulis pada sebuah catatan

Tersimpan rapi

Untuk gelagat esok hari

 

Lalu lihatlah kemari

Aku mengigau keluar batas mimpi

 

Sukorejo, 12 April 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

:

Kalau seribu puisi mampu membuatmu luluh

Lantas bagaimana dengan air mata yang menepi

Aku luapkan kata mengerdam suara

Sejenak malam mengurung nurani

Didinding pagi semburat utuh sebagai matahari

:

Masih mendung juga langit kita berwarna

Apakah nanar darah masih membekas

Aku meniti sebuah kabar menggema

Pada sekilas pesan

Mereka berkata

“aku kecewa padamu ”

 

Tebing senyumku runtuh

Semakin keruh

Tidak juga cerah berjinak-jinak dalam wajah

Jiwaku gerah

Digaris tengah pilu

Penyesalan

Ialah tebing yang bersanding

Bening

 

Sukorejo, 13 April 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PINTA 1

 

Biarkan aku kembali mengagungkanmu

Untuk esok hari pula

Masih sebagai peneduh

Sebelum pada saatnya

Aku ingin bicara

Kalau dunia sunyi

Butuh teman untuk sekedar kucumbui

Dimalam tenggelam

Atau pagi yang riang

 

Izinkan aku kembali membuka

Lembar-lembar yang sempat jeda

Karena satu kupinta

Tak ada lagi ada dari mereka

Bahkan selamanya

 

Sukorejo, 14 April 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PINTA 2

 

Izinkan aku kembali belajar

Mengejapeta keagungan rindu

Atas dasar penyesalan

Aku ingin labuhkan senyummu

Tepi kasih sayang

 

Meski kutau jiwamu masih diatas gelombang

Ditimang gemuruh tangis

Banjir bandang

Aku terlalu egois

Membiakkan perasaan

 

Sampai pada garis waktu

Hati tetap Satu

Masih untukmu

Walau yang kau tau

Kesementaraan merobek senja

Runtuh jadi gerhana

 

Begitupun aku

Malam selalu sempat mengingat

Berharap mimpi jadi pelangi

Lantas fajar di pagi hari

 

Sukorejo, 14 April 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

SEAGUNG NAMA

 

Tentang nama yang tengah terarca

Dilantai teguh semesta

Ingin kusampaikan semacam petuah

Yang masih senantiasa terpelihara

Agar tetap abadi

Sebagai bukti senantiasa ada

 

Ariyaza

Ialah kemilau pena ksatria yakuza

Dari sang pendekar syair berdarah

Ariya dwi pangga

Yang istiqomah

Mengurai kata yang terasa

 

Malam ini aku mulai menangkap senyum

Wujudnya berkafilah

Selembar kata

Kutela’ah penuh makna

Barang kali juga do’a

Diistijabah

Amin ya robb

Semoga setakar maknanya

 

Sukorejo, 15 April 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SEUMPAMA BUNGA

 

Disuatu senja yang tertera

Ada harga mati menunggu rupa

Tiba untuk kali yang kedua

Bukan sejarah

Akan tetapi riwayat yang belum tamat bersuara

 

Ada bisikan hening

Menyimpan bening sebagai irama

Detik ini

Biarkan aku sampaikan kata

Buka dari lidah

Tapi jiwa yang mendera

 

Saumpama bunga

Biarlah aku menjadi aroma

Pada sekian kebusukan-kebusukan

Do’alah yang mampu menyusun kenyataan

 

Jelun-Wonorejo, 16 April 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KISAH YANG TERPENGGAL

 

Belum usai perjalanan ini

Air mata yang singgah

Menjelma ribuan puisi

Aku menyusun kata-kata

Ditengah hening penantian

Tiada lelah

Do’a tak cukup sudah

 

Untuk yang senantiasa kurindu

Kupersilahkan tatapmu tertuju

Kearah langkah yang tatih

Hati yang rintih

Dan jiwa yang perih

 

Berusaha meletakkan rasa sebagai bukti

Jerih payah

Kukira kau mampu memahami

Karena satu yang kunanti

Untuk kujadikan istri

Tidak sekedar kekasih

 

Bem FD, 16 April 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIARLAH AKU LIAR

:singgah diasramaku

 

Karena dalam keadaan apapun

Bayangan itu terurai begitu rinai

Apalagi disini

Ketika sebuah duplikat tiba

Airmata yang kuntah

Menjelma resah

 

Butuh waktu untuk kembali

Aku mengerti

Karena hati hanya mampu sembuh

Saat bukti menjadi peneduh

 

Kini,

Biarlah aku liar pada langkahnya

Kemanapun yang kusuka

Asal bisa membuatku lega

 

Sukorejo, 17 April 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kalau senyummu kembali tiba

Lalu hatikupun ketakutan untuk terbelah

Mataku harus buta

Tak boleh memandang kelain arah

TIADA MASALAH

 

Sudah seharusnya

Masa gulita, menjadi pengalaman nyata

Tak boleh terulang kedua kalinya

 

Sementara ini

Aku sendiri cukup membuatku hilang arah

Menjelma sepi tanpa petuah

Malam hari,

Resahpun tak mungkin terpungkiri

 

Sukorejo, 17 April 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MANTANKU

 

Ketika aku harus menunggu

Dalam hati yang sabar

Ikhlas, tanpa teranggas oleh getar

Adalah sebuah tantangan

Bagiku membuktikan

Makna dari kebenaran

 

Demi suatu keputusan

Yang telah terbang kibarkan sumpah

Penuh susah payah

Aku terus melangkah

Walau tanpa baju zirah

 

Mantanku,

Kau tak sekedar cerita

Hari-hari yang berselimut resah

Makin seru ku melaju

Dengan rindu yang masih utuh

Dengan cinta yang tetap ada

Dengan kasih yang tak pernah letih

 

Kiranya memang tiada pengganti

Selainmu yang masih tertera dalam hati

 

Sukorejo, 18 April 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

MATA LUKA

 

Mereka tersenyum

Tawa renyah membicarakan kisah

Entah babak yang keberapa?

Sementara aku masih mengembara

Tak cukup satu belantara

Bahkan bebarapa rimba

 

Klimaks rasa penuh derita

Oh, batara

Rupanya aku kembali tenggelam airmata

Mengeram darah dan nanah

Aku ingin menangis

Menyesali

Entahlah,

Tak pantang aku menyerah dalam peluh ini

Aku masih ksatria

Aku belum betina

Wahai, seluruh mata

Penggenggam indah cakrawala

Lihatlah kemari

Bagaimana aku tertatih

Lalu terperosok curah pendosa penuh dusta

Katakan!

Apa yang harus kunisankan

Seratus bintang-bintang enyah

Bulan pecah

Bedebah

 

Sukorejo, 18 April 2016

 

 

 

 

MENERIMA

 

Hidup untuk melaksanakan

Sementara kita terlahir untuk menerima kenyataan

Inilah hakikat sebenarnya

Berusaha menjadi lebih baik

Melalui proses panjang yang sungguh menarik

 

Sukorejo, 18 April 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

AKU MENANGISIMU DEK,

 

Aku menangisimu dek,

Bukan karena seutas tali yang rantas

Tapi karena sesal kental

Tak temu bisik untuk tenang

Walau sebatas linang

 

Caci makimu lebih nikmat kulahap

Ketimbang aroma-aroma sukma

Aku belum sepenuhnya sempat bersua

Dimusim ini hanya ada busuk dusta

Berternak seribu dosa

Air mata

 

Aku menagisimu dek,

Bukan karena kisah yang terpenggal

Melainkan tangkai mawar berduri

Menyakitimu penuh ambisi

Tidak hanya itu

Bahkan kemilau yang seharusnya rebah

Kini redup diwajahmu

 

Ada sesalku yang menggumpal aspal

Entah bagaimana aku menakar

Sejuta puisipun kukira membual

Di jiwa, rinduku mengakar

 

Sukorejo, 19 April 2016

 

 

 

 

 

 

DIALOG BISU

 

Antara kau dan aku

Dipersinggahan kata
tanpa suara
dari bibir kita

 

Simfoni rindu masih mendera

Ingin sama seperti dulukala

Saat kumbang-kumbang tiba
mencicipi manis kisah

Disebuah dinding senja

 

Kini,

Dialog rindupun bisu

Tiada sedusedan bintang-bintang

Menyusun malam penerangan

Jadi kelam

Tertindih_

                        Wajahku geram

Tangis rerintih_

                         Mataku suram

 

Sukorejo, 23 April 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SENANDUNG KUSUT, SAJAK KURENGGUT*

* terselip dalam senandung Lungset Mahesa feat Vita

 

Kutebar senyum ini

Meskipun hujan dalam hati

Tiada wujudnya

Dapatku menanti

Lusuh hati ini

 

Apakah senandung itu bertamu?

Memecah tangis-tangis ronta

Runtuh

Menepuk lidah semesta

Lalu hujan datang tiba-tiba

 

Pernahkah aku mendua

Berubah rasa dengan engkau

Pernahkah ku menyakiti

Tapi engkau ingkari

Dusta janji dan rasa

 

Gemertak hatiku lumpuh tersentak

Sebagai penghianat

Janjiku lepas berkhitmat

Meretas riwayat

Tamat

 

Maafkanlah diriku menyakitimu

Ubah janji dihati mendua

Maafkanlah diriku meninggalkanmu
yang kupinta hanya satu

Engaku tetap wangi meskipun aku tak ada

 

Maka kata maafku yang rendah

Mencoba menerjemah luka dan air mata

Dihatimu yang berlumur merah darah

Akulah pendosa

Yang dzalim mengantar perih derita

 

Tak ada maksud kuretaskan kisah

Wahai dinda,

Sesungguhnya ini adalah petaka

Aku khilaf dinda

Sesalku gumpal

Berlendir aspal

 

Kemana harus kubersihhkan air matamu yang bertebar

Rekah redup jantung ku berdebar

Selain sejuk maafku yang terhampar

Kearahmu terdengar

 

Aku masih butuh belajar

Untuk kembali melipat kertas

Yang kau lambangkan sebagai batera

Istana mulia kita

Sebuah hubungan sejahtera

 

Sukorejo, 23 April 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

:

Pahitpun tak hanya empedu

Karena sampan tempatku berteduh

Guncang diterpa pilu

Aku saksikan pentas penjesalan pujangga

Ujung penanya memar

Menyimpan derita cinta

 

Hanyut diatas gelombang

Kemungkinan luka pasanganya benderang

Mengibarkan genderang perang

Entah kapan damai akan datang

 

Sepucuk rindu yang tak sampai

Peristiwa badai dingarai hati

Tak henti-henti memutilasi mimpi

Pagi hingga fajar tiba lagi

 

“aku memang menangis,karena semua berakhir seperti ini”

Mendadak suaraku menyepi

Tak bertemu bising simfoni

Meski sekadar lirih

 

Sukorejo, 24 April 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

METAMORF

 

Bila kesejatian

Mampu menunjuk tenang

Kurasa itu adalah kebenaran

 

Dalam separuh perjalanan ini

Tak mudah terlupa

Karena aku tak mau enyah

Dari musim sunyi

Yang berselubung banyak kisah

 

Tumpuan runtuh, jejak tertatih

Aku menunggu masih seorang diri

Di rimba rimbu

Keraspun terhimpun

 

Sukorejo 24 April 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SURBAN TASBIH

 

Lelah ku melangkah

Bukan makna menyerah

Aku masih berusaha

Menjemput senyummu

Yang runtuh didinding luka

Pemberianmu…

Surban berselimut subuh

Kaki tertatih bertasbih

Astagfirullah

Ini adalah salahku

Terlalu dangkal

Mengiramu berternak hati

-brutal

 

Aku,

Sesal menyerbu kalbu

Kafilah resah menegur

Diamku berhambur lebur

 

Sukorejo, 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KSATRIA BIRU TINTA

 

Haruskah kembali kubuka lembar-lembar baru?

Pada setangkai harapan di musim semi

Dalam tahajud rinduku yang layu

Bunga mawar menjadi aroma dan berseri

Memang hidup tak selamanya rerintih

Badai samudra yang ku alami

Mengantarku kedermaga senyum permadani

 

Sebelum kuucap hati

Kata-kata masih bersangkar

Mengaji seribu puisi para sufi

Dari alif ba ta sampai amalan fatiha

 

Aku belum berani bersuara

Langkah bertafakur saja sederhana

Tak selebih menjadi rasa

Karena air mata belum juga hening

Dari fajar hingga malam bergeming

Tersemat pula pada malamku

Selembar senyum milikmu itu tumbuh

Kedalam halusinasi mengalir menjadi mimpi

Aku tak mampu taklukan resah

Meski lelap yang menguyur jiwa ini

Sepi seorang diri

Telah kuratapi sesal yang mengganjal

Tiada bukan adalah tragedi tangis bulan lalu

Ketika jejak tak lagi membuatku utuh

 

Seirama dengan penantian sang pujangga

Mengembara kesetiap belantara

Entah apa yang dicarinya?

Aku merasa lelah, jiwaku pasrah

Selusin kata yang kupunya hambar

Retas tak tertakar oleh rasa

Wahai, pendengar

Pemuji syair yang hingar

Tengoklah kemari

Bagaimana aku merawat penantian sunyi ini?

Sebilah pedang mengutuk mati

Serinai air mata jatuh menyesap dalam perigi

Oh.

Inilah Ksatria berdarah biru tinta

Nyalinya masih angka renta

Entah dimana waktu akan memperkenankan

Seutas senyum yang rantas?

Agar di bibirnya kembali singgah mutiara

Ruh nafas terasa hempas terhirup

Di sinilah aku menelan ludah api Batara

Gersang kepiluan meronta

Terdengar gemuruh semesta_turut

Halilintar tiba_gelegar

Matahari berpijar_amarah nyaris terhampar

Aku kembali liar

_biarlah ini jalanku jua

Mereka tak tau apa

Tentang bagaimana yang dikatakan luka penyesalan?

Ini jalanku juga, bukan mereka

Atau apalah sebutan bagi pencaci rasa

 

Sukorejo, 11 Mei 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

MELODI RINDU

 

Melodi dalam tadarus rindu milikku

Belum sempat kuucap dengan suara

Matahari pecah

Luntur jadi kemuning sawah

Kedamaian yang kudamba

Adalah sebingkis do’a yang ku punya

 

Arina Faridhatul Munfaizah

Apa kabar dinda?

Masih kuserukan namamu pada lembar mimpi

Wajah pagi yang menyambutku

Teras sunyi dalam hati

Tak sepenuhnya aku mengerti

Wahai dinda,

Tahtaku masih sebagai penanti

Belum mampu untuk lari

 

Walau katamu aku adalah perih

Mengingatku mengukir rintih

Namun lihatlah kemari

Bagaimana aku mengeja senyummu dalam halusinasi?

Menata diri kembali sebersih hening malam hari

 

Memang sulit bagimu kembali

Karena luka dibatinmu bersemadi

Enggan jauh pergi

Meski untuk sementara hari

 

Setidaknya,

Ruang dikalbumu masih milikku

Dan sampai kapanpun juga

Selama jejakku berkelana

Mencari telaga narwastu, sumber penyembuh

 

Bila rasa milikmu utuh

Suarakanlah dalam setiap nafas rindu

Maka aku dengarkan dari sebrang sini

Lalu enyahlah resah dalm diri

Menjadi butir-butir simfoni

Dan kunyanyikan saat sunyi menyekutui

 

Sukorejo, 11 Mei 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SEKERAT AIR MATA, NYANYIAN PETAKA

 

Suara rintih dalam hati menjadi pasti kualami. Persinggahan yang menyimpan serumpun harapan mendatang telah sirna dalam bayangan, dalam hati, dalam fikiran. Malam yang sepi kemanakah arah harus ku pijaki?, aku telah kehilangan peta kebahagiaan dalam diri. Reruntuhan bening tak juga mau berpaling. Hanya sesal yang menggumpal dalam nurani, kian membuatku sesak tanpa sebuah arti.

Sadar, akulah tangis yang kau antar. Dari balik jejak suara petaka lusa. Tanpa kutela’ah, tidak juga kau lihat kenyataan yang ada. Ada dendam yang muntah melihatku bahagia. Memang benar darah dibayar darah, air mata dibayar air mata, baginya lunas sudah air mata luka yang sempat menjelma rasa. Keadaan yang tak terbesit sebelumnya, tak ada yang mampu mengantarku senyum, sekedar menjadi tenang dalam kegamangan, Semua hanya memberiku hukum bukan bunga yang ranum. Apakah setiap yang bersalah adalah noda yang harus terpenjara. Siapakah yang mampu memberi suci, menabur seribu tetes embun menjadi sebuah arti. Kalau hidup memang butuh diperbaiki, bukan hanya sanksi. 

Bila ada sudut waktu yang memberiku ruang untuk sekedar bersuara, tentu aku malu dengan penjelasan ku sendiri. Karena seperti apapun suara, kata telah lama kehilangan rasa percaya. kebenaran tak akan lagi menjadi pembela, walau sejuta kalimat nyaris tamat berucap. Aku telah mampu menerima kenyataan yang ada meski berat senantiasa tersumbat dalam dada. Tapi jika Tuhan memperkenan kau kembali percaya, lalu kisah yang lama mengusung jeda akan kembali menyusun senyum semesta. Wajahmu masih utuh dalam anganku, berkali-kali tersenyum terkadang juga murung. 

Sedetik malam ini ketika namamu larut dalam tintaku tentu kau ingat aku yang sepenuh limbah basah dimatamu. Pasti kau ingat aku yang mengantar luka  berbalut dalam sebuah kisah cinta. Salam rinduku masih sama, selama sesalku ini akan tetap bertapa dalam mimpi maupun do’a. aku selalu percaya kalau takdir ada pada kuasa-Nya, jika Tuhan memberimu kepadaku, aku yakin yang limbah basah dimatamu mampu menjadi jubah zirahmu. Salam sesal dari hati yang labuhkan rindu, walau tangisku tak sampai padamu, walau rintihku tak sampai padamu, walau do’aku tak sampai padamu, namun tetap kulambaikan rindu. Mungkin air mata do’a paling mutiara yang jatuh ke tanah akan berangkat kesamudra, kemudian menyesap dalam peluhmu menjadi rubaiyat baru.

 

Sukorejo, 07 Mei 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MALAM NISFU KEBAHAGIAAN

:kaupun kembali, ketika saat rembulan mengantarkan permintaan sya’ban.

 

Malam ini, setelah berhari-hari perih sesal

Mengumpal dalam nurani

Kabut mendung jumantara pecah

Kata maafpun kembali jadi kisah

Bernuansa senyum purnama

 

Nisfu sya’ban

Telah kuterima salam semesta

Tak lagi ada kerutan belantara

Yang kusut menatap sang pengembara

Kesempatan itu sudah ada

Bagiku yang menanti kidung rindu

Oleh batari  yang menjelma cucu hawa

 

Kini, tiada kuhirup aroma darah

Memar dan bercak air mata

Semuanya enyah

Tak tersisa dalam gundah

 

Aku telah lalui do’a

Dengan sisa-sisa air mataku yang lemah

Kaupun tak akan tau

Tentang bagaimana banyangmu singgah mengusung pilu

 

Sanggup, aku menyanggupi janji

Pada setiap rindu dan peluh kesejatian

Kumaknai dalam sekian hening sunyi

Malam

Adalah bait untuk kusampaikan pada puisi

 

kaulah penyembuh luka sebenarnya

Tidak jua mereka yang berpura-pura

Karena inilah hakikat rintangan

Tak jauh oleh hiruk pikuk tangisan

 

Untuk kita yang tengah rindu

Dalam pilu setakar bayang semu

Inilah hati muda kita

Kembali melukis indah lautan kasih

 

Sukorejo, 21 Mei 2016 02:44

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAHTERA

 

Hariku hanya beraroma nafas penyesalan

Senyum yang kuperkirakan

Tak cukup matang menaruh kesimpulan

 

Aku masih berdiri diatas gelombangmu

Belum tau kapan akan mendermagakan jiwa

Dipantai perdamaian yang indah

Bahtera masih menompangku penuh resah

Bukan karena tak bisa moksa

Terlalu sederhana melangkah

Dan hatikupun masih tanggal muda

 

Wahai wanitaku,

Hatiku masih baja berpindah kearah nirwana

Rasaku tetap menjadi suara

Yang tak kunjung kerdam

Terus beternak ronta

 

Sungguh aku masih mencintaimu

Tulus sayangku berstatus kamu

Begitupun rindu

 

Sukorejo, 05 Mei 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BANTU AKU DEK

 

Dan inilah yang sebenarnya terbayang

Pada sekian banyak mimpi panjang

Kata mempersilahkan rasa

Satu yang terbesit dalam do’a

Kaulah harapan yang nyata

 

Dek,

Sekarang wajahku telah kembang

Jiwa tak lagi gelombang

Lalu perahu yang nyaris tenggelam

Siap berlayar menuju bulan

 

Aku sampaikan salam rinduku

Dengan sebingkis harapan baru

Lembaran lalu, biarlah menjadi catatan tentang jalan kita

Untuk selanjutnya

Kuharap tak akan ada lagi yang menyingkap air mata

 

Bantu aku untuk sembuh ya dek,

Aku butuh kasihmu yang teduh

Jiwaku masih kerontang dan jalang

Mungkin juga binatang

Menurutmu

Inilah aku dek,

Belum sepenuhnya bisa berubah

Agar menjadi yang kau percaya

 

Sukorejo, 24 Mei 2016

 

 

 

 

 

ADA TAPI SUDAH SIRNA

 

"kamu masih ingat ini tanggal berapa?" Dua enam dendam!

Nafas rindu yang membusuk

Pilu mengantar amuk

Ah. Sederhana saja

Hatiku sudah ada yang punya

Jauh sebelum kabar angin ku terima

Aku sudah tersenyum lebih dulu

Membersikan air mata luka

- binasa

- sirna

- enyah

 

Sayang, kau lambat menabung rindumu untuk seseorang sebrang

Sedang aku.

Duduk bersilah menatap langit dengan senyum

- makin sengit

Tapi sangat legit

 

Wahai, yang tengah layu dalam anganku

inilah aku

Pengelana rasa yang sampai pada bukit rerimbun cahya purna

Ketahuilah...

Sampah masih beraroma

Tapi wujudnya telah berpaling kearah dewata

 

Wajahmu ada, tapi bagiku sirna bin asa

Senyummu tetap, tapi bagiku berkarat

Jiwamu bahagia, tapi bagiku luka

Rasakan...

Tak semata-mata pergi itu berlari

Namun bayangku masih tetap menggenggam api benci

 

Ceritamu belum tamat

Deritamu juga belum sesaat

Sampai hayat

Sampai senyumku membidik selat

 

Muncar, 26 Juni 2016 00:26

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

”JANGAN ADA LAGI DUGAAN, DIA HANYALAH JELMAAN”

 

Dia hanya mengantarku temuimu

Wujud benalu yang mengakar

Sekedar menjadi tanda istilah

Bahwasannya yang nyata

Ialah rupa kembang surga

Tak bersayap kumbang

 

Melalui arus air mata

Melewati bercak-bercak luka

Kuterjang bandang

Kucakar topan

 

Terlihat begitu semu

Sepanjang tebing penghadang

Di sebrang sana

Ada fajar berpijar terang

Aku tertegun nyaris berjemur linglung

Adakah bait-bait yang bersenandung?

Sekedar mengupas hatiku yang lama mendung

 

Tertikam derita

Jerit, Pekik suara mencapai jelaga

”Jangan ada lagi dugaan, dia hanyalah jelmaan”

Dia mengantarku temuimu

Rekatkan sebingkai senyum

 

Sukorejo, 01 Agustus 2015

 

 

 

 

 

KAU INI SEPERTI APA?

ATAU AKU HARUS SEPERTI APA?

 

Di jantung malam sepi ini

Wajahmu bertarung kalahkan mimpi

Berperisai senyum megah

Yang entah apalah aku harus menyebutnya

 

Gemulung hatiku gugur di jamahmu

Seakan-akan rasa angkuh itu perlu

Dan tiada aturan atau larangan

Sebab menurutmu hanya sekedar lumpur kehinaan

 

Berasal dari semacam wasiat lama

Sudah sering ku rasakan derita

Padahal sifatnya sementara

Tak ada unsur abadi

Karena dalam jeruji

Adalah burung-burung yang berkesiur

Bertengger di tangkai anggur

 

Aku mendengar gemuruh badai

Tak mau lagi damai dengan sansai

Kapas-kapas di aniaya

Menghambur kemari kesana

Tiada juga yang mengerti

Kalau kesulitan terberat ialah melupakan masalah hati

 

Sukorejo, 27 September 2015

 

 

 

 

 

 

SAJAK KECIL BUAT NANDA 1

---Faimz Ardiganz---

Sedikit yang ingin kukatakan

Ini tentang dugaanmu

Yang jauh dari pemahaman

Seringkali berkarang perselisihan

 

Aku sudah kenyang gersang

Tiada lagi dahaga gelombang

Sebab aku bukan lagi binatang jalang

Yang harus kau takuti dalam sejuk kedamaian

 

Aku sinting

Ditikam senyummu yang asing

Berguling-guling bening

Berbaring-baring kering

Sering

 

Sekarang, wahai ananda

Jangan lagi kau cipta resah dengan uru hara

Karena aku sudah mampu mencari senyum

Diantara rerimbun yang kau tunjukkan

 

Sukorejo, 10 Agustus 2015

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SAJAK KECIL BUAT NANDA 2

---Faimz Ardiganz---

Hanya persoalan gurau dan bisu

Tidak lagi yang ku anggap rindu

Meski masih ada benalu

 

Ini tentang nurani

Dek, dengarlah gemericik mata air

Yang mengharap telaga maaf

Mampu membuatku kembali taat

Dihadapan sahabat

Siapapun pernah memiliki rasa

Mustahil bisa menentang

Keadaan yang tak seharusnya di tantang

Kalau saja kau mampu mengeja rasa

Sebingkai sunyi yang menikamku dalam masa

Mungkin kau juga akan berkata

Bahwa akulah raja derita dari zamannya

Namun nyatanya?

Kau masih menabur jerami

Membalik kompas nurani

Lalu membuatku terluka kembali

 

Sukorejo, 10 Agustus 2015

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SERINAI AIR MATA

---Faimz Ardiganz---

Otakmu yang bijih padi

Sudah mampu menyayat

Sungguh perih,

Terasa nikmat, penuh biadab

 

Menghilang dari hadapanmu

Ialah caraku temukan tenang dalam kesementaraan waktu

Dengan seperti ini

Kau juga akan mengerti

Kalau aku juga punya hati

 

Hingga detik ini juga

Sekuat baja aku menunda air mata tumpah melimpah

Meski katamu yang menyepi

Senyummu yang sunyi

Telah ku jadikan tasbih puisi

 

Aku sebatas hatimu yang resah

Liarku yang kau duga buas

Sebenarnya hanya tradisi budaya

 

Sukorejo, 08 Agustus 2015

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MALAM INI ADALAH AIR MATA SEJARAH

---untuku dan habibi dalam siksa kumbang

 

Karena carut marut onak duri

Kita kembali menjadi betina yang kalah

Dalam persekutuan malam

Yang menghempas sekujur tubuh kita dengan tangisan

Memang benar kita ada kesulitan melawan

Namun bagaimana lagi kawan?

 

Akupun tak terlalu jantan menghentak kahendak

Lantaran jiwa-jiwa berontak kita

Kalah dengan mulut setan

 

Satu yang kupinta hanya ingin mencengkeramnya

Biar tak ada nganga dan ronta

Kau menangis

Lalu kusambut jua dengan sangat kritis

Entah kemana langkah kita mengais sisa-sisa telaga?

Walau sepercik mata air yang sebegitu melimpah

Cukuplah sekedar hapuskan hati yang dahaga

Mata yang kerontang

Atau tubuh yang kesakitan

Ya, hanya ada kesakitan

Hanya ada kemarahan

 

Kabar yang ku terima dari salah seorang kawan

Berita yang kau dapat dari teman

Nyata hadirnya

Dan bukan sebatas opini belaka

 

Menghadapi

Tentu harus tau diri

Siapa kita?

Apa maksudnya?

Apakah ada tindakan yang lebih arif dan bijak?

Ketika kata merubah sepenuhnya jadi jumawa

 

Sebetulnya,

Kita sama-sama bodoh

Mereka hanya kumbang turun harga

Bukan kembang tujuh rupa

Apa juga nilai lebih dari air mata yang masih berderai

Mampukah mencipta permai?

Tidak!

Sekali lagi tidak!

Itu hanya budaya

Tanpa harus memperdalam rasa

Susah payah menderita

 

“Bila anda ingin melihat dunia sementara ini,

Bila anda ingin beralih dari ketiadaan kepada keberadaan,

Bertahanlah!

Jangan mudah anda lenyap seperti kilatan cahaya sekejap!

Pupuk keberanian bersusah payah

agar berhasil meraih lumbung penuh melimpah

Bila anda memiliki sinar matahari

Beranilah menjelajah langit lazuardi!”. Allamah Sir Muhammad Iqbal

 

Hanya wasiat itu saudara

Jangan lagi ada derita

Walau hidup sedikit demi sedikit membunuh kita

Meretas senyum dan tawa

Tapi,

Selama masih singgah jiwa ksatria

Hati bakal mampu menunggu tahta

Dari hamparan do’a-do’a

 

Biarlah malam ini menjadi air mata sejarah

Bahwa bagaimanapun luka mendera

Kita tetaplah singa

 

Sukorejo, 31 Agustus 2015

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KARMA

 

Kau berlalu menatapku maupun tidak

Terserah saja

Jelas suatu saat

Betapa kau akan lihat

Bagaimana luka dan air mata

Kau bakal tau karma

Tanpa harus ku baca mantra

Tunggu saja

 

Sukorejo, 06 September 2015

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DUPLIKAT SENJA

:kuncup di mata mekar di jiwa, Faimz Ardiganz barangkali hanya opera belaka

 

Wajahmu

Karena ada rinai bisu yang tiba-tiba malu

Matahari yang kupetik di tangkai senja

Mengubah geming menjerat hening

Luntur di jamah mata

 

Tak sampai usai mencengkeram luka

Mungkin pada duplikatmu saja

Kusemai air mata do’a

Biar warna merah dijantungku, lenyap jadi peneduh

Sepenuh usiaku

 

Sukorejo, 16 Oktober 2015

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DENDAM AGUNG

Puisi esai: pahit yang menyesap dalam jemawa

 

Jangan ada suara kalau dendamku sedang berkelana, sebab dendam milikku akan memecah warna langit dan cakrawala, makin kusam dan menyimpan aroma sengit yang jatuh hingga tulang belulang kering di rerumputan, selama masih kuhirup udara seribu kebencian tak akan enyah dikutuk pepatah. Oh, dunia akan kucengkram belerang panas matahari itu. Oh, akan kupangkas belantara dan airmata ini akan tetap tersurat dalam kegelapan, membanjiri dendam agung yang tak ada banding memenjarakan senyum. Berkata perihal rasa, resah yang bagaimana hendak kupenjarakan dalam tabir cahaya, aku mengaung melolongkan amarah. Namun disisi  yang tak jauh berbeda, langkah dan suara yang sunyi sepi menantang seekor singa yang nyenyak dalam ketengan tahta. Lebih perih bisu dari sayatan tombak rindu, oh..lara yang tak lagi menjamin batas manusia, jalan manakah yang harus kutelaah dalam peta-peta sejarah? Murkaku makin tak mau ditolong para pendahulu, wahai dendam yang abadi. Perkenankanlah setiap airmata, luka, derita, nestapa, dan segala wujud kegelapan ini menuntut balas tanpa batas yang akan tebarkan dalam peraduan rimba, menutup segala yang indah, senyum maupun tawa.

 

Gelembung senyap taat merawat luka hatiku, serupa dentuman guntur yang merobek hening, kilatan petir jiwaku tak akan berpaling menyingkap keselain pandangan. Belum habis kulunturkan magma mahameru sebelum bukit raung yang kuantar menjahit mulut didasar keangkuhan  terbesar. Jarak sejengkal kian memberontak kepalan pengharapan yang tak sampai memenuhi sebuah kebahagian. Disinilah akan kau amati bagaimana buih-buih gelombang mengajariku tentang ketenangan, walau seratus kalinya hening memimpinku dalam segenggam kegelisahan.

 

Tak ada keabadian di muka bumi ini, semua lenyap tak tersisih. Melainkan hanya dendam yang terus membakar dahaga, tambah waktu makin kerontang menghabisi raga dan raga, selagi bara api amarahku mengaum keseluruh jagat raya siang yang menghardik embun, malam yang mengutuk kemarau, menjadi beku tertimbun gemulung. Dan pada hari pembaharuan kelak kita akan sama-sama bertepuk senyum, melupakan prahara yang tercium baubau dendam. Pelarung sunyi ini adalah titisan leluhur dengan katana yang setia menanti darah berteduh. Siapa yang mampu meredam dendam ia adalah sebagian dari wasiat suci yang segan menyadarkan dalam keruh warna kegamangan.

 

Dendam ini agung terpelihara bukan semata-mata ada, alasan terkuat adalah airmata adalah nestapa, adalah siksa yang tak kunjung berkenan membimbingku tenang. Duhai para pengikut kegelapan mulia, mulailah kesejatian hati teguh dalam menompang amarah, biarkan luka itu makin membara, merajai seluruh alam raya ini, taklukan senja bibit keberanian dengan angka melangkah. Mari kita junjung dendam kepada para penabur derita. Oh, batarakalakepada siapa kita mampu menelanjangi belati, sebenarnya mereka yang ingin dihujat dalam kematian murni. Oh, perih...angin yang akan memberi petunjuk kegelapan itu adalah udara yang memanas terpanggang api benci. Sepanjang penantian yang makin sepi dihari-hari, aku mengutuk kata prakata jadi hati. Dendamku kepada Faimz Ardiganz  tetap abadi yang tak akan terganti senyum-senyum, walau keberdaan dan tingkah si pengagum lekas musnah kembali temui arus bandang yang bergemuruh.

 

Keagungan adalah kepunyaan terbesar dalam jiwa, dan kepada air mata yang telah melimpah, demikian pula meresap kepori-pori luka, Besar berkuasa.

 

Sukorejo, 09-10 November 2015

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SELAMAT PAGI GERHANA YANG MELINTAS DALAM SEGENAP PENGANDAIANKU

 

Selamat pagi gerhana yang melintas dalam segenap pengandaianku

Matahari mentah kupelihara di malam hening

Mengandung segulung nestapa, dadaku sesak

Terjerat luka yang berhari-hari ngilu

Kepadamu juga, mataku buram

                                    Jiwa yang geram

Garang dimatamu

Duhai, paduka mungil yang mengutuk senyumku makin kecil

Ciut di wajah malam

Luntur keperaduan

 

Sebenarnya akulah darah yang kau curi dari desiran raga

Sesekali meronta rindu peluh, airmata

Kini jarakmu kian renta kujamah

Tiada lagi babak yang berkisah dengan tawa

Karena senja pelupuk matamu segera gulita

Dan bisu

Lumpuh dalam reruntuhan pendar cahaya

Yang tak sampai menjadi kawan

Selamat pagi gerhana yang melintas dalam segenap pengandaian

Diantara hati yang morat marit

Tempat manakah untuk kita setarakan makna

 

Apakah ada?

Lapisan rasa dari petitisan warna

Hitam menurutku adalah jatidiri

Dalam sorak riak suara

Penuh kegelapan, namun bukan ketersesatan

 

Lewat tulisan ini aku menitipkan pesan

Ya, sebuah wasiat yang melekat

Menyekap jiwa sampai berkarat

 

Selamat pagi gerhana yang melintas dalam segenap pengandaian

Hatimu yang samar teraba

Sebenarnya dikte apa yang bersuara?

Tak sewajar bara dan api padam tenggelam

Keyakinan milikkupun terkapar hampar

Lantaran dijantungku, tak lain halnya rudal para pemburu

Siap bunuh gugusan camar-camar

Diujung langit biru

 

Sebatas menunggu harapan itutiba membawa semiliar kasih kembali

Karena raut malam dan pagi

Acap menyaksikanku sunyi tanpa warna warni

 

Sukorejo, 10 November 2015

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DIDALAM MIMPI KALI INI

 

Ada salammu yang menyapa

Sejenak mengajak diskusi dipagi hari

Lalu jiwaku mendadak getir tergelincir dalam air mata

Kau tiba lagi sayang, mengundang senyumku larut

Melintas dijagat raya

Bagaimana keadaanmu juga?

Lama tak bersua, walau tak ada kata dan sapa

Siang gersang retakkan ladang-ladang jadi kerontang

Sungguh masihkah kesempatan itu tertelan laut merah amarahmu

Aku rindu pada senda gurau waktu lalu

Tiada rasa rupanya sudah angka tiga yang merambah-rambah luka

Akupun masih mencari letak lemah

Agar mampu taklukkan batu-batu dijiwamu

Kalau buih samudra mampu kau hujamkan

Aku lebih memilih pedang ditanganmu

Biar tengadah maaf tak lagi semu dimata

Tetap nyata dijiwa

 

Sukorejo, 24 November 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SAJAK PEMBUKA

 

Mengawali apapun yang terlintas

Atau apa saja yang tengah retas dimataku

Dibawah matahari

Sebuah arti terpendam

Menabur saksi atas ketidakpuasan

 

Ufuk pertemuan sederhana

Tujuh tahun lalu kita bersua dalam sunyi

Tak saling bertukar nama

Bahkan kata-kata

Sebatas rasa keingintahuan

Mencoba memarkir rindu

Dalam sebuah angan-angan

 

Aku dan rubaiyat bisu itu

Mencipta semacam simfoni

Setiap kali mata menatap cakrawala

Assalamualaikum ilusi semuku

Apa kabar?

Masihkah ingat dengan bulan sabit dipematang bibirku

Ketika itu disetiap pagi

Kau menimang senyum

Mengantar rinai kagum

Atas sunyi yang bertadarus diladang tandus tanpa penghuni

Disinilah aku luapkan peta rasa

Sebongkah mimpi-mimpi resah

Mulai kembali kutelaah

 

Sukorejo, 10 November 2016

 

 

 

SANGKAR PUJANGGA

 

Yang sunyi, tanpa kata-kata

Mengunggah penasaran mendalam

Sepanjang jalan bersenandung kenangan

Sedu-sedan kusimpan pertanyaan

Berkarat keruang pengandaian

 

Oh, tabiat rindu tak wujud menjelma silam

Wahai, engkau

Akulah yang selama ini berteduh dalam penantian

Para punjangga mengurung

Mendidik dengan syair-syair gelap dan padam

Kemanakah arus semu yang kau tunjukkan?

Sementara waktu itu

Ah, entahlah

Kau menggodaku ketika rasa telah tangguh

Tak enggan menyimpang pada janji berbuah dua kali

 

Selama ini.

Saat matahari mulai runtuh terbuai kelam

Dan telah hilang diperadaban

 

Sukorejo, 10 November 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

TERLALU MALAM SENYUMMU MENYAPA

 

Cukup ku syiarkan pada senja

Dalam sebuah ruang sunyi

Kau yang datang barusan

Telah terpahat dalam bentuk duplikat

Yang senantiasa melekat

 

:mendadak kau tiba tanpa aba-aba

Apa ada?

Atau sekedar menggoda jelaga

Perkiraan sementara

Barangkali ada rindu yang singgah

Lalu langkahmu menjajah angin

Meminta ingin

 

Kau masih sama mengatur suasa

Padahal langit sekitar kita pisah

Sudah terlalu malam senyummu menyapa

Kalau untuk berbicara

Aku katakan sudah ada yang punya

 

Terima kasih atas kesediaanmu

Melukis kerinduan senja

Pada seuntai senyum yang tak sengaja

 

Bila kutelaah jejak yang kau sisakan diatas tanah

Apakah ada, ada apakah?

Gerutu di jiwaku menembus prakira

Mungkin turut kau rasa pula

Bahwa masih terkenang

Ikrar kita yang sempat hilang

Kau itu

Menjadi serumpun pertanyaan baru

Sukorejo, 10 November 2016

PUALAM MUSIM TERPENDAM

 

Keluar dalam barisan para penyimpang

Terhindar dari banjir bandang

Terus bertadarus tentang janji yang berdendang

Ini rubaiyat musim tentang kalian

Sejajar rintik denting mengandung mendung

Ku katakan, Batara dijiwaku telah enyah

Tinggal dendam membara tapi jeda sementara

Nyalanya berkobar namun masih sabar

 

Air mata beku menembus kutukan pualam

Hari ini juga ku bicarakan

Kalau sejarah patut diperbincangan

Pertimbangan angan, sebatas pengandaian

Kalian adalah batu-batu terjal menghampar

Sedang jalanku tak hirau kiasan senyum kenistaan

Selalu menghindar

Demi satu hal yang tergambar diatas catatan terang

Dia lah yang menjadi masa depan

Maafku saja berdengung, takut ada garis singgung

Menghujam degub jantung

 

Sukorejo, 10 November 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Malam menjadi saatku meminang sajak

Sebuah peristiwa sore menjelang malam

Tak lagi ku katakan “apa kabar kesayangan”

Lantaran status mantan tengah jelas membentang

 

Sering seiring rinai gerimis di pematang anganku

Mejelma bayang kelabu batu-batu

Siluet dendang bersemayam gurindam

Puisi

Gazal

Pantun

Haiku

Ahai semacam masalalu

Bersetubuh pilu-pilu

Asu

Aku telah tanggalkan kenangan

Tertata, tersimpan dalam batas mimpi busuk

Tak enggan memblusuk

Mencaci Jan

Memaki Cuk

Mencerca apa saja

Menghina jancuk yang nyata

 

Sukorejo, 10 November 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KITA TANTANG SEMUA

Adaptasi karya peterpan

/I/

Semua tentang kita

Kita tantang semua

Bahu-membahu kenangan meminta hujan bertasbih

Setiap kali kesunyian menyelinap dalam mimpi

Teringat ketika pagi menepikan matahari

Selendang bianglala mencipta romansa pedih kepiluan

Kita pernah sama-sama tantang

Tapi malangnya kau menghilang

Mengangkat babak akhir episod #sekian

 

/II/

Karena kita sebatas pertemuan pelangi dan hujan

Ilusi yang tiba#Setelah

#Sesudah

#selesai

#Seusai

 

Dalam pengasingan sunyi yang kadaluarsa

Semua itu cerita

Aku menganggap semu

Lantaran memang berlalu

Pada sajak aku berbicara

Mengenai perisai batin tangguh

Tak rapuh terkerak runtuh berdebu

Lantas bagaimana denganmu?

 

Ada istilah, hanya sekelebat dalam dimensi

Menuai mata air dan peristiwa

Akulah pemuja dari balik kabut awan gemawan tak terpandang

Sebagian rinduku kadang terpangkas

Di penggal rubaiyat nyata

Setiap mimpilah yang memberi arti

Warna dalam warni masa

Lalu akupun menjelma kealpaan nurani

Ketika lalu lalang bayangmu menepi ke ruas-ruas

Ke sudut semu kesendirian

Kau adalah wacana bisu

Tatkala rindu mulai menjamur, berjemur dibawah terik guntur yang bergemuruh nestapa

 

Sukorejo, 11 November 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SAJAKKU KEMBALI CACI, KEMBALI MAKI, KEMBALI HINA

 

Mataku terbata-bata

Nafas simpang lima, tersesat pekat bah ronta dalam setiap hikayat

Peristiwa kemarin aku tulis hari ini

Harus berapa puisi menimang imaji kedaulatan kisah

Padahal kuduga itu tak sengaja ada

Aku menutup dalam kabut tebal di sepanjang malam

Aku mengatup senyum dan kilauan-kilauan

Aku menginggau parau suara lelap kedamaian

Aku menulis, menggapai, mengoyak subuh

Aku mencaci su

Mengundang a

Jadi asu

Aku mencerca jan

Menghina cuk

Menanggalkan kata

Berbuah jancuk

Untuk kalian hari ini

Puisiku kembali mencerca#menghina#memaki#chuihk%#

 

                    Sukorejo, 11 November 2016                   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SETELAH HABIS

 

Belum sampai pada punuk-punuk yang menyimpan intan

Baru separuh perjalanan saja, rindumu telah habis terjajakan luka

Onak dan duri menyelinap menyusun air mata

Agar kembali tercecer apa yang dikatakan nestapa

 

“sebuah alam yang tak pasti bermuram kenyataan. Sekelebat mimpi kau tiba membawa ilusi rindu yang sampai kini masih kumaknai semu. Berserta kealpaan senyum berubah tangkai randu.”

 

:aku merindukanmu mas, tapi sayang kau bukan lagi milikku. Mendadak air mata lama yang tersimpan rapi dijagat matahati, runtuh menjadi rinai.

 

Sungguh jelas

Nyata hadirmu menentang haru

Ditengah badai laut cemara itu

Kau kucari dalam dahaga matahari

Disudut-sudut yang tak kukenali

 

Rasa berat berkarat menerkam kuat

Tak jua kufahami

Apa makna pertemuan singkat

Yang turut meminang mimpiku tadi pagi

Sekali ini, nyaris ingin kujumpaimu dalam lorong sepi

Biar tak lagi penasaran

Menyeka alam bawah sadarku

 

Sukorejo, 12 November 2016

 

 

 

SELUSIN INGATAN ITU

 

Kalau serangkaian angan mampu menembus mimpi

Di hari yang tersuguhkan tuhan kepada hamba

Dalam diam yang tak berarti mati

Pelan-pelan jejak menabur aroma kerinduan

Pada setiap sisa senyummu yang layu sembilu

 

Dimensi semu sebagian berjemur diatas lumpur bisu

Lalu tentang apapun aku mengenangmu?

Mengenang penyesalan yang berbukit gegunung

Mengenang badai dalam pedih yang linglung

Mengenang genangan rinai-rinai yang dihadirkan langit

Mengenang perdebatan sengit

Mengenang jiwa yang alit

Terbesit

Terhimpit

 

Aku dan selusin ingatan itu

Kau berserta kekecewaan pada sang raja

Wanita itu, apakah masih ada babak dalam naskah para pujangga?

Hening dalam sekian pengandaian menukar rupa menjadi sketsa prahara

 

Di jantung yang degub tak detak rindu semula

Masih saja kupilah-pilah simfoni resah

Sehampar air telaga, bersenandungkan gemericik tangis di medan kekalahan

Kau yang sekarang rintih dalam peluh gelombang

Batukah hatimu untuk sekedar datarkan amarah?

Beramah tamah menjalin maaf tak berkira

 

Sukorejo, 13 November 2016

 

RAHASIA ILUSI SEMU

 

Dalam hati saja bicara

Ingin kumenguak tabir di sela-sela rindu

Dahulu, permulaan matahari mendaki langit

Dengan tongkat yang mulai rapuh

Tanpa kekuatan penuh

Bintang-bintang berselendang pelangi

Menanggalkan senyum

Agar selalu terbelai dalam pengandaian dan ilusi

 

Menenteng kerinduan mendalam

Kuduga telah tersemai dalam angan

Ya, bayangan itu terus malang melintang

Sampai pada titik kehancuran

Terang menjelma kelam

Dibawah naungan resah

Atas riwayat yang menjadi sejarah

Kini hadirnya menjadi layar maya

Meyimpan rapi tanda tanya

 

sovia...

Sejumlah angka tujuh yang mengganda ditengah almanak

Penantian tak terhitung sejenak

Mengukir gamang yang tak jua beranjak

Entah gejolak apa?

Kurasa sebatas rahasia lama

Yang tak terkuak oleh siapa saja

Terkecuali masa depan yang nyata

 

Sukorejo, 23 November 2016

 

 

 

AKU DAN  AIR  MATAKU ITU

 

Berapakah jumlah yang kuantarkan kepadamu dulu?

Hitungan luas air lautan

Sehampar jumantara atas kayangan         

Lantas kearah mana ia sekarang

Jiwamu dan janji yang pernah dihardik keputusan

Tanpa penimbang

 

Suara simfoni dalam kalbu berwarna kelabu

Aku yang air mata tumpah di atas sajadah

Lenyap di peraduan para pengembara

Sebenarnya kau siapa?

Mengapa langkahku acap kali tergelincir tanpa fikir

Ah, butakkah

-tulikah

Simpang siur jiwaku tumbang gelombang

Tak sempat kupinang jiwamu

Selembar luka melayang berguguran

 

Aku dan air mataku itu adalah cerita

Dan sampai kapanpun mengingatmu menjadi nestapa

 

Sukorejo, 24 November 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MENJELANG HUJAN MALAM

 

Mendiami malam tanpa bintang

Rembulan yang hampa dipelataran

Langit kental hitam

Menjelang hujan datang

 

Masih setia bayangmu itu

Tersusun lembaran ilusi

Kutulis puisi

Sekedar menerjemah maksud hati

Tentangmu tentang kalian yang semu

 

“selamat dicumbui dingin disekujur badan

Jangan pernah menghardik malam

Karena keadan masih tak sefaham”

Jiwa ini belum sepenuhnya teduh

Selembar narasi terkadang menuang mimpi

Seperti nyata wajah bersua

Lalu lenyap seketika

Semacam catatan kecil

Dari yang terdalam tak terselami

 

Sukorejo, 24 November 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SEBATAS JASAD

 

Sesal itu

Sangat terasa dibibir kalbu yang kelabu

Tiada henti peristiwa lama menyuguhi senyum dengan prahara

Bahkan perihnya, kata-kata menjelang retasnya air mata yang menguning

Menghujatku sampai terpelanting rerintih

Aku bisa apa?

Hanya lembaran-lembaran penuh amarah

Merah darah menjelma hening luka

 

Dua puluh enam dan air matamu itu

Kemana lagi harus kucari dan kucuri

Sementara matahatipun tak akan pernah menyepakati

Tiada terganti siapapun yang menghimpun senyum

Lantaran jiwa yang tertegun

Seolah-olah hanya angin bisu

Dihalaman-halaman rindu

Sebatas jasad

Bayang-bayang melekat

Masih menghujat

 

Sukorejo, 25 November 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SAJAK HUJAN

Faimz Ardiganz

Disekututi hujan

Pertemuan tanah dan air

Wajah kita adalah kebisuan sapa

Tanpa tatapan mata

Harapan sirna

Tiada lagi

Sekedar puisi dan ilusi

 

Menjelang malam

Senyumku kelam tak berbilangan

Hanya banyak linangan

Jatuhdiatas tangan

 

“seberapa besar kekecewaanmu?

Mampukah menakar jumlah lukaku?”

 

Penantian panjang

Penuh sedusedan

Ngilu bukan kepalang

Menjamur disekian peradaban

 

Sukorejo, 25 November 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KEMBANG HUJAN DISELATAN

---Faimz Ardiganz---

 

Kulihat guguran hujan sejenak bersemayam

Menyapa ilalang pada angin

Mengantar air sampai genangan

Ke arah selatan pinggir jalan

Rupanya mendung tak benar-benar menyapa

Sampai rintik-rintik enggan berkumandang

Kembang mengatup penuh kebisuan

Apakah masih salah memahami

Maksud putih

Yang kuantar mewakili hati

 

Berteman puluhan arti

Menjadi puisi hingga narasi

Menjelang kuarcakan jejak

Sekedar menghentikan pijak rangkaian ilusi

Teruntukmu

Kembang berbinar yang tak sampai hati

 

Sukorejo, 25 November 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

NYANYIAN RIMA, REPETISI  ANG

Masih di tengah pertanyaan

Tentang terngiang atau diam tenggelam

Kehidupan penuh bayangan # setiap malam tersisih pada tulisan

Kau yang terkenang # jiwaku hujan masih menggenang

Sebatas lirik dan nyanyian # masihkah kau beri jawaban

 

Ketahuilah, tentangmu belum sepenuhnya menghilang

Senantiasa senyummu berlalu lalang

Diatas awang-awang

Kemudian menghilang

 

Sukorejo, 25 November 2016

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ILUSI SEMU

---Faimz Ardiganz---

Andai kamu

Meniti sekian malam yang tersimpan

Jerih payah teguhkan kesetiaan

Di dinding yang merindukan senyum suci

Akulah yang selalu mengenang dalam narasi

Membaktikan janji padu

Pada setiap keindahan

 

Siapakah pemilikmu sebenarnya?

Teduhkan geram kerlingan halilintar

Dan disuatu pagi, seribu sapaan singgah

Menyambut hari penuh mesrah

Andai kamu

Melengkapi cerita tentang belantara suci

Tengah tertulis dibanyaknya puisi

Rindu nyata tak sekedar ilusi semu

 

Memang kamu adanya

Kerap kali kumengigau

Mengharap butiran kasihmu tiba diatas singgah sana

Menggapai maaf yang tak kunjung menyesap

Malam mulai tiba

Lalu bintang-bintang berkesip

Rembulan bicara menata lembaran seterusnya

 

Andai kamu

Nyatanya ilusi semu

 

Dari balik resah ini barangkali

Kuucap selamat tinggal sejarah

Air mata hening itu telah terbayar seribu senyum permata

 

Sukorejo, 03 Desember 2016

LAGU PENGHABISAN  DALAM SYAIR AKHIR

 

Bagaimana caranya untuk melupakanmu

Bayang-bayangmu selalu ada di dalam hariku

Ku tak bisa begitu saja menghilangkanmu

Sebab janji-janji yang kau ingkari kepadaku

 

Selalu teringat selalu terbayang saat bersama

Jalani kasih jalani cinta masih berdua

Namun parah aku rasakan saat kau mulai

Berubah...berubah...berubah

 

Andai kau sakitnya aku

Hidup dengan janji-janji palsumu

Andai kau tau sakitnya aku

Saat kau bohong...bohongi aku

 

Ku yakin tuhan dengar apa yang kau janjikan

Ku yakin tuhan lihat apa yang kau lakukan

Padaku disaat kita masih bersama

Semoga dirimu akan lebih bahagia dengan bersama dia

Ku kan terus berdo’a semoga ini yang terakhir untukku

.........Kim Judge

 

Lalu larungkan pula syair

Perlahan sampai kalimat akhir

Katika kata mulai penuh

Bersumbu dari tatap hingga langkahku

Seribu waktu

Tanpa kau sadar kau berhasil menyiksa

Menganiaya masa

Tanpa kau sadar kau berhasil meluka

Mengurung jiwaku dalam gulita

Tanpa kau sadar kau taklukan senyum

Menerkam mimpi-mimpi jadi misteri

Lantas dalam sajak akhir penghabisan ini

Aku berkata sebuah air mata

Dari sisa siksa yang memuncak tiap waktu

Sungguh parah jiwaku

Hanyut dalam sebuah ilusi semu

 

Dan kaupun tak akan tau

Tenangku selalu terancam,

Mencekam

Ronta tak redam

Memeram tangis berlinangan

Terajam

Kejam

Dendam

Terbayang

Oh, entalah...

Malam masih tak memberi jawaban

 

Jejak luntur tergerus tak menentu

Sampai kapan kau arungkan penyesalan itu

Lewat sampan-sampan kertas yang kau isyaratkan

Dahulu ketika raut-raut gelombang

Memenggal kebahagiaan

Atas warna langkahku yang keruh

Singgah sejenak dalam paruh waktu

Jalan begitu berliku tertiti

 

Syair ini, adalah akhir ketika resahku

Yang berselimut bayang-bayang buram

Mulai menerjemah maksud yang tuhan antarkan

Dalam sebuah jawaban sederhana

Rupanya aku telah temukan sosok sejati

Dari janji yang benar-benar mampu menjadi bukti

Sebagai masa depan nati

 

Sampai pula pada lembar keseratus duapuluh enam

Saat tentangmu mulai terbenam

Dan masa-masa itu hanyut tenggelam

Sekedarnya saja

Aku mengingatmu sebatas sejarah

Walau sulit terasa

Terlupa

Bahkan enyah.

 

Sukorejo, 09 Maret 2017

Komentar

Foto Xball Ariyaza

antologi yang terbit kelima

antologi yang terbit kelima

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler