Skip to Content

Menyampir Bumi Leluhur

Foto Y.S. Agus Suseno

MENYAMPIR

BUMI LELUHUR

Bunga Rampai Puisi

Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII

Kabupaten Tabalong 2010

Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Menyampir Bumi Leluhur

Kalimantan Selatan: Pemerintah Kabupaten Tabalong

dan Panitia Pelaksana Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII 2010

190 + xxii hlm.; 14 x 21 cm

Cetakan ke-1, Oktober 2010

ISBN: 978-602-98149-0-3

Kurator/Editor: Burhanuddin Soebely, Micky Hidayat, Y.S. Agus Suseno

Desain isi: Indrian Koto

Desain cover: Nur Wahida Idris

Lukisan cover: Aswin Noor

Diterbitkan oleh:

Pemerintah Kabupaten Tabalong

Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata

Jalan Tanjung Selatan RT VII Pembataan

Telepon (0526) 2021596 Tanjung

bekerja sama dengan

Panitia Pelaksana Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII 2010

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit


Daftar Isi

Sambutan Bupati Tabalong

Sambutan Kepala Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata

“Saraba Kawa” dan Komitmen Bersama

Daftar Isi

AA Ajang

            Bisikan Hati

Abdul Karim Amar

            Kutunggu Jawabmu, Tuhanku

            Nyanyi Sunyi

Abdurrahman El Husaini

            Catatan Gerimis 1

            Catatan Gerimis 2

Abdus Sukur MH

            Mimpi

            Perjalanan

Abdul Hanafi

            Jaring Hukum

Ahmad Surkati Ar

            Bertemu di Sisa Malam

            Tamuku

Akhmad Husaini

            Lelaki di Ruang Segi Empat

Ali Syamsudin Arsy

            Gumam Dari Istana Daun Retak

            Darah Luka Teruslah Bicara

Aliman Syahrani

            Loksado

            Pasar Terapung

            Dalam Puisi

Andi Jamaluddin AR AK

            Doa di Atas Sajadah

            Perpisahan

Antung Hormansyah

            Bunglon

Ariffin Noor Hasby

            Kabar Buruk

            Seorang Lelaki Mencari Tuhan

Aspihan H. Hidin

            Cerita Singkat yang Tergerus

            Mengitari Pesanmu

Asna Sepriawati

            Ku Tak Mampu Menjelaskan

            Bingkai yang Terlepas

A. Rahman Al Hakim

            Padamu Baktiku

            Senja Untukmu

A. Syarmidin

            Barangkali

            Pengakuan

A.W. Syarbaini

            Nawala Warta Penatah Adat Budaya Banua

Bagan Topenk

            Bila Tak Lagi Satu

Dien Alice

            Penggali Kuburan

            Pasar Ramadan

East Star From Asia

            Alif-Alif

Eko Suryadi WS

            Elegi Negeri Seribu Ombak

            Bajau

Eza Thabry Husano

            Menjauh Dari Nafsu dan Fitnah

            Fitrah Akal dan Iman

Fahrudin Arifin

            Negeriku yang Sebenarnya

            Malam Penetapan

Fahrurraji Asmuni

            Kepada Alam

            Seonggok Bara

Fitri Jamilah

            Ekspresi Cinta

Fitryani

            Diam

            Wanita dan Sepi

Gusti Indra Setyawan

            Orasi yang Tak Terputus

Hamami Adaby

            Ruang-Ruang

            Box-Box

Hamberan Syahbana

            Aku Rindu Aku Ingin

            Hidup Ini Cuma Satu Kali

Hajriansyah

            Sisi Langgar

            Sisi Berita

Harun Al Rasyid

            Pamitku

            Di Pundakmu

Hardiansyah Asmail

            Negeri Air Mata

            Surat Untuk Bianglala

H. Adjim Arijadi

            Keesaan Allah dan Diriku yang Pasrah

            Payung-payung Masjid Nabawi

H. Ahmad Fitriadi F.

            Dinda

            Sayang

H. Fahmi Wahid

            Tangis Hulu Sungaiku

H. Muhaimin

            Sebelum Bencana

            Pelayar Mimpi

H. M. Sulaiman Najam

            Beri Aku

            Kutitipkan Puisi Ini

Hj. Roosmayati

            Sang Penari

            Empat Lima dan Segi Tiga Emas

Ibramsyah Amandit

            Pada Saatnya Puisi Tak Ditulis

            Puisi Tidak Berkubur

Ismail Wahid

            Tahajud

Jamal T. Suryanata

            Setelah Pertemuan

            Semesta Rinduku

Jauhari Effendi

            Seorang Anak di Perahu Rimpang

            Kuluh

Jaya Ginmayu

            Desir Perdaya

            Sirat Inginku

Jaka Mustika

            Berdiri Alif

            Nyanyi Sunyi

Kamilah

            Tanya

Lilies MS

            Pagi Ini, Ketika Kau Lewat

            Jam Dinding Itu

Mahmud Jauhari Ali

            Mengajakmu

            Runduk

Masdulhak Abdi

            Meraba-raba

            Elegi Aliran Sesat

Muhammad Radi

            Monolog

            Harapan

Muhammad Rusmadi

            Ketidakadilan

M. Aini Asmuni

            Pintu Pengenalan

M. Fuad Rahman

            Di Peron Itu

            Sampan dan Riwayat Kematian

M. Hasbi Salim

            Suara Dari Menara LP

M. Nahdiansyah Abdi

            Mimpi

            Fokus

Puspa Ramadayanti

            Sang Penggoda

Rahmatiah

            Sepucuk Surat yang Kukirim Kepada Tuhan

            Perempuan yang Kau Sebut Sebagai Istri

Ratih Ayuningrum

            Antara Aku dan Hujan

R. Syamsuri Sabri

            Menyampir Bumi Leluhur

            Perjalanan

Sudarni

            Kota Kelahiran

Suriansyah

            Hari Ini

Suriansyah R.

            Cermin

Suhaimi

            Dalam Sunyi yang Telanjang

            Rindu

Syarkian Noor Hadie

            Khatulistiwa

            Hidup, Sebuah Figura

Taberi Lipani SR

            Kalaulah Tidak Aku Sendiri

            Aruh Adat Balai Jiwa

Tajuddin Noor Ganie

            Doa, Aruh Sastra, dan Obituari Para Sastrawan

Taufiq Ht

            Perempuan Tua

            Malam Setelah Gerimis Panjang

Tati Noor Rahmi

            Puisi Untuk Ibu

            Doa Untuk Anakku

Wayan Windre Semara

            Senja di Bibir Sungai (2)

            Senja di Bibir Sungai (3)

Yuliati Puspita Sari

            Kotaku Bersenandung

Zurriyati Rosyidah

            Diagraf Kepada Langit

            Kau Ditelan Puisi

Tentang Penyair

 Sambutan

Bupati Tabalong

 Assalamu’alaikum Wr.Wb.,

            Saya menyambut gembira terbitnya dua buah buku sastra dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VII yang dilaksanakan di Tanjung, Kabupaten Tabalong, 26 s.d. 28 November 2010. Pertama, Menyampir Bumi Leluhur, bunga rampai puisi karya sastrawan Kalimantan Selatan; kedua, Manyanggar Banua, bunga rampai puisi dan cerpen bahasa Banjar. Buku yang kedua menghimpun puisi dan cerpen pemenang Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan dan Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Kalimantan Selatan, yang telah dilaksanakan sebelumnya, yang merupakan rangkaian kegiatan.

            Penerbitan buku ini adalah bagian dari acara lain: Lomba Basyair dan Lomba Madihin Kalimantan Selatan, Seminar Kesenian, Bahasa dan Sastra Daerah, Ceramah/Dialog Sastra Bersama Sastrawan/Budayawan Nasional, Sidang Pleno ASKS VII, ziarah ke makam sastrawan/budayawan Kabupaten Tabalong dan anjangsana ke objek wisata.

            Menurut catatan, perkembangan kesenian, bahasa, sastra daerah dan sastra Indonesia di Kalimantan Selatan cukup menggembirakan. Hal itu tampak dari maraknya karya sastra ciptaan sastrawan -- berbahasa Indonesia maupun berbahasa daerah Banjar -- yang terbit dalam bentuk buku, atau dipublikasikan di media cetak, elektronik dan dunia maya, di tingkat lokal maupun nasional.

            Pemerintah Kabupaten Tabalong menyampaikan penghargaan dan terima kasih tak terhingga kepada sastrawan dan budayawan kabupaten/kota Kalimantan Selatan yang berpartisipasi dalam acara ini. Karena dilaksanakan menjelang 1 Desember 2010 -- Hari Jadi Kabupaten Tabalong ke-45 -- acara ini menjadi lebih istimewa.

            Semoga kegiatan yang positif ini memberikan banyak manfaat.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.  

 Tanjung, 26 November 2010

 Drs. H. Rachman Ramsyi, M.Si

  Sambutan

Kepala Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata

Assalamu’alaikum Wr.Wb.,

            Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya jualah Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata, bekerja sama dengan Panitia Pelaksana Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VII, dapat menerbitkan buku ini. Kehadiran buku ini memperkaya khazanah pustaka sastra dan budaya di Tanjung, Kabupaten Tabalong, khususnya; dan di Kalimantan Selatan, umumnya.

            Menurut catatan, ASKS I dilaksanakan di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (2004), ASKS II di Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu (2005), ASKS III di Kotabaru, Kabupaten Kotabaru (2006), ASKS IV di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara (2007), ASKS V di Paringin, Kabupaten Balangan (2008), dan ASKS VI di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala (2009).

            Mengingat Provinsi Kalimantan Selatan memiliki 13 kabupaten/kota, maka -- dengan ASKS VII 2010 -- berarti ajang perhelatan sastrawan ini telah menjalani lebih separuh putaran. Artinya, tersisa enam kabupaten/kota yang belum disinggahi kegiatan yang dilaksanakan secara bergantian ini. Barangkali ada baiknya para sastrawan mengkaji ulang hal-hal yang telah, sedang, belum atau akan dilakukan dalam ASKS -- misalnya melalui Sidang Pleno, yang telah menjadi agenda wajib dalam ASKS.

            Kendati demikian, segala sesuatunya terpulang kembali kepada para sastrawan Kalimantan Selatan sendiri, sebab ASKS adalah oleh sastrawan dan untuk sastrawan. Dalam ASKS, pemerintah daerah yang mendapat giliran sebagai tuan rumah lebih berperan sebagai fasilitator.

            Akhirul kalam, tak ada gading yang tak retak. Semoga penerbitan buku ini dan pelaksanaan ASKS VII 2010 di Tanjung, Kabupaten Tabalong, menimbulkan kesan yang manis: semanis madu dan langsat Tanjung.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.  

    Tanjung, 26 November 2010

                        Drs. H. Birhasani Ismail, M.Si

“Saraba Kawa” dan Komitmen Bersama 

Pengantar Panitia Pelaksana

            Menjadi tuan rumah sebuah perhelatan seni berskala provinsi bukanlah perkara mudah, termasuk untuk Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) yang, sebelum ini, telah berlangsung enam kali di enam kabupaten. Bagi publik sastra yang setia menghadirinya, enam kegiatan di enam tempat itu mungkin telah menimbulkan kesan, catatan, dan bahkan perbandingan tersendiri; yang satu dinilai lebih baik daripada yang lain, misalnya, dan sebagainya.

            Sebagai pihak yang tak pernah absen menghadiri ASKS di kabupaten lain, timbul pertanyaan di hati: mampukah kami, yang tahun ini menjadi penyelenggara, memenuhi harapan kawan-kawan sastrawan dan budayawan yang diundang sebagai peserta, dalam pelayanan maupun materi acara?

            Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan, kami memutuskan bekerja sejak jauh-jauh hari. Juni 2010 kami telah menyusun panitia pelaksana, merancang program dan materi kegiatan; mengerjakan administrasi, mendistribusikan undangan dan jadwal acara/edaran/pengumuman lomba penulisan karya sastra -- sekaligus pengumpulan puisi untuk antologi, dalam undangan kepada sastrawan dan budayawan perorangan, dengan batas waktu sampai dengan 20 Agustus 2010 -- publikasi di media cetak lokal dan dunia maya, serta menyerahkan pedoman umum dan petunjuk pelaksanaan kegiatan kepada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan lembaga terkait di seluruh kabupaten/kota Kalimantan Selatan.

***

             “Saraba Kawa”: Menjunjung Kesenian, Bahasa dan Sastra Daerah sengaja diusung sebagai tema utama. Saraba Kawa adalah motto Kabupaten Tabalong, yang berarti “serba bisa”, meskipun tidak dimaksudkan sebagai harat -- apalagi marasa paharatnya -- dan jauh dari niat arogansi. Kami ingin memotivasi komitmen bersama agar kita “serba bisa” dan paharatnya dalam mengapresiasi kesenian, bahasa dan sastra daerah yang kian terpinggirkan akibat perkembangan budaya global.

            Dengan tema utama itu, dirancang 9 materi kegiatan: (1) Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan, (2) Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Kalimantan Selatan, (3) Penerbitan Buku Kumpulan Puisi dan Cerpen Pemenang Lomba, (4) Penerbitan Buku Kumpulan Puisi Sastrawan Kalimantan Selatan, (5) Lomba Basyair dan Lomba Madihin Kalimantan Selatan, (6) Seminar Kesenian, Bahasa dan Sastra Daerah, (7) Ceramah/Dialog Sastra Bersama Sastrawan/Budayawan Nasional, (8) Sidang Pleno Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, dan (9) Ziarah dan Anjangsana.

            Dalam pedoman umum dan petunjuk pelaksanaan dapat dilihat, bahwa seluruh rangkaian kegiatan melibatkan (dan dikerjakan oleh) sastrawan dan budayawan Kalimantan Selatan yang mumpuni di bidangnya. Selaku Panitia Pelaksana, kami lebih menempatkan diri sebagai mediator dan fasilitator.

            Untuk menilai puisi peserta Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan (berlangsung sejak Juni sampai dengan 20 Agustus 2010), kami menyerahkan penjuriannya kepada Arsyad Indradi (Kota Banjarbaru), Ali Syamsudin Arsy (Kota Banjarbaru) dan Zulfaisal Putera (Kota Banjarmasin). Lomba diikuti 119 judul puisi (56 peserta).

            Untuk Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Kalimantan Selatan (yang dilaksanakan bersamaan), Dewan Juri-nya Aliman Syahrani (Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan), Jamal T. Suryanata (Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut) dan Nailiya Nikmah JKF (Kota Banjarmasin). Lomba diikuti 67 judul cerpen (54 peserta).

            Setelah melalui penjurian, 6 puisi pemenang utama (bersama 19 puisi nominasi) dan 6 cerpen pemenang utama dibukukan dalam antologi -- dilengkapi catatan dewan juri lomba bersangkutan, sebagai semacam “pertanggungjawaban penilaian”.

            Mengacu pada tema utama, antologi puisi dan cerpen bahasa Banjar pemenang lomba tersebut diberi judul Manyanggar Banua -- dari judul puisi Erika Adriani, Juara I Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan ASKS VII 2010. Secara harafiah, manyanggar banua adalah nama ritual “tolak bala” -- upacara adat masyarakat tradisional di hunjuran Pegunungan Meratus yang, di masa lalu, rutin dilaksanakan di Desa Barikin, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Karena berbagai faktor, ritual itu sudah lama tidak dilaksanakan.  

            Penerbitan Buku Kumpulan Puisi Sastrawan Kalimantan Selatan pun kami serahkan kepada kurator/editor yang kredibel dan berkompeten, yang sudah ditetapkan zona/wilayah kewenangannya: Burhanuddin Soebely untuk Banua Anam (Kabupaten Tabalong, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Balangan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Kabupaten Tapin), Micky Hidayat (Kabupaten Banjar, Kota Banjarbaru, Kota Banjarmasin dan Kabupaten Barito Kuala) dan Y.S. Agus Suseno (Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Kotabaru).

            Selaras dengan tema utama, Buku Kumpulan Puisi Sastrawan Kalimantan Selatan diberi judul Menyampir Bumi Leluhur -- dari judul puisi R. Syamsuri Sabri. Menyampir hampir mirip dengan makna ritual manyanggar. Bedanya, masyarakat tradisional di hunjuran Pegunungan Meratus maupun Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito lazimnya melaksanakan upacara menyampir (dengan menanggap wayang sampir) -- dengan pelbagai variasi ritual -- setelah “kaul” atau “hajat”-nya terkabul.

            119 judul puisi karya 70 penyair yang karyanya terhimpun merupakan cermin kecil dari banyaknya penulis puisi di Kalimantan Selatan -- ini jumlah terbanyak sepanjang penerbitan antologi puisi ASKS.

            Menurut data, penyair yang diminta mengirim 2 s.d. 3 judul puisi untuk antologi (walaupun yang “lolos seleksi” kemudian hanya 1 atau 2 puisi saja), sekaligus diundang sebagai peserta ASKS VII, jumlahnya berbeda antara satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya. Mereka dipilih dengan kriteria yang amat longgar: dari publikasi karyanya di rubrik sastra media cetak lokal, dari antologi puisi pribadi, antologi puisi bersama (yang diterbitkan organisasi/lembaga/komunitas sastra kabupaten/kota penyair bersangkutan); penyair yang memiliki dedikasi dan loyalitas berkarya -- atau, meskipun baru muncul, memiliki prestasi dan reputasi menonjol.

            Menariknya, ternyata ada pengirim puisi yang, setelah dicek, namanya tak tercantum dalam daftar penerima undangan asal kabupaten/kota bersangkutan. Koordinator penerima puisi -- sebelum diserahkan kepada kurator/editor -- terpaksa harus menyingkirkan puisi-puisi tersebut. Bukan hanya tidak memenuhi kriteria di atas, di antara pengirim puisi itu bahkan ada yang masih siswa SMP. Sebaliknya, sebagian penyair yang diundang dan diminta berpartisipasi -- barangkali karena tak ada puisi baru, atau (karena kesibukan) lupa dengan tenggat waktu -- di saat akhir justru tidak mengirimkan karyanya.

            Di masa depan, kalau kita sepakat ingin meningkatkan kualitas, seyogianya dilakukan seleksi yang lebih ketat (oleh kurator/editor yang berkompeten) sebelum sebuah puisi diputuskan untuk dimuat dalam antologi ASKS. Ketika melihat puisi yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital, misalnya, kurator/editor yang jeli akan tahu, bahwa penulisnya masih pemula -- amat ironis kalau kemudian puisi itu dibukukan sesuai aslinya. Dengan kata lain, jangan sampai karya seseorang yang tidak jelas jejak rekamnya, “tidak berkeringat” di jalan sastra, dengan mudah dimuat dalam antologi. Jika hal itu berlangsung terus menerus, antologi puisi ASKS takkan pernah menjadi prestisius.

***

            Berbeda dengan Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan dan Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Kalimantan Selatan (yang terbuka untuk umum dan boleh diikuti oleh perorangan), Lomba Basyair dan Lomba Madihin Kalimantan Selatan hanya dapat diikuti oleh wakil/utusan resmi kabupaten/kota, yang penunjukan dan pengiriman pesertanya dikoordinir SKPD dan lembaga terkait -- Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, bersama Dewan Kesenian/komunitas sastra di kabupaten/kota masing-masing. Hal ini dimaksudkan agar ada koordinasi, sinergi dan komitmen bersama antarinstansi dan lembaga/komunitas terkait di kabupaten/kota masing-masing dalam membina, mengembangkan dan memajukan kesenian.

            Masih terkait dengan tema utama, Seminar Kesenian, Bahasa dan Sastra Daerah membahas Perda Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Pemeliharaan Kesenian Daerah dan Perda Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Pemeliharaan Bahasa dan Sastra Daerah yang diterbitkan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Bagaimana implementasi dan implikasi Perda itu -- berlaku Juli 2010 -- terhadap pembinaan dan pengembangan kesenian, bahasa dan sastra daerah, diseminarkan, dengan narasumber Drs. Abdul Karim, MM (Ketua Umum Dewan Kesenian Kotabaru), Prof. Dr. H. Djantera Kawi (Guru Besar FKIP Unlam Banjarmasin) dan Kepala Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan Pariwisata (Disporabudpar) Provinsi Kalimantan Selatan.

            Ceramah/Dialog Sastra Bersama Sastrawan/Budayawan Nasional adalah salah satu agenda penting dalam ASKS. Dengan topik Khazanah Budaya Lokal Sebagai Sumber Inspirasi Penulisan Karya Sastra, semula direncanakan Ahmad Tohari (yang dikenal dengan novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk) sebagai narasumber. Namun, karena Ahmad Tohari tahun ini pergi haji, kehadirannya digantikan Raudal Tanjung Banua, sastrawan muda kelahiran Sumatera Barat, yang bermukim di Yogyakarta.

            Sidang Pleno adalah bagian yang tak kalah penting dalam agenda ASKS. Peserta (sastrawan, budayawan, pengamat budaya, pengurus Dewan Kesenian, pejabat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata seluruh kabupaten/kota) dapat mendiskusikan isu-isu aktual tentang sastra, seni dan budaya (lokal maupun nasional); menyampaikan seruan, maklumat atau resolusi sastra (yang ditandatangani bersama), sekaligus menyerahkan amanat, mandat atau rekomendasi (yang ditandatangani bersama) kepada kabupaten/kota pelaksana ASKS tahun mendatang.

***

            Akhirul kalam, tak ada gading yang tak retak. Kami sadar, harapan terkadang berbeda dengan kenyataan. Rencana baik terkadang belum tentu bisa berjalan dengan baik pula. Meskipun demikian, Insya Allah seluruh rencana akan berjalan dengan baik dan lancar apabila sastrawan dan budayawan Kalimantan Selatan memiliki tekad dan komitmen bersama: saraba kawa dalam hal menjunjung kesenian, bahasa dan sastra daerah.

                         Lilies MS (Ketua)

Bambang Rukmana (Sekretaris) 

AA Ajang

Bisikan Hati


Limbung tubuh sempoyongan

Menapak jalan sempit berliku berhias jurang terjal menganga

Langkah perlahan memanggul beban berat di hati

Keakuan diri yang begitu kental menguasai sanubari ternoda

Tertatih menikmati pesona ciptaan memperdalam keterbuaian

Begitu molek ragam barang cipta

Terlena dengan pernak-pernik dunia yang ingar-bingar porak-poranda

Mengharu biru kalbu terkoyak

Sadarlah

Basuh muka hatimu

Tengadahkan sisi wajah bertabir mimpi

Kembalilah sebagai penikmat Sang Pencipta.

Handil Bhakti, 16 Agustus 2009

 

Abdul Karim Amar

Kutunggu Jawab-Mu, Tuhanku

 

Tuhanku

bilakah biduk ini akan ditambatkan

laut yang biru angin berlagu

mentari pun cerah kabut menghilang

 

Tuhanku

bilakah gerbang yang baru akan dibangun

karena semuanya telah disiapkan

bersama biduk yang tenang memecah haluan

 

Tuhanku

adakah di tengah laut biru

mutiara yang cemerlang

atau badai menerpaku

 

Tuhanku

di dermaga biru

kutunggu jawab-Mu, hai cintaku

agar biduk ini berarti dalam hidupku

 

Abdul Karim Amar

Nyanyi Sunyi 

 

wahai sukmaku yang sunyi

sendiri di antara ramai

deras deru sedu-sedan tangisku menanti

biduk tak kunjung sampai

 

ah, gairah cintaku yang kudekap erat-erat

seluas jagat

sudah juakah tertambat

dalam mizan keadilan

Tuhan

 

meditasi rindu* apakah yang masih berlagu

atau nyanyian seribu burung** mendayu rindu

Tuhan, kalau sukma ini terkulai layu

atau Engkau telah berlalu

 

deru angin datangkan dingin

aku nanti akan terbaring kaku

bisu tak kuasa lagi menjalin

__________ 

  * meditasi rindu – antologi puisi Micky Hidayat

** nyanyian seribu burung – antologi puisi Arsyad Indradi

 

Abdurrahman El Husaini

Catatan Gerimis 1


Aku sakit. Aku teringat masa kecilku yang selalu disayang-sayang, dipeluk-peluk, dicium-cium, dan ditimang-timang. Doa dan kasih sayang ibuku menjadi perahu di sungai umurku. Kuarungi sampai arus riak terakhir. Mama. Mama. Pagi bertambah pagi. Siang bertambah siang. Petang bertambah petang. Malam bertambah malam. Cintamu meragii sisa napasku. Aku sakit. Waktu membisu. Penyair teruslah menggigili zikir. Doa keluarga menyelimuti tubuhku …

Martapura, 08/06/10

 

Abdurrahman El Husaini

Catatan Gerimis 2

 

Aku sakit. Aku pergi ke dokter praktik. Aku bertemu nenek 70 tahun. Kami saling melempar senyum. Penyakit kami sama. Hipertensi. Kami salaman. Tiba-tiba tubuh kami melayang kembali ke masa lalu. Seperti anak-anak yang bermain-main kesana-kemari. Penuh gelak tawa. Tak ada hari kemarin. Tak ada pula hari esok. Yang ada hanyalah hari ini. Kami menjadi buah bibir. Diliput banyak media. Wawancara sana-sini. Jlek! lampu padam. Semua pasien diminta pulang. Dokter yang akan memeriksa kami terserang stroke. Pandanganku berlari. Di jalan tak ada orang. Aku menepi. Malam luruh disambut gurak gerimis. Aku pulang basuluh doa. Lampu kembali menyala …

Martapura, Rabu 09/06/10

 

Abdus Sukur MH

Mimpi

 

hampir

tak ada batas, sebenarnya

keinginan yang mengalir

berputar

mengitari jasadku

hingga merdekalah, ia

 

sebenarnya

hampir tak ada batas

lihat, ia

begitu saja mendekat

hampir lekat

ayo masuklah

bentuk kepribadian

hingga

 

tak ada batas

sebenarnya,

hampir

Ramadan 1431 H.

 

Abdus Sukur MH

Perjalanan

 

bisakah kita

mengakrabi angin

ikut melayang

berputar

 

sulit

 

kiranya

tak sesederhana

yang kita bayangkan

 

akhirnya,

Ramadan 1431 H. 

 

Abdul Hanafi

Jaring Hukum

 

Dirajut rapi terlihat kukuh

Terkesan ampuh dijamin aman

 

Serangga kecil tak bisa lewat

lalat kotor terjaring lengket

nyamuk nakal tak mampu meronta

mereka menyerah pasrah.

 

Lihatlah laba-laba berjubah hitam

Dia tak kenal belas kasihan

tak sedikit pun rasa iba

tak ada kata ampun

Sang laba-laba menyantap lahap

Serangga kecil tak berkutik

 

Namun ketika datang burung-burung rakus

Dengan mata jalang mencabik hancur

Rajut hukum porak-poranda

Kini giliran laba-laba tak berkutik

Agustus 2010

 

Ahmad Surkati Ar

Bertemu di Sisa Malam

 

Mengais rahasia di malammu

Di antara sampah diri

Tertadah jiwa saat mataku luruh

Jatuh seperti tetesan embun

 

satu ruas raga bergerak

dua rangkaian tulang berderet

menujumu ke arah tak sampai sampai

karena tidak berjarak

kompasku tersesat sendiri

 

dingin seperti gigil dahan

menjuntaikan daun

tubuhku lunglai menjadi rukuk

mengeras menjadi sujud

 

dalam diam seperti semesta di ujung gelap

geliat mencumbui tanah

tidak lain kematian itu juga yang ditasbihi

sampai tumbuh

tegak semula

 

Sampai waktunya

Kuingin tidak kembali

Ke tanah.

Tanjung, Ramadan 1431 H./Agustus 2010

 

Ahmad Surkati Ar

Tamuku

 

Ramadan datang

Tamu hatiku

Kuinapkan dia

Meski rumahku berantakan

 

Kucari ruang luas

Yang ada penuh sesak

Kamar tamu pun berdebu

Aku jadi malu

 

Kopernya penuh

Berat isinya ada hadiah

Jika aku baik padanya

 

Kubuang sampah

Kukekang malas

Kuikrarkan sumpah

Agar usaha berbalas

 

Di akhir kunjungannya kudapat baju baru

Sebagai kenangan

Kupakai sepanjang waktu

Tanjung, Ramadan 1431 H./Agustus 2010

 

Akhmad Husaini

Lelaki di Ruang Segi Empat

Lelaki itu manusia biasa juga
bisa marah kala diejek atau dihina
suka menampar dan memukul
bila kehormatan dirinya diinjak-injak
tetapi lelaki itu juga bisa melahirkan
melahirkan rangkaian kata-kata indah penuh makna

Lelaki itu pemuja kesunyian
suka menyendiri

Hai-hari ia melintasi pelangi penuh warna
tanah becek, hujan, dan panas
untuk menggapai ruang segi empat

Satu waktu lelaki itu bisa juga menangis, bersedih, dan meratap
akan keadaan nasib dirinya yang merana serba kekurangan
ia pun berandai-andai tatkala materi bergelimang
aku akan menguasai dunia, katanya

Manakala harapannya sirna
meranalah kembali langkahnya
mengarungi hari-hari penuh liku

Di ruang segi empat lelaki itu meratap
bersunyi diri merenungi keadaan
untuk yang kesekian kalinya asanya melambung tinggi

Puluhan ruang segi empat pernah ditempatinya
ruang segi empat melahirkan kata-kata tanpa rasa
harapan beralas impian
takdir menyentuh nurani
bias gamang menancap kenyataan pasti

Kandangan, 18 Januari 2010

 

Ali Syamsudin Arsi

Gumam Dari Istana Daun Retak

 

telunjuk mengarah pada satu titik, istana daun retak

bertahun sudah mencoba membangun

lembar-lembar daun, dari yang berserak

kepada menghimpun

telunjuk itu membuka garis-garis di telapak

 

     lihat, ini pasukan cicak di belantara

     rimbun daun dan jejak-jejak

     dengar, suara-suara gemeretak

     dari helai-helai daun yang mulai retak

     kering, lusuh-lapuk menuju lenyap

 

sebagaimana hikayat dari bangunan sebuah istana

pasir-pasir menjadi perih di tempias ujung kelopak

buih-buih dari berjuta akan selesai bila telah berucap

ternyata tidak segampang itu, ternyata tidak semudah itu

ternyata tanah tempat bangunan istana itu

terbuat dari serak-serak rerimbun daun-daun retak

runtuh pun mengancam di puncak

mahkota mahkota, ya mahkota dari cuaca terkuak

tak jua tak tak memperjelas gerak, tak

 

     lihat, ini pasukan manusia kelas paling miskin

     berduyun berjejal terinjak-injak

     dengar, gemuruh di dapur-dapur lusuh dan sakit

     pasukan perut yang selalu melilit

 

setelah ini, siapa lagi tampil mendaftar

istana daun retak

Banjarbaru, 19 Januari 2010

(gerimis tipis di luar mengepung sepi)

 

Ali Syamsudin Arsi

Darah Luka Teruslah Bicara

 

sejarah luka yang mempertahankan

rasa sakit berkepanjangan

gambar keluarga dan kerabat dekat

di ruang-ruang pameran

keangkuhan atas nama keseragaman

(binatang mengamuk di jalan-jalan

orang-orang telah pula mengepalkan tangan)

ternyata sekat tebal dinding istana

luka itu masih saja melelapkan

bergumpal dalam igau-igau para pelayat

datang berduyun sebagai manusia

yang bangkit dari timbunan lumpur

dan pohon-pohon tumbang

dari hutan-hutan tumbang

kemudian sungai-sungai tumbang

setelah itu istana-istana yang berjatuhan

karena luka

 

tak perlu kita saling berkasih-kasih

luka perih ngilu dan berpuluh-puluh sakit ini

semakin memperjelas nganga menuju nganga

sampai ke pelosok nganga

di penghujung sejarah nganga

 

darah luka teruslah bicara

Banjarbaru, 19 Januari 2010

(gerimis tipis mulai mengundurkan diri ke tepi)

 

Aliman Syahrani

Loksado

 

di hunjur banua, lepas dari jam-jam kerja

gunung-gunung menggeliat dalam warna

sungai-sungai menikung berirama

hari yang lahir ditimang persada

 

di sini kembali menggenang tenaga

diri yang aus karena debu di kota

 

di sini turun dayang pun sahabat setia

bergelayut di dahan sebelah utara

turun dayang yang setia

menjuntaikan dendam rindu saat senja merah membunga

 

di sini bumi kembali perawan

dan langit dan mega dan semua memberiku harapan

lebih dari sekadar seorang budak zaman

yang hilang dalam deru kerja dan impian

Kandangan, Maret 2010

 

Aliman Syahrani

Pasar Terapung

 

perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta

dari manakah mereka

ke Lok Baintan mereka tanjak jukung dari pinggir-pinggir kota

sebelum beduk subuh terjaga

sebelum hari bermula dalam geliat kerja

 

perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta

ke manakah mereka

di atas riak sungai mereka berkendara

berlomba dengan surya menuju dermaga

mengais hidup di arus niaga

 

perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta

siapakah mereka

ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa

akar-akar yang melata dari hulu menghilir ke muara

mereka: cinta kasih yang bertaut menghidupi kota dan desa

Lok Baintan, 26 Februari 2009

 

Aliman Syahrani

Dalam Puisi

 

dalam puisi kukumur segala rindu

dalam puisi kusendawa segala cumbu

dalam puisi kukunyah segala rayu

dalam puisi berkenalan engkau dan aku

dalam puisi kita bertemu

dalam puisi engkau adalah aku

dalam puisi kita adalah satu

 

sebab puisi adalah nafiri rindu yang memanggil selalu

sebab puisi adalah lagu cumbu yang mendendangkan harapan-harapan baru

sebab puisi adalah bahasa rayu yang memabukkan engkau dan aku

sebab puisi adalah dunia di mana kasih kita berpadu

sebab puisi adalah cinta ketika engkau dan aku fana dalam Hu

Kandangan, 28 Mei 2010

 

Andi Jamaluddin AR AK

Doa di Atas Sajadah

 

Gusti, manakala biru malam yang keluar dari pesakitan kabut,

melunjurkan tangan di para-para angin

menggigil sekejap,

tiba-tiba telanjangku ditatap sabit bulan

gemetar dalam harap rahmat-Mu

yang tiada putus seutas benang pun

membentang tersia-sia

 

Gusti, kurasakan duri ini amat tajam menancap di telapak kaki

seperti ingin menghentikan langkah

tetapi jalan di depan sana masih jauh

pepohonan teduh menunduk

daun-daun kering mengeriak

sungguh, walau bukan padang yang membentang

sementara nanap waktu

terus menendang hari-hari yang berlalu percuma

semua tidak berarti

karena kami memang jarang bersyukur

 

Gusti, telah berlumur dosa di dalam jiwaku

bahkan sudah mengisi aliran darahku

tulang-tulangku pun semakin menjadi rapuh dan mudah lelah

sehingga tidak mampu lagi melangkahkan kaki

untuk berpijak di sajadah-Mu, biarpun sekali saja

 

Gusti, kami berkumpul di sini menghampar kepasrahan

dalam kekakuan lidah

untuk mengucap sehuruf saja dari nama-Mu

karena kami yakin lama kelamaan akan menjadi terbiasa

agar kami bisa menikmati berkah-Mu,

meski hanya setitik air di padang terik hari

 

Gusti, siapa lagi tempat kami mengadu

menelanjangkan diri dari segala hiruk-pikuk kehidupan yang serba tak menentu

bukakan jalan meski hanya setapak kaki yang berpijak

sebutkan di mana ada arah cahaya, biar kami yang menentukan pilihan

dan kami bisa keluar dari gigil gelap malam

sebutkan di mana ada sungai yang mengalirkan arus ampunan

dan tubuh kami bisa jadi perahu kecil dari magfirah-Mu

agar kami semua bisa tiba di dermaga waktu

membawa bekal sesederhana mungkin

tetapi kelak bisa menginjakkan kaki di halaman rumah-Mu

 

Andi Jamaluddin AR AK

Perpisahan

 

Wahai kekasih, ya kasih,

tak ada yang bisa menghentikan perjalananmu

berhari-hari rasa kasmaran ini membelai rindu yang mendalam dengan lika-likunya

begitu cepat kita bercengkerama dalam cinta dan doa

kau pergi di saat tahmid dan takbir

bergema dalam relung hati

 

Wahai kekasih, ya kasih,

rasa ingin aku berlama-lama memelukmu

menumpahkan segala duka dan luka yang dalam

mengeratkan rasa cinta

sepanjang hayatku masih ada, di sini

 

Wahai kekasih, ya kasih,

dengan rasa syukur dan rindu

kita berpisah di sini

kelak bertemu lagi tahun depan

 

Antung Hormansyah

Bunglon

 

Terkadang

Dia tampil bak petinggi negeri

Pakai kemeja, jas lengkap dengan dasi

Sepatu mengkilap merk Itali

Kesana kemari pakai mobil tertutup rapi

Seakan penguasa, yang tak bisa mati

 

Terkadang

Dia tampil rapi berbaju batik

Tutur kata sopan, wajah dibuat simpatik

Senyum sumringah

Walau terkesan pongah

 

Terkadang

Dia tampil bak seorang dermawan

Sapa sana, sapa sini seakan banyak kawan

Sering bagi uang kepada orang-orang

Sambil berkata, oo ini tak seberapa, mumpung lagi ada

 

Terkadang

Dia hadir pakai sarung, baju koko, sorban di leher

Di pengajian sering maunya duduk paling depan

Sesekali manggut-manggut

Seakan sudah paham

Agustus 2010 

 

Ariffin Noor Hasby

Kabar Buruk

 

adakah kabar yang lebih buruk, kawan

selain hidup tanpa petunjuk tuhan

begitulah suara malam dari bahasa perempuan

panggilan-panggilan jiwa yang mengucapkan

reruntuhan

reruntuhan kasih sayang

o, ternyata dunia sekarang telah berubah, sayang

kearifan yang dulu jadi nyanyian kepedulian

yang dulu diwariskan nenek moyang

kini hanya jadi tontonan

semua hanya lagu sapu tangan

Banjarbaru, 2007

 

Ariffin Noor Hasby

Seorang Lelaki Mencari Tuhan

 

seorang lelaki mencari tuhan dalam dirinya

tapi belum ditemukannya hidup yang lebih baik di sini

maka kusiapkan piring dari dalam mulutnya sendiri

untuk menimbang rasa kenyang atau lapar

yang dihantarkan langit kepadanya

dalam sepotong ayat seruan

 

berjagalah pada suatu malam

di rusuk-rusuk keheningan

sehabis lapar menghitung makna

sehabis kenyang membagi rasa

maka kusiapkan cawan dari dalam mulutnya sendiri

sebagai tanda waktu yang akan tiba memanggilnya

Banjarbaru, September 2008

 

Aspihan N. Hidin

Cerita Singkat yang Tergerus

 

          tanah kosong tepi sungai

aroma air segar yang ceria

memendam aneka cerita

                              dan tanda tanya

 

dari deretan rumah lanting hingga

rakit kayu meliuk

jukung-jukung tambang menimbang

                                          zaman

sementara nelayan menebar jala

atau pancing udang, sesekali jukung

                                       bergoyang

                                       disenggol gelombang

 

bocah-bocah dari tepi ke tepi

berenang menjenguk waktu

yang disampirkan pada pundak mereka

dibungkus tekad berlipat-lipat 

 

itulah goresan cerita yang sedikit

                               sempat kutangkap

dari perangkap waktu masa kecilku

yang kini lanskap itu mulai menepi

pada senja purba atau menjelma

                                       barang langka

di dasar laut dalam masa

dalam pengembaraan kekinian

Marabahan, Mei 2010

 

Aspihan N. Hidin

Mengitari Pesanmu

                        (catatan kecil Marabahan-Takisung)

                                buat Sari Faridawati

bergegas di pagi ini

menjemput perjalanan dari beranda sunyi

merantau ke sebuah episode

pada hikayat rindu yang hablur

 

meretas langkah tamasya

kusinggahkan di gerbang pantai

sembari mengitari pesanmu untuk menemu cerita

dari bait-bait puisiku

 

kalau dalam diam dihembus angin

karena kata-kataku telah lama mengeram

di tasik dan laut perjamuan yang pernah kau jumpai

walau kita telah bersitatap satu kali

 

(senja pun datang

lalu kumulai bergegas pulang sebelum perahu kata-kataku karam

atau tak jadi menetas menjadi puisi)

Marabahan-Takisung, 9 Januari 2010

 

Asna Sepriawati

Ku Tak Mampu Menjelaskan

 

Ku tak mampu menjelaskan

Pada awan yang mulai pias

Pada udara yang tak berwarna

Pada biru hijaunya manusia

Dan pada sepoinya angin yang tak lagi bersuara

 

Ku tak mampu menjelaskan

Inikah amarah Tuhan

Ataukah takutku pada Yang Esa

Ataukah cintaku pada kasih-Nya

Ataukah juga malu yang terselubung

Pada iman yang sedikit masih bersisa

Yang tersimpul pada ribuan dosa dan dosa

 

Ku tak mampu menjelaskan

Antara ujian, sindiran

Ataukah karma

Ketika fragmen jalang

Menyepakku di pinggir zaman yang terluka

Barabai, 10 Agustus 2010

 

Asna Sepriawati

Bingkai yang Terlepas

 

Bingkai yang terlepas

Pada sudut peristiwa

Terkulai dan lemah pada titik yang berbeda

Lunglai dan luruh jatuh

Menghilang lenyapkan sejumlah asa

 

Bingkai yang terlepas

Adalah sebuah goresan manis

Pada sudut peristiwa

Menggilas masa-masa penuh rindu dan asa

 

Bingkai yang terlepas

Kini telah tergilas

Dan tenggelam bersama gelombang laut nestapa

Di sini

Aku hanya bisa bermimpi

Bingkai-bingkai kan ikut terbaring dalam peristiwa

Yang lelap dalam tidurnya

Barabai, 10 Agustus 2010

 

A. Rahman Al Hakim

Padamu Baktiku

                     untuk Ayah Guru Sekumpul 

kenangan itu menghiasi hari

menjadi pelita lewati sunyi

katamu mengalun dalam hati

nasihatmu menyatu dalam diri

semua ini kubawa hingga akhir napas

 

           kau yang membimbingku

           kau yang menuntunku

           jasadmu terbaring dalam damai

           rohmu senantiasa bersama hari

 

           untukmu bakti yang tak selesai kumerangkai

           untukmu pengabdian yang tak lunas kubayar

 

maknamu yang tak selesai kukaji

jasamu tiada dapat kan kubalas

karena aku masih menjalani hari

aku hanyalah seorang pejalan

pada rindu kita bertemu

dalam mahligai cinta

saat aku menemuimu

sambut kedatanganku

wahai kamu jiwaku

 

A. Rahman Al Hakim

Senja Untukmu

 

nikmati senja

mentari yang hilang

tenggelam

semilir angin

membelai pantai rasa

yang dalam

 

langit merah kuasa keagungannya

kepak sayap camar yang pulang ke sarangnya

 

rindu

kau di sampingku

rindu

kau sandarkan bahumu

 

kutatap langit sendiri

tanpamu di sini

berteman ombak senja

yang kian menghilang

semoga kau yang di sana

tetaplah menjaga cinta kita

hingga kita bersua

hingga kita bersama

 

bersama senja

kuberanjak tunaikan firman-Nya

tuk haturkan doa

untukmu

 

A. Syarmidin

Barangkali

 

barangkali kadang kita tidak sadar

bahwa kesenangan dan penderitaan

adalah ujian

barangkali kadang kita tidak sadar

bahwa jabatan dan kedudukan

adalah amanah

barangkali kita sering atau kadangkala tidak sadar

bahwa segala perbuatan, tindakan dan perkataan

akan dipertanggungjawabkan

ke hadirat-Nya

 

barangkali kita sering atau kadang tidak sadar

bahwa apa yang kita miliki dan kasihi

suatu saat akan berpisah

barangkali sering kita atau kadang tidak sadar

bahwa suatu saat kita dalam sepi kesendirian

barangkali akhirnya kita berharap nyanyian angin

air surga-Nya untuk membasuh luka-luka ketidaksadaran kita

Kandangan, awal Ramadan 1431 H.

 

A. Syarmidin

Pengakuan

 

ya, Allah ya Rabb

betapa buruknya kami

Kau berikan hati untuk bersemayamnya iman dan ikhlas

namun kami penuhi dengan kedengkian

dan rasa kebanggaan yang menghilangkan amal pahala

ya, Allah ya Rabb

betapa jeleknya kami

Kau karuniakan sepasang mata untuk melihat

menyaksikan kebesaran-Mu di fenomena alam

namun kami gunakan memandang yang Kau larang

 

ya, Allah ya Rabb

betapa jahilnya kami

Kau berikan lidah untuk membaca kitab suci-Mu

mengeja asma-Mu dan perkataan yang santun terpuji

tapi nyatanya kami gunakan untuk mengghibah dan memfitnah

 

ya, Allah ya Rabb

betapa tidak benarnya kami

Kau beri panca indera untuk meningkatkan amal pengabdian

namun kami gunakan untuk kemaksiatan, kejahatan, selingkuh dan korupsi

 

ya, Allah

betapa besar dan berat dosa yang harus kami pertanggungjawabkan

kami tidak sanggup akan azab siksa-Mu yang maha dahsyat

kami hanya setetes air di tengah samudera kebesaran-Mu yang tak berhingga

 

ya, Allah Yang Maha Rahman

rahmat dan sayang-Mu lebih besar dari kesalahan hamba-Mu

ya, Allah Yang Maha Rahman

kasih-Mu lebih luas dari dosa hamba-Mu

ya, Allah Yang Maha Rahim

Ramadhan ini kuketuk pintu-Mu

kuraih ampunan-Mu

kujemba sayang-Mu

kukais maghfirah-Mu

kuraup berkah-Mu

lebur aku dalam harap

kukuhkan hamba-Mu ini pada buhul takwa

Kandangan, medio Ramadan 1431 H.

 

A.W. Syarbaini

Nawala Warta Penatah Adat Budaya Banua

 

Duli Paduka

Bermula ini pengatur kata

Kepada pinarak pengatur ulun

Jumantang wantan

Jang sinuhun

 

Kabih penerima amanah

Jang sinuhun

Menyongsong warta ampun, beribu ampunan

Di bawah duli panjanangan dalam

Ini pembuka kata

Mengubah rasa menjadi makna

Serang sekenyar, sekenyari

Surup sungkup Sang Hyang

Berpujangga pati

 

Duli Paduka

Penatah adat budaya banua ini menghatur warta

Meski lewat jarak teramat jauh

Yang mungkin tak paduka dengar

Namun kami harus bertutur kata

Dengan nawala warta berkaca-kaca

 

Duli Paduka

Walau dengan bait-bait syair yang masih mentah

Namun dengan makna kata ini

Kami coba usir tirani

Yang selama ini terasa menguliti

 

Duli Paduka

Barikin nama kampungnya

Belajar tari wan lagu jinggung

Merasuk igal jejak wayang gong

Baturai nyanyi berbalas pantun

Banyak yang datang tajak serubung

 

Duli Paduka

Wan madihin telah kami singgung

Wan igal telah kami ambung

Wan syair kami haturkan

Perihal nasib yang kami tanggung

 

Duli Paduka

Wayah dipawayah

Adat budaya banua ini semakin usang

Bagaikan batang tarandam

Berharap uluran tangan Duli Paduka

Agar seni bahari turun temurun

Jangan pang hilang

Tetap didukung

Serasa anak kandung

 

Duli Paduka

Karya kami tertulis di lelambai dedaunan

Dan angin pun dapat membaca

Pada tetes karya paduka pada banua

Yang terekam di naskah sejarah

 

Duli Paduka

Kan kami lantunkan syair sepanjang masa

Dengan seluruh perasaan jiwa ragawi

Karena gelora semangat ini

Tak akan pernah padam

Meski mata pena tiada bertinta lagi

Barikin, 2 Agustus 2010

 

Bagan Topenk

Bila Tak Lagi Satu

                        16 Oktober 2009

Lerailah sudah semua rasa
saat genggam tangan kita tak lagi satu
saat hati tak lagi saling setuju
semua telah sirna ditelan masa

tertinggal kita satu sama lain
di antara tangisan dan rintihan,
satu dalam penyesalan
satu dalam kenangan

tiada usah lagi berharap rasa itu tumbuh,
ego kita memang telah saling membunuh
kita sama dalam hati terhunus
dari detik waktu yang kian menggerus

dan,

bila pun waktu kembalikan kita untuk satu,
menggenggam rasa yang telah beku
namun tiada mungkin dapat kembalikan indah itu
(tuturku bersama pilu)

semua berlalu
kita hanya dapat meramu indah dari kepingan waktu
sayang, semua telah hilang
namun ijinkanlah untuk selalu kukenang

 

Dien Alice

Penggali Kuburan

 

Dengan bismillah

tangan kekarmu bergerak

entah berapa banyak lubang kaugali

entah berapa banyak mayat kautanam

bau tanah menyatu dalam tubuhmu

bau keringat menyatu dalam hasratmu

dan ketika indramu mulai bersahabat

kau tahu tanda bumi tersenyum

kau tahu ada bumi menangis

bahkan memekik marah

lalu katamu

“Dengan nama Allah tenangkan dia”

setelah itu kau menunduk diam

dan katamu pula

“Ototku memang kekar

nyaliku memang besar

tapi bersamamu kelak

aku tak mau terkurung dalam gelap

terimalah aku”

 

Dien Alice

Pasar Ramadan

 

Pasar Ramadan digelar di planet bumi

Pusat perhatian segala jiwa yang menghamba

Beragam menu tersaji merebut hasrat pilihan

Pasar Ramadan pasar murah

tempat menjajakan segala yang disuka

dengan sedikit biaya lezat pun dirasa

Lihatlah!

Berbondong-bondong insan menuju porosnya

Tak berbatas usia tak berdinding kebesaran

kecuali bersanding keikhlasan

mereka saling mendahului saling memilih

takut diburu senja dan matahari menghilang

pasar Ramadan pasar murah

pasar yang tak pernah sepi peminatnya

dan malaikat mengiring langkahnya

hingga mengantarnya ke pangkuan Ilahi Rabbi

Aemte, 15 Agustus 2010

5 Ramadan 1431

 

East Star From Asia

Alif-Alif

 

malam berkilau dalam kotaku, dari balik aurora alif-alif  berbaris mengepak

cahaya, terus saja bernyanyi. kutabuh kulitku irama gurun yang bergema tak putus dan sebutir demi sebutir bintang memijar hadir. bulan tergolek dan cawan-cawan dahaga tercipta dari nyala mata mereka: waktu tumpah di ujung sajadah.

mencium pesisir. burung-burung laut menggelepar, namun riuh tak terdengar. terus saja alif-alif menempa cawan-cawan dari lempung pasir, terus saja alif-alif menaiki zikir. mimpi bercurah dari bintang yang lena dan perahuku nyenyak dalam rahasia semesta.

kotaku tak bernama tak berhuni. bisik purba menampar-nampar cermin wajahnya dan putih dindingnya. akhirnya, tinggal gelombang darah menjemput gelisah mendampar hening. napas laut mendesah dan rumput laut yang basah.

dalam tatapan alif-alif rawa berkembang jadi padang. padang berkembang jadi hutan. hutan hangus!

dalam tatapan alif-alif mawar berkembang jadi bintang. Bintang berkembang jadi matahari. matahari gugur!

semua karam di laut itu. matahari pecah senantiasa menjelma hiu. hutan rebah senantiasa menjelma perahu.

lalu dari palung bisu, badai bangkit menawarkan tafakur. dan daratan hitamku menumbuhkan alif-alif dari jiwa yang lebur.

Banjarbaru, 1986  

 

Eko Suryadi WS

Elegi Negeri Seribu Ombak 

 

Di negeri seribu ombak

            kubangun kota-kota peradaban

Kutaburkan mimpi daun, sungai, cakrawala, hujan

            Lewat kasih sayang bunga

Kuhisap udaramu

            kuhirup sungaimu

                        kupijak bumimu

                                    kukayuh lautmu

            menjadi semestaku.

            Di sini perarakan musim datang dari segala penjuru

membawa mimpi peristiwa

            dari nol kilometer ke kilometer lima puluh tiga

kusapa duka lara.

            Tangismu melarutkan jembatan kekinian

Air matamu meruntuhkan beton-beton

Menisbikan sejarah yang lahir dari doa-doa leluhur

Kuburnya ditenggelamkan para pengembara

            Kota-kota telah dibakar para perambah

Mimpi musim pun diseret putaran waktu:

            tak pernah kembali

            tak pernah tersisa

Adakah semestaku.

 

Mereka  lukai negeri ini

Mereka hirup darahnya

Dengan rasa haus dan mata terpejam

 

Di negeri seribu ombak

Burung-burung pemangsa meninggalkan bangkai

            setelah pesta

Kotabaru, Juni 2003

 

Eko Suryadi WS

Bajau

 

Atas nama nenek moyang

laut kau tugali dengan sampan

            Nasib membawamu kepada pengembaraan

 

Berlayarlah menuju musim

            mencari jati dirimu

 

Atas nama cinta

kau kayuh samudera mendekatkan semesta

            mata angin pijar olehnya.

 

Kau curi utara kau tanak barat

Kau tenggelamkan selatan kau tiduri timur

Lautmu adalah kelahiran

Daratan mimpi kematian

 

Berlayarlah dengan waktu

Tak kembali kembali

 

Juriatmu pengayuh

            menegakkan cinta dalam ruh

Kotabaru, 2008

 

Eza Thabry Husano

Menjauh dari Nafsu dan Fitnah

 

shalawat dan salam senantiasa menyertai teladan

budi baik terentang luas jadi sebuah titian

risalahnya mengabarkan berita riang dan mengingatkan

melimpah kepada keluarga serta saudara

bagai pelita memancarkan cahaya

hidayah ridha Allah, ikhtisar dalam nasyrul ulum

hubungan kaum hawa dengan khaliqnya

keluarga beserta umat

tiada yang dibanggakan selain membangun ikhwanul

muslimin jadi harapan kecerahan masa depan

semoga Allah rabbul izzati melimpahkan

nilai abadi semua kaum muslimin

pada firman-Nya waqul rabbi zindnii ilma

 

tiap kaum adalah pemimpin

imam adalah pemimpin

laki-laki adalah pemimpin

perempuan adalah pemimpin rumah tangga suaminya

            semua bertanggung jawab atas kepemimpinannya

diwajibkan berupa perintah saling tolong-menolong

dalam kebajikan dan taqwa. Saling berwasiat

untuk al-haq, bersabar dan ber-amar ma’ruf

                                                        nahi munkar

 

imam qurthubi berwasiat

bahwa perhiasan bagi perempuan ada dua

yaitu: khilqiah dan muktasabah

khilqiah merupakan perempuan yang indah

muktasabah mempercantik diri: pakaian dan perhiasan

lalu kita lihat, ada perempuan berpakaian tipis

dan ketat, hingga lekuk tubuhnya tampak jelas

mari kita menjauh dari nafsu dan fitnah

berlindung kepada Allah dari dosa fasiq

dan durhaka kepada-Nya.

Banjarbaru, 2010

 

Eza Thabry Husano

Fitrah Akal dan Iman

 

kita baru melewati gurun perjuangan

membabat tumpukan penggoda bani insan

mengendalikan anggota badan bahkan

jiwa dan hati yang menjauh dari ridha-Nya

suatu perjuangan berat dalam jihad

banyak manusia perkasa berkuang nafsunya

mengubur derajat kemanusiaan mulia

menjelma derajat kehinaan di relung zaman

bertudung harga diri durhaka

lupa peradaban asalnya: Sang Pencipta!

sejarah banyak menukil peristiwa

mahumbalangkan iman manusia

harta kikis, pangkat dan kursi

jadi ampas daki matahari

dalam riwayat ada pelayan bernama Aswad

berjasa besar terhadap Nabi Muhammad

tapi berbuat tercela, diam-diam mengambil sepotong

baju mantel, barang rampasan Perang Khaibar

usai perang Nabi melewati perkampungan Yahudi

sambil berdakwah; seorang Yahudi melepas anak panah

ke arah Nabi. Tapi yang kena adalah Aswad

dan tewas seketika

“demi Tuhan yang menguasai diriku, sesungguhnya

sepotong mantel yang diambil mengobarkan api neraka

membakar dirinya,” kata Nabi

kematian Aswad di medan perang jauh dari syahid

 

wahai, jangan kotori jiwa dan hati

dengan memperjudikan moral dan akhlak

kemaksiatan, bid’ah dan khurafat

kembalilah pada ajaran agama dan aqidah

maka hari ini, jadikan kembali fitrah

fitrah akal dan iman mengarak kemenangan

Banjarbaru, 2010 

 

  Fahrudin Arifin

Negeriku yang Sebenarnya

 

Inilah negeriku yang penuh budaya

Beragam agama, ras dan suku bangsa

Menjadi satu dalam “Bhineka Tunggal Ika”, katanya!

Inilah negeriku yang penuh hutan rimba

Mendapat julukan paru-paru dunia, katanya!

 

Inilah negeriku yang kaya raya

Tanahnya subur rakyatnya makmur, katanya!

 

Inilah negeriku yang demokratis

Negeri yang pendidikannya pun gratis, katanya!

Inilah negeriku. Sebuah negeri katanya.

 

Kalau semuanya ini katanya

Lalu mana negeriku yang sebenarnya?

 

Inilah NEGERIKU YANG SEBENARNYA dan bukan katanya

Negeri yang mempunyai kebebasan beragama sebebas-bebasnya

Negeri yang berBhinneka Tunggal Ika yang sudah tidak ika lagi

Negeri yang penuh hutan rimba dan telah berubah menjadi hukum rimba

Mengeksploitasi hutan sehabis-habisnya

 

Inilah negeriku yang sebenarnya

Negeri yang kaya raya tetapi rakyatnya menderita

Negeri yang tanahnya subur tetapi beras masih impor

 

Inilah negeriku yang sebenarnya

Negeri yang demokratis,  kalau demonstrasi berujung anarkis

Negeri yang pendidikannya gratis, tetapi hanya merupakan janji-janji manis.

 

Inilah negeriku

Negeri yang sebenarnya

Negeri yang menginginkan pemimpin-peminpin benar

Benar sebenar-benarnya

Jaro, 24 Agustus 2010

 

Fahrudin Arifin

Malam Penetapan

 

Malam itu diam

Dari janji langit ditentukan

 

Malam itu hening

Pada bulan, pada awan, pada angin

Pada pohon-pohon yang tunduk

Pada air yang menjadi beku

Pada bumi dihamparkan

 

Malam itu mulia

Malam yang memberikan ketetapan

Bagi perjalanan hidup makhluk manusia

Dengan kedamaian dan ketenangan jiwa

Jaro, 15 Ramadan 1431 H. (25 Agustus 2010)

  

Fahrurraji Asmuni

Kepada Adam

 

Luka yang kau toreh pada diri

Kini menjadi ular besar

Menjalar

Menebar bisa kemana-mana

Yang kena gigitannya

Membekas

Menjadi petaka

Ada yang memanis rasa

Tapi, tanpamu

Dunia tiada

 

Fahrurraji Asmuni

Seonggok Bara

 

Di belantara diri ini ada segumpal bara

Tersimpan dalam diam

Menunggu puput

Yang mau mengajak bergelut

Seonggok bara

Ingin kujadikan api

Membakar matahari

 

Fitri Jamilah

Ekspresi Cinta


Ketika Laila jatuh cinta

dunia laksana taman bunga

berseri penuh warna

Setiap menit berlalu

adalah kenangan indah

tak lekang waktu

(ketika bersambut,

cinta adalah kebahagiaan)

 

Ketika Arai jatuh cinta

dunia laksana gurun

gersang, kering

Setiap menit berlalu

adalah luka

tak hendak dikenang

(ketika tak berbalas,

cinta adalah kesedihan)

 

Ketika Yusuf jatuh cinta

dunia serasa hampa

tanpa makna

Setiap menit yang berlalu

adalah penantian tak berbatas

tanpa limit

(Ketika terhalang jarak,

cinta adalah kerinduan)

 

Ketika Ling jatuh cinta

dunia seperti medan pertempuran

beradu taktik, beradu trik

Setiap menit yang berlalu

adalah perjuangan

untuk kemenangan cinta

(ketika terhalang restu,

cinta adalah pengorbanan)

 

Ketika aku jatuh cinta

Apa yang kurasa?

 

Fitryani

Diam

Yang hanya diam

Masih saja begitu engkau

Tak berbuat apa

 

Kau punya darah

Punya rasa dan keinginan

Tapi mengapa diam

Walau dalam jatuh

Bahkan hancur berantakan

 

Karenamu aku bimbang dalam ketabahan

Karenamu aku ragu arti kesabaran

Karenamu aku telah yakin

Ibumu memang beranak ganjil

 

Fitryani

Wanita dan Sepi

 

Di jalan sepi begini

Bagai larut malam-malam sebelumnya

Kali ini dan untuk kesekian kali

Gerobak itu berderak lagi

Lintasi lagi

Jalan depan rumahku penuh lubang dan batu

Segala membisu, gigil tubuh kaku membeku

 

Bagai larut malam-malam sebelumnya

Gemerincing kalung lembu

Memecah kesunyian seribu

Seribu harap tukang gerobak

Si tua kekar di lintasan waktu

 

Di jalan begini sepi kabut terus dia tembus

Sedang subuh masih begitu lama

Perlahan lenggang menyapu debu

Bayangnya hilang angin berlalu

 

Angin malam ini begitu nakal

Padahal aku berharap semua ini

Bukan sekedar mimpi


Gusti Indra Setyawan

Orasi yang Tak Terputus

                         untuk almarhum Sugiannor

                         di mana orasi itu, di situ ada aku

 di kala kau ada

di sela gelak tawa yang membaur dalam orasi panjangmu

namun, tak seorang pun yang tahu, apa maksud yang ada dalam orasimu

di saat kau sebarkan senyum

seakan senyuman itu tak pernah memantul dalam senyumanmu

di saat kau lontarkan cakrawala pikirmu

seakan cakrawala itu hilang, lenyap, tak pernah terlaksana

kau berikan pancaran buat dakwahmu

tapi dakwah itu laksana sebuah kata yang hilang setelah terucapkan

 

di kala kau ada

masih terngiang ketika jemari-jemarimu memetik dawai mengalunkan nada

ketika tangan-tanganmu menari di atas alunan musik

menjadikan nada menjadi irama dan irama menjadi lagu

tiada hari tanpa canda dan tawamu

tiada hari pula, tanpa keluh dan kesah bersamamu

kini tawa itu hilang, lenyap ditelan waktu

dan kini keluh kesah itu tenggelam ditelan bumi

 

di kala kau tiada

Suara itu diam, dakwah itu hilang ditelan sepi, orasi itu lenyap ditelan mahligai pusaramu

Suara yang biasanya meniduri seniman sepertimu

Kini hilang seakan terbawa oleh arus angin yang dihantam gelombang

Di saat kau tiada

Sepi selalu merangkap kabut

Mentari telah pudar dibasuh langit

Sosok yang tegar laksana karang dihantam badai, kini tenang tanpa penghuni

Kami hanya bisa meratap, mengenang saat kau tiada

Dan kami hanya bisa mengharap seribu maaf yang tak terbata

Dan kami hanya bisa berdoa, semoga orasi itu tetap takkan pernah terputus

tenteram selamanya, damai disisi-Nya

Amin

 

Hamami Adaby

Ruang-Ruang

 

Ruang kerja

kita duduk menghadap meja

di atas map warna-warni

mesin ketik dulu komputer kini

karbon-koreksilak-type-ex-stencilsheet

barang macet.

Absensi paraf

hari ini kartu pintar

curi waktu-mangkir potong gaji

silakan kalau mau disetrap

atau dicap indisipliner.

 

Curi waktu dosa

nyontek dana-rauh duit-sabotase m.a.

perbuatan amat hina!

 

Di meja setumpuk map

surat masuk-keluar

Tanda tangan-disposisi

Semua tanggung jawab jenjang kamar

Dari sekeping hati reliji.

 

Yang asyik kerja

surat masuk-keluar agenda

membuku uang-uang perbelanja

menyisih ruas buku, he, copet penggaris teri

mark up harga, he, maling kwitansi

pembelian fiktif awal korupsi

rayap-rayap merajalela bersaf

perlu kerangkeng tangkap masuk perangkap.

 

kalau zaman perang ada pengkhianat

tembak di tempat

kalau pegawai berhenti tidak hormat

yang lain terbuka pintu tobat.

Banjarbaru, 28 Juni 2010

 

Hamami Adaby

Box-Box 

 

Alif kusemai di padang hakiki

mengalir pusar angin dalam imaji

siang malam merendam kata pualam

pelita menara api di pertiga

kita bersama menatah wajah jelita.

 

Bertahun cuaca tak bersahabat

manusia sedang haus sedang lapar sekarat

menahan berat beban menerkam kepedihan

merekam hujan gempa banjir dingin menyengat

panas bumi berkelebat sedang kesetanan.

 

Kita mandi keringat bikin rumah bambu

dengan kucur peluh sendiri

ditindik jarum kepalsuan terluka

dalam sajadah puisi kuhayati

sengatnya lebah menikmat rindu.

 

Yang buat istana di atas pengunduh

dari serpihan-serpihan kertas ratusan

di balkon-balkon elit perumahan

bank boxbox logam mulia hiruk gaduh

“banyak rampok di negeri bedebah!”

Banjarbaru, 15 Juli 2010

 

Hamberan Syahbana

Aku Rindu Aku Ingin

 

Aku rindu subur tanahku subur sawahku subur ladangku

aku rindu rindang pohonku rindang hutanku

aku rindu pesona hunjur meratusku

aku rindu beribu sungaiku yang sejuk segar dan bening

aku rindu bunyi kicau murai di pepohonan alamku

aku rindu padi menguning di sawah-sawah

sementara deru alat besar memotong menghumbalangkan hutanku

lalu hutan gersang dan tanah gundul terhampar di mana-mana

lalu air bah banjir bandang tanah longsor di mana-mana

sementara gelegar bom dan dinamit gencar menggebu-gebu di mana-mana

lalu danau hitam pun menganga di mana-mana

lalu debu hitam menyesakkan dada pun menyerbu ke mana-mana

lalu bencana demi bencana di mana-mana

lalu musibah demi musibah di mana-mana

aku ingin anginmu tetap sejuk bertiup di mana-mana

aku ingin kicau muraimu tetap bersenandung di mana-mana

aku ingin kau tak pernah porak-poranda

aku ingin kau tak pernah jungkir-balik

aku ingin kau tak pernah terbakar tak pernah tercemar

aku ingin kau tak pernah bertukar rupa menjadi bencana dan malapetaka

 

aku rindu semua tetap seperti dulu

aku ingin semua tetap mempesona

aku ingin tetap

seperti

dulu

Banjarmasin, 2009

 

Hamberan Syahbana

Hidup Ini Cuma Satu Kali

 

Hidup ini cuma sekali sudah itu mati

Siapa bilang tak berarti?

 

Di sana sudah pasti

ada berjuta arti tengah menanti

hingar-bingar dan jeritan tangis histeris yang tak pernah sepi

menggelegar dahsyat panas panas panas panas

atau lagu maha rindu bergema rindu rindu rindu rindu

rindu yang maha suci

dan aroma semerbak mewangi tercium ke mana-mana

ke mana-mana ke mana-mana

sembari

menunggu berjuta janji yang maha pasti

 

Tidak seperti di sini janji tinggal janji

sudah janji lalu ingkar

berkali-kali

berkali

kali

?

Banjarmasin, Agustus 2010 

 

Hajriansyah

Sisi Langgar

 

Ia duduk di depan jemaahnya. Ia duduk dikelilingi bau kesturi dan kemilau baiduri.

Dari ujung menaranya menguar risalah-risalah indah, bintang-gemintang seribu satu

malam, dan cerita nabi-nabi pembawa kabar gembira tentang surga.

 

Dari langgar ke langgar bersama perahu yang dikayuhnya sepenuh hati, mengalir

puja-puji; tapi sampai di mana batas sunyi? Batas sunyi di malam-malam. Batas

sunyi di dinding-dinding papan, tempat ngengat bermukim menunggu lapuk bagai kerupuk. Batas sunyi di awan-awan, di mana mentari tidur berselimut kegelapan.

Di dinding hatimu kebaikan berumbai-rumbai kehijauan, mengirimkan segar udara

pepohonan.

 

Duduk-duduk di pintu langgar kecilnya, kita lupa suara-suara kepedihan. Yang kita

ingat hanya taman surgawi, rindang-merindangi. Tapi di mana batas pengharapan?

 

Hajriansyah

Sisi Berita

 

Inilah kita. Tak habis bertanya. Mengunyah berita dengan saus berwarna orange tua.

Dan cukup di sana! Besok suara-suara telah dilupa. Pengantar tidur kita angin utara.

Dinginnya melenakan mata.

 

Inilah kita. Banyak bertanya. Digerus berita dianginkan suasana hilang mata hilang

telinga.

Dan cukup di sana! Lusa telah lupa penguasa mana yang mengusir kita.

Ingatan hanya sejarak sungai yang mengulak memisahkan saudara.

Ulaknya menenggelamkan jiwa.

Inilah kita. Terlalu mencinta. Tak rela memisah badan dengan jiwa. Tiarap menunggu

badai sirna.

Menunggu mengharap cinta tak ada.   

 

Harun Al Rasyid

Pamitku 

 (kepada yang berpihak padaku)

Perasaan pun jadi diam

Desah napas kita seperti nujum

Ia mengetahui kapan perubahan ini

Akan berubah dengan wajah baru

Orang-orang pada siap segalanya

Mereka akan pergi segera

Meninggalkan bangku-bangku

Di ruang penantian

Kuseret paksa sisa usiaku

Yang tersangkut di sini

Sebelum kumulai pertarungan

Baru di dunia lainnya

Tak ada apa-apa yang perlu

Disesalkan dan dikhawatirkan

Dan tak ada air mata sedih

Yang harus dipikul beban

Aku tak akan pernah risau

Bila akan sebagai pemenang

Dan tidak merasa malu

Menjadi pecundang di ranah ini

Di singgasana penantian ini

Betapa tegar untuk merahasiakan

Dan menyembunyikan sejuta cerita

Tentang orang-orang yang bepergian

Dan kembali pulang

Di sini kunantikan kehadiranmu

Untuk membasuh bekas luka-luka

Dan menyerahkan sisa usiaku

Sehabis itu aku akan bersiap

Hingga lenyap di dalam sebuah

Cerita damai

Hanya mohon maaf dan ampun

Kado yang dapat aku berikan

Sebagai tanda pertalian erat

Yang terlukis dalam rindu kita

Amuntai, Agustus 2009

 

Harun Al Rasyid

Di Pundakmu 

 (masa depan HSU

 – kepada mahasiswa di Yogyakarta--)

Kaulah samudera luas

yang merelakan kapal-kapal

meluncur cepat

di pundakmu kapal-kapal

menanti keramahan samudera

cintanya, ketulusannya dan

kesiapannya untuk membongkar

segala luasnya, ungkai cerita

dalamnya, semua rahasianya

Demi rahasia yang dikulum

Samudera pun

Kubaca jelas

dalam membangun banua tercinta

Bumi Kahuripan Tanah Harum

Di pundakmu kapal-kapal

Bisa meluncur laju dan

Tenang menembus segala

Rintangan penghalang

Lalu membelah ombak, badai pembunuh

Di pundakmu sejuta harapan

Yang kugumamkan nyaring

Untuk mematikan lanjutan

Ceritanya

Yogyakarta, Juli 2009

 

 Hardiansyah Asmail

Negeri Air Mata

 

Sepeninggal kau pergi

Menyisakan beragam jejak di pusar pertiwi

Kemerdekaan yang dulu kita angani

Ternyata cumalah ruang kosong tanpa warna-warni

Hari-hari selalu saja sembilu yang mengisi ruang waktu

 

Sepeninggal kau pergi

Ruang sidang mulai berubah fungsi

Jadi taman safari

Tempat kera-kera berdasi berbasa-basi

Harimau-harimau berminyak wangi

Atau kamar tidur para selebriti

 

Semenjak kau pergi

Kekerasan dijual setiap hari

Pornografi menjadi asupan bayi

Tak ada lagi tabir yang menutup aurat cinta

Hingga matahari menusuk selangkangan bumi

 

Kini putri pertiwi yang mulai berahi

Harus mencari sendiri jejak ibunya yang terabrasi

Jati diri yang hilang

Kebersamaan yang tumbang

Buku nilai yang rumpang

Harus kemana lagi mengisinya

 

Sepeninggal kau pergi

Ruang kosong cahaya

Iman tersangkut di ujung astaka

Hari-harimu buram mulai menjelaga

Karena orang-orang kehilangan tongkat Musa

Dan jati diri bangsa

Cerita tentang nilai itu cumalah retorika

Di ruang kosong hampa udara

Kandangan, 2010

  

Hardiansyah Asmail

Surat Untuk Bianglala

                        (petisi bagi peserta aruh sastra)

Tetes hujan kata-kata

Yang turun dari penaka rindu

Memekarkan persemaian sunyi

Lalu lahirlah tunas ilusi

 

Ini anak kita yang keberapa

Demikian engkau bertanya pada sekuntum senja

Saat gerimis purba

Menyelimuti isi kota

 

Jangan bicara soal jumlah, sayang

Sebab apa

Berapa

Ke mana

Bagaimana

Adalah penjara bagi langkah kita

Karena di sini

Wilayah kekuasaan mutlak fatamorgana

Lalu kita bebas mengungkai cerita

 

Surat untuk bianglala

Yang ditulis tangan para peri

Adalah seamsal hutan yang merindui hujan

Setelah itu lahirlah bahasa bunga

Yang disangrai di ulak ungkara

Bersama musim yang gila rupa kita utarakan setakat cinta

 

Surat untuk bianglala

Seperti bertautnya keinginan antara sahaya dengan tuannya

Demikianlah cerita

Tentang keniscayaan yang terpendam di dasar malam

Tersembunyi berbalut bahasa pualam

 

Manakala ada keinginan

Menepikan diri ke atas mimpi

Saat itulah senggama diam memperanakkan tikam

Mencumbu kata di ranjang niscaya

Mewarna dunia memberi terang pada gulita

Hingga saat menutup mata kita pun masih bersama

Ramadan ketigabelas, 2010

 

H. Adjim Arijadi

Keesaan Allah dan Diriku yang Pasrah

 

Esakanlah Allah dalam batin, siapa saja!

Bahwasanya kulitlah yang jadi kalimah

Dan iman itu hati

Kehendak itu makrifah

Napas itu ilmu

Otak adalah surga

Kenalilah Allah dengan

Iman

Islam

Tauhid

Dan makrifat

Allah jualah awal bermulanya

alam semesta

Tiada hakikat baginya

Hanya wujud dari bayang-bayang

Sedang wujud dari makhluk itu

Bayang-bayang sifat Allah

Bayang-bayang dan si empu-Nya

Bayang-bayang tak terpisah, kental

Melekat bagai api dengan panasnya

Sebesar dan sedahsyat gunung

Atau sebiji pasir di Sahara, kalau

itu misal perbuatan makhluk

perbuatan Allah jualah adanya

Jika disangka itu perbuatan makhluk

Syirik jua bagi yang menyangka

Siapa pun yang mampu mengenal

dirinya, ia pun mampu mengenal

Tuhannya

Araftu Rabbi Birabbi

“Aku kenal Tuhanku

dengan mengenal; Tuhanku jua”

Bukankah

Zat itu rahasia kepada kita

Sifat jadi nyawa kepada kita

Asma jadi hati kepada kita

Afal itu jadi tubuh kepada kita

Syariat, Tariqat, Hakikat, Makrifat

Adalah jalan bagi yang mengenal Allah

Allah yang tak semisal atau

seumpama, Allah Yang Maha Esa

Banjarmasin, 3 Mei 2010


H. Adjim Arijadi

Payung-Payung Masjid Nabawi

 

Nabawi masjid sejarah

Masjidnya Nabi

Muhammad Rasulullah

Di masjid ini

Muhammad

Abubakar

Ustman

Beristirah panjang

jejak sejarah tua

ditelusur alur kisah zaman

Begitu pasti, begitu abadi

Tak pernah goyah

di padang kebun korma

di sepanjang perang berdarah 

 

Madinatul Munawarah

Adalah buminya Nabawi

Yang menyangga lengkung langit

Bersuarakan Tuhan Yang Esa

Di abad dua puluh

Raja Fahd yang agung

membidani Nabawi

melebar meluas

untuk umat Islam sedunia

dan kini di halaman depan, belakang

kiri dan kanan

payung-payung beratus payung

merekah di puncak tiang-tiang

menunjuk ke cakrawala luas

Nabawi dengan payung-payungnya

tenggelam diapit hotel-hotel

berbintang, mall yang riuh

di kaki-kaki gedung

mencuatkan ketinggian yang angkuh

Dari kaca jendela

pasangan-pasangan mata mengintip

ke kejauhan halaman Nabawi

di antara tiang-tiang payung

ratusan tongkat tegak lurus langit

sosok-sosok putih dan hitam

berlomba masuk ke ruangan Nabawi

yang sejuk

melangkah melalui wadah-wadah

air zamzam yang tersaji

di terik matahari suhu yang membara

payung-payung terurak saling menjalin

tepi-tepi yang kokoh

Dari jendela kaca di ketinggian hotel

berbintang, tiada sosok yang tampak

cuma suara iqomah yang terdengar

jutaan umat dengan ragam karakter,

suku dan negeri, hening dalam sholat

Orang-orang di kamar hotel menghenyakkan

tubuhnya di ranjang mewah

dia terlelap

Sholat zuhur, ashar, magrib dan isya

berlalu dalam tidurnya yang enak

jelang subuh dia terjaga

payung-payung menguncup

melegakan halaman Masjid Nabawi,

di terang ribuan watt mercury

dilihatnya kembali jutaan hamba

Tuhan mengejar ruang Raudah

di dalam Masjid Nabawi,

dia cuma melihat

tak ingin terlibat dalam kumpulan iman,

dia ingin berdiri lebih tinggi lagi

mengusut-masaikan berkas

cahaya Islami

dialah wajah bopeng teknokrat

ingin menghapus jejak Sang

Nabi di jalur raya

jalan bersejarah

Madinah, 24 Agustus 2010

 

H. Ahmad Fitriadi F.

Dinda

 

Dinda,

banyak cara untuk mengantarkan pergantian masa

ada tawa, ada suka cita

ada doa, ada juga nestapa

Dinda,

Tak banyak yang kuingat tentang hadirmu

kecuali ketulusan dan kebeningan hati

cinta kasih

sayang rindu

kita setubuhi dalam pusaran waktu

 

Dinda,

dalam gulita nan sunyi

di keheningan sempurna

yang mengitari ruang mimpiku

kulafalkan sebaris harap

“Semoga kita selalu dapat saling mengerti

Untuk memberi arti”

Kotabaru, 18 Agustus 2010

 

H. Ahmad Fitriadi F.

Sayang

 

Sayang

Sudah malam

Segeralah meninabobokan siang

Jangan kaupedulikan

Sinar rembulan yang menyelaput

di antara kerinduan suara burung malam

 

Terbanglah bersama keinginan

dan angan-angan

Yogyakarta, 17 Mei 2004

 

H. Fahmi Wahid

Tangis Hulu Sungaiku

 

Sungai ringkih ini entah berapa abad sudah hantarkan kesejukannya

Walau kadang jernih kadangkala keruh

Entah dari rahim bukit manakah kejernihan ini datangnya

Dan dari ceruk manakah muntahan lumpur keruh

Yang gelapkan mata hati, mata mata manusia

Yang mencumbu bayangan semu

 

Dari sekian waktu

Raut ayu hulu sungai ini semakin bopeng saja

Raba raba kayu mati akrab menyapa

Berserak, merampas keindahan

 

Kesucian pagi hulu sungai ini telah ternoda

Hingga di batas senja kala

Saat mimpi mimpi semakin menghitam

Kala semua tanya tak berjawab

Sebelum senyum dilulur ratap

Mari jernihkan hulu-hulu sungai yang paling hulu sungai

Di hati nurani dan lumpur kemunafikan

Di diri kita sendiri

 

Hampir sirna jua figura banua ini

Ditelan hati hitam di hari kelam

Kehijauan rimba telah berpamit pada bukit

Tiada lagi tiang campan penghias langit

 

H. Muhaimin

Sebelum Bencana

 

Damang-damang balian

Tarikan tandik mamang garang

Kayas binasa segala bala

Sumpit tundik panah pemanah ranah

Terbangkan mandau dan parang maya

Humbalangkan ke langit pitu

Kariau mayau penoda rimba

Pada setiap sukma mencipta lara

Yang telah layukan putik-putik harapan banua

 

Sebelum bencana menyapa

Sebelum malapetaka melanda

Redakan nafsu-nafsu angkara berbisa

Yang rampas paksa paru-paru, ginjal

Dan jantung rimba banua

 

H. Muhaimin

Pelayar Mimpi

 

Terseok biduk-biduk jelajah mimpi

Terpuruk berlayar di samudera khayali

Pada gelora nestapa jiwa insani

Yang benamkan sauh diri di dasar ceruk penantian

 

Sang nakhoda pencari jati diri

Yang dikokohkan dengan janji-janji dan kemunafikan

Mencoba pukat pukau cahaya nurani

Hingga terbenam dan tak mungkin kembali lagi

Layar diri kian tercabik-cabik

Dihempas gelora nafsu fana dunia

Di saat mulai berkaca membaca rasa

Cerita azali dari berjuta-juta rasa

Karena tak pernah tahu asa ini milik siapa

Gemuruh seluruh warna-warni duka cita

Ketika pelayar mimpi tenggelam di laut sepi

Barabai, 2009

 

H. M. Sulaiman Najam

Beri Aku

 

beri aku segelas air

aku dapat mengundang hujan

hutan sawah dan ladang

kujadikan tanah subur dan makmur

 

beri aku setetes air

aku sanggup membujuk laut

kubebaskan kapal-kapalmu berlayar

kuhidupkan alam taman laut

 

berikan sebuah kata padaku

yang lebih utama dari seisi dunia

jangan kau timbangkan sebuah kekuasaan

yang aku tidak dapat berlindung

dari hujan tombaknya

kalau engkau ragu

cukup sebuah huruf saja

dan bila tidak menyebut kalimatnya

kau pun masih memberi aku tahta

yang lebih kuasa

Kotabaru, 2009

 

H. M. Sulaiman Najam

Kutitipkan Puisi Ini

 

kutitipkan puisi ini

di suara ombak berdebur di pantai

pada buih-buih gemerlap ketika

purnama memberikan cahayanya

 

meski suara itu sayup-sayup sekalipun

dan gemerlap buih membuka tabir gelap

kubingkiskan makna puisi itu

di angin mendesir

pohon-pohon bisu bernyanyi

menggugurkan daun-daun tua

 

kularutkan bait-bait puisi semesta

di air mengalir supaya

tebing-tebing itu runtuh

dan nestapa segera berakhir

Kotabaru, Natal 2008

 

Hj. Roosmayati

Sang Penari

 

Sang penari

Panting, babun, gong, bergema

Meliuk-liuk tubuh gemulai

Sang penari

Wiraga, wirama, dan wirasa berbaur

Komposisi ragam yang harmonis

 

Sang penari

Menjual senyum dikulum

Penikmat seni rasa terhibur

 

Penonton jadi terpesona

Penonton jadi terkagum

Penonton jadi terhibur

Penonton jadi jadi gembira

 

Manakala raga sudah renta

Jalan pun tertatih-tatih

Bicara tergagap-gagap

Guratan di wajah semakin tampak

Di mana sang penonton

Yang memuji dan yang mengagumi

 

Tak ada pujian

Tak ada jabatan

Tak ada gelar

Tak ada apa-apa

Tak ada yang abadi

Tak ada yang kekal

Karena hanya mantan sang penari

Tanjung, 26 Agustus 2010

 

Hj. Roosmayati

Empat Lima dan Segi Tiga Emas

 

Empat lima kutanding sudah

Itu pepatahnya urang Banjar

 

Empat ditambah lima jumlahnya sanga

Wali Sanga penyebar agama Islam

 

Tahun empat puluh lima

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia

Empat puluh lima tahun

Usia Kabupaten Tabalong

Di tahun dua ribu sepuluh ini

Kegiatan aruh sastra ada di kotaku

Seniman sastra bertekad satu

Untuk meningkatkan budaya sastra

 

Sekedar untuk diketahui

SEGI TIGA EMAS BUNTAGO

Perpaduan tiga kabupaten

Buntok, Tabalong, Grogot

 

Segitiga emas bersepakat

Untuk menggali potensi yang ada

Meningkatkan pembangunan daerah

Demi kesejahteraan rakyat

Tanjung, 26 Agustus 2010

 

Ibramsyah Amandit

Pada Saatnya Puisi Tak Ditulis

                        Diam-diam ia datang

                        hening subuh berbilang-bilang

                        hitungan embun batu

                        tak cair madu mawarku 

Diam-diam ia datang

tahu roh suci puisi

makanya tangan berserah

belum tayamum tanah banua

belum wudhu mata air seribu sungai

belum menapak jiwa ke mati merah

apa layakkah puisi digubah?

 

Diam-diam ia datang

selagi jihad penyair luhur:

            “harmoni waktu tempat dan individu”

sayang daki belumlah mandi...

 

Yang diam-diam datang

meski bukan bangkit dari kuburan napsu

yang diam-diam datang

meski bukan putih hati dan laku

yang diam-diam datang

meski puisi minta ditulis-tulis

rahasia langit minta diwaris-waris

Yang diam-diam datang;

cuma ilusi fantasi

khayal utopia manis jari tanganku

jangan ia sentuh puisi sucimu!

Tamban, 17 Juli 2010

 

Ibramsyah Amandit

Puisi Tidak Berkubur

                         tasbih merapat

                         memagar sajadah puisi

                         begitu cara ia menari!

Bencana di lidah;

tak suara lirih

bibir berliput dosa

salah ke salah ucap

memercik pahit

empedu kata

 

Turutkan ingin

ke sajak-sajak sunyi

tetapi sesal di hati

mendayu siksa menyiksa

tutur pedih luka-luka

 

Kuraba puisi napas

sajak-sajak hawa bebas

dalam rapuh usia

lorongku kabut merambah

lama kematian hitam

setia derita menghantam

 

Tapi apalah celoteh keluhan

membidai anasir kodrati

dalam alam pengakuan

setuntas diri bersepakat

kepada hakikat mati

 

Lalu...

aku merumput ladang-ladang kematian

tapi tumbuh saja pohon keabadian

Tamban, 12 Juli 2010

 

Ismail Wahid

Tahajud

 

napas-napas yang mendengkur di sisiku

menyentakkan lelap tidurku

terjaga aku

dalam sunyi malam yang dingin

 

            dengan tertatih

            kusimbah perut sungai

            yang tak pernah lelah

            yang tak pernah tidur

            menyatu dalam sunyi dan gulita malam

            kualirkan sejuk dinginmu

ke sekujur tubuh yang luka

melontarkan noda-noda hitam yang berkarat

 

dalam hening

kubuka pintu pertemuan

kubuka bicara dalam pasrah

kumohon doa dalam ikhlas

satu-satu kutiti tasbih

asma-Mu dalam ragaku

ketika bersujud penuh kepasrahan

biar wajahku terpatri pada sajadah

jiwa melayang bersama-Mu

Barabai, 17 Agustus 2010


Jamal T. Suryanata

Setelah Pertemuan

 

pertemuan itu, ya, pertemuan senja itu

telah menyemaikan berjuta tunas anggur

memekarkan kuncup jadi mahkota bunga

dengan segala wewangiannya

 

pertemuan itu, kekasih, pertemuan itu

telah membangun kubah-kubah hijau

di segala penjuru dan ceruk terdalam

keindahan samudera cintaku

 

kini, tak ada yang dapat kulakukan

selain terus merinduimu sehabis-habis rindu

menyebut namamu indah di lubuk hatiku

karena cinta tak pernah mengenal harga

maka kucintai engkau tanpa perhitungan lagi

tak'kan kubagi cemburuku pada sesiapa

wahai, biarkan aku sendiri, kekasih

menanggungkan gelisah dalam sakit rindu ini

agar ia terlunaskan dipanggang api cintaku

 

biarkan, biarkan aku sendiri, kekasih

menggelepar luruh dalam tragika rindu ini

agar tak sempat aku berpaling dari cintamu

Pelaihari, 3 Maret 2010

 

Jamal T. Suryanata

Semesta Rinduku

 

bukankah telah kautebarkan ayat-ayatmu, kekasih

dari negeri bersulam kabut bertatah intan rahasia

kepada pekat malam yang menanti purnama tiba

kepada laut biru yang menekuri amuk gelombang

kepada langit jingga yang merelakan matahari senja

kepada segala perindu yang lelah mengeja dunia

 

bukankah telah kauembuskan api cintamu, kekasih

yang melepas burung-burung pada liar kepaknya

membiarkan dingin sungai mengekalkan arusnya

menciumi aroma bunga di jelang layu kelopaknya

mendahagakan kapal mimpi di lepas jangkarnya

melarutkan berjuta kata bagi para penyair gila

 

ya, kekasih, akulah musyafir yang haus belai cintamu

akulah penyair yang gila pada keindahan bahasamu

 

ya, kekasih, kalau kau memang sedekat urat leherku

mengapa gelora rindu ini tak pernah terlunaskan?

Pelaihari, 12 Februari 2010

 

Jauhari Effendi

Seorang Anak di Perahu Rimpang

 

Pentas ujian bagai badai tak kunjung berhenti didera

angin menerpa laut menghempas gelombang menghantam

perahu tua rimpang melepas jangkar layar tercabik-cabik

karang tajam menghadang

karam

matahari itu cobaan maka hujan kesenangan

air bah ujian datanglah mentari kebahagiaan

tidak terpisahkan

kapan pun diperlukan

kedua-duanya

bersatu mewujudkan pelangi

kehidupan dan kita menyaksikan.

 

Jauhari Effendi

Kuluh

 

Tidak menetes embun di genggaman jari

Meretas tepi bendungan kuno kumpulan daun-daun kering

Beterbangan penuh di ruang-ruang pengap

Kuluh kerja, kuluh harta, kuluh kasih, kuluh...

Kuluh merajut kemiskinan

Kuluh menyempitkan kehidupan

Ketika tangga-tangga dinaikkan

Pucuk-pucuk mengeluarkan serbuk bunga-bunga

Adakah harum aromanya untuk dirinya?

Kuluh bukan untuk kamu tetapi hanya

milik-Nya

 

Jaya Ginmayu

Desir Pedaya

 

Bila

Kulihat laksana kan terasa

Kurasa bagaikan teraba

Jika

Kuraba akankah tersentuh

Kusentuh bisakah terengkuh

Ketika

Kulihat, kurasa, kuraba, kusentuh, kurengkuh, kupeluk

Bahkan kudekap erat biar tercumbu hasrat

Walau selaksa rayu telah dilagu

Bermusim madu telah diramu

Namun

Oleh dentum halilintar hembusan pun berlalu

Pekak terdengar mungkinkah sayupku mampu

Entahlah

Hanya ia dan dia yang tahu pun mau

Akhirnya tersadar cuma angin pelintirku

Dan cuma desir pedayaku

Tanjung, 5 Januari 2010

 

Jaya Ginmayu

Sirat Inginku 

 

Demi sirat si wajah siam

Pungguk kerontang penantang kelam

Diam berujar menyeruak di laci dahaga

Gigilan sembilu dambakan suam

Terpasung gairah kemilau perona bulan

Sepasang lembayung coba koyak ufuk selatan

Biar leluasa rentangan sayap bertangisan

Menitip tatih pesan walau terabaikan

Menghamba pada kerumun lebam setopeng terang

 

Mana ada jejaka tetabuh genderang

Kini tiada dara lilitan gemintang

Alhasil semua serba muram usang

 

Pada sirat si raja alam

Secuil pinta sahaya di musim pancaroba

Berikan anugerah ke bentang maharaya

Titahan singkap rahasia segala maya

 

Duhai iman bimbinglah aku selalu di jalan lurusmu

Raga temani aku dengan seluruh dayamu

Malam bentengi aku dari perangkap temarammu

Sinar lingkupi aku dari irisan silaumu

 

Wahai awan poloskan aku dari kalut mendungmu

Gunung jauhkan aku dari murka getarmu

Laut lindungi aku dari hasut hempasmu serta

Angin derukan aku dengan perisai bisingmu

Biar mereka tahu dan terima apa inginku

Banjang, 16 Agustus 2010

 

Jaka Mustika

Berdiri Alif

 

Berdiri Alif sebelum alam tercipta

berdiri Alif tata jagad sesempurna tata

berdiri Alif paripurna alam semesta

 

Berdiri Alif tiada terlihat tiada teraba

tiada berwujud tiada berupa

semua bentuk semua makhluk

seluruh jagad seisi alam semesta

ada dalam genggam kuasa-Nya

 

Berdiri Alif raja diraja segala raja

kursi jaya raya leliput jagad

di atas tujuh petala langit

di bawah kerak bumi ketujuh

tak lepas dari samudera mata-Nya

 

Berdiri Alif pasca dunia binasa

di sini segala dipertanggungjawabkan

buah apa yang bakal kita dapatkan?

Saka Badandan, 21-7-2010

 

Jaka Mustika

Nyanyi Sunyi

 

Adakah nada pilu yang lebih memilukan

selain jeritan putih rintih penyesalan

jiwa renta membujur jasad di penantian

saat jejak napsu serigala diperlihatkan

balasan buah langkah pun dipertontonkan

perih melengking lolong anjing kepapaan

 

Adakah rintih perih yang melebihi

pedihnya hati terluka menyanyi sunyi

saat pintu tobat tertutup rapat

mengental darah jantung tersumbat

roh gelisah resah takut berpisah jasad

roh mungkin tertatih seret keringat laknat

Adakah nyanyian yang lebih menyakitkan

kala sunyi menyanyi nyeri ngeri kegelapan

menahan racun gigitan bisa hewan

nanah membasuh tubuh memuakkan

lapar dahaga mengharapkan kiriman

doa penawar zikir bibir ayat-ayat kebenaran

Saka Badandan, 23-7-2010


 

Kamilah

Tanya

 

Benarkah zaman itu mengukir sejarah

Lalu mengapa zaman yang serba enak, serba canggih

Lalu diracun kenikmatan sesaat

Dengan penawar yang memabukkan

Di onak belukar sengketa

 

Dunia bagai penjara

Menyingkap tabir mengharapkan

Setitik pahala

Membuka mata tertutup

Lahirkan inspirasi lapang

 

Mereka dahaga ketika

Membayangkan jejakmu

Jangan kerena harga diri

Dan wangi pribadi

Kehidupan manusia dicemarkan

 

Jangan pula rakus merangkul jiwa

Dengan gairah menghirup anggur

Sedang moralitas dan mentalitas

Pemikir tahu wangi pribadi

Tanjung, 24 Agustus 2010

 

Lilies MS

Pagi Ini, Ketika Kau Lewat

 

Semula kukira

setelah dari rahim-Mu

Kau lahirkan kebajikan

maka cukuplah

 

Kukira dari tangan-Mu

setelah Kau masukkan malam ke dalam siang

dan siang ke dalam malam

maka cukuplah

 

Dan kukira pula

setelah Kau keluarkan yang hidup dari yang mati

dan Kau keluarkan yang mati dari yang hidup

juga cukuplah

 

Tetapi alangkah, Rabb?!

ternyata itu tidaklah cukup

di Kerajaan-Mu yang Maha Luas

beribu harap telah Kau tarikan

dan tegak alif-Mu berdiri adalah saksi kebenaran

 

Dan sesungguhnya

kian menjadi nyata bagiku

seumpama angin yang perlahan Kau tiupkan

terkandung hawa yang sangat dingin

menyuburkan ladang hati menyemai serbuk surgawi

jika sujud kita selalu satu nafas mencumbu ranah cinta-Mu

 

(Seperti pagi ini, kekasih

setelah subuh menyambang malam

mimpiku berurai makna

menafsir tanda-tanda

sebab ketika Kau lewat

senyum-Mu mengembang

meredakan gelora dan rinduku

yang panas bagai bara)

Tanjung, 2l Ramadan 1431 H.

 

Lilies MS

Jam Dinding Itu

 

Tak tik tak tik tak tik tak

berbunyi lagi

berdentang lagi

jatuh di jantungku

berurat pada nadir cintaku

menasbihi dosa-dosaku

 

Bunyi itu berbunyi

berbunyi lagi

Dentang itu berdentang

berdentang lagi sekali dan sekali lagi

tak ubahnya cermin waktu yang terus saja menyapaku

juga menyapa-Mu

Sedang usiaku telah tersalib renta

pada jam dinding itu

 

Jam dinding itu

gambar di nafasku

memburuku

Tanjung, awal Ramadan 1431 H. 

 

Mahmud Jauhari Ali

Mengajakmu

 

selia, sudikah, jika tanganmu yang bagai kelemnyar kugandeng mesra

kita sisiri tanah-tanah huma, riak-riak sungai dan rambut-rambut legam

‘kan kutunjukkan padamu kayu-kayu tak berjangat, juga laluan retak dan terburai

 

kala kau letih, ‘kan kusilakan dirimu merebah tanpa kipasan di bawah terik kerontang

jika kau lapar dan dahaga? kuhidangkan piring dan gelas kaca yang kosong

kubiarkan saja begitu, agar kau reguk dalam-dalam fenomena ketar

listrik padam, harga beras mahal, air bersih macet total

 

dan sebelum kau pulang, ‘ku ‘kan menanya,

siapakah kau yang selama ini duduk di antara malai mewangi

Kalimantan Selatan, 16 Mei 2010

 

Mahmud Jauhari Ali

Runduk

 

kutemukan jargon-jargon berjelaga dijuakkan peningkap ke atmosfer jingga

luruh! bersusuk-susuk manusia papa mengendus, menderau, melentingkan suara

sebagiannya berhisteria, getir kudengar mereka berteriak-teriak

jejemari yang memunguti repih-repih di meja kaca, melepuh satu per satu,

ada yang berpulang pula di depan pintu berkayu jati

 

sementara di sana, di kebun anggur, orang-orang bermain bunga

semuanya selia, serupa flamboyan genit di siang kerontang

segetil lidah saja menyerupa mereka bagai para ksatria

yang sejatinya hanyalah pemetik bunga-bunga wangi, sepanjang tahun-tahun berasap

 

tahun ini di bulan mei, ada perih, ada daging yang membengkak

cuatan negeri putih menopengi wajah-wajah pemetik bunga

dan kujumpai intro lucu seorang dari mereka. seorang itu berkata, “ikhlas”

lainnya menambah parah, membongkahi hati, menyengat pikir manusia-manusia papa

 

inilah runduk negeri batu, negeri rupa-rupa dan pura-pura

yang gemar melesapkan perkara sari di lantai keramik tua

Kalimantan Selatan, 13 Mei 2010

 

Masdulhak Abdi

Meraba-raba

 

raba raba raba

Kau raba dan terus meraba

Dengan cengkeraman berbalut rasa

Rasa berpura-pura dan menutup nyata

 

bara bara bara

Hati kami jadi membara

Ketika batu hitam dikikis habis

Bumi pijakan menelaga raksasa

 

raba bara raba bara

hati kami semakin membara

ketika berita menghembus raga

tentang akibat suatu masa

raba bara raba merasa

rasa yang arif bagi sesama

 

raba raba raba

kau raba batu bara

padamkanlah bara nyala di hati

dengan ucap setulus janji

bahwa bumi ini masih nyaman

untuk anak cucu kami

 

Masdulhak Abdi

Elegi Aliran Sesat


Ketika ibuku selingkuh dengan juragan para

Aku hanya diam dan biasa-biasa saja

Wajar ibuku sudah tak tahan lagi hidup sengsara

Dengan alasan kesederhanaan mengada-ada

Ketika ayahku selingkuh dengan janda beranak dua

Pemilik warung jablay di simpang desa

Aku biasa saja dan diam seribu kata

Wajar ayahku ingin memperbaiki keturunan

Biar anaknya berwajah cantik

Tidak jelek seperti aku

 

Ketika pacarku selingkuh dengan temanku

Aku juga pasrah dan biasa-biasa saja

bahkan aku bersyukur terbebas dari cintanya yang palsu

sekali lagi: aku biasa-biasa saja

 

Tapi

Ketika kau selingkuh dan mengajak selingkuh dari-Nya

Aku tak bisa diam karena pengkhianatan

Aku tak bisa biasa-biasa saja karena penyesatan

Satu kata: GANYANG

 

Muhammad Radi

Monolog

(I)

For: My wife (Nùrhasanah) & Our beloved

(Muhammad Fajar Thliban, Fathimatu‘z-Zahra

Ruwu‘l-Munsah and Muhammad Yandi Sarjani)

Gak jarang keganjenan-keganjenan kata dan sikap

mewarnai penampilan keseharian kita.

Sandiwara-sandiwara. Polusi kehidupan yang bertahan

: mungkin(kah) sejak abad-abad purba?

Kandangan, Feb.‘10

(II)

For: My beloved friend (Busyairi Hurian Fahmi)

 Hidup, diperas dan dibanting. Gak sekadar

menyemai dan menuai,

ternyata!

Banjarmasin, Feb.‘10

(III)

Ya, hidup. Cakrawala yang – rupanya – ndak jarang telah

dipetikemaskan. Orang-orang sibuk menggantang harapan,

menyimpannya bak mengonggok masa silam…

Kandangan-Banjarmasin, Mar.‘10

(V)

Membawa lara hati. Ngebawain luka diri. Hanyutkah mesti

ke laut gak bertepi, diombang-ambingkan harapan

dunia mimpi?

Kandangan-Barabai, Apr.‘10

(IV)

Dan kita senantiasa hadir

sebagai para calon pembeli

atau(kah) peniaga

yang siap – kembali – merugi...?

Kandangan,  Apr.‘10

 

Muhammad Radi

Harapan

                         Bagi saudaraku (Muhammad Rusmadi & Marhamah)

                        dan para keponakanku (Nadya Hanìfa Humanisa

                        & Ganang Muhammad Ferlez Oasis)

(I)

Dan begitulah. Usia bertambah. Tiba-tiba

kita telah (menjadi) dewasa dan tua.

Gerangan apa bekal yang ‘kan kita bawa

‘tuk kembali pada-Nya?

Kandangan, Apr.‘10

(II)

Rencana. Sering gak menggapai sebatas dunia.

Hari-hari berlalu. Harapan memilu!

Kandangan-Banjarmasin, Apr.‘10

(III)

“Berapa banyak (telah) dihabiskan biaya dan tenaga

‘tuk perhelatan ini; dan betulkah persaudaraan kita

(jadi) s’makin erat lantaran itu, hingga apa yang kita lakukan

sampai detik ini gak bernilai sia-sia?” katamu

Ah!

 Zaman. Perhelatan bertengger

di (deras) arus zaman. Dan waktu sebegitu ganjen membedaki

– sekaligus – menggerusnya!

Kandangan, Mei ‘10

(IV)

Dan, “perhelatan’. Ya, hari ini dan esok. Sajak-sajak tetap

ditulis atau dibacakan, dan dibicarakan.

Pembahasan-pembahasan usai…

Perhelatan selesai. “Sampai ketemu lagi pada tahun

yang akan datang, my beloved comrades! Akankah kita

masih bisa jumpa?” selorohmu

Uh!

Kandangan-Marabahan, Mei ‘10

 

Muhammad Rusmadi

Ketidakadilan

                        Buati isteriku (Marhamah) dan anak-anakku

                        (Nadya Hanìfa Humanisa & Ganang Muhammad Ferlez Oasis)

 (I)

“Ah, ketidakadilan. Dari manakah datangnya?” tanyaku.

“Ya, dari dirimu sendiri kan…?” sahut lo

 Mungkin kau benar. Berapa banyak kupernah memaki

saat gak berharap hujan tercurah

lantaran mengganggu program-program

yang sedang kujalankan. Dan sebegitu sering kumencela

apa yang memang pantas dan (sudah) semestinya.

“Padahal, kan, hidup semata ujian?” ucap seseorang

entah kapan dan di mana…

Kandangan-Banjarmasin, 2009

(II)

Dan ketidakadilan pasti lawan keadilan.

Ya, “… i’dilù … (bertindak adil-lah) …!” firman Allâh

dalam Al-Qurän (Al-Mâidah teks 8).

Ya, dan ‘ku gak jua kunjung dengar dan perhatikan

 

Berapa banyak kulahap buku, majalah dan koran. Sedemikian sering

kulupakan firman (dan sabda Utusan). Berapa banyak berita harian

dan hasil telaah orang-orang (yang dengannya) kuberiman.

Dan berita-berita langit sebegitu sering kuabaikan!

Tangerang, 2010

(III)

Dan…

Hati yang gak kunjung henti mengeluh

tanpa sudi mengambil makna (hikmah) kejadian-kejadian.

‘Mekik keras ke dinding,

sulut kebencian…!

Tangerang, 2010

 

M. Aini Asmuni

Pintu Pengenalan

 

Duhai pencinta, apa yang kau harap?

Ketika mata mengejar angin

Pada lautan yang tak bertepi

Pada langit yang tak ada batas

Pada nafsu yang tak pernah puas

 

Ia adalah bayang

Ia adalah rindu

Bersamanya mimpi-mimpi indah berloncatan

Merayu jiwa pemabuk gila

Sampai pada takbir dan salam

 

Kuingatkan!

Jasad yang fakir

Lepaskan belenggu kotor yang berbau

Pada tubuh anak-anak roh

Mandilah dengan wewangian surga

di antara dua pintu

Syariat dan hakikat

Membuka pintu pengenalan

Karamlah diri

Pada makrifat

Aku terhenti!

Marabahan, Agustus 2010

 

M. Fuad Rahman

Di Peron Itu 

 

di peron kereta itu

ringkih tubuhku menunggu

entah mesti berapa waktu

lamun ini menyusup ruang-ruang sepi

telentang di ubin dingin terminal sesal

sembari jari menjentik hujan rintik

 

malam ini,

kereta tak kunjung tiba

aku masih termangu

menunggu tanpa ragu

 

(ah,

terlalu lamakah

penantian ini

jika hanya setia terhadap satu kereta?) 

 

M. Fuad Rahman

Sampan dan Riwayat Kematian

 

riak merindu di sela batu-batu

lembut belai semilir angin di punggung sungai

merenda gelombang kecil bagai senyum perawan berbibir biru

ah, kecipak pengayuh membawa sampan ke haluan

 

kuingin pulang, sayang

bawa serta segala benih sisa airmata

juga rapun kemboja bahagia

segala rupa pun juga nestapa

 

ku mesti berlabuh, kasih

larung sampan, entah, mampu melewati ulak itu

mestikah kuretas senja temaram gerbang malam

sedang sampan tak cukup pijar lentera

 

ah, senggama sampan ini mesra tanpa kata

tiap sisi mengecupi airmata

melewati senja berharap cukup pelita

 

sampan tak peduli mesti bagaimana akan bertambat

jika air ini menjadikan roh menjelma sejarah

terserah, aku pasrah!

 

M. Hasbi Salim

Suara dari Menara LP

 

Kami adalah bintang malam yang terbuang

Ditinggal di tepi jalan

Selalu menyertai yang lalu-lalang

Namun, hampa kerlingan

Ketika kami nempel

Tak ada kata sudi

Apalagi menggandrungi

 

Dengarlah jeritan hati

Dari lembah yang terdalam

Ada harap menggunung

Buat hamparkan cita hak asasi insani

 

Kami memang laksana makanan basi

Tapi seribu hikmah kau dapat gali

Dari kaki kami yang nyeri

Biarlah kami jadi tumbal

Dosa-dosa kami

Tapi masih ada benih

Yang bisa dituai

Di setiap musim

Agustus 2010

 

M. Nahdiansyah Abdi

Mimpi

 

Percayakah engkau akan mimpi?

Serupa bintang terang terbenam di kening

 

menguak gelap pekat yang berpijar dalam batin

Pintu-pintu keliru menganjurkan masuk

 

keluar. Aku ada di dalam sejak awal

Dosa itu mobil

yang kusebut menuju Kamu.

Bukan buah terperam di dada

 

Taman kehidupan mengejawantahkan warna

Semua warna yang pernah dan belum pernah meng-Ada

“Hei, Mimpi memimpikan Aku kiranya...

di tempat yang tak terduga dekatnya.”

170210

 

M. Nahdiansyah Abdi

Fokus 

 

Buang semua yang kau tahu

yang menodai citranu, suatu

ketidakbecusan: ke rongga burung api

 

Bicaralah pada dirimu sendiri

Tertawa-tawalah, wahai Gerak yang menulisi diri

Takdir yang berkedip ini!

 

Dia yang masih kelimpungan oleh kata dan makna

merayap dari sirkuit kosong ke labirin air berpusar

 

Betah berlama-lama

dalam nujum bahasa

 

Ular-ular fiktif

yang didahar anakonda Musa

 

Benarkah kebenaran jauh tak tersongsong saat ini?

Anak yang terpisah ibunya pastilah dilanda kebingungan

 

Kabar baiknya, kita telah di sini dan

punya beberapa pilihan

 

Tetap hanyut ke laut kosong atau

membiarkan tangan baja Ramses menyibak kehidupan

 

Yang lampau, yang kemudian, yang kini

Saling berkejaran di kepala rapuh ini

 

Aku berdiri tegak

mencicipi

040410

 

Puspa Ramadayanti

Sang Penggoda

 

Dia sedang menggodaku

Mengubah pandang jadi lamunan

Mengubah nyata jadi khayalan

Dia sedang menggodaku

Hadirkan sosok bayang berlalu

Dia sedang menggodaku

Saat kumakin merasa dekat pada-Mu

Kotabaru, 20 Agustus 2010

 

Rahmatiah

Sepucuk Surat yang Kukirim Kepada Tuhan

 

Dua tahun

sejak kau kirimkan rindu

 

Menjadi kunang-kunang yang berpijar

            menghuni pohon-pohon di kebun sunyiku

 

lalu aku mulai terbiasa bercakap-cakap dengan kegelisahan

memanjat jauh dinding malam

memetik rintik hujan

untuk menemaniku menulis sepucuk surat kepada Tuhan

 

adakah balasannya kini tengah menunggu

            untuk dikirimkan ke alamatku?

ataukah Engkau ingin menjawabnya

dengan cara yang lebih sederhana?

 

Beri aku tanda!

kesunyian itu kini telah berganti nama

berna...

Banten, Januari 2010

 

Rahmatiah

Perempuan yang Kau Sebut Sebagai Istri

 

Berkali-kali ia membuka pintu

Namun berkali-kali pula ia matikan lampu.

Teringat segelas susu

            dan semangkuk sayur yang telah ia hangatkan

            tapi tak jadi dimakan

Sementara di ruang tamu

televisi masih sibuk bicara dengan bahasanya sendiri.

 

Jalan masih terlentang

Gerimis lengang

 

Ah, empat bulan menjadi perempuan

apa yang kelak akan ia ceritakan?

            pada tuhan

            dan pintu-pintu langit yang mestinya tak ia tinggalkan.

 

Lalu beberapa hari kemudian

Ia pergi

untuk menempuh kegelisahannya sendiri

ke suatu tempat

            yang masih ia rahasiakan untuk kau datangi.

Banten, Maret 2009

 

Ratih Ayuningrum

Antara Aku dan Hujan

 

Aku:

Mungkin aku salah pernah jatuh cinta padanya berkali-kali

Karena kini dia hanya mengalamatkan luka

Berkali-kali

 

Aku sering menatapnya melalui balik jendela

Menghirup aromanya menyesapi ke dalam paru-paru

Menggilai kehadirannya

 

Aku tak mengerti kenapa dia kemudian menggurat perih

Dan aku telah bersalah jatuh cinta padanya berkali-kali

 

Hujan:

Kenapa tiba-tiba dia membenciku

Bukankah dia pernah jatuh cinta berkali-kali padaku

dan begitu menggilaiku

Tapi, mengapa kini aku tak pernah sedikit pun ada di hatinya?

Bahkan dia selalu merasa khawatir dengan kedatanganku

 

Aku:

Aku tak suka buliran air yang jatuh ke bumi

Sungguh, aku tak menyukainya lagi

Sejak bulir-bulir itu meluap dan menjadi bah

pada bumi ini

 

Setiap kali dia datang aku ingin mengusirnya

Karena setiap dia datang, semua orang kini hanya menjadi waswas

Cepat-cepat berkemas

 

Hujan:

Tidakkah kau pernah mengerti

Bahwa itu bukan inginku

Aku tak punya tempat leluasa untuk meresap

Mereka yang telah mencurinya dariku

Tangan-tangan serakah itu

telah membuat manusia menjadi membenciku

Sungguh aku tak ingin itu

 

Aku hanya ingin jatuh dengan anggun

Meresap dan berbaur

dengan bau khas hutan yang sering kau cium di hutan Bekambit

Menyisakan asap setelahnya yang berubah

menjadi selubung indah pada gunung-gunung

 

Aku:

Aku tidak tahu harus bagaimana memaknaimu

Aku pernah mencintaimu dengan sangat

Melebur di antara jalan Kotabaru-Bekambit

Menikmati gigilnya dengan tawa berderai

hingga tak peduli masuk angin

Argh! Kau turun lagi dengan angkuh

Membuat aku kerepotan untuk bersiap dan berkemas

Salah-salah kali ini air yang kau genangkan jauh lebih banyak

 

Hujan:

Tidakkah kau tau?

Aku terus berusaha berdamai dengan alam

Mengikuti siklus yang memang sudah sepantasnya

Namun, mereka yang membuat semua siklus itu tidak pada tempat

yang sewajarnya

Mereka pula yang membuat kehancuran

dengan segala kelicikan dan kerakusan duniawi mereka

 

Aku:

Entah apakah aku akan mencintaimu kembali

Hujan:

Entah apakah besok semuanya akan lebih baik

atau tak ada cerita lagi

 

(senyap)

Kotabaru, Agustus 2010

 

R. Syamsuri Sabri

Menyampir Bumi Leluhur

 

Petak danum tanah huma

Menumpuk harap Pulau Andaman

Di liku arus Sungai Barito

Tanah pusaka nini datu

 

Oii, datu-datu petak danum

kirimi aku benang pelangi tujuh rupa

Jadikan ladang-ladang berbunga

Hutan galam berbuah mutiara

Rotan dan purun berlipat ganda

 

Oii, datu-datu petak danum

Kupanggil engkau di angin senja

Mengiring kijang dan rusa kencana

Kupanggil engkau di senja kuning

Ikan di sumur tak pernah kering

 

Terimalah sembahan adat anak cucu

yang bergantung di pohon tinggi

yang terhampar di empat sudut

Hindarkan marabahaya

 

“Mengayun mandau menebas rimba

Menebar benih jadi ladang

Hidup damai aman sejahtera

Rumah betang kumpulan warga”

 

Mantra dinapaskan bagai karungut

Naik ke gerbang nirwana

Mengalir ke upacara adat

Menyampir bumi leluhur

Marabahan, Januari 2010

 

R. Syamsuri Sabri

Perjalanan

 

Perjalanan yang kutempuh sekian lama

Merintis perjalanan panjang mentari

Menyusur tepian nasib, menyusup hutan

dan rimba, menembus gunung dan cadas

Menjelajahi duri-duri tajam usia

 

Bagai menyeberang di laut lepas, di sini

Pelayaran nasib disandarkan, dalam

fitrahmu merangkai buah kehidupan

Kuhirup sungai kasih-Mu, sejernih air telaga

Di atas guratan takdir-Mu

yang dari waktu ke waktu menghitung

putihnya rambut dan jenggot

 

Hari-hari berbisik pada usia

Masih jauhkah perjalanan ini

atau selenggang kaki melangkah

Atau sekejap mata, semua tak

bisa diduga dan bicara

Marabahan, Januari 2010

 

Sudarni

Kota Kelahiran

 

Bagai tersayat sembilu menatap kotaku yang luka

Pada lekuk-lekuk tepian sungainya

Melelehkan noda

Merayapi arus ke hilir muara

Pekat kotor berjuta bakteri

Memasung mimpi para nelayan

Dan menghempaskannya ke bangkai-bangkai ikan

Lagu nestapa membahana

Mengantarkan kematian satwa air

Dalam kesia-siaan

Rampungkanlah kepunahan sukma sungai

Kota kelahiran

Berkecamuk di rongga dada

Antara waswas dan harapan

Apa dandananmu desah kotaku

Adalah gumam yang kurayapkan ke

pada merpati-merpati negeri dan

Bintang gemintang terhormat

Mari bersatu dalam tekad suci

Menapis laku ke bingkai hati

Memandu hari-hari ke dermaga damai

Biarlah rindu kita mencium wangi bedak bunga melati

Menerangi sungai berair kering

Dan bersenandung di tebing

Kali berlantai pualam

Agustus 2007

 

Suriansyah

Hari Ini

 

Sangat menggelisahkan

Tak bergeser walau sedetik

tak tau lagi air mata menitik

membasahi bumi bercucuran ke penampungan

harum dupa malam perlahan melayang

mengundang Sang Pawang segera datang

 

Senandung ayat kehidupan menebar di persimpangan

Bertopang doa menggiring perjalanan

Air mata menyambut tamu agung membawa

duka membahana meronta menyusuri sudut ruang

semua tersimpuh menatap roman pucat pasi

kosong menghitung diri segala zaman

 

Pusaka membeku di atas lentera

Tak tampak surat penghabisan petuah pesan

Anak kerabat bercadar

datang ke pangkuan membawa oleh-oleh

Pada semua terbang mengiring doa menjulang

tak tau entah kemana

Tawa tak lagi dibanggakan

Senyum hanya sedikit hiasan

kepada siapa tak tau harapan

 

Hari ini tak terelakkan

Pesan datang tak lagi terhalang

Kain kaci daerah penghabisan

Terhampar menghiasi sudut peristirahatan

Semua diam

di keheningan, 2-8-2010

 

Suriansyah R.

Cermin

 

Kuletakkan di hadapanku

Bila merias diri

Melihat wajah

Melihat bentuk

Melihat rupa

Melihat depan

Melihat belakang

Melihat kiri

Melihat kanan

Melihat kelemahan

Melihat kekurangan

Melihat kesombongan

Melihat keangkuhan

Melihat apa yang terpantul

            pada bayangnya

 

Tapi itu hanya kasat mata

            lihat luar

            lihat zahir

            lihat nyata

 

Dalam diri kita

Ada yang melihat

Kita tidak melihat

Apa yang dia lihat

Dia-lah Maha Pencipta

            Maha Halus

            Maha Melihat

 

Suhaimi

Dalam Sunyi yang Telanjang

 

Dalam sunyi yang telanjang

Kubelah hutan cemara

Kulintasi taman Adam

Hanya untuk menemukan istana

Yang di dalamnya mengalir sungai-sungai

 

Dalam sunyi yang telanjang

Aku berada di dunia asing yang jauh

Aku terbang dengan pakaian yang terbakar

Hanya inginkan mata-Mu untuk melihatku

 

Dalam sunyi yang telanjang

Kuingin jibril menjamahku

Aku bersimpuh untuk beselingkuh dengan-Mu

Kutitipkan hasratku di atas menara langit

Tanjung, 17 Ramadan 1431 H.

 

Suhaimi

Rindu

 

Aku melihatmu lagi hari ini

Dalam pejam mataku

Aku menciummu lagi hari ini

Dalam harumnya angin.

Alabio, 13 Maret 2000

 

Syarkian Noor Hadie

Khatulistiwa

 

kulihat sabit menyelam di hatimu

antara duri-duri landak

bola matanta bertanya kepada angin

dalam sebuah percakapan senja

lautku telah kau gali dalam semalam

menggiring air pasang

di antara lumpur dan pasir

kau tak pernah menjawab

pertanyaannya: mengapa cantikmu tak pudar

 

catatan adalah sebuah simetris

garis khatulistiwa yang membentang

walau juga tak pernah tampak

hanya duri-duri landak

menyelam di hatimu

Marabahan, 2009

 

Syarkian Noor Hadie

Hidup, Sebuah Figura

 

potretmu menyandang laut perak

kemilau hutan malam temaram

temaram nyamannya teluk ketika singgah berlabuh

dalam kado keanggunan

 

potretmu dalam kisaran angin

siring baja yang dipukul menghunjam

makin dalam dan menghentak

menghentak mencampakkan sesal

melukis murka di paras pembantaian

yang membakar kota hatimu

 

hidup, potretmu tanpa rupa

sebingkai kristal dengan bias batu

kapan kau kembali?

Marabahan, 2009

 

Taberi Lipani SR

Kalaulah Tidak Aku Sendiri

 

Aku bukanlah aku kalau tak pernah menelan racun dalam senyuman

Dan bagiku semua itu hanyalah selembar cerita usang dari berjuta rasa

Tuak

Anggur Malaga

Topi Miring

Virus Cinta

Pernah benamkan aku di batas paling kelam kehidupan

Sindir

Caci-maki

Sumpah-serapah

Gandakan pedih lukaku, perparah barah nanah

Perjalanan duniaku

Sewaktuku

Janin

Bayi

Balita

Hingga tua bangka

Tiada pernah kumenyerah

Meski jalanku lunglai

Meski langkahku goyah

Meski kram otakku

Meski

Buram

Kelabu

Meski kaku lukaku

Meski nyeri ilusiku

Meski aku mati

Sebab bukanlah aku kalau tidak bisa bangkit sendiri

Sebab bukanlah aku kalau tidak sadar diri

Sebab bukanlah aku kalau tidak mampu

Melahirkan karsa karya sendiri

Sebab aku bukanlah aku

Barabai, 5 Januari 2000

 

Taberi Lipani SR

Aruh Adat Balai Jiwa

 

Salami alur sungai di hati

Arungi berjuta titian ilusi

Lambaian perawan banua

Menggelayut berharap bersinggah

Mari dengar mamang mantra balian

Merayu dayu dan datu-datu

Ikrar suci di relung hati insani

Sebelum mentari jiwa pudarkan cahaya

Sempat menitip harap

Lewat gemerincing gelang hiyang

Arak tuak tiada mampu lenakan asa

Walau berbaju seadanya

Namun mampu mapankan jiwa pertapa lara

Sebelum tunas-tunas nafsu meraja-lela

Tebarkan benih kasih

Di huma-huma pengharapan

 

Tajuddin Noor Ganie

Doa, Aruh Sastra, dan Obituari Para Sastrawan 

 

Malam ini, malam aruh sastra

Dari tempatku berdiri sekarang

Aku bertanya kepada kalian

Adakah kalian teringat kepada

Hadharyah M. Sulaiman

Sastrawan Kalsel kelahiran Marabahan

yang dulu di zaman Belanda

masuk penjara gara-gara menulis novel subversif

Suasana Kalimantan?

Malam ini, malam aruh sastra

Dari tempatku berdiri sekarang

Aku bertanya kepada kalian

Adakah kalian teringat kepada

Brigjen. H. Hassan Basry

Sastrawan Kalsel kelahiran Kandangan

yang dulu di zaman Belanda

dicari-cari polisi NICA

gara-gara menulis novel subversif

Amanat Ibu?

 

Malam ini, malam aruh sastra

Dari tempatku berdiri sekarang

Aku bertanya kepada kalian

Adakah kalian teringat kepada

Kawan-kawan sastrawan

yang telah pergi mendahului kita

 

Malam ini, malam aruh sastra

Dari tempatku berdiri sekarang

Kuajak kalian untuk mengucap doa

Untuk semua sastrawan

yang kalian kenang pada malam ini

Allahummaghfir lahu warhamhu

Wa ‘afihi wafu ‘anhu

Ya Allah ampunilah dia

Beri rahmat dan sejahterakanlah dia

Serta maafkanlah dia

 

Amin

Banjarmasin, tengah malam, 3 Agustus 2010

 

Taufiq Ht

Perempuan Tua

 

hanya samar-samar

di balik senyum

mata yang dingin

tubuh lesu

beberapa helai rambutmu terlampau pasrah disapa angin

“anak tangga saksi bisu kesombongan”

 

di antara suara gaduh aku mengintipnya dengan menguras segala inti dari kemanusiaannya

tiba-tiba segera saja kusembunyikan tubuhku dalam kotak

mataku,

lidahku,

telinga,

tangan,

kaki,

juga pakaian

sebab jiwaku tersentak memahami rasa takut

malu dengan perangainya sendiri

 

perempuan tua yang tak terlindungi dinding

terisak sendirian di lantai biru penuh debu

kota mati, 2010

 

Taufiq Ht

Malam Setelah Gerimis Panjang

 Kepada istriku dengan huruf T

 

kulihat cuaca yang tak tentu dari wajahmu

kadang hujan, sedikit gerimis, lalu cerah kemudian mendung kembali

setelah melayari matamu, berlama-lama

kutemukan hamparan malam setelah sunyi merapatkan matamu

 

kurasakan cuaca yang tak tentu dari tubuhmu

barangkali setelah berlama-lama kubaca dari bagaimana napasmu mendengus tak karuan

dan saat bulan habis di tangkai jendela itu

malam dilayari embun, matahari muncul dari gumpalan-gumpalan di mana laut dan ombak berseru

pun jua setelah berlama-lama menunggu terjagamu

kurasakan ada yang lain yang tak bisa kurasakan di sudut celah matamu, air matamu

Cirebon, 2010

 

Tati Noor Rahmi

Puisi Untuk Ibu

 

Ibu

Sosokmu sungguh mulia

Cintamu tiada tara

Kasihmu sepanjang masa

 

Ibu

Banyak kata yang ingin diuraikan

Banyak pujian yang ingin dipersembahkan

Untuk membalas kasih sayangmu yang terlimpahkan

Untuk kami, buah hatimu tersayang

Ibu

Banyak petuah yang kau berikan

Banyak doa yang kau sisipkan dalam sujudmu

Untuk kami, anak-anakmu, penerus kehidupanmu

 

Ibu

Jasamu tak tergantikan

Kasihmu tak terhapuskan

Kami bangga memilikimu

Surga memang pantas di bawah telapak kakimu

 

Ibu

Kau selalu di hati

Terukir manis dalam sanubari

Sampai akhir nanti

Barabai, 2009

 

Tati Noor Rahmi

Doa Untuk Anakku

 

Wahai anakku

Siapkah engkau dengan tantangan zaman

Yang semakin penuh persaingan

 

Anakku sayang

Kami sangat mengharapkan

Engkau jadi orang yang dapat dibanggakan

Menjunjung tinggi kemuliaan

Memegang teguh keimanan

 

Anakku tercinta,

Jadilah anak yang penuh dengan harapan

Jangan jadikan kegagalan sebagai halangan

Gapai harapan dengan penuh keyakinan

Untuk menjadi yang terdepan

 

Buah hatiku,

Ingatlah engkau akan petuah ini

Teguhkan hati dengan penuh janji

Untuk selalu menjaga diri

Di manapun engkau berdiri

Jadilah anak yang selalu berbakti

Untuk agama dan negeri

Amin

Batu Piring, 2009

 

Wayan Windre Semara

Senja di Bibir Sungai (2)

                         (gadis bernaung bulan)

Ketika musim jadi arwah

Menebarkan seribu mawar

Dari lembah puncak gunung surga

 

Akan kubuatkan:

            Seribu candi prasasti

            Seribu aliran sungai

            Seribu mata angin

Agar kau sudi singgah di hatiku

 

Nanti di hatimu akan kutanam

Seribu mawar, bilama aku singgah

Dia akan mekar...

Marabahan, 12 Januari 2010

 

Wayan Windre Semara

Senja di Bibir Sungai (3)

                         (meminang gadis bernaung bulan)

Langit abadi memeluk bumi

Jadi pandanganku ketika belajar semedi

Mengais wangsit, agar kau terima persembahan:

                                                Setangkai bunga

                                    Sejari cincin

                        Ketulusan hati, dan

            Sisa usia kutakdirkan memujamu

Adakah kau menerimanya.

 

Kegelisahan jadi perombak

Merampas hingga titik darah penghabisan

Sisa-sisa ketegaran kasihku menunggu

Dengan segenggam cinta tak lebih daripada itu...

Marabahan, 7 April 2010 

 

Yuliati Puspita Sari

Kotaku Bersenandung

 

Barangkali, langkahku hampir hablur menapak jejak yang terserak

Barangkali, tanganku telah lelah mendayung sampan di sungai yang kerontang

Barangkali, tubuhku sudah jengah menopang perkebunan sampah

Kini,

Pada jeruji besi yang meninggi

Kuhirup rangkaian melati yang membusuk mati

Dan di sepanjang jalur napasku

Sketsa sabana silam pun tenggelam

 

Aku bersenandung

Karena kau, dia, dan dia adalah milikku

Tapi aku milik mereka

 

Barangkali mereka hanya kafilah tapi telah menjadi milik

Milik dari wajah-wajah hangus tengah kota

Dan keluh kita senyap dalam peradaban mereka

 

Aku ingin bersenandung tentangmu

Tapi mimpiku mesti menepi

 

Aku milik mereka

Milik tangan-tangan yang mencekik mati

 

Zurriyati Rosyidah

Diagraf Kepada Langit

                         : am

banyak jalan menjadi buntu ketika kau membuka gulungan peta yang jatuh dari

bulu-bulu alis mataku

lalu tanpa mempedulikan arah, tubuhku nanar mendaki kaki langit yang meringkuk

minta digendong

kau sering membuat kerongkonganku tercekat saat aku menghisap bau angin malam

yang kita buat dari rerempah opium

tetapi mengapa kau menjadi begitu membuntui ujung bayangku, sesedap duka dalam

hunian, ketika kau menentang maklumat sebuah prinsip bahwa laut menjadi anggun

tanpa langit yang berjanji mengupas matahari

padahal sebenarnya aku selalu menampung tempias setiap kau berpeluh merayap

dengan sayap hampir retak. “jangan terburu menjadi tandus,” katamu

sedang kau tahu aku sudah sering menulis sebuah pernyataan. “sudah waktunya kau

mengajarku membarai setumpuk arang di kejauhan kabut”

dan bawalah bekal, jangan lupa membungkus doa menyelip cinta

Ma, Teras Puitika, 100610

 

Zurriyati Rosyidah

Kau Ditelan Puisi

                         sebuah hadiah untuk kawan yang membias pada peristiwa

Nah, apa jadinya?

bukankah kawan seperjuangan sudah memberi kau gertakan manis

dan secarik peta menuju negeri bukan banci

meski tak ada yang dipersalahkan jika kau sembari melompat

mencari dan mengukir gerabah baru

ke sebelah perapian lain atau ke tetangga-tetangga sebelah yang lebih mapan

 

khayalmu kuat menghadang gurun

tetapi gurun telah diterpa licin lidah api karena bangun pagi yang terlambat

lewat jejaring maya beberapa jam lalu

nanti malam entah kau masih ragu-ragu atau ingin menyatu

bersama gelombang suara dari pori-pori kulitku

baringkan saja tubuhmu

yang mulai lelah karena menua

kau pasti tak pergi kemana pun

hanya rehat sejenak menyelonjorkan pikiran

lalu mengguyur badan kerontangmu dengan sebotol minuman ilegal

kemudian kembali berkecipak pada keganasan puisi yang menelanmu

Teras Puitika, 17 Oktober 2009

 

Tentang Penyair 

AA Ajang (Ahmad Azhar), lahir di Yogyakarta, 1 Januari 1973. Bekerja di Sekretariat Daerah Kabupaten Barito Kuala di Marabahan. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Cinta Rakyat (2007), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009) dan Ije Jela Bersastra di Tahun Emas (2009).

Abdul Karim Amar (Abdul Hamid Noor Riady), lahir di Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, 10 November 1954. Puisinya dipublikasikan di Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni (UMSIS) RRI Banjarmasin, Majalah Bandarmasih, Banjarmasin Post dan Radar Banjarmasin. Puisinya juga dimuat dalam beberapa antologi bersama, antara lain Doa Pelangi di Tahun Emas (2009).

Abdurrahman El Husaini, lahir di Puruk Cahu, Kalimantan Tengah. Guru SMA Negeri 1Martapura, Kabupaten Banjar. Puisinya dipublikasikan di Dinamika Berita (sekarang Kalimantan Post), Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, dan dimuat dalam antologi bersama Ragam Jejak Sunyi Tsunami (2005), Taman Banjarbaru (2006), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008) dan Konser Kecemasan (2010). Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2009).

Abdus Sukur MH, lahir di Banjarmasin, 3 Desember 1966. Sering mendukung Tim Kesenian Kalimantan Selatan dalam pelbagai pertunjukan seni di berbagai kota di Indonesia. Menulis puisi, cerpen, esai sastra, aktor, sutradara, presenter, penulis naskah teater; aktif di berbagai sanggar dan organisasi seni, melatih, menggelar pertunjukan dan mengkoordinir kegiatan seni budaya. Karyanya dimuat di sejumlah antologi puisi bersama, antara lain Seribu Sungai Paris Barantai (2006), juga dipublikasikan di Majalah Bandarmasih, Tabloid Wanyi, Banjarmasin Post dan Radar Banjarmasin. Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2002).

Abdul Hanafi, lahir di Kabupaten Tabalong, 5 September 1958. Lebih merasa sebagai pelukis dan guru pencak silat ketimbang penyair. Penilik PLS UPT-IP di Kecamatan Murung Pudak. Alamat: Komplek Bumi Tabalong Damai Blok D Nomor 04 RT 10, Desa Mabu'un, Kecamatan Murung Pudak.

Ahmad Surkati Ar, lahir di Tanjung, Kabupaten Tabalong, 8 April 1971. Menulis puisi, cerpen dan naskah drama sejak di pesantren. Tulisannya tersebar di media lokal dan nasional, antara lain Ceria, Pos Film, Yogya Pos, Banjarmasin Post, Serambi Ummah. Puisinya dimuat di sejumlah antologi bersama, antara lain Taman Sari (1998) dan Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008). Tinggal di Perumahan Permata, Tanjung.

Akhmad Husaini, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 18 November 1979. Menulis puisi, cerpen, dan artikel. Karyanya dipublikasikan di BBC London (siaran Indonesia), Radio Australia, Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni (UMSIS) RRI Banjarmasin, Media Masyarakat, Gawi Manuntung, Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Media Kalimantan, Mata Banua, Tabloid Gerbang dan  Urbana. Puisinya dimuat dalam Doa Pelangi di Tahun Emas (2009).

Ali Syamsudin Arsy (Asa), lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 1964. Bekerja dan bermukim di Kota Banjarbaru. Puisinya dipublikasikan di media lokal maupun nasional dan dimuat dalam antologi bersama: Ragam Sunyi Jejak Tsunami (2005), Kenduri Puisi, Buah Hati Untuk Diah Hadaning (2008), Komunitas Sastra Indonesia (2008), Tanah Pilih (2008), Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009), Konser Kecemasan (2010), dan Mengalir di Oase (2010). Antologi gumam-asa-nya yang telah terbit: Negeri Benang Pada Sekeping Papan (2009), Tubuh di Hutan-Hutan (2009) dan Istana Daun Retak (2010). Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2005) dan Penghargaan Sastra Balai Bahasa Banjarmasin (2007).

Aliman Syahrani, lahir 30 Desember 1976 di Desa Datar Balimbing, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Karya fiksi dan nonfiksinya dimuat di media massa Kalimantan Selatan, Surabaya dan Malaysia, juga dalam antologi bersama La Ventre de Kandangan (2004), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Ronce Bunga-Bunga Mekar (2006), Darah Penanda (2008), Orkestra Wayang (2007), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009). Palas (2004) adalah novelnya yang telah terbit, dan Menangkis Jampi-Jampi Agama (2009), kumpulan esai. Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2003)

Andi Jamaluddin AR AK, lahir di Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu, 14 Februari 1964. Tinggal di Jalan Karya II RT 03, Batuah, Pagatan, Kecamatan Kusan Hilir, Kabupaten Tanah Bumbu. Menulis puisi sejak 1980-an, dipublikasikan di pelbagai media, antara lain Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni (UMSIS) RRI Banjarmasin dan Banjarmasin Post. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Wasi (1999) dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006).

Antung Hormansyah, lahir di Kelua, Kabupaten Tabalong, 5 Agustus 1964. Pendidik yang tertarik dengan puisi. Pengawas TK/SD di Kecamatan Murung Pudak, tinggal di Jalan Pembangunan I RT 03 Tanta.

Ariffin Noor Hasby, lahir di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, 20 Februari 1964. Bekerja dan bermukim di Kota Banjarbaru. Menulis puisi, esai sastra dan cerita rakyat Si Palui. Puisinya dipublikasikan di rubrik sastra media cetak lokal dan nasional. Sampai 2010, puisinya dimuat dalam 34 buku antologi puisi bersama yang terbit di tingkat lokal maupun nasional. Belum memiliki buku antologi puisi pribadi, karena, menurutnya, belum ada yang menerbitkan.

Aspihan H. Hidin (Aspihannor), lahir di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, 10 Maret 1980. Pengurus Dewan Kesenian Daerah (DKD) Batola. Selain dipublikasikan di media cetak lokal, puisinya juga terdapat dalam antologi bersama Cinta Rakyat (2007), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), Darah Penanda (2008) dan  Doa Pelangi di Tahun Emas (2009).

 Asna Sepriawati, lahir di Banjarmasin, 5 September 1973. Bekerja di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Kecamatan Pandawan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Karyanya dipublikasikan di Radio Dirgahayu (Barabai) dan Dinamika Berita (sekarang Kalimantan Post). Puisinya salah satu dari 20 Nominasi Lomba Cipta Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan V di Kabupaten Balangan (2008). Puisinya juga dimuat dalam antologi bersama Bertahan di Bukit Akhir (2008) dan Ziarah Pelangi Balangan Menari (2008).

A. Rahman Al Hakim (ARAska), lahir di Sungai Namang, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Wartawan harian Mata Banua Banjarmasin. Puisinya dimuat di antologi bersama Taman Banjarbaru (2006), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Kau Tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006), Ziarah Pelangi Balangan Menari (2008), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009) dan Konser Kecemasan (2010).

A. Syarmidin, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 9 Agustus 1952. Menulis puisi sejak 1970-an. Bergabung dengan Posko La Bastari, Kandangan. Karyanya dipublikasikan di Banjarmasin Post. Selain dalam La Ventre de Kandangan (2004), puisinya juga terdapat dalam antologi Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009). Aktif di bidang teater, mengikuti pertunjukan dan festival kesenian di Surabaya, Jakarta, Bali, Mataram dan lain-lain.

A.W. Syarbaini, lahir di Desa Barikin, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 8 Mei 1955. Pimpinan Sanggar Seni Ading Bastari, Simpang Empat Barikin, Kecamatan Haruyan. Aktif menggelar dan merevitalisasikan musik karawitan Banjar, panting, tari, japin bakisah, wayang kulit, wayang gung dan seni tradisi lainnya. Anggota Tim Kesenian Kalimantan Selatan pada Pekan Wayang Indonesia II di Jakarta (1974), Pekan Tari Rakyat Nasional (1976), Festival Jakarta (1978), dan pelatih tari di SMA Negeri 2 Surabaya (1982). Pembina Dewan Kesenian Murakata (DKM), Kabupaten Hulu Sungai Tengah, sambil terus menggelar pertunjukan musik, tari dan teater tradisi di pelosok-pelosok Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

Bagan Topenk (Rahman Rijani), lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 1 Oktober 1987. Bergiat di Teater Kantawan dan CPA Meratus Hijau, Kandangan. Sering membacakan puisi dan menampilkan happening art pada momen-momen tertentu di kota Kandangan. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Doa Pelangi di Tahun Emas (2009).

Dien Alice (Hj. Diana M. Alisi), guru SMA Negeri 1 Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Karyanya menjadi nominasi Lomba Penulisan Naskah Buku Tingkat Provinsi Kalimantan Selatan (1999-2000, 2000-2001). Sering mengikuti lomba penulisan karya sastra dan lomba mengulas karya sastra tingkat nasional bagi guru, yang diadakan Kementerian Pendidikan Nasional. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Mahligai Junjung Buih (2007) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009).

East Star from Asia (Qinimain Zain),  lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 21 Mei 1965. Menulis puisi, cerpen, esai, dan opini sejak 1980-an, dipublikasikan di media cetak lokal, antara lain Radar Banjarmasin. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Taman Banjarbaru (2006) dan Konser Kecemasan (2010). Karyanya, Maratus, Juara Harapan I Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VII (2010) di Kabupaten Tabalong -- dibukukan bersama karya pemenang lainnya.

Eko Suryadi WS lahir di Kotabaru, Kabupaten Kotabaru, 12 April 1959. Bekerja di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kotabaru. Buku kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit: Di Balik Bayang-bayang (1982), Sebelum Tidur Berangkat (1983), Di Batas Laut (2005) dan Elegi Negeri Seribu Ombak (2010). Puisinya juga terdapat dalam antologi bersama: Dahaga- B. Post 1981 (1982), Ulang Tahun (1984), Tamu Malam (1993), Kesaksian (1996), Wasi (1999), Kasidah Kota (2000), Jembatan (2000), Reportase (2004), Stasiun Waktu Kilometer Lima Puluh Lima (2005), Seribu Sungai Paris Barantai (2006) dan Konser Kecemasan (2010). Hikayat Sa-ijaan dan Ikan Todak adalah cerita rakyat Kabupaten Kotabaru yang disusunnya bersama H.M. Sulaiman Najam dan M. Syukri Munas (2008). Ketua Umum Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kotabaru dua periode (1995-1998, 1998-2004) ini mengikuti Baca Sajak Serumpun Melayu di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta (2006), Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus, Jawa Tengah (2008) dan Temu Sastrawan Melayu di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau (2008). Menerima penghargaan Bupati Kotabaru sebagai Pembina Seni (1999) dan Tokoh Seni (2001). Ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kabupaten Kotabaru. Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2006).

Eza Thabry Husano, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 3 Agustus 1938. Pendiri komunitas Kilang Sastra Batu Karaha di Kota Banjarbaru. Menulis puisi, cerpen, naskah drama, esai sastra, dipublikasikan di media cetak lokal maupun nasional. Antologi puisi tunggalnya Rakit Bambu (1984), Surat Dari Langit (1985), Clurit Dusun (1993), dan Aerobik Tidur (1996). Sejumlah antologi bersama juga memuat puisinya, antara lain Banjarbaru Kotaku (1974), Dawat (bersama Hamami Adaby, 1982), Festival Puisi Kalimantan (1992), Jendela Tanah Air (1995), Getar (1995), Getar II (1996), Bangkit III (1996), Gerbang Pemukiman (1997), Wasi (1999), Datang Dari Masa Depan (1999), Cakrawala (2000), Jakarta Dalam Puisi Mutakhir (2000), Bahana (2001), Tiga Kutub Senja (2001), Narasi Matahari (2002),  Sajadah Kata (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), La Ventre de Kandangan (2004), Baturai Sanja (2004), Bulan Ditelan Kutu (2004), Anak Zaman (2004), Bumi Menggerutu (2005), Dimensi (2005), Perkawinan Batu (DKJ, 2005), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009) dan Konser Kecemasan (2010). Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (1985), Penghargaan Sastra Bupati Barito Kuala (1987) dan Penghargaan Sastra Walikota Banjarbaru (2004).

Fahrudin Arifin, guru Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN), Kecamatan Jaro, Kabupaten Tabalong. Di samping menulis puisi, juga dramawan. Aktif di Sanggar Langit, Tanjung, Kabupaten Tabalong, dan  di Dewan Kesenian Tanjung (DKT).

Fahrruraji Asmuni (Raji Abkar), lahir di Alabio, Kabupaten Hulu Sungai Utara, 13 Agustus 1960. Guru SMA Negeri 1 Amuntai. Puisi, cerpen dan esai sastranya dipublikasikan di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Tabloid Serambi Ummah, Majalah Kiblat, Sahabat Pena dan lain-lain. Puisinya dimuat di sejumlah antologi bersama, antara lain Darah Impian (1982), Bintang-Bintang Kusuma (1984), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Mahligai Junjung Buih (2007), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009). Kuning Padiku, Hijau Hidupku (1984), Sang Guru (1990), Pengabdian (1995), Dialog Iblis Dengan Para Shalihin (2000) dan Datu-Datu Terkenal Kalsel (2001) adalah buku kumpulan cerpen dan cerita rakyatnya.

 Fitri Jamilah, lahir di Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, 29 November 1973. Juara I Lomba Penulisan Karya Ilmiah Tingkat Guru SMP se-Indonesia (2007). Mengajar di SMP Negeri 2 Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar.

 Fitryani, lahir di Banjarmasin, 24 April 1977. Mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP Unggulan Hasbunallah, Kabupaten Tabalong. Puisinya salah satu dari 10 Puisi Terbaik Lomba Cipta Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan lII di Kabupaten Kotabaru (2006). Puisinya juga terdapat dalam antologi bersama Kau Tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006), 142 Penyair Menuju Bulan (2007) dan Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008).

Gusti Indra Setyawan, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 7 Januari 1972. Anggota Sanggar Langit Tanjung dan Dewan Kesenian Tanjung (DKT) ini juga penyanyi dan pencipta lagu Banjar. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Doa Pelangi di Tahun Emas (2009). Guru Bahasa Indonesia di SMA Negeri 3 Tanjung.

Hamami Adaby, lahir di Banjarmasin, 5 Mei 1942. Bermukim di Kota Banjarbaru. Antologi puisi tunggalnya Desah (1984), Senja (1994), Iqra (1997), Kesumba (2001), Dunia Telur (2001), Nyanyian Seribu Sungai (2001), dan Bunga Angin (2002). Antologi puisi bersamanya Banjarbaru Kotaku (1974), Dawat (1982), Bunga Api (1994), Bahalap (1995), Pelabuhan (1996), Jembatan Asap (1998), Bentang Bianglala (1998), Cakrawala (2000), Tiga Kutub Senja (2001), Bahana (2001), Narasi Matahari (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), Anak Zaman (2004), Uma Bungas Banjarbaru (2004), Baturai Sanja (2004), Bulan Ditelan Kutu (2004), Dimensi (2005), Bumi Menggerutu (2005), Garunum (2005), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), dan 142 Penyair Menuju Bulan (2006). Menerima Penghargaan Sastra Bupati Barito Kuala (1996), Penghargaan Sastra Walikota Banjarbaru (2004) dan Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2009).

Hamberan Syahbana, lahir di Banjarmasin, 14 Juli 1948. Setelah pensiun sebagai guru SMP Negeri 12 Banjarmasin, aktif menulis ulasan sastra, antara lain di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin dan dunia maya. Kumpulan esainya menunggu diterbitkan. Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2010).

Hajriansyah, lahir di Banjarmasin, 10 Oktober 1979. Sering memenangkan lomba tulis puisi dan cerpen Kalimantan Selatan. Awal menulis puisi dengan bimbingan Y.S. Agus Suseno. Jejak Air (2007) adalah antologi puisi tunggalnya yang pertama, yang kedua (bersama M. Nahdiansyah Abdi) Jejak-jejak Angin (2007). Karyanya dimuat dalam beberapa antologi bersama, antara lain Malaikat Hutan Bakau (2008), Darah Penanda (2008), Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009) dan Konser Kecemasan (2010). Mengikuti Temu Sastrawan Indonesia (TSI) II di Provinsi Bangka Belitung (2009) dan Pertemuan Penyair Nusantara ke-4 di Brunei Darussalam (2010). Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami (2009) adalah antologi cerpen tunggalnya yang pertama, dan 79 Puisi Hajri (2010) adalah antologi puisi tunggalnya terkini. Pimpinan Penerbit Tahura Media dan ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Banjarmasin.

Harun Al Rasyid, lahir di Desa Birayang, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 16 Desember 1940. Bermukim di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Menulis puisi, cerpen, cerita rakyat, naskah drama dan karya tulis ilmiah. Ketua DPD PAN Hulu Sungai Utara (2005-2010). Pernah menjadi anggota DPRD Hulu Sungai Utara (2004-2009). Puisinya dimuat dalam antologi bersama Mahligai Junjung Buih (2007) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009).

Hardiansyah Asmail, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 1 Oktober 1960. Di samping menulis puisi, kadang berteater bersama Posko La Bastari Kandangan dan teater PGRI Kabupaten HSS. Antologi puisi tunggalnya Bawanang (1996) dan Kembara (1997). Puisinya, antara lain, terdapat dalam antologi Jendela Tanah Air (1995), Meratus Berduka (2000), Jembatan (2000), La Ventre de Kandangan (2004), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009) dan Konser Kecemasan (2010).

H. Adjim Arijadi, lahir di Desa Mali-Mali, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar, 7 Juli 1940. Pelukis, penyair, dramawan, aktor dan sutradara film dan sinetron ini adalah pendiri dan pimpinan Sanggar Budaya Kalimantan Selatan. Puisinya dimuat di sejumlah antologi bersama, antara lain Air Bah (1970), Jabat Hati (1973), Jejak Berlari (1974), Panorama (1974), Ritus Warna Ritus Kata (bersama Ajamuddin Tifani dan A. Tariganu, 1994), Seribu Sungai Paris Barantai (2006) dan Konser Kecemasan (2010). Penerima Anugerah Budaya Gubernur Kalimantan Selatan (2009) ini adalah salah seorang pendiri sekaligus anggota seumur hidup Lembaga Budaya Banjar (LBB).

H. Ahmad Fitriadi F., lahir di Kotabaru, 27 Oktober 1973. Alumnus Magister Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini saat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin merupakan salah seorang pendiri (sekaligus ketua pertama) Forum Apresiasi Seni (FAS) -- komunitas seni yang cukup dikenal di kalangan mahasiswa. Puisinya dimuat di sejumlah antologi bersama, antara lain Jembatan (2000), Reportase (2000), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009), dan Konser Kecemasan (2010). Menerima penghargaan Seniman Sastra Berprestasi dari Bupati Kotabaru (2006 dan 2009).

H. Fahmi Wahid, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 3 Agustus 1964. Bekerja di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Balangan. Saat kuliah di Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin aktif di bidang sastra dan teater, mengkoordinir acara kesenian dan sekretaris Teater Pena Banjarmasin (1987-1990). Puisi ketua Dewan Kesenian Murakata (DKM) Kabupaten Hulu Sungai Tengah ini masuk Nominasi 5 Besar Lomba Tulis Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan (2000). Puisinya dimuat dalam antologi bersama Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008) dan Bertahan di Bukit Akhir (2008).  

H. Muhaimin, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 22 Mei 1979. Pembina seni di Pondok Pesantren Istiqamah, Barabai. Menulis puisi sejak di sekolah menengah. Karya pengurus Dewan Kesenian Murakata (DKM) Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kabupaten Hulu Sungai Tengah ini dimuat dalam antologi bersama Bertahan di Bukit Akhir (2008).

H.M. Sulaiman Najam, lahir di Kotabaru, 1 Agustus 1935. Ketua Majelis Pertimbangan Seniman (MPS) Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kotabaru dan Penasihat Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru. Pernah menjadi anggota DPRD Kotabaru (1992-1997). Penyusun buku cerita rakyat Kotabaru Hikayat Sa-ijaan dan Ikan Todak (bersama M. Syukri Munas dan Eko Suryadi WS, 2008) Puisinya dimuat di sejumlah antologi bersama, antara lain Kasidah Kota (2000), Jembatan (2000), Reportase (2004), Stasiun Waktu Kilometer Lima puluh lima (2005), Seribu Sungai Paris Barantai (2006) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009). Menerima Penghargaan Tokoh Budayawan dari Bupati Kotabaru (2001), Penghargaan Tokoh Seniman dan Pendidikan Kabupaten Kotabaru dari PT Pelindo III Kotabaru (2004), dan Penghargaan Abdi Wisata dan Budaya dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kotabaru (2006). Sebatung, Melukis Dalam Kaca (2009) adalah antologi puisi tunggalnya.

Hj. Roosmayati, Kepala TK Pembina Tanjung ini guru tari, tapi puisi dan cerpennya juga dimuat dalam antologi bersama Semata Wayang Semata Sayang (1998), Potret Diri (1999) dan Nawu Raha (2002). Aktif di Sanggar Tari Bunga Tanjung dan Dewan Kesenian Tanjung (DKT).

Ibramsyah Amandit, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 9 Agustus 1943. Pendidikan terakhir sarjana muda FKIS IKIP Yogyakarta. Selama studi di Yogyakarta (1970-an), bergabung dengan Persada Studi Klub (PSK) pimpinan Umbu Landu Paranggi. Badai Gurun Dalam Darah (2009) adalah antologi puisi tunggalnya. Selain itu, puisinya terdapat dalam antologi bersama Bahalap (1995), Pelabuhan (1996), Rumah Sungai (1997), Jembatan Asap (1998), La Ventre de Kandangan (2004), Sajak-sajak Bumi Selidah (2005), Cinta Rakyat (2007), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009), dan Konser Kecemasan (2010). Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2009).

Ismail Wahid, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 31 Desember 1959. Menulis puisi, cerpen, esai sastra dan naskah drama. Direktur Akademi Manajemen Koperasi Barabai ini juga wartawan Saraba Kawa Post, X-Kasus, Metro Tanjung, dan ketua bidang teater Dewan Kesenian Murakata (DKM) Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Puisi ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kabupaten Hulu Sungai Tengah ini dimuat dalam sejumlah antologi bersama, antara lain Bertahan di Bukit Akhir (2008).

Jamal T. Suryanata, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 1 September 1966. Peserta Writing Program Majelis Sastera Asia Tenggara (1999) dan Ubud Writer’s and Reader’s Festival (2004). Bukunya yang sudah terbit, antara lain, Untuk Sebuah Pengabdian (1995), Di Bawah Matahari Terminal (2001), Problematik Pembelajaran Bahasa dan Sastra (2003), Galuh (2005), dan Boneka untuk Brenda (2005). Puisinya terhimpun dalam antologi bersama Festival Puisi Kalimantan (1992), Mimbar Penyair Abad 21 (1997), dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006). Bukunya yang baru terbit adalah antologi puisi Debur Ombak Guruh Gelombang (2010) dan antologi cerpen Bintang Kecil di Langit yang Kelam (2010). PNS Dinas Pendidikan Kabupaten Tanah Laut dan Wakil Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Tanah Laut di Pelaihari. Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2006) dan Penghargaan Sastra Balai Bahasa Banjarmasin (2007).

Jauhari Effendi, lahir di Tanjung, Kabupaten Tabalong, 6 Oktober 1960. Karyanya sering menjadi nominasi lomba penulisan cerita anak tingkat nasional dan sayembara penulisan cerpen tingkat Kalimantan Selatan. Cerita anaknya yang sudah diterbitkan adalah Itik Japon dan Kera (1986), Kura-Kura (1996), sedangkan antologi bersama yang memuat puisinya Semata Wayang Semata Sayang (1986), Potret Diri (1986), Potret Diri (1999), Arsy (2005), Ronce Bunga-Bunga Mekar (2005) dan Kumpulan Cerita Rakyat Tabalong (2006). Pengawas Sekolah Menengah di Dinas Pendidikan Kabupaten Tabalong.

 Jaya Ginmayu (Jauhar Yamani), lahir di Kabupaten Tabalong, 16 Oktober 1974. Bermukim di Kelurahan Jangkang, Tanjung. Alumnus STIPER Amuntai dan FKIP JPOK Universitas Terbuka (UT). Selain mengajar di SDN Palanjungan Sari, Banjang, Kabupaten Hulu Sungai Utara, juga mengajar di SMP Hasbunallah, Tanjung. Menggeluti olah raga beladiri, seni musik, tari, lukis, sastra dan, terutama, teater. Ketua Sanggar Pusaka Tabalong ini juga aktif di Sanggar Langit, Tanjung, dan di Dewan Kesenian Tanjung (DKT). Puisinya terdapat dalam antologi bersama Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009).

Jaka Mustika (Maskuni), lahir di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, 29 Oktober 1953. Bermukim di Kecamatan Cerbon, Marabahan, Kabupaten Barito Kuala. Menulis puisi, cerpen, cerita rakyat, menulis naskah drama dan menyutradainya. Sering memenangkan lomba tulis puisi dan cerpen berbahasa Banjar Kalimantan Selatan. Karyanya dimuat di sejumlah antologi puisi bersama, antara lain Tembang Sungai Lirik (1993), Rimbun Tulang (1994), Bahalap (1995), Pelabuhan (1996), Rumah Sungai (1997), Jembatan Asap (1998); La Ventre de Kandangan (2004), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Cinta Rakyat (2007), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009). Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2010).

Kamilah, lahir di Tanjung, Kabupaten Tabalong, 7 Juli 1975. Sering ikut kolaborasi pembacaan puisi dan juri lomba baca puisi di sekolah. Puisinya terdapat dalam antologi bersama Duri-Duri-Tataba (1998), Semata Wayang Semata Sayang (1999), Potret Diri (2000), Jembatan (2002), Ronce Bunga-Bunga Mekar (2005) dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006). Staf Tata Usaha SMA Negeri 2 Tanjung. Alamat: Komplek Plambon Raya, Jalan Citra 5 Blok B Nomor 3 RT 14, Pembataan, Kecamatan Murung Pudak.

Lilies MS (Lilies Marta Diana), lahir di Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, 28 Agustus 1966. Mantan penyiar radio swasta ini juga deklamatris dan dramawan. Puisinya dipublikasikan di acara Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni (UMSIS) RRI Banjarmasin, Banjarmasin Post dan Dinamika Berita (sekarang Kalimantan Post). Karyanya terdapat dalam Kumpulan Puisi Penyair Pelaihari (1981), Semata Wayang Semata Sayang (1998), Potret Diri (1999), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009), dan antologi cerpen Nawu Raha (2002). Ketua Sanggar Langit Tanjung dan pengurus Dewan Kesenian Tanjung (DKT). Menerima Hadiah Seni (Teater) Gubernur Kalimantan Selatan (2009).

Mahmud Jauhari Ali, lahir di Banjarmasin, 15 Januari 1982. Bermukim di Kecamatan Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar. Menulis puisi, cerpen dan esai kebahasaan di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Mata Banua, Sinar Kalimantan, Media Kalimantan dan Tabloid Serambi Ummah. Menerbitkan buku kumpulan artikel, kumpulan puisi dan cerpen, pemakalah dalam Seminar Bahasa Nasional di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (2008) dan Kongres Bahasa oleh Pusat Bahasa (2008). Puisinya dimuat dalam antologi bersama Doa Pelangi di Tahun Emas (2009).

Masdulhak Abdi, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 4 Mei 1973.  Alumnus Pascasarjana Universitas Negeri Malang (UNM) ini Kepala SMP Negeri 4, Kecamatan Tanta, Kabupaten Tabalong. Semasa kecil dan remaja beberapa kali menjuarai lomba baca puisi tingkat sekolah dan umum. Puisinya dipublikasikan di Mentari, Dinamika Berita, Radar Banjarmasin, Banjarmasin Post. Puisinya juga dimuat di sejumlah antologi bersama, antara lain Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008) dan Bertahan di Bukit Akhir (2008). Pengurus Dewan Kesenian Tanjung (DKT).

Muhammad Radi, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 17 April 1962. Puisi dan cerpennya dipublikasikan di Banjarmasin Post, Majalah Hai, Idola, Nona, Nova, Aneka Ria, Keluarga, Kiblat, Panji Masyarakat dan The Favour Magazine (Kanada). Bukunya yang telah terbit, antara lain, Pengajaran Fisika dan Peradaban Muslim (1995), kumpulan cerpen Di Antara Warna-Warni Pelangi (1998), Proses Pembelajaran: Mengacu Pada Fitrah (1999), Menghindari Jebakan Kultural: Kehidupan (2001) dan Shalat dan (Permasalahan Real) Kehidupan (2002). Puisinya dimuat di antologi bersama Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009), dan Konser Kecemasan (2010).

Muhammad Rusmadi, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 14 Oktober 1974. Wartawan Rakyat Merdeka, Pemimpin Redaksi Tabloid Haji & Umrah dan Asisten Kepala (Biro Jakarta) The New York Times. Tulisannya terbit di media massa lokal, nasional dan mancanegara, juga dalam antologi Di Antara Warna-Warni Pelangi (bersama Muhammad Radi, 1998), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009).

M. Aini Asmuni, lahir di Desa Telaga Langsat, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 15 Juli 1970. Guru pendidikan seni SMA Negeri 1 Marabahan, Kabupaten Barito Kuala. Pengurus pelbagai organisasi sosial, seni dan budaya, antara lain Wakil Sekretaris Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Barito Kuala. Menulis puisi, naskah drama, pelaku aktif dalam seni teater, tari dan musik tradisi. Karyanya terdapat dalam Sandi Citra (2007), Baturai Pantun Urang Banua (2000), Cerita Rakyat Barito Kuala (2005), Upacara Adat Masyarakat Barito Kuala (2005), Cinta Rakyat (2007), Ije Jela Bersyair di Tahun Emas (2009) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009). Menerima penghargaan Bupati Barito Kuala sebagai seniman tari dan teater tradisional (2009) dan Hadiah Seni (Tari) Gubernur Kalimantan Selatan (2009).

M. Fuad Rahman (Kayla Untara), lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu sungai Selatan. Bermukim di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Menulis puisi, cerpen, dan berteater di Posko La Bastari, Kandangan. Puisi, cerpen dan artikelnya dipublikasikan di Tabloid Gerbang, Serambi Ummah, Banjarmasin Post dan Radar Banjarmasin. Cerpennya dimuat di Orkestra Wayang -- antologi cerpen sastrawan Kabupaten Hulu Sungai Selatan (2007). Puisinya juga dimuat dalam antologi bersama La Ventre de Kandangan (2004) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009). Cerpennya, Bapintaan, Juara II Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VII (2010) di Kabupaten Tabalong -- dibukukan bersama karya pemenang lainnya.

 M. Hasbi Salim, lahir di Desa Rumpiang, Kecamatan Aluh-Aluh, Kabupaten Banjar, 26 Juli 1963. Guru SMA Negeri 1 Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Menulis puisi, cerpen, artikel umum dan karya ilmiah, dipublikasikan di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Tabloid Serambi Ummah, Majalah Kartini, Al Kisah, Sahabat Pena, Mentari dan Asuh. Bukunya yang telah terbit, antara lain, Beternak Itik Alabio (2004), Kambang Barenteng (2004), Misteri Pohon Kasturi (2007), Dunia Sahabat (cerita anak, 2007) dan Bunga Rampai Haji dan Umrah (Menggelitik dan Penuh Hikmah) [2008]. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Mahligai Junjung Buih (2007) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009).

M. Nahdiansyah Abdi, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 29 Juni 1979. Bermukim dan bekerja di Kota Banjarbaru. Sering mengulas karya sastra dari sudut psikologi, sesuai pendidikannya di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta (2003). Puisinya dipublikasikan di media cetak lokal dan antologi bersama: Bumi Menggerutu (2005), Melayat Langit (2006), Kau Tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006), Jejak-jejak Angin (bersama Hajriansyah, 2007), Darah Penanda (2008), Malaikat Hutan Bakau (2008), Bertahan di Bukit Akhir (2008), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), dan Konser Kecemasan (2010). Pistol Air (2008) dan Pewaris Tunggal Istana Pasir (2009) adalah dua antologi puisi tunggalnya. Puisinya, Sapanjadi, Juara Harapan III Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VII (2010) di Kabupaten Tabalong -- dan dibukukan bersama karya pemenang lainnya.

Puspa Ramadayanti, lahir di Kabupaten Kotabaru, 20 April 1988. Aktif di Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kotabaru. Karyanya dipublikasikan di koran Sa-ijaan, puisinya dimuat dalam antologi bersama Seribu Sungai Paris Barantai (2006).

Rahmatiah, lahir di Nusa Tenggara Barat, 3 Juli 1979. Bermukim di Desa Bantuil, Kecamatan Cerbon, Marabahan, Kabupaten Barito Kuala. Sering memenangkan lomba tulis puisi Kalimantan Selatan. Puisinya dipublikasikan di rubrik sastra media cetak lokal dan nasional, antara lain Radar Banjarmasin, Dinamika (Lampung), Majalah Sabili, Buletin Sastra (Bandung) dan Buletin Sastra Komunitas Gunung Karang (Banten). Sering memenangkan lomba cipta puisi Kalimantan Selatan. Karyanya dimuat dalam antologi bersama 142 Penyair Menuju Bulan (2006), Kau Tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006), Darah Penanda (2008), Menggoda Kehidupan (2009), Kaos Hitam Cinta (2009), Konser Kecemasan (2010) dan Nyanyian Pulau-Pulau (2010). Puisinya, Madam, Juara Harapan II Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII (2010) di Kabupaten Tabalong -- dan dibukukan bersama karya pemenang lainnya.

Ratih Ayuningrum, lahir di Kabupaten Kotabaru, 17 Juli 1984. Puisi, cerpen dan esai sastranya dipublikasikan di Radar Banjarmasin, Banjarmasin Post dan Tabloid Serambi Ummah. Sering memenangkan lomba tulis puisi dan cerpen Kalimantan Selatan. Sempat menjadi wartawan Bisnis Tablomagazine. Puisi dan cerpennya dimuat dalam antologi Kau Tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006). Dongeng Kesetiaan (2008) adalah kumpulan cerpennya yang pertama. Bekerja sebagai pendidik di kampung halamannya.

R. Syamsuri Sabri (Rock Syamsuri), lahir di Banjarmasin, 11 Juni 1949. Bermukim di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala. Menulis puisi, cerita humor, naskah drama, aktor sekaligus sutradara teater tradisional. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Banjarbaru Kotaku (1997), Riak-Riak Barito (1997), 7 Penyair Marabahan (1984), Gardu (1998), Rimbun Tulang (1994), Pelabuhan (1996), Nyanyian Kuala (2003), Puisi-Puisi Mantra Jajarat dan Kariau (2003), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009) dan Konser Kecemasan (2010). Menerima Hadiah Seni (Teater) Gubernur Kalimantan Selatan (1997).

 Sudarni, lahir di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, 30 Juli 1948. Puisi dan cerpennya dipublikasikan di Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni (UMSIS) RRI Banjarmasin dan Banjarmasin Post. Juara II Lomba Penulisan Pantun Berkait Kalimantan Selatan (1988), 10 Nominasi Lomba Cipta Puisi Kalimantan Selatan (1991), Juara I Lomba Cipta Puisi Kabupaten Hulu Sungai Utara (1995) dan Juara III Sayembara Penulisan Cerita Rakyat Porseni PGRI HSU (1996). Puisinya dimuat dalam Mahligai Junjung Buih (2007) -- antologi puisi bersama penyair Kabupaten Hulu Sungai Utara.

Suriansyah, lahir di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 12 Juli 1964. Bermukim di Desa Bantuil, Kecamatan Cerbon, Marabahan, Kabupaten Barito Kuala. Guru SMP. Bergabung dengan komunitas penyair Marabahan sejak 1993.

Suriansyah R., lahir di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, 10 Oktober 1951. Pengawas TK/SD UPT Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Amuntai Tengah. Mengasuh acara basyair di Radio Suryanada Amuntai, Juara I Lomba Basyair Porseni PGRI Kalimantan Selatan di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (1997). Puisinya dimuat dalam antologi bersama Mahligai Junjung Buih (2007). 

Suhaimi, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Guru SMP Negeri 6, Tanjung, Kabupaten Tabalong. Penyair dan dramawan ini juga melatih tari dan teater di sejumlah sekolah menengah. Karya garapannya, Katarsis, Juara I Festival Teater Kalimantan Selatan di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (2009). Pengurus Sanggar Tari Bunga Tanjung, Sanggar Langit dan Dewan Kesenian Tanjung (DKT).

Syarkian Noor Hadie, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 1 September 1952. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Riak-Riak Barito (1979), Gardu (1979), Kuala (1984), Menatap Cermin (1988, Bunga Api (1994), Bahalap (1995), Jendela Tanah Air (1995), Pelabuhan (1996), Rumah Sungai (1997), Jembatan Asap (1998), La Ventre de Kandangan (2004), Sajak-Sajak Bumi Selidah (2005), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Cinta Rakyat (2007), Ije Jela Bersastra di Tahun Emas (2008) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009). Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Barito Kuala.

 Taberi Lipani SR, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 6 September 1971. Pernah menjuarai Lomba Bakisah Bahasa Banjar Piala Museum Lambung Mangkurat Kota Banjarbaru, dan 16 Besar Sayembara Tulis Puisi Bahasa Banjar (1999). Ketua Bidang Sastra Dewan Kesenian Murakata (DKM) Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan anggota Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Hulu Sungai Tengah. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Bertahan di Bukit Akhir (2008).

Tajuddin Noor Ganie, lahir di Banjarmasin, 1 Juli 1958. Menulis puisi, cerpen, novel, esai sastra dan penelitian sastra, dipublikasikan di media cetak terbitan Banjarmasin, Surabaya, Jakarta, Kuala Lumpur dan Brunei Darussalam. Bukunya yang sudah terbit: Sketsa Sastrawan Kalimantan Selatan (editor, bersama Jarkasi, 2001), Profil Sastrawan Kalimantan Selatan 1930-1999 (2002), Karakteristik Bentuk, Makna, Fungsi dan Nilai Peribahasa Banjar (2005), Kamus Peribahasa Banjar (2010), Tengah Malam di Kuala Lumpur (2010), Kamus Mimpi Orang Banjar (2010) dan Antologi Biografi Sastrawan Kalsel (2010).

Taufiq Ht (Taufiqurrahman), lahir di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, 18 Juli 1984. Bermukim di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Saat kuliah di Jurusan Akidah Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, bergabung dengan Sanggar Teater ESKA (binaan Hamdy Salad). Puisinya salah satu dari 10 Puisi Terbaik Lomba Cipta Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) V di Kabupaten Balangan (2008). Karyanya dimuat dalam antologi bersama Bertahan di Bukit Akhir (2008).

 Tati Noor Rahmi, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 4 November 1979. Mengajar Bahasa Indonesia di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Paringin. Tinggal di Perumnas Batu Piring, Kecamatan Paringin Selatan, Kabupaten Balangan. Puisinya dimuat di sejumlah antologi bersama, antara lain Dukaku Duka Meratus (2000), Ronce Bunga-Bunga Mekar (2005) dan Bertahan di Bukit Akhir (2008).

Wayan Windre Semara, lahir di Kecamatan Barambai, Kabupaten Barito Kuala, 7 April 1987. Pelukis dan editor foto, aktif dalam seni rupa, tari dan teater di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala.

Yuliati Puspita Sari, lahir di Kecamatan Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, 30 Juli 1980. Saat mahasiswa sempat menjadi sekretaris Forum Lingkar Pena Wilayah Kalimantan Selatan. Cerpen tenaga teknis di Balai Bahasa Banjarmasin ini dipublikasikan di Tabloid Serambi Ummah Banjarmasin.

Zurriyati Rosyidah (Sisy), lahir di Mandiangin, Kabupaten Banjar, 28 Mei 1988. Berdarah campuran Palembang-Banjar, aktif di komunitas sastra Kota Banjarbaru. Sering menjuarai lomba penulisan karya sastra. Puisinya dimuat dalam antologi bersama, antara lain Darah Penanda (2008), Malaikat Hutan Bakau (2008), Wajah Deportan (2009), Menggoda Kehidupan (2009), dan Nyanyian Akar Rumput (2009). Memiliki dua alamat: di Kecamatan Karang Intan (Kabupaten Banjar) dan Sungai Ulin (Kota Banjarbaru).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler