MENYAMPIR
BUMI LELUHUR
Bunga Rampai Puisi
Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII
Kabupaten Tabalong 2010
Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Menyampir Bumi Leluhur
Kalimantan Selatan: Pemerintah Kabupaten Tabalong
dan Panitia Pelaksana Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII 2010
190 + xxii hlm.; 14 x 21 cm
Cetakan ke-1, Oktober 2010
ISBN: 978-602-98149-0-3
Kurator/Editor: Burhanuddin Soebely, Micky Hidayat, Y.S. Agus Suseno
Desain isi: Indrian Koto
Desain cover: Nur Wahida Idris
Lukisan cover: Aswin Noor
Diterbitkan oleh:
Pemerintah Kabupaten Tabalong
Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata
Jalan Tanjung Selatan RT VII Pembataan
Telepon (0526) 2021596 Tanjung
bekerja sama dengan
Panitia Pelaksana Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII 2010
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Daftar Isi
Sambutan Bupati Tabalong
Sambutan Kepala Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata
“Saraba Kawa” dan Komitmen Bersama
Daftar Isi
AA Ajang
Bisikan Hati
Abdul Karim Amar
Kutunggu Jawabmu, Tuhanku
Nyanyi Sunyi
Abdurrahman El Husaini
Catatan Gerimis 1
Catatan Gerimis 2
Abdus Sukur MH
Mimpi
Perjalanan
Abdul Hanafi
Jaring Hukum
Ahmad Surkati Ar
Bertemu di Sisa Malam
Tamuku
Akhmad Husaini
Lelaki di Ruang Segi Empat
Ali Syamsudin Arsy
Gumam Dari Istana Daun Retak
Darah Luka Teruslah Bicara
Aliman Syahrani
Loksado
Pasar Terapung
Dalam Puisi
Andi Jamaluddin AR AK
Doa di Atas Sajadah
Perpisahan
Antung Hormansyah
Bunglon
Ariffin Noor Hasby
Kabar Buruk
Seorang Lelaki Mencari Tuhan
Aspihan H. Hidin
Cerita Singkat yang Tergerus
Mengitari Pesanmu
Asna Sepriawati
Ku Tak Mampu Menjelaskan
Bingkai yang Terlepas
A. Rahman Al Hakim
Padamu Baktiku
Senja Untukmu
A. Syarmidin
Barangkali
Pengakuan
A.W. Syarbaini
Nawala Warta Penatah Adat Budaya Banua
Bagan Topenk
Bila Tak Lagi Satu
Dien Alice
Penggali Kuburan
Pasar Ramadan
East Star From Asia
Alif-Alif
Eko Suryadi WS
Elegi Negeri Seribu Ombak
Bajau
Eza Thabry Husano
Menjauh Dari Nafsu dan Fitnah
Fitrah Akal dan Iman
Fahrudin Arifin
Negeriku yang Sebenarnya
Malam Penetapan
Fahrurraji Asmuni
Kepada Alam
Seonggok Bara
Fitri Jamilah
Ekspresi Cinta
Fitryani
Diam
Wanita dan Sepi
Gusti Indra Setyawan
Orasi yang Tak Terputus
Hamami Adaby
Ruang-Ruang
Box-Box
Hamberan Syahbana
Aku Rindu Aku Ingin
Hidup Ini Cuma Satu Kali
Hajriansyah
Sisi Langgar
Sisi Berita
Harun Al Rasyid
Pamitku
Di Pundakmu
Hardiansyah Asmail
Negeri Air Mata
Surat Untuk Bianglala
H. Adjim Arijadi
Keesaan Allah dan Diriku yang Pasrah
Payung-payung Masjid Nabawi
H. Ahmad Fitriadi F.
Dinda
Sayang
H. Fahmi Wahid
Tangis Hulu Sungaiku
H. Muhaimin
Sebelum Bencana
Pelayar Mimpi
H. M. Sulaiman Najam
Beri Aku
Kutitipkan Puisi Ini
Hj. Roosmayati
Sang Penari
Empat Lima dan Segi Tiga Emas
Ibramsyah Amandit
Pada Saatnya Puisi Tak Ditulis
Puisi Tidak Berkubur
Ismail Wahid
Tahajud
Jamal T. Suryanata
Setelah Pertemuan
Semesta Rinduku
Jauhari Effendi
Seorang Anak di Perahu Rimpang
Kuluh
Jaya Ginmayu
Desir Perdaya
Sirat Inginku
Jaka Mustika
Berdiri Alif
Nyanyi Sunyi
Kamilah
Tanya
Lilies MS
Pagi Ini, Ketika Kau Lewat
Jam Dinding Itu
Mahmud Jauhari Ali
Mengajakmu
Runduk
Masdulhak Abdi
Meraba-raba
Elegi Aliran Sesat
Muhammad Radi
Monolog
Harapan
Muhammad Rusmadi
Ketidakadilan
M. Aini Asmuni
Pintu Pengenalan
M. Fuad Rahman
Di Peron Itu
Sampan dan Riwayat Kematian
M. Hasbi Salim
Suara Dari Menara LP
M. Nahdiansyah Abdi
Mimpi
Fokus
Puspa Ramadayanti
Sang Penggoda
Rahmatiah
Sepucuk Surat yang Kukirim Kepada Tuhan
Perempuan yang Kau Sebut Sebagai Istri
Ratih Ayuningrum
Antara Aku dan Hujan
R. Syamsuri Sabri
Menyampir Bumi Leluhur
Perjalanan
Sudarni
Kota Kelahiran
Suriansyah
Hari Ini
Suriansyah R.
Cermin
Suhaimi
Dalam Sunyi yang Telanjang
Rindu
Syarkian Noor Hadie
Khatulistiwa
Hidup, Sebuah Figura
Taberi Lipani SR
Kalaulah Tidak Aku Sendiri
Aruh Adat Balai Jiwa
Tajuddin Noor Ganie
Doa, Aruh Sastra, dan Obituari Para Sastrawan
Taufiq Ht
Perempuan Tua
Malam Setelah Gerimis Panjang
Tati Noor Rahmi
Puisi Untuk Ibu
Doa Untuk Anakku
Wayan Windre Semara
Senja di Bibir Sungai (2)
Senja di Bibir Sungai (3)
Yuliati Puspita Sari
Kotaku Bersenandung
Zurriyati Rosyidah
Diagraf Kepada Langit
Kau Ditelan Puisi
Tentang Penyair
Sambutan
Bupati Tabalong
Assalamu’alaikum Wr.Wb.,
Saya menyambut gembira terbitnya dua buah buku sastra dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VII yang dilaksanakan di Tanjung, Kabupaten Tabalong, 26 s.d. 28 November 2010. Pertama, Menyampir Bumi Leluhur, bunga rampai puisi karya sastrawan Kalimantan Selatan; kedua, Manyanggar Banua, bunga rampai puisi dan cerpen bahasa Banjar. Buku yang kedua menghimpun puisi dan cerpen pemenang Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan dan Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Kalimantan Selatan, yang telah dilaksanakan sebelumnya, yang merupakan rangkaian kegiatan.
Penerbitan buku ini adalah bagian dari acara lain: Lomba Basyair dan Lomba Madihin Kalimantan Selatan, Seminar Kesenian, Bahasa dan Sastra Daerah, Ceramah/Dialog Sastra Bersama Sastrawan/Budayawan Nasional, Sidang Pleno ASKS VII, ziarah ke makam sastrawan/budayawan Kabupaten Tabalong dan anjangsana ke objek wisata.
Menurut catatan, perkembangan kesenian, bahasa, sastra daerah dan sastra Indonesia di Kalimantan Selatan cukup menggembirakan. Hal itu tampak dari maraknya karya sastra ciptaan sastrawan -- berbahasa Indonesia maupun berbahasa daerah Banjar -- yang terbit dalam bentuk buku, atau dipublikasikan di media cetak, elektronik dan dunia maya, di tingkat lokal maupun nasional.
Pemerintah Kabupaten Tabalong menyampaikan penghargaan dan terima kasih tak terhingga kepada sastrawan dan budayawan kabupaten/kota Kalimantan Selatan yang berpartisipasi dalam acara ini. Karena dilaksanakan menjelang 1 Desember 2010 -- Hari Jadi Kabupaten Tabalong ke-45 -- acara ini menjadi lebih istimewa.
Semoga kegiatan yang positif ini memberikan banyak manfaat.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Tanjung, 26 November 2010
Drs. H. Rachman Ramsyi, M.Si
Sambutan
Kepala Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata
Assalamu’alaikum Wr.Wb.,
Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya jualah Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata, bekerja sama dengan Panitia Pelaksana Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VII, dapat menerbitkan buku ini. Kehadiran buku ini memperkaya khazanah pustaka sastra dan budaya di Tanjung, Kabupaten Tabalong, khususnya; dan di Kalimantan Selatan, umumnya.
Menurut catatan, ASKS I dilaksanakan di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (2004), ASKS II di Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu (2005), ASKS III di Kotabaru, Kabupaten Kotabaru (2006), ASKS IV di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara (2007), ASKS V di Paringin, Kabupaten Balangan (2008), dan ASKS VI di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala (2009).
Mengingat Provinsi Kalimantan Selatan memiliki 13 kabupaten/kota, maka -- dengan ASKS VII 2010 -- berarti ajang perhelatan sastrawan ini telah menjalani lebih separuh putaran. Artinya, tersisa enam kabupaten/kota yang belum disinggahi kegiatan yang dilaksanakan secara bergantian ini. Barangkali ada baiknya para sastrawan mengkaji ulang hal-hal yang telah, sedang, belum atau akan dilakukan dalam ASKS -- misalnya melalui Sidang Pleno, yang telah menjadi agenda wajib dalam ASKS.
Kendati demikian, segala sesuatunya terpulang kembali kepada para sastrawan Kalimantan Selatan sendiri, sebab ASKS adalah oleh sastrawan dan untuk sastrawan. Dalam ASKS, pemerintah daerah yang mendapat giliran sebagai tuan rumah lebih berperan sebagai fasilitator.
Akhirul kalam, tak ada gading yang tak retak. Semoga penerbitan buku ini dan pelaksanaan ASKS VII 2010 di Tanjung, Kabupaten Tabalong, menimbulkan kesan yang manis: semanis madu dan langsat Tanjung.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Tanjung, 26 November 2010
Drs. H. Birhasani Ismail, M.Si
“Saraba Kawa” dan Komitmen Bersama
Pengantar Panitia Pelaksana
Menjadi tuan rumah sebuah perhelatan seni berskala provinsi bukanlah perkara mudah, termasuk untuk Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) yang, sebelum ini, telah berlangsung enam kali di enam kabupaten. Bagi publik sastra yang setia menghadirinya, enam kegiatan di enam tempat itu mungkin telah menimbulkan kesan, catatan, dan bahkan perbandingan tersendiri; yang satu dinilai lebih baik daripada yang lain, misalnya, dan sebagainya.
Sebagai pihak yang tak pernah absen menghadiri ASKS di kabupaten lain, timbul pertanyaan di hati: mampukah kami, yang tahun ini menjadi penyelenggara, memenuhi harapan kawan-kawan sastrawan dan budayawan yang diundang sebagai peserta, dalam pelayanan maupun materi acara?
Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan, kami memutuskan bekerja sejak jauh-jauh hari. Juni 2010 kami telah menyusun panitia pelaksana, merancang program dan materi kegiatan; mengerjakan administrasi, mendistribusikan undangan dan jadwal acara/edaran/pengumuman lomba penulisan karya sastra -- sekaligus pengumpulan puisi untuk antologi, dalam undangan kepada sastrawan dan budayawan perorangan, dengan batas waktu sampai dengan 20 Agustus 2010 -- publikasi di media cetak lokal dan dunia maya, serta menyerahkan pedoman umum dan petunjuk pelaksanaan kegiatan kepada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan lembaga terkait di seluruh kabupaten/kota Kalimantan Selatan.
***
“Saraba Kawa”: Menjunjung Kesenian, Bahasa dan Sastra Daerah sengaja diusung sebagai tema utama. Saraba Kawa adalah motto Kabupaten Tabalong, yang berarti “serba bisa”, meskipun tidak dimaksudkan sebagai harat -- apalagi marasa paharatnya -- dan jauh dari niat arogansi. Kami ingin memotivasi komitmen bersama agar kita “serba bisa” dan paharatnya dalam mengapresiasi kesenian, bahasa dan sastra daerah yang kian terpinggirkan akibat perkembangan budaya global.
Dengan tema utama itu, dirancang 9 materi kegiatan: (1) Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan, (2) Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Kalimantan Selatan, (3) Penerbitan Buku Kumpulan Puisi dan Cerpen Pemenang Lomba, (4) Penerbitan Buku Kumpulan Puisi Sastrawan Kalimantan Selatan, (5) Lomba Basyair dan Lomba Madihin Kalimantan Selatan, (6) Seminar Kesenian, Bahasa dan Sastra Daerah, (7) Ceramah/Dialog Sastra Bersama Sastrawan/Budayawan Nasional, (8) Sidang Pleno Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, dan (9) Ziarah dan Anjangsana.
Dalam pedoman umum dan petunjuk pelaksanaan dapat dilihat, bahwa seluruh rangkaian kegiatan melibatkan (dan dikerjakan oleh) sastrawan dan budayawan Kalimantan Selatan yang mumpuni di bidangnya. Selaku Panitia Pelaksana, kami lebih menempatkan diri sebagai mediator dan fasilitator.
Untuk menilai puisi peserta Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan (berlangsung sejak Juni sampai dengan 20 Agustus 2010), kami menyerahkan penjuriannya kepada Arsyad Indradi (Kota Banjarbaru), Ali Syamsudin Arsy (Kota Banjarbaru) dan Zulfaisal Putera (Kota Banjarmasin). Lomba diikuti 119 judul puisi (56 peserta).
Untuk Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Kalimantan Selatan (yang dilaksanakan bersamaan), Dewan Juri-nya Aliman Syahrani (Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan), Jamal T. Suryanata (Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut) dan Nailiya Nikmah JKF (Kota Banjarmasin). Lomba diikuti 67 judul cerpen (54 peserta).
Setelah melalui penjurian, 6 puisi pemenang utama (bersama 19 puisi nominasi) dan 6 cerpen pemenang utama dibukukan dalam antologi -- dilengkapi catatan dewan juri lomba bersangkutan, sebagai semacam “pertanggungjawaban penilaian”.
Mengacu pada tema utama, antologi puisi dan cerpen bahasa Banjar pemenang lomba tersebut diberi judul Manyanggar Banua -- dari judul puisi Erika Adriani, Juara I Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan ASKS VII 2010. Secara harafiah, manyanggar banua adalah nama ritual “tolak bala” -- upacara adat masyarakat tradisional di hunjuran Pegunungan Meratus yang, di masa lalu, rutin dilaksanakan di Desa Barikin, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Karena berbagai faktor, ritual itu sudah lama tidak dilaksanakan.
Penerbitan Buku Kumpulan Puisi Sastrawan Kalimantan Selatan pun kami serahkan kepada kurator/editor yang kredibel dan berkompeten, yang sudah ditetapkan zona/wilayah kewenangannya: Burhanuddin Soebely untuk Banua Anam (Kabupaten Tabalong, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Balangan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Kabupaten Tapin), Micky Hidayat (Kabupaten Banjar, Kota Banjarbaru, Kota Banjarmasin dan Kabupaten Barito Kuala) dan Y.S. Agus Suseno (Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Kotabaru).
Selaras dengan tema utama, Buku Kumpulan Puisi Sastrawan Kalimantan Selatan diberi judul Menyampir Bumi Leluhur -- dari judul puisi R. Syamsuri Sabri. Menyampir hampir mirip dengan makna ritual manyanggar. Bedanya, masyarakat tradisional di hunjuran Pegunungan Meratus maupun Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito lazimnya melaksanakan upacara menyampir (dengan menanggap wayang sampir) -- dengan pelbagai variasi ritual -- setelah “kaul” atau “hajat”-nya terkabul.
119 judul puisi karya 70 penyair yang karyanya terhimpun merupakan cermin kecil dari banyaknya penulis puisi di Kalimantan Selatan -- ini jumlah terbanyak sepanjang penerbitan antologi puisi ASKS.
Menurut data, penyair yang diminta mengirim 2 s.d. 3 judul puisi untuk antologi (walaupun yang “lolos seleksi” kemudian hanya 1 atau 2 puisi saja), sekaligus diundang sebagai peserta ASKS VII, jumlahnya berbeda antara satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya. Mereka dipilih dengan kriteria yang amat longgar: dari publikasi karyanya di rubrik sastra media cetak lokal, dari antologi puisi pribadi, antologi puisi bersama (yang diterbitkan organisasi/lembaga/komunitas sastra kabupaten/kota penyair bersangkutan); penyair yang memiliki dedikasi dan loyalitas berkarya -- atau, meskipun baru muncul, memiliki prestasi dan reputasi menonjol.
Menariknya, ternyata ada pengirim puisi yang, setelah dicek, namanya tak tercantum dalam daftar penerima undangan asal kabupaten/kota bersangkutan. Koordinator penerima puisi -- sebelum diserahkan kepada kurator/editor -- terpaksa harus menyingkirkan puisi-puisi tersebut. Bukan hanya tidak memenuhi kriteria di atas, di antara pengirim puisi itu bahkan ada yang masih siswa SMP. Sebaliknya, sebagian penyair yang diundang dan diminta berpartisipasi -- barangkali karena tak ada puisi baru, atau (karena kesibukan) lupa dengan tenggat waktu -- di saat akhir justru tidak mengirimkan karyanya.
Di masa depan, kalau kita sepakat ingin meningkatkan kualitas, seyogianya dilakukan seleksi yang lebih ketat (oleh kurator/editor yang berkompeten) sebelum sebuah puisi diputuskan untuk dimuat dalam antologi ASKS. Ketika melihat puisi yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital, misalnya, kurator/editor yang jeli akan tahu, bahwa penulisnya masih pemula -- amat ironis kalau kemudian puisi itu dibukukan sesuai aslinya. Dengan kata lain, jangan sampai karya seseorang yang tidak jelas jejak rekamnya, “tidak berkeringat” di jalan sastra, dengan mudah dimuat dalam antologi. Jika hal itu berlangsung terus menerus, antologi puisi ASKS takkan pernah menjadi prestisius.
***
Berbeda dengan Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan dan Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Kalimantan Selatan (yang terbuka untuk umum dan boleh diikuti oleh perorangan), Lomba Basyair dan Lomba Madihin Kalimantan Selatan hanya dapat diikuti oleh wakil/utusan resmi kabupaten/kota, yang penunjukan dan pengiriman pesertanya dikoordinir SKPD dan lembaga terkait -- Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, bersama Dewan Kesenian/komunitas sastra di kabupaten/kota masing-masing. Hal ini dimaksudkan agar ada koordinasi, sinergi dan komitmen bersama antarinstansi dan lembaga/komunitas terkait di kabupaten/kota masing-masing dalam membina, mengembangkan dan memajukan kesenian.
Masih terkait dengan tema utama, Seminar Kesenian, Bahasa dan Sastra Daerah membahas Perda Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Pemeliharaan Kesenian Daerah dan Perda Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Pemeliharaan Bahasa dan Sastra Daerah yang diterbitkan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Bagaimana implementasi dan implikasi Perda itu -- berlaku Juli 2010 -- terhadap pembinaan dan pengembangan kesenian, bahasa dan sastra daerah, diseminarkan, dengan narasumber Drs. Abdul Karim, MM (Ketua Umum Dewan Kesenian Kotabaru), Prof. Dr. H. Djantera Kawi (Guru Besar FKIP Unlam Banjarmasin) dan Kepala Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan Pariwisata (Disporabudpar) Provinsi Kalimantan Selatan.
Ceramah/Dialog Sastra Bersama Sastrawan/Budayawan Nasional adalah salah satu agenda penting dalam ASKS. Dengan topik Khazanah Budaya Lokal Sebagai Sumber Inspirasi Penulisan Karya Sastra, semula direncanakan Ahmad Tohari (yang dikenal dengan novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk) sebagai narasumber. Namun, karena Ahmad Tohari tahun ini pergi haji, kehadirannya digantikan Raudal Tanjung Banua, sastrawan muda kelahiran Sumatera Barat, yang bermukim di Yogyakarta.
Sidang Pleno adalah bagian yang tak kalah penting dalam agenda ASKS. Peserta (sastrawan, budayawan, pengamat budaya, pengurus Dewan Kesenian, pejabat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata seluruh kabupaten/kota) dapat mendiskusikan isu-isu aktual tentang sastra, seni dan budaya (lokal maupun nasional); menyampaikan seruan, maklumat atau resolusi sastra (yang ditandatangani bersama), sekaligus menyerahkan amanat, mandat atau rekomendasi (yang ditandatangani bersama) kepada kabupaten/kota pelaksana ASKS tahun mendatang.
***
Akhirul kalam, tak ada gading yang tak retak. Kami sadar, harapan terkadang berbeda dengan kenyataan. Rencana baik terkadang belum tentu bisa berjalan dengan baik pula. Meskipun demikian, Insya Allah seluruh rencana akan berjalan dengan baik dan lancar apabila sastrawan dan budayawan Kalimantan Selatan memiliki tekad dan komitmen bersama: saraba kawa dalam hal menjunjung kesenian, bahasa dan sastra daerah.
Lilies MS (Ketua)
Bambang Rukmana (Sekretaris)
AA Ajang
Bisikan Hati
Limbung tubuh sempoyongan
Menapak jalan sempit berliku berhias jurang terjal menganga
Langkah perlahan memanggul beban berat di hati
Keakuan diri yang begitu kental menguasai sanubari ternoda
Tertatih menikmati pesona ciptaan memperdalam keterbuaian
Begitu molek ragam barang cipta
Terlena dengan pernak-pernik dunia yang ingar-bingar porak-poranda
Mengharu biru kalbu terkoyak
Sadarlah
Basuh muka hatimu
Tengadahkan sisi wajah bertabir mimpi
Kembalilah sebagai penikmat Sang Pencipta.
Handil Bhakti, 16 Agustus 2009
Abdul Karim Amar
Kutunggu Jawab-Mu, Tuhanku
Tuhanku
bilakah biduk ini akan ditambatkan
laut yang biru angin berlagu
mentari pun cerah kabut menghilang
Tuhanku
bilakah gerbang yang baru akan dibangun
karena semuanya telah disiapkan
bersama biduk yang tenang memecah haluan
Tuhanku
adakah di tengah laut biru
mutiara yang cemerlang
atau badai menerpaku
Tuhanku
di dermaga biru
kutunggu jawab-Mu, hai cintaku
agar biduk ini berarti dalam hidupku
Abdul Karim Amar
Nyanyi Sunyi
wahai sukmaku yang sunyi
sendiri di antara ramai
deras deru sedu-sedan tangisku menanti
biduk tak kunjung sampai
ah, gairah cintaku yang kudekap erat-erat
seluas jagat
sudah juakah tertambat
dalam mizan keadilan
Tuhan
meditasi rindu* apakah yang masih berlagu
atau nyanyian seribu burung** mendayu rindu
Tuhan, kalau sukma ini terkulai layu
atau Engkau telah berlalu
deru angin datangkan dingin
aku nanti akan terbaring kaku
bisu tak kuasa lagi menjalin
__________
* meditasi rindu – antologi puisi Micky Hidayat
** nyanyian seribu burung – antologi puisi Arsyad Indradi
Abdurrahman El Husaini
Catatan Gerimis 1
Aku sakit. Aku teringat masa kecilku yang selalu disayang-sayang, dipeluk-peluk, dicium-cium, dan ditimang-timang. Doa dan kasih sayang ibuku menjadi perahu di sungai umurku. Kuarungi sampai arus riak terakhir. Mama. Mama. Pagi bertambah pagi. Siang bertambah siang. Petang bertambah petang. Malam bertambah malam. Cintamu meragii sisa napasku. Aku sakit. Waktu membisu. Penyair teruslah menggigili zikir. Doa keluarga menyelimuti tubuhku …
Martapura, 08/06/10
Abdurrahman El Husaini
Catatan Gerimis 2
Aku sakit. Aku pergi ke dokter praktik. Aku bertemu nenek 70 tahun. Kami saling melempar senyum. Penyakit kami sama. Hipertensi. Kami salaman. Tiba-tiba tubuh kami melayang kembali ke masa lalu. Seperti anak-anak yang bermain-main kesana-kemari. Penuh gelak tawa. Tak ada hari kemarin. Tak ada pula hari esok. Yang ada hanyalah hari ini. Kami menjadi buah bibir. Diliput banyak media. Wawancara sana-sini. Jlek! lampu padam. Semua pasien diminta pulang. Dokter yang akan memeriksa kami terserang stroke. Pandanganku berlari. Di jalan tak ada orang. Aku menepi. Malam luruh disambut gurak gerimis. Aku pulang basuluh doa. Lampu kembali menyala …
Martapura, Rabu 09/06/10
Abdus Sukur MH
Mimpi
hampir
tak ada batas, sebenarnya
keinginan yang mengalir
berputar
mengitari jasadku
hingga merdekalah, ia
sebenarnya
hampir tak ada batas
lihat, ia
begitu saja mendekat
hampir lekat
ayo masuklah
bentuk kepribadian
hingga
tak ada batas
sebenarnya,
hampir
Ramadan 1431 H.
Abdus Sukur MH
Perjalanan
bisakah kita
mengakrabi angin
ikut melayang
berputar
sulit
kiranya
tak sesederhana
yang kita bayangkan
akhirnya,
Ramadan 1431 H.
Abdul Hanafi
Jaring Hukum
Dirajut rapi terlihat kukuh
Terkesan ampuh dijamin aman
Serangga kecil tak bisa lewat
lalat kotor terjaring lengket
nyamuk nakal tak mampu meronta
mereka menyerah pasrah.
Lihatlah laba-laba berjubah hitam
Dia tak kenal belas kasihan
tak sedikit pun rasa iba
tak ada kata ampun
Sang laba-laba menyantap lahap
Serangga kecil tak berkutik
Namun ketika datang burung-burung rakus
Dengan mata jalang mencabik hancur
Rajut hukum porak-poranda
Kini giliran laba-laba tak berkutik
Agustus 2010
Ahmad Surkati Ar
Bertemu di Sisa Malam
Mengais rahasia di malammu
Di antara sampah diri
Tertadah jiwa saat mataku luruh
Jatuh seperti tetesan embun
satu ruas raga bergerak
dua rangkaian tulang berderet
menujumu ke arah tak sampai sampai
karena tidak berjarak
kompasku tersesat sendiri
dingin seperti gigil dahan
menjuntaikan daun
tubuhku lunglai menjadi rukuk
mengeras menjadi sujud
dalam diam seperti semesta di ujung gelap
geliat mencumbui tanah
tidak lain kematian itu juga yang ditasbihi
sampai tumbuh
tegak semula
Sampai waktunya
Kuingin tidak kembali
Ke tanah.
Tanjung, Ramadan 1431 H./Agustus 2010
Ahmad Surkati Ar
Tamuku
Ramadan datang
Tamu hatiku
Kuinapkan dia
Meski rumahku berantakan
Kucari ruang luas
Yang ada penuh sesak
Kamar tamu pun berdebu
Aku jadi malu
Kopernya penuh
Berat isinya ada hadiah
Jika aku baik padanya
Kubuang sampah
Kukekang malas
Kuikrarkan sumpah
Agar usaha berbalas
Di akhir kunjungannya kudapat baju baru
Sebagai kenangan
Kupakai sepanjang waktu
Tanjung, Ramadan 1431 H./Agustus 2010
Akhmad Husaini
Lelaki di Ruang Segi Empat
Lelaki itu manusia biasa juga
bisa marah kala diejek atau dihina
suka menampar dan memukul
bila kehormatan dirinya diinjak-injak
tetapi lelaki itu juga bisa melahirkan
melahirkan rangkaian kata-kata indah penuh makna
Lelaki itu pemuja kesunyian
suka menyendiri
Hai-hari ia melintasi pelangi penuh warna
tanah becek, hujan, dan panas
untuk menggapai ruang segi empat
Satu waktu lelaki itu bisa juga menangis, bersedih, dan meratap
akan keadaan nasib dirinya yang merana serba kekurangan
ia pun berandai-andai tatkala materi bergelimang
aku akan menguasai dunia, katanya
Manakala harapannya sirna
meranalah kembali langkahnya
mengarungi hari-hari penuh liku
Di ruang segi empat lelaki itu meratap
bersunyi diri merenungi keadaan
untuk yang kesekian kalinya asanya melambung tinggi
Puluhan ruang segi empat pernah ditempatinya
ruang segi empat melahirkan kata-kata tanpa rasa
harapan beralas impian
takdir menyentuh nurani
bias gamang menancap kenyataan pasti
Kandangan, 18 Januari 2010
Ali Syamsudin Arsi
Gumam Dari Istana Daun Retak
telunjuk mengarah pada satu titik, istana daun retak
bertahun sudah mencoba membangun
lembar-lembar daun, dari yang berserak
kepada menghimpun
telunjuk itu membuka garis-garis di telapak
lihat, ini pasukan cicak di belantara
rimbun daun dan jejak-jejak
dengar, suara-suara gemeretak
dari helai-helai daun yang mulai retak
kering, lusuh-lapuk menuju lenyap
sebagaimana hikayat dari bangunan sebuah istana
pasir-pasir menjadi perih di tempias ujung kelopak
buih-buih dari berjuta akan selesai bila telah berucap
ternyata tidak segampang itu, ternyata tidak semudah itu
ternyata tanah tempat bangunan istana itu
terbuat dari serak-serak rerimbun daun-daun retak
runtuh pun mengancam di puncak
mahkota mahkota, ya mahkota dari cuaca terkuak
tak jua tak tak memperjelas gerak, tak
lihat, ini pasukan manusia kelas paling miskin
berduyun berjejal terinjak-injak
dengar, gemuruh di dapur-dapur lusuh dan sakit
pasukan perut yang selalu melilit
setelah ini, siapa lagi tampil mendaftar
istana daun retak
Banjarbaru, 19 Januari 2010
(gerimis tipis di luar mengepung sepi)
Ali Syamsudin Arsi
Darah Luka Teruslah Bicara
sejarah luka yang mempertahankan
rasa sakit berkepanjangan
gambar keluarga dan kerabat dekat
di ruang-ruang pameran
keangkuhan atas nama keseragaman
(binatang mengamuk di jalan-jalan
orang-orang telah pula mengepalkan tangan)
ternyata sekat tebal dinding istana
luka itu masih saja melelapkan
bergumpal dalam igau-igau para pelayat
datang berduyun sebagai manusia
yang bangkit dari timbunan lumpur
dan pohon-pohon tumbang
dari hutan-hutan tumbang
kemudian sungai-sungai tumbang
setelah itu istana-istana yang berjatuhan
karena luka
tak perlu kita saling berkasih-kasih
luka perih ngilu dan berpuluh-puluh sakit ini
semakin memperjelas nganga menuju nganga
sampai ke pelosok nganga
di penghujung sejarah nganga
darah luka teruslah bicara
Banjarbaru, 19 Januari 2010
(gerimis tipis mulai mengundurkan diri ke tepi)
Aliman Syahrani
Loksado
di hunjur banua, lepas dari jam-jam kerja
gunung-gunung menggeliat dalam warna
sungai-sungai menikung berirama
hari yang lahir ditimang persada
di sini kembali menggenang tenaga
diri yang aus karena debu di kota
di sini turun dayang pun sahabat setia
bergelayut di dahan sebelah utara
turun dayang yang setia
menjuntaikan dendam rindu saat senja merah membunga
di sini bumi kembali perawan
dan langit dan mega dan semua memberiku harapan
lebih dari sekadar seorang budak zaman
yang hilang dalam deru kerja dan impian
Kandangan, Maret 2010
Aliman Syahrani
Pasar Terapung
perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta
dari manakah mereka
ke Lok Baintan mereka tanjak jukung dari pinggir-pinggir kota
sebelum beduk subuh terjaga
sebelum hari bermula dalam geliat kerja
perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta
ke manakah mereka
di atas riak sungai mereka berkendara
berlomba dengan surya menuju dermaga
mengais hidup di arus niaga
perempuan-perempuan yang mengayuh jukung di pagi buta
siapakah mereka
ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
akar-akar yang melata dari hulu menghilir ke muara
mereka: cinta kasih yang bertaut menghidupi kota dan desa
Lok Baintan, 26 Februari 2009
Aliman Syahrani
Dalam Puisi
dalam puisi kukumur segala rindu
dalam puisi kusendawa segala cumbu
dalam puisi kukunyah segala rayu
dalam puisi berkenalan engkau dan aku
dalam puisi kita bertemu
dalam puisi engkau adalah aku
dalam puisi kita adalah satu
sebab puisi adalah nafiri rindu yang memanggil selalu
sebab puisi adalah lagu cumbu yang mendendangkan harapan-harapan baru
sebab puisi adalah bahasa rayu yang memabukkan engkau dan aku
sebab puisi adalah dunia di mana kasih kita berpadu
sebab puisi adalah cinta ketika engkau dan aku fana dalam Hu
Kandangan, 28 Mei 2010
Andi Jamaluddin AR AK
Doa di Atas Sajadah
Gusti, manakala biru malam yang keluar dari pesakitan kabut,
melunjurkan tangan di para-para angin
menggigil sekejap,
tiba-tiba telanjangku ditatap sabit bulan
gemetar dalam harap rahmat-Mu
yang tiada putus seutas benang pun
membentang tersia-sia
Gusti, kurasakan duri ini amat tajam menancap di telapak kaki
seperti ingin menghentikan langkah
tetapi jalan di depan sana masih jauh
pepohonan teduh menunduk
daun-daun kering mengeriak
sungguh, walau bukan padang yang membentang
sementara nanap waktu
terus menendang hari-hari yang berlalu percuma
semua tidak berarti
karena kami memang jarang bersyukur
Gusti, telah berlumur dosa di dalam jiwaku
bahkan sudah mengisi aliran darahku
tulang-tulangku pun semakin menjadi rapuh dan mudah lelah
sehingga tidak mampu lagi melangkahkan kaki
untuk berpijak di sajadah-Mu, biarpun sekali saja
Gusti, kami berkumpul di sini menghampar kepasrahan
dalam kekakuan lidah
untuk mengucap sehuruf saja dari nama-Mu
karena kami yakin lama kelamaan akan menjadi terbiasa
agar kami bisa menikmati berkah-Mu,
meski hanya setitik air di padang terik hari
Gusti, siapa lagi tempat kami mengadu
menelanjangkan diri dari segala hiruk-pikuk kehidupan yang serba tak menentu
bukakan jalan meski hanya setapak kaki yang berpijak
sebutkan di mana ada arah cahaya, biar kami yang menentukan pilihan
dan kami bisa keluar dari gigil gelap malam
sebutkan di mana ada sungai yang mengalirkan arus ampunan
dan tubuh kami bisa jadi perahu kecil dari magfirah-Mu
agar kami semua bisa tiba di dermaga waktu
membawa bekal sesederhana mungkin
tetapi kelak bisa menginjakkan kaki di halaman rumah-Mu
Andi Jamaluddin AR AK
Perpisahan
Wahai kekasih, ya kasih,
tak ada yang bisa menghentikan perjalananmu
berhari-hari rasa kasmaran ini membelai rindu yang mendalam dengan lika-likunya
begitu cepat kita bercengkerama dalam cinta dan doa
kau pergi di saat tahmid dan takbir
bergema dalam relung hati
Wahai kekasih, ya kasih,
rasa ingin aku berlama-lama memelukmu
menumpahkan segala duka dan luka yang dalam
mengeratkan rasa cinta
sepanjang hayatku masih ada, di sini
Wahai kekasih, ya kasih,
dengan rasa syukur dan rindu
kita berpisah di sini
kelak bertemu lagi tahun depan
Antung Hormansyah
Bunglon
Terkadang
Dia tampil bak petinggi negeri
Pakai kemeja, jas lengkap dengan dasi
Sepatu mengkilap merk Itali
Kesana kemari pakai mobil tertutup rapi
Seakan penguasa, yang tak bisa mati
Terkadang
Dia tampil rapi berbaju batik
Tutur kata sopan, wajah dibuat simpatik
Senyum sumringah
Walau terkesan pongah
Terkadang
Dia tampil bak seorang dermawan
Sapa sana, sapa sini seakan banyak kawan
Sering bagi uang kepada orang-orang
Sambil berkata, oo ini tak seberapa, mumpung lagi ada
Terkadang
Dia hadir pakai sarung, baju koko, sorban di leher
Di pengajian sering maunya duduk paling depan
Sesekali manggut-manggut
Seakan sudah paham
Agustus 2010
Ariffin Noor Hasby
Kabar Buruk
adakah kabar yang lebih buruk, kawan
selain hidup tanpa petunjuk tuhan
begitulah suara malam dari bahasa perempuan
panggilan-panggilan jiwa yang mengucapkan
reruntuhan
reruntuhan kasih sayang
o, ternyata dunia sekarang telah berubah, sayang
kearifan yang dulu jadi nyanyian kepedulian
yang dulu diwariskan nenek moyang
kini hanya jadi tontonan
semua hanya lagu sapu tangan
Banjarbaru, 2007
Ariffin Noor Hasby
Seorang Lelaki Mencari Tuhan
seorang lelaki mencari tuhan dalam dirinya
tapi belum ditemukannya hidup yang lebih baik di sini
maka kusiapkan piring dari dalam mulutnya sendiri
untuk menimbang rasa kenyang atau lapar
yang dihantarkan langit kepadanya
dalam sepotong ayat seruan
berjagalah pada suatu malam
di rusuk-rusuk keheningan
sehabis lapar menghitung makna
sehabis kenyang membagi rasa
maka kusiapkan cawan dari dalam mulutnya sendiri
sebagai tanda waktu yang akan tiba memanggilnya
Banjarbaru, September 2008
Aspihan N. Hidin
Cerita Singkat yang Tergerus
tanah kosong tepi sungai
aroma air segar yang ceria
memendam aneka cerita
dan tanda tanya
dari deretan rumah lanting hingga
rakit kayu meliuk
jukung-jukung tambang menimbang
zaman
sementara nelayan menebar jala
atau pancing udang, sesekali jukung
bergoyang
disenggol gelombang
bocah-bocah dari tepi ke tepi
berenang menjenguk waktu
yang disampirkan pada pundak mereka
dibungkus tekad berlipat-lipat
itulah goresan cerita yang sedikit
sempat kutangkap
dari perangkap waktu masa kecilku
yang kini lanskap itu mulai menepi
pada senja purba atau menjelma
barang langka
di dasar laut dalam masa
dalam pengembaraan kekinian
Marabahan, Mei 2010
Aspihan N. Hidin
Mengitari Pesanmu
(catatan kecil Marabahan-Takisung)
buat Sari Faridawati
bergegas di pagi ini
menjemput perjalanan dari beranda sunyi
merantau ke sebuah episode
pada hikayat rindu yang hablur
meretas langkah tamasya
kusinggahkan di gerbang pantai
sembari mengitari pesanmu untuk menemu cerita
dari bait-bait puisiku
kalau dalam diam dihembus angin
karena kata-kataku telah lama mengeram
di tasik dan laut perjamuan yang pernah kau jumpai
walau kita telah bersitatap satu kali
(senja pun datang
lalu kumulai bergegas pulang sebelum perahu kata-kataku karam
atau tak jadi menetas menjadi puisi)
Marabahan-Takisung, 9 Januari 2010
Asna Sepriawati
Ku Tak Mampu Menjelaskan
Ku tak mampu menjelaskan
Pada awan yang mulai pias
Pada udara yang tak berwarna
Pada biru hijaunya manusia
Dan pada sepoinya angin yang tak lagi bersuara
Ku tak mampu menjelaskan
Inikah amarah Tuhan
Ataukah takutku pada Yang Esa
Ataukah cintaku pada kasih-Nya
Ataukah juga malu yang terselubung
Pada iman yang sedikit masih bersisa
Yang tersimpul pada ribuan dosa dan dosa
Ku tak mampu menjelaskan
Antara ujian, sindiran
Ataukah karma
Ketika fragmen jalang
Menyepakku di pinggir zaman yang terluka
Barabai, 10 Agustus 2010
Asna Sepriawati
Bingkai yang Terlepas
Bingkai yang terlepas
Pada sudut peristiwa
Terkulai dan lemah pada titik yang berbeda
Lunglai dan luruh jatuh
Menghilang lenyapkan sejumlah asa
Bingkai yang terlepas
Adalah sebuah goresan manis
Pada sudut peristiwa
Menggilas masa-masa penuh rindu dan asa
Bingkai yang terlepas
Kini telah tergilas
Dan tenggelam bersama gelombang laut nestapa
Di sini
Aku hanya bisa bermimpi
Bingkai-bingkai kan ikut terbaring dalam peristiwa
Yang lelap dalam tidurnya
Barabai, 10 Agustus 2010
A. Rahman Al Hakim
Padamu Baktiku
untuk Ayah Guru Sekumpul
kenangan itu menghiasi hari
menjadi pelita lewati sunyi
katamu mengalun dalam hati
nasihatmu menyatu dalam diri
semua ini kubawa hingga akhir napas
kau yang membimbingku
kau yang menuntunku
jasadmu terbaring dalam damai
rohmu senantiasa bersama hari
untukmu bakti yang tak selesai kumerangkai
untukmu pengabdian yang tak lunas kubayar
maknamu yang tak selesai kukaji
jasamu tiada dapat kan kubalas
karena aku masih menjalani hari
aku hanyalah seorang pejalan
pada rindu kita bertemu
dalam mahligai cinta
saat aku menemuimu
sambut kedatanganku
wahai kamu jiwaku
A. Rahman Al Hakim
Senja Untukmu
nikmati senja
mentari yang hilang
tenggelam
semilir angin
membelai pantai rasa
yang dalam
langit merah kuasa keagungannya
kepak sayap camar yang pulang ke sarangnya
rindu
kau di sampingku
rindu
kau sandarkan bahumu
kutatap langit sendiri
tanpamu di sini
berteman ombak senja
yang kian menghilang
semoga kau yang di sana
tetaplah menjaga cinta kita
hingga kita bersua
hingga kita bersama
bersama senja
kuberanjak tunaikan firman-Nya
tuk haturkan doa
untukmu
A. Syarmidin
Barangkali
barangkali kadang kita tidak sadar
bahwa kesenangan dan penderitaan
adalah ujian
barangkali kadang kita tidak sadar
bahwa jabatan dan kedudukan
adalah amanah
barangkali kita sering atau kadangkala tidak sadar
bahwa segala perbuatan, tindakan dan perkataan
akan dipertanggungjawabkan
ke hadirat-Nya
barangkali kita sering atau kadang tidak sadar
bahwa apa yang kita miliki dan kasihi
suatu saat akan berpisah
barangkali sering kita atau kadang tidak sadar
bahwa suatu saat kita dalam sepi kesendirian
barangkali akhirnya kita berharap nyanyian angin
air surga-Nya untuk membasuh luka-luka ketidaksadaran kita
Kandangan, awal Ramadan 1431 H.
A. Syarmidin
Pengakuan
ya, Allah ya Rabb
betapa buruknya kami
Kau berikan hati untuk bersemayamnya iman dan ikhlas
namun kami penuhi dengan kedengkian
dan rasa kebanggaan yang menghilangkan amal pahala
ya, Allah ya Rabb
betapa jeleknya kami
Kau karuniakan sepasang mata untuk melihat
menyaksikan kebesaran-Mu di fenomena alam
namun kami gunakan memandang yang Kau larang
ya, Allah ya Rabb
betapa jahilnya kami
Kau berikan lidah untuk membaca kitab suci-Mu
mengeja asma-Mu dan perkataan yang santun terpuji
tapi nyatanya kami gunakan untuk mengghibah dan memfitnah
ya, Allah ya Rabb
betapa tidak benarnya kami
Kau beri panca indera untuk meningkatkan amal pengabdian
namun kami gunakan untuk kemaksiatan, kejahatan, selingkuh dan korupsi
ya, Allah
betapa besar dan berat dosa yang harus kami pertanggungjawabkan
kami tidak sanggup akan azab siksa-Mu yang maha dahsyat
kami hanya setetes air di tengah samudera kebesaran-Mu yang tak berhingga
ya, Allah Yang Maha Rahman
rahmat dan sayang-Mu lebih besar dari kesalahan hamba-Mu
ya, Allah Yang Maha Rahman
kasih-Mu lebih luas dari dosa hamba-Mu
ya, Allah Yang Maha Rahim
Ramadhan ini kuketuk pintu-Mu
kuraih ampunan-Mu
kujemba sayang-Mu
kukais maghfirah-Mu
kuraup berkah-Mu
lebur aku dalam harap
kukuhkan hamba-Mu ini pada buhul takwa
Kandangan, medio Ramadan 1431 H.
A.W. Syarbaini
Nawala Warta Penatah Adat Budaya Banua
Duli Paduka
Bermula ini pengatur kata
Kepada pinarak pengatur ulun
Jumantang wantan
Jang sinuhun
Kabih penerima amanah
Jang sinuhun
Menyongsong warta ampun, beribu ampunan
Di bawah duli panjanangan dalam
Ini pembuka kata
Mengubah rasa menjadi makna
Serang sekenyar, sekenyari
Surup sungkup Sang Hyang
Berpujangga pati
Duli Paduka
Penatah adat budaya banua ini menghatur warta
Meski lewat jarak teramat jauh
Yang mungkin tak paduka dengar
Namun kami harus bertutur kata
Dengan nawala warta berkaca-kaca
Duli Paduka
Walau dengan bait-bait syair yang masih mentah
Namun dengan makna kata ini
Kami coba usir tirani
Yang selama ini terasa menguliti
Duli Paduka
Barikin nama kampungnya
Belajar tari wan lagu jinggung
Merasuk igal jejak wayang gong
Baturai nyanyi berbalas pantun
Banyak yang datang tajak serubung
Duli Paduka
Wan madihin telah kami singgung
Wan igal telah kami ambung
Wan syair kami haturkan
Perihal nasib yang kami tanggung
Duli Paduka
Wayah dipawayah
Adat budaya banua ini semakin usang
Bagaikan batang tarandam
Berharap uluran tangan Duli Paduka
Agar seni bahari turun temurun
Jangan pang hilang
Tetap didukung
Serasa anak kandung
Duli Paduka
Karya kami tertulis di lelambai dedaunan
Dan angin pun dapat membaca
Pada tetes karya paduka pada banua
Yang terekam di naskah sejarah
Duli Paduka
Kan kami lantunkan syair sepanjang masa
Dengan seluruh perasaan jiwa ragawi
Karena gelora semangat ini
Tak akan pernah padam
Meski mata pena tiada bertinta lagi
Barikin, 2 Agustus 2010
Bagan Topenk
Bila Tak Lagi Satu
16 Oktober 2009
Lerailah sudah semua rasa
saat genggam tangan kita tak lagi satu
saat hati tak lagi saling setuju
semua telah sirna ditelan masa
tertinggal kita satu sama lain
di antara tangisan dan rintihan,
satu dalam penyesalan
satu dalam kenangan
tiada usah lagi berharap rasa itu tumbuh,
ego kita memang telah saling membunuh
kita sama dalam hati terhunus
dari detik waktu yang kian menggerus
dan,
bila pun waktu kembalikan kita untuk satu,
menggenggam rasa yang telah beku
namun tiada mungkin dapat kembalikan indah itu
(tuturku bersama pilu)
semua berlalu
kita hanya dapat meramu indah dari kepingan waktu
sayang, semua telah hilang
namun ijinkanlah untuk selalu kukenang
Dien Alice
Penggali Kuburan
Dengan bismillah
tangan kekarmu bergerak
entah berapa banyak lubang kaugali
entah berapa banyak mayat kautanam
bau tanah menyatu dalam tubuhmu
bau keringat menyatu dalam hasratmu
dan ketika indramu mulai bersahabat
kau tahu tanda bumi tersenyum
kau tahu ada bumi menangis
bahkan memekik marah
lalu katamu
“Dengan nama Allah tenangkan dia”
setelah itu kau menunduk diam
dan katamu pula
“Ototku memang kekar
nyaliku memang besar
tapi bersamamu kelak
aku tak mau terkurung dalam gelap
terimalah aku”
Dien Alice
Pasar Ramadan
Pasar Ramadan digelar di planet bumi
Pusat perhatian segala jiwa yang menghamba
Beragam menu tersaji merebut hasrat pilihan
Pasar Ramadan pasar murah
tempat menjajakan segala yang disuka
dengan sedikit biaya lezat pun dirasa
Lihatlah!
Berbondong-bondong insan menuju porosnya
Tak berbatas usia tak berdinding kebesaran
kecuali bersanding keikhlasan
mereka saling mendahului saling memilih
takut diburu senja dan matahari menghilang
pasar Ramadan pasar murah
pasar yang tak pernah sepi peminatnya
dan malaikat mengiring langkahnya
hingga mengantarnya ke pangkuan Ilahi Rabbi
Aemte, 15 Agustus 2010
5 Ramadan 1431
East Star From Asia
Alif-Alif
malam berkilau dalam kotaku, dari balik aurora alif-alif berbaris mengepak
cahaya, terus saja bernyanyi. kutabuh kulitku irama gurun yang bergema tak putus dan sebutir demi sebutir bintang memijar hadir. bulan tergolek dan cawan-cawan dahaga tercipta dari nyala mata mereka: waktu tumpah di ujung sajadah.
mencium pesisir. burung-burung laut menggelepar, namun riuh tak terdengar. terus saja alif-alif menempa cawan-cawan dari lempung pasir, terus saja alif-alif menaiki zikir. mimpi bercurah dari bintang yang lena dan perahuku nyenyak dalam rahasia semesta.
kotaku tak bernama tak berhuni. bisik purba menampar-nampar cermin wajahnya dan putih dindingnya. akhirnya, tinggal gelombang darah menjemput gelisah mendampar hening. napas laut mendesah dan rumput laut yang basah.
dalam tatapan alif-alif rawa berkembang jadi padang. padang berkembang jadi hutan. hutan hangus!
dalam tatapan alif-alif mawar berkembang jadi bintang. Bintang berkembang jadi matahari. matahari gugur!
semua karam di laut itu. matahari pecah senantiasa menjelma hiu. hutan rebah senantiasa menjelma perahu.
lalu dari palung bisu, badai bangkit menawarkan tafakur. dan daratan hitamku menumbuhkan alif-alif dari jiwa yang lebur.
Banjarbaru, 1986
Eko Suryadi WS
Elegi Negeri Seribu Ombak
Di negeri seribu ombak
kubangun kota-kota peradaban
Kutaburkan mimpi daun, sungai, cakrawala, hujan
Lewat kasih sayang bunga
Kuhisap udaramu
kuhirup sungaimu
kupijak bumimu
kukayuh lautmu
menjadi semestaku.
Di sini perarakan musim datang dari segala penjuru
membawa mimpi peristiwa
dari nol kilometer ke kilometer lima puluh tiga
kusapa duka lara.
Tangismu melarutkan jembatan kekinian
Air matamu meruntuhkan beton-beton
Menisbikan sejarah yang lahir dari doa-doa leluhur
Kuburnya ditenggelamkan para pengembara
Kota-kota telah dibakar para perambah
Mimpi musim pun diseret putaran waktu:
tak pernah kembali
tak pernah tersisa
Adakah semestaku.
Mereka lukai negeri ini
Mereka hirup darahnya
Dengan rasa haus dan mata terpejam
Di negeri seribu ombak
Burung-burung pemangsa meninggalkan bangkai
setelah pesta
Kotabaru, Juni 2003
Eko Suryadi WS
Bajau
Atas nama nenek moyang
laut kau tugali dengan sampan
Nasib membawamu kepada pengembaraan
Berlayarlah menuju musim
mencari jati dirimu
Atas nama cinta
kau kayuh samudera mendekatkan semesta
mata angin pijar olehnya.
Kau curi utara kau tanak barat
Kau tenggelamkan selatan kau tiduri timur
Lautmu adalah kelahiran
Daratan mimpi kematian
Berlayarlah dengan waktu
Tak kembali kembali
Juriatmu pengayuh
menegakkan cinta dalam ruh
Kotabaru, 2008
Eza Thabry Husano
Menjauh dari Nafsu dan Fitnah
shalawat dan salam senantiasa menyertai teladan
budi baik terentang luas jadi sebuah titian
risalahnya mengabarkan berita riang dan mengingatkan
melimpah kepada keluarga serta saudara
bagai pelita memancarkan cahaya
hidayah ridha Allah, ikhtisar dalam nasyrul ulum
hubungan kaum hawa dengan khaliqnya
keluarga beserta umat
tiada yang dibanggakan selain membangun ikhwanul
muslimin jadi harapan kecerahan masa depan
semoga Allah rabbul izzati melimpahkan
nilai abadi semua kaum muslimin
pada firman-Nya waqul rabbi zindnii ilma
tiap kaum adalah pemimpin
imam adalah pemimpin
laki-laki adalah pemimpin
perempuan adalah pemimpin rumah tangga suaminya
semua bertanggung jawab atas kepemimpinannya
diwajibkan berupa perintah saling tolong-menolong
dalam kebajikan dan taqwa. Saling berwasiat
untuk al-haq, bersabar dan ber-amar ma’ruf
nahi munkar
imam qurthubi berwasiat
bahwa perhiasan bagi perempuan ada dua
yaitu: khilqiah dan muktasabah
khilqiah merupakan perempuan yang indah
muktasabah mempercantik diri: pakaian dan perhiasan
lalu kita lihat, ada perempuan berpakaian tipis
dan ketat, hingga lekuk tubuhnya tampak jelas
mari kita menjauh dari nafsu dan fitnah
berlindung kepada Allah dari dosa fasiq
dan durhaka kepada-Nya.
Banjarbaru, 2010
Eza Thabry Husano
Fitrah Akal dan Iman
kita baru melewati gurun perjuangan
membabat tumpukan penggoda bani insan
mengendalikan anggota badan bahkan
jiwa dan hati yang menjauh dari ridha-Nya
suatu perjuangan berat dalam jihad
banyak manusia perkasa berkuang nafsunya
mengubur derajat kemanusiaan mulia
menjelma derajat kehinaan di relung zaman
bertudung harga diri durhaka
lupa peradaban asalnya: Sang Pencipta!
sejarah banyak menukil peristiwa
mahumbalangkan iman manusia
harta kikis, pangkat dan kursi
jadi ampas daki matahari
dalam riwayat ada pelayan bernama Aswad
berjasa besar terhadap Nabi Muhammad
tapi berbuat tercela, diam-diam mengambil sepotong
baju mantel, barang rampasan Perang Khaibar
usai perang Nabi melewati perkampungan Yahudi
sambil berdakwah; seorang Yahudi melepas anak panah
ke arah Nabi. Tapi yang kena adalah Aswad
dan tewas seketika
“demi Tuhan yang menguasai diriku, sesungguhnya
sepotong mantel yang diambil mengobarkan api neraka
membakar dirinya,” kata Nabi
kematian Aswad di medan perang jauh dari syahid
wahai, jangan kotori jiwa dan hati
dengan memperjudikan moral dan akhlak
kemaksiatan, bid’ah dan khurafat
kembalilah pada ajaran agama dan aqidah
maka hari ini, jadikan kembali fitrah
fitrah akal dan iman mengarak kemenangan
Banjarbaru, 2010
Fahrudin Arifin
Negeriku yang Sebenarnya
Inilah negeriku yang penuh budaya
Beragam agama, ras dan suku bangsa
Menjadi satu dalam “Bhineka Tunggal Ika”, katanya!
Inilah negeriku yang penuh hutan rimba
Mendapat julukan paru-paru dunia, katanya!
Inilah negeriku yang kaya raya
Tanahnya subur rakyatnya makmur, katanya!
Inilah negeriku yang demokratis
Negeri yang pendidikannya pun gratis, katanya!
Inilah negeriku. Sebuah negeri katanya.
Kalau semuanya ini katanya
Lalu mana negeriku yang sebenarnya?
Inilah NEGERIKU YANG SEBENARNYA dan bukan katanya
Negeri yang mempunyai kebebasan beragama sebebas-bebasnya
Negeri yang berBhinneka Tunggal Ika yang sudah tidak ika lagi
Negeri yang penuh hutan rimba dan telah berubah menjadi hukum rimba
Mengeksploitasi hutan sehabis-habisnya
Inilah negeriku yang sebenarnya
Negeri yang kaya raya tetapi rakyatnya menderita
Negeri yang tanahnya subur tetapi beras masih impor
Inilah negeriku yang sebenarnya
Negeri yang demokratis, kalau demonstrasi berujung anarkis
Negeri yang pendidikannya gratis, tetapi hanya merupakan janji-janji manis.
Inilah negeriku
Negeri yang sebenarnya
Negeri yang menginginkan pemimpin-peminpin benar
Benar sebenar-benarnya
Jaro, 24 Agustus 2010
Fahrudin Arifin
Malam Penetapan
Malam itu diam
Dari janji langit ditentukan
Malam itu hening
Pada bulan, pada awan, pada angin
Pada pohon-pohon yang tunduk
Pada air yang menjadi beku
Pada bumi dihamparkan
Malam itu mulia
Malam yang memberikan ketetapan
Bagi perjalanan hidup makhluk manusia
Dengan kedamaian dan ketenangan jiwa
Jaro, 15 Ramadan 1431 H. (25 Agustus 2010)
Fahrurraji Asmuni
Kepada Adam
Luka yang kau toreh pada diri
Kini menjadi ular besar
Menjalar
Menebar bisa kemana-mana
Yang kena gigitannya
Membekas
Menjadi petaka
Ada yang memanis rasa
Tapi, tanpamu
Dunia tiada
Fahrurraji Asmuni
Seonggok Bara
Di belantara diri ini ada segumpal bara
Tersimpan dalam diam
Menunggu puput
Yang mau mengajak bergelut
Seonggok bara
Ingin kujadikan api
Membakar matahari
Fitri Jamilah
Ekspresi Cinta
Ketika Laila jatuh cinta
dunia laksana taman bunga
berseri penuh warna
Setiap menit berlalu
adalah kenangan indah
tak lekang waktu
(ketika bersambut,
cinta adalah kebahagiaan)
Ketika Arai jatuh cinta
dunia laksana gurun
gersang, kering
Setiap menit berlalu
adalah luka
tak hendak dikenang
(ketika tak berbalas,
cinta adalah kesedihan)
Ketika Yusuf jatuh cinta
dunia serasa hampa
tanpa makna
Setiap menit yang berlalu
adalah penantian tak berbatas
tanpa limit
(Ketika terhalang jarak,
cinta adalah kerinduan)
Ketika Ling jatuh cinta
dunia seperti medan pertempuran
beradu taktik, beradu trik
Setiap menit yang berlalu
adalah perjuangan
untuk kemenangan cinta
(ketika terhalang restu,
cinta adalah pengorbanan)
Ketika aku jatuh cinta
Apa yang kurasa?
Fitryani
Diam
Yang hanya diam
Masih saja begitu engkau
Tak berbuat apa
Kau punya darah
Punya rasa dan keinginan
Tapi mengapa diam
Walau dalam jatuh
Bahkan hancur berantakan
Karenamu aku bimbang dalam ketabahan
Karenamu aku ragu arti kesabaran
Karenamu aku telah yakin
Ibumu memang beranak ganjil
Fitryani
Wanita dan Sepi
Di jalan sepi begini
Bagai larut malam-malam sebelumnya
Kali ini dan untuk kesekian kali
Gerobak itu berderak lagi
Lintasi lagi
Jalan depan rumahku penuh lubang dan batu
Segala membisu, gigil tubuh kaku membeku
Bagai larut malam-malam sebelumnya
Gemerincing kalung lembu
Memecah kesunyian seribu
Seribu harap tukang gerobak
Si tua kekar di lintasan waktu
Di jalan begini sepi kabut terus dia tembus
Sedang subuh masih begitu lama
Perlahan lenggang menyapu debu
Bayangnya hilang angin berlalu
Angin malam ini begitu nakal
Padahal aku berharap semua ini
Bukan sekedar mimpi
Gusti Indra Setyawan
Orasi yang Tak Terputus
untuk almarhum Sugiannor
di mana orasi itu, di situ ada aku
di kala kau ada
di sela gelak tawa yang membaur dalam orasi panjangmu
namun, tak seorang pun yang tahu, apa maksud yang ada dalam orasimu
di saat kau sebarkan senyum
seakan senyuman itu tak pernah memantul dalam senyumanmu
di saat kau lontarkan cakrawala pikirmu
seakan cakrawala itu hilang, lenyap, tak pernah terlaksana
kau berikan pancaran buat dakwahmu
tapi dakwah itu laksana sebuah kata yang hilang setelah terucapkan
di kala kau ada
masih terngiang ketika jemari-jemarimu memetik dawai mengalunkan nada
ketika tangan-tanganmu menari di atas alunan musik
menjadikan nada menjadi irama dan irama menjadi lagu
tiada hari tanpa canda dan tawamu
tiada hari pula, tanpa keluh dan kesah bersamamu
kini tawa itu hilang, lenyap ditelan waktu
dan kini keluh kesah itu tenggelam ditelan bumi
di kala kau tiada
Suara itu diam, dakwah itu hilang ditelan sepi, orasi itu lenyap ditelan mahligai pusaramu
Suara yang biasanya meniduri seniman sepertimu
Kini hilang seakan terbawa oleh arus angin yang dihantam gelombang
Di saat kau tiada
Sepi selalu merangkap kabut
Mentari telah pudar dibasuh langit
Sosok yang tegar laksana karang dihantam badai, kini tenang tanpa penghuni
Kami hanya bisa meratap, mengenang saat kau tiada
Dan kami hanya bisa mengharap seribu maaf yang tak terbata
Dan kami hanya bisa berdoa, semoga orasi itu tetap takkan pernah terputus
tenteram selamanya, damai disisi-Nya
Amin
Hamami Adaby
Ruang-Ruang
Ruang kerja
kita duduk menghadap meja
di atas map warna-warni
mesin ketik dulu komputer kini
karbon-koreksilak-type-ex-stencilsheet
barang macet.
Absensi paraf
hari ini kartu pintar
curi waktu-mangkir potong gaji
silakan kalau mau disetrap
atau dicap indisipliner.
Curi waktu dosa
nyontek dana-rauh duit-sabotase m.a.
perbuatan amat hina!
Di meja setumpuk map
surat masuk-keluar
Tanda tangan-disposisi
Semua tanggung jawab jenjang kamar
Dari sekeping hati reliji.
Yang asyik kerja
surat masuk-keluar agenda
membuku uang-uang perbelanja
menyisih ruas buku, he, copet penggaris teri
mark up harga, he, maling kwitansi
pembelian fiktif awal korupsi
rayap-rayap merajalela bersaf
perlu kerangkeng tangkap masuk perangkap.
kalau zaman perang ada pengkhianat
tembak di tempat
kalau pegawai berhenti tidak hormat
yang lain terbuka pintu tobat.
Banjarbaru, 28 Juni 2010
Hamami Adaby
Box-Box
Alif kusemai di padang hakiki
mengalir pusar angin dalam imaji
siang malam merendam kata pualam
pelita menara api di pertiga
kita bersama menatah wajah jelita.
Bertahun cuaca tak bersahabat
manusia sedang haus sedang lapar sekarat
menahan berat beban menerkam kepedihan
merekam hujan gempa banjir dingin menyengat
panas bumi berkelebat sedang kesetanan.
Kita mandi keringat bikin rumah bambu
dengan kucur peluh sendiri
ditindik jarum kepalsuan terluka
dalam sajadah puisi kuhayati
sengatnya lebah menikmat rindu.
Yang buat istana di atas pengunduh
dari serpihan-serpihan kertas ratusan
di balkon-balkon elit perumahan
bank boxbox logam mulia hiruk gaduh
“banyak rampok di negeri bedebah!”
Banjarbaru, 15 Juli 2010
Hamberan Syahbana
Aku Rindu Aku Ingin
Aku rindu subur tanahku subur sawahku subur ladangku
aku rindu rindang pohonku rindang hutanku
aku rindu pesona hunjur meratusku
aku rindu beribu sungaiku yang sejuk segar dan bening
aku rindu bunyi kicau murai di pepohonan alamku
aku rindu padi menguning di sawah-sawah
sementara deru alat besar memotong menghumbalangkan hutanku
lalu hutan gersang dan tanah gundul terhampar di mana-mana
lalu air bah banjir bandang tanah longsor di mana-mana
sementara gelegar bom dan dinamit gencar menggebu-gebu di mana-mana
lalu danau hitam pun menganga di mana-mana
lalu debu hitam menyesakkan dada pun menyerbu ke mana-mana
lalu bencana demi bencana di mana-mana
lalu musibah demi musibah di mana-mana
aku ingin anginmu tetap sejuk bertiup di mana-mana
aku ingin kicau muraimu tetap bersenandung di mana-mana
aku ingin kau tak pernah porak-poranda
aku ingin kau tak pernah jungkir-balik
aku ingin kau tak pernah terbakar tak pernah tercemar
aku ingin kau tak pernah bertukar rupa menjadi bencana dan malapetaka
aku rindu semua tetap seperti dulu
aku ingin semua tetap mempesona
aku ingin tetap
seperti
dulu
Banjarmasin, 2009
Hamberan Syahbana
Hidup Ini Cuma Satu Kali
Hidup ini cuma sekali sudah itu mati
Siapa bilang tak berarti?
Di sana sudah pasti
ada berjuta arti tengah menanti
hingar-bingar dan jeritan tangis histeris yang tak pernah sepi
menggelegar dahsyat panas panas panas panas
atau lagu maha rindu bergema rindu rindu rindu rindu
rindu yang maha suci
dan aroma semerbak mewangi tercium ke mana-mana
ke mana-mana ke mana-mana
sembari
menunggu berjuta janji yang maha pasti
Tidak seperti di sini janji tinggal janji
sudah janji lalu ingkar
berkali-kali
berkali
kali
?
Banjarmasin, Agustus 2010
Hajriansyah
Sisi Langgar
Ia duduk di depan jemaahnya. Ia duduk dikelilingi bau kesturi dan kemilau baiduri.
Dari ujung menaranya menguar risalah-risalah indah, bintang-gemintang seribu satu
malam, dan cerita nabi-nabi pembawa kabar gembira tentang surga.
Dari langgar ke langgar bersama perahu yang dikayuhnya sepenuh hati, mengalir
puja-puji; tapi sampai di mana batas sunyi? Batas sunyi di malam-malam. Batas
sunyi di dinding-dinding papan, tempat ngengat bermukim menunggu lapuk bagai kerupuk. Batas sunyi di awan-awan, di mana mentari tidur berselimut kegelapan.
Di dinding hatimu kebaikan berumbai-rumbai kehijauan, mengirimkan segar udara
pepohonan.
Duduk-duduk di pintu langgar kecilnya, kita lupa suara-suara kepedihan. Yang kita
ingat hanya taman surgawi, rindang-merindangi. Tapi di mana batas pengharapan?
Hajriansyah
Sisi Berita
Inilah kita. Tak habis bertanya. Mengunyah berita dengan saus berwarna orange tua.
Dan cukup di sana! Besok suara-suara telah dilupa. Pengantar tidur kita angin utara.
Dinginnya melenakan mata.
Inilah kita. Banyak bertanya. Digerus berita dianginkan suasana hilang mata hilang
telinga.
Dan cukup di sana! Lusa telah lupa penguasa mana yang mengusir kita.
Ingatan hanya sejarak sungai yang mengulak memisahkan saudara.
Ulaknya menenggelamkan jiwa.
Inilah kita. Terlalu mencinta. Tak rela memisah badan dengan jiwa. Tiarap menunggu
badai sirna.
Menunggu mengharap cinta tak ada.
Harun Al Rasyid
Pamitku
(kepada yang berpihak padaku)
Perasaan pun jadi diam
Desah napas kita seperti nujum
Ia mengetahui kapan perubahan ini
Akan berubah dengan wajah baru
Orang-orang pada siap segalanya
Mereka akan pergi segera
Meninggalkan bangku-bangku
Di ruang penantian
Kuseret paksa sisa usiaku
Yang tersangkut di sini
Sebelum kumulai pertarungan
Baru di dunia lainnya
Tak ada apa-apa yang perlu
Disesalkan dan dikhawatirkan
Dan tak ada air mata sedih
Yang harus dipikul beban
Aku tak akan pernah risau
Bila akan sebagai pemenang
Dan tidak merasa malu
Menjadi pecundang di ranah ini
Di singgasana penantian ini
Betapa tegar untuk merahasiakan
Dan menyembunyikan sejuta cerita
Tentang orang-orang yang bepergian
Dan kembali pulang
Di sini kunantikan kehadiranmu
Untuk membasuh bekas luka-luka
Dan menyerahkan sisa usiaku
Sehabis itu aku akan bersiap
Hingga lenyap di dalam sebuah
Cerita damai
Hanya mohon maaf dan ampun
Kado yang dapat aku berikan
Sebagai tanda pertalian erat
Yang terlukis dalam rindu kita
Amuntai, Agustus 2009
Harun Al Rasyid
Di Pundakmu
(masa depan HSU
– kepada mahasiswa di Yogyakarta--)
Kaulah samudera luas
yang merelakan kapal-kapal
meluncur cepat
di pundakmu kapal-kapal
menanti keramahan samudera
cintanya, ketulusannya dan
kesiapannya untuk membongkar
segala luasnya, ungkai cerita
dalamnya, semua rahasianya
Demi rahasia yang dikulum
Samudera pun
Kubaca jelas
dalam membangun banua tercinta
Bumi Kahuripan Tanah Harum
Di pundakmu kapal-kapal
Bisa meluncur laju dan
Tenang menembus segala
Rintangan penghalang
Lalu membelah ombak, badai pembunuh
Di pundakmu sejuta harapan
Yang kugumamkan nyaring
Untuk mematikan lanjutan
Ceritanya
Yogyakarta, Juli 2009
Hardiansyah Asmail
Negeri Air Mata
Sepeninggal kau pergi
Menyisakan beragam jejak di pusar pertiwi
Kemerdekaan yang dulu kita angani
Ternyata cumalah ruang kosong tanpa warna-warni
Hari-hari selalu saja sembilu yang mengisi ruang waktu
Sepeninggal kau pergi
Ruang sidang mulai berubah fungsi
Jadi taman safari
Tempat kera-kera berdasi berbasa-basi
Harimau-harimau berminyak wangi
Atau kamar tidur para selebriti
Semenjak kau pergi
Kekerasan dijual setiap hari
Pornografi menjadi asupan bayi
Tak ada lagi tabir yang menutup aurat cinta
Hingga matahari menusuk selangkangan bumi
Kini putri pertiwi yang mulai berahi
Harus mencari sendiri jejak ibunya yang terabrasi
Jati diri yang hilang
Kebersamaan yang tumbang
Buku nilai yang rumpang
Harus kemana lagi mengisinya
Sepeninggal kau pergi
Ruang kosong cahaya
Iman tersangkut di ujung astaka
Hari-harimu buram mulai menjelaga
Karena orang-orang kehilangan tongkat Musa
Dan jati diri bangsa
Cerita tentang nilai itu cumalah retorika
Di ruang kosong hampa udara
Kandangan, 2010
Hardiansyah Asmail
Surat Untuk Bianglala
(petisi bagi peserta aruh sastra)
Tetes hujan kata-kata
Yang turun dari penaka rindu
Memekarkan persemaian sunyi
Lalu lahirlah tunas ilusi
Ini anak kita yang keberapa
Demikian engkau bertanya pada sekuntum senja
Saat gerimis purba
Menyelimuti isi kota
Jangan bicara soal jumlah, sayang
Sebab apa
Berapa
Ke mana
Bagaimana
Adalah penjara bagi langkah kita
Karena di sini
Wilayah kekuasaan mutlak fatamorgana
Lalu kita bebas mengungkai cerita
Surat untuk bianglala
Yang ditulis tangan para peri
Adalah seamsal hutan yang merindui hujan
Setelah itu lahirlah bahasa bunga
Yang disangrai di ulak ungkara
Bersama musim yang gila rupa kita utarakan setakat cinta
Surat untuk bianglala
Seperti bertautnya keinginan antara sahaya dengan tuannya
Demikianlah cerita
Tentang keniscayaan yang terpendam di dasar malam
Tersembunyi berbalut bahasa pualam
Manakala ada keinginan
Menepikan diri ke atas mimpi
Saat itulah senggama diam memperanakkan tikam
Mencumbu kata di ranjang niscaya
Mewarna dunia memberi terang pada gulita
Hingga saat menutup mata kita pun masih bersama
Ramadan ketigabelas, 2010
H. Adjim Arijadi
Keesaan Allah dan Diriku yang Pasrah
Esakanlah Allah dalam batin, siapa saja!
Bahwasanya kulitlah yang jadi kalimah
Dan iman itu hati
Kehendak itu makrifah
Napas itu ilmu
Otak adalah surga
Kenalilah Allah dengan
Iman
Islam
Tauhid
Dan makrifat
Allah jualah awal bermulanya
alam semesta
Tiada hakikat baginya
Hanya wujud dari bayang-bayang
Sedang wujud dari makhluk itu
Bayang-bayang sifat Allah
Bayang-bayang dan si empu-Nya
Bayang-bayang tak terpisah, kental
Melekat bagai api dengan panasnya
Sebesar dan sedahsyat gunung
Atau sebiji pasir di Sahara, kalau
itu misal perbuatan makhluk
perbuatan Allah jualah adanya
Jika disangka itu perbuatan makhluk
Syirik jua bagi yang menyangka
Siapa pun yang mampu mengenal
dirinya, ia pun mampu mengenal
Tuhannya
Araftu Rabbi Birabbi
“Aku kenal Tuhanku
dengan mengenal; Tuhanku jua”
Bukankah
Zat itu rahasia kepada kita
Sifat jadi nyawa kepada kita
Asma jadi hati kepada kita
Afal itu jadi tubuh kepada kita
Syariat, Tariqat, Hakikat, Makrifat
Adalah jalan bagi yang mengenal Allah
Allah yang tak semisal atau
seumpama, Allah Yang Maha Esa
Banjarmasin, 3 Mei 2010
H. Adjim Arijadi
Payung-Payung Masjid Nabawi
Nabawi masjid sejarah
Masjidnya Nabi
Muhammad Rasulullah
Di masjid ini
Muhammad
Abubakar
Ustman
Beristirah panjang
jejak sejarah tua
ditelusur alur kisah zaman
Begitu pasti, begitu abadi
Tak pernah goyah
di padang kebun korma
di sepanjang perang berdarah
Madinatul Munawarah
Adalah buminya Nabawi
Yang menyangga lengkung langit
Bersuarakan Tuhan Yang Esa
Di abad dua puluh
Raja Fahd yang agung
membidani Nabawi
melebar meluas
untuk umat Islam sedunia
dan kini di halaman depan, belakang
kiri dan kanan
payung-payung beratus payung
merekah di puncak tiang-tiang
menunjuk ke cakrawala luas
Nabawi dengan payung-payungnya
tenggelam diapit hotel-hotel
berbintang, mall yang riuh
di kaki-kaki gedung
mencuatkan ketinggian yang angkuh
Dari kaca jendela
pasangan-pasangan mata mengintip
ke kejauhan halaman Nabawi
di antara tiang-tiang payung
ratusan tongkat tegak lurus langit
sosok-sosok putih dan hitam
berlomba masuk ke ruangan Nabawi
yang sejuk
melangkah melalui wadah-wadah
air zamzam yang tersaji
di terik matahari suhu yang membara
payung-payung terurak saling menjalin
tepi-tepi yang kokoh
Dari jendela kaca di ketinggian hotel
berbintang, tiada sosok yang tampak
cuma suara iqomah yang terdengar
jutaan umat dengan ragam karakter,
suku dan negeri, hening dalam sholat
Orang-orang di kamar hotel menghenyakkan
tubuhnya di ranjang mewah
dia terlelap
Sholat zuhur, ashar, magrib dan isya
berlalu dalam tidurnya yang enak
jelang subuh dia terjaga
payung-payung menguncup
melegakan halaman Masjid Nabawi,
di terang ribuan watt mercury
dilihatnya kembali jutaan hamba
Tuhan mengejar ruang Raudah
di dalam Masjid Nabawi,
dia cuma melihat
tak ingin terlibat dalam kumpulan iman,
dia ingin berdiri lebih tinggi lagi
mengusut-masaikan berkas
cahaya Islami
dialah wajah bopeng teknokrat
ingin menghapus jejak Sang
Nabi di jalur raya
jalan bersejarah
Madinah, 24 Agustus 2010
H. Ahmad Fitriadi F.
Dinda
Dinda,
banyak cara untuk mengantarkan pergantian masa
ada tawa, ada suka cita
ada doa, ada juga nestapa
Dinda,
Tak banyak yang kuingat tentang hadirmu
kecuali ketulusan dan kebeningan hati
cinta kasih
sayang rindu
kita setubuhi dalam pusaran waktu
Dinda,
dalam gulita nan sunyi
di keheningan sempurna
yang mengitari ruang mimpiku
kulafalkan sebaris harap
“Semoga kita selalu dapat saling mengerti
Untuk memberi arti”
Kotabaru, 18 Agustus 2010
H. Ahmad Fitriadi F.
Sayang
Sayang
Sudah malam
Segeralah meninabobokan siang
Jangan kaupedulikan
Sinar rembulan yang menyelaput
di antara kerinduan suara burung malam
Terbanglah bersama keinginan
dan angan-angan
Yogyakarta, 17 Mei 2004
H. Fahmi Wahid
Tangis Hulu Sungaiku
Sungai ringkih ini entah berapa abad sudah hantarkan kesejukannya
Walau kadang jernih kadangkala keruh
Entah dari rahim bukit manakah kejernihan ini datangnya
Dan dari ceruk manakah muntahan lumpur keruh
Yang gelapkan mata hati, mata mata manusia
Yang mencumbu bayangan semu
Dari sekian waktu
Raut ayu hulu sungai ini semakin bopeng saja
Raba raba kayu mati akrab menyapa
Berserak, merampas keindahan
Kesucian pagi hulu sungai ini telah ternoda
Hingga di batas senja kala
Saat mimpi mimpi semakin menghitam
Kala semua tanya tak berjawab
Sebelum senyum dilulur ratap
Mari jernihkan hulu-hulu sungai yang paling hulu sungai
Di hati nurani dan lumpur kemunafikan
Di diri kita sendiri
Hampir sirna jua figura banua ini
Ditelan hati hitam di hari kelam
Kehijauan rimba telah berpamit pada bukit
Tiada lagi tiang campan penghias langit
H. Muhaimin
Sebelum Bencana
Damang-damang balian
Tarikan tandik mamang garang
Kayas binasa segala bala
Sumpit tundik panah pemanah ranah
Terbangkan mandau dan parang maya
Humbalangkan ke langit pitu
Kariau mayau penoda rimba
Pada setiap sukma mencipta lara
Yang telah layukan putik-putik harapan banua
Sebelum bencana menyapa
Sebelum malapetaka melanda
Redakan nafsu-nafsu angkara berbisa
Yang rampas paksa paru-paru, ginjal
Dan jantung rimba banua
H. Muhaimin
Pelayar Mimpi
Terseok biduk-biduk jelajah mimpi
Terpuruk berlayar di samudera khayali
Pada gelora nestapa jiwa insani
Yang benamkan sauh diri di dasar ceruk penantian
Sang nakhoda pencari jati diri
Yang dikokohkan dengan janji-janji dan kemunafikan
Mencoba pukat pukau cahaya nurani
Hingga terbenam dan tak mungkin kembali lagi
Layar diri kian tercabik-cabik
Dihempas gelora nafsu fana dunia
Di saat mulai berkaca membaca rasa
Cerita azali dari berjuta-juta rasa
Karena tak pernah tahu asa ini milik siapa
Gemuruh seluruh warna-warni duka cita
Ketika pelayar mimpi tenggelam di laut sepi
Barabai, 2009
H. M. Sulaiman Najam
Beri Aku
beri aku segelas air
aku dapat mengundang hujan
hutan sawah dan ladang
kujadikan tanah subur dan makmur
beri aku setetes air
aku sanggup membujuk laut
kubebaskan kapal-kapalmu berlayar
kuhidupkan alam taman laut
berikan sebuah kata padaku
yang lebih utama dari seisi dunia
jangan kau timbangkan sebuah kekuasaan
yang aku tidak dapat berlindung
dari hujan tombaknya
kalau engkau ragu
cukup sebuah huruf saja
dan bila tidak menyebut kalimatnya
kau pun masih memberi aku tahta
yang lebih kuasa
Kotabaru, 2009
H. M. Sulaiman Najam
Kutitipkan Puisi Ini
kutitipkan puisi ini
di suara ombak berdebur di pantai
pada buih-buih gemerlap ketika
purnama memberikan cahayanya
meski suara itu sayup-sayup sekalipun
dan gemerlap buih membuka tabir gelap
kubingkiskan makna puisi itu
di angin mendesir
pohon-pohon bisu bernyanyi
menggugurkan daun-daun tua
kularutkan bait-bait puisi semesta
di air mengalir supaya
tebing-tebing itu runtuh
dan nestapa segera berakhir
Kotabaru, Natal 2008
Hj. Roosmayati
Sang Penari
Sang penari
Panting, babun, gong, bergema
Meliuk-liuk tubuh gemulai
Sang penari
Wiraga, wirama, dan wirasa berbaur
Komposisi ragam yang harmonis
Sang penari
Menjual senyum dikulum
Penikmat seni rasa terhibur
Penonton jadi terpesona
Penonton jadi terkagum
Penonton jadi terhibur
Penonton jadi jadi gembira
Manakala raga sudah renta
Jalan pun tertatih-tatih
Bicara tergagap-gagap
Guratan di wajah semakin tampak
Di mana sang penonton
Yang memuji dan yang mengagumi
Tak ada pujian
Tak ada jabatan
Tak ada gelar
Tak ada apa-apa
Tak ada yang abadi
Tak ada yang kekal
Karena hanya mantan sang penari
Tanjung, 26 Agustus 2010
Hj. Roosmayati
Empat Lima dan Segi Tiga Emas
Empat lima kutanding sudah
Itu pepatahnya urang Banjar
Empat ditambah lima jumlahnya sanga
Wali Sanga penyebar agama Islam
Tahun empat puluh lima
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia
Empat puluh lima tahun
Usia Kabupaten Tabalong
Di tahun dua ribu sepuluh ini
Kegiatan aruh sastra ada di kotaku
Seniman sastra bertekad satu
Untuk meningkatkan budaya sastra
Sekedar untuk diketahui
SEGI TIGA EMAS BUNTAGO
Perpaduan tiga kabupaten
Buntok, Tabalong, Grogot
Segitiga emas bersepakat
Untuk menggali potensi yang ada
Meningkatkan pembangunan daerah
Demi kesejahteraan rakyat
Tanjung, 26 Agustus 2010
Ibramsyah Amandit
Pada Saatnya Puisi Tak Ditulis
Diam-diam ia datang
hening subuh berbilang-bilang
hitungan embun batu
tak cair madu mawarku
Diam-diam ia datang
tahu roh suci puisi
makanya tangan berserah
belum tayamum tanah banua
belum wudhu mata air seribu sungai
belum menapak jiwa ke mati merah
apa layakkah puisi digubah?
Diam-diam ia datang
selagi jihad penyair luhur:
“harmoni waktu tempat dan individu”
sayang daki belumlah mandi...
Yang diam-diam datang
meski bukan bangkit dari kuburan napsu
yang diam-diam datang
meski bukan putih hati dan laku
yang diam-diam datang
meski puisi minta ditulis-tulis
rahasia langit minta diwaris-waris
Yang diam-diam datang;
cuma ilusi fantasi
khayal utopia manis jari tanganku
jangan ia sentuh puisi sucimu!
Tamban, 17 Juli 2010
Ibramsyah Amandit
Puisi Tidak Berkubur
tasbih merapat
memagar sajadah puisi
begitu cara ia menari!
Bencana di lidah;
tak suara lirih
bibir berliput dosa
salah ke salah ucap
memercik pahit
empedu kata
Turutkan ingin
ke sajak-sajak sunyi
tetapi sesal di hati
mendayu siksa menyiksa
tutur pedih luka-luka
Kuraba puisi napas
sajak-sajak hawa bebas
dalam rapuh usia
lorongku kabut merambah
lama kematian hitam
setia derita menghantam
Tapi apalah celoteh keluhan
membidai anasir kodrati
dalam alam pengakuan
setuntas diri bersepakat
kepada hakikat mati
Lalu...
aku merumput ladang-ladang kematian
tapi tumbuh saja pohon keabadian
Tamban, 12 Juli 2010
Ismail Wahid
Tahajud
napas-napas yang mendengkur di sisiku
menyentakkan lelap tidurku
terjaga aku
dalam sunyi malam yang dingin
dengan tertatih
kusimbah perut sungai
yang tak pernah lelah
yang tak pernah tidur
menyatu dalam sunyi dan gulita malam
kualirkan sejuk dinginmu
ke sekujur tubuh yang luka
melontarkan noda-noda hitam yang berkarat
dalam hening
kubuka pintu pertemuan
kubuka bicara dalam pasrah
kumohon doa dalam ikhlas
satu-satu kutiti tasbih
asma-Mu dalam ragaku
ketika bersujud penuh kepasrahan
biar wajahku terpatri pada sajadah
jiwa melayang bersama-Mu
Barabai, 17 Agustus 2010
Jamal T. Suryanata
Setelah Pertemuan
pertemuan itu, ya, pertemuan senja itu
telah menyemaikan berjuta tunas anggur
memekarkan kuncup jadi mahkota bunga
dengan segala wewangiannya
pertemuan itu, kekasih, pertemuan itu
telah membangun kubah-kubah hijau
di segala penjuru dan ceruk terdalam
keindahan samudera cintaku
kini, tak ada yang dapat kulakukan
selain terus merinduimu sehabis-habis rindu
menyebut namamu indah di lubuk hatiku
karena cinta tak pernah mengenal harga
maka kucintai engkau tanpa perhitungan lagi
tak'kan kubagi cemburuku pada sesiapa
wahai, biarkan aku sendiri, kekasih
menanggungkan gelisah dalam sakit rindu ini
agar ia terlunaskan dipanggang api cintaku
biarkan, biarkan aku sendiri, kekasih
menggelepar luruh dalam tragika rindu ini
agar tak sempat aku berpaling dari cintamu
Pelaihari, 3 Maret 2010
Jamal T. Suryanata
Semesta Rinduku
bukankah telah kautebarkan ayat-ayatmu, kekasih
dari negeri bersulam kabut bertatah intan rahasia
kepada pekat malam yang menanti purnama tiba
kepada laut biru yang menekuri amuk gelombang
kepada langit jingga yang merelakan matahari senja
kepada segala perindu yang lelah mengeja dunia
bukankah telah kauembuskan api cintamu, kekasih
yang melepas burung-burung pada liar kepaknya
membiarkan dingin sungai mengekalkan arusnya
menciumi aroma bunga di jelang layu kelopaknya
mendahagakan kapal mimpi di lepas jangkarnya
melarutkan berjuta kata bagi para penyair gila
ya, kekasih, akulah musyafir yang haus belai cintamu
akulah penyair yang gila pada keindahan bahasamu
ya, kekasih, kalau kau memang sedekat urat leherku
mengapa gelora rindu ini tak pernah terlunaskan?
Pelaihari, 12 Februari 2010
Jauhari Effendi
Seorang Anak di Perahu Rimpang
Pentas ujian bagai badai tak kunjung berhenti didera
angin menerpa laut menghempas gelombang menghantam
perahu tua rimpang melepas jangkar layar tercabik-cabik
karang tajam menghadang
karam
matahari itu cobaan maka hujan kesenangan
air bah ujian datanglah mentari kebahagiaan
tidak terpisahkan
kapan pun diperlukan
kedua-duanya
bersatu mewujudkan pelangi
kehidupan dan kita menyaksikan.
Jauhari Effendi
Kuluh
Tidak menetes embun di genggaman jari
Meretas tepi bendungan kuno kumpulan daun-daun kering
Beterbangan penuh di ruang-ruang pengap
Kuluh kerja, kuluh harta, kuluh kasih, kuluh...
Kuluh merajut kemiskinan
Kuluh menyempitkan kehidupan
Ketika tangga-tangga dinaikkan
Pucuk-pucuk mengeluarkan serbuk bunga-bunga
Adakah harum aromanya untuk dirinya?
Kuluh bukan untuk kamu tetapi hanya
milik-Nya
Jaya Ginmayu
Desir Pedaya
Bila
Kulihat laksana kan terasa
Kurasa bagaikan teraba
Jika
Kuraba akankah tersentuh
Kusentuh bisakah terengkuh
Ketika
Kulihat, kurasa, kuraba, kusentuh, kurengkuh, kupeluk
Bahkan kudekap erat biar tercumbu hasrat
Walau selaksa rayu telah dilagu
Bermusim madu telah diramu
Namun
Oleh dentum halilintar hembusan pun berlalu
Pekak terdengar mungkinkah sayupku mampu
Entahlah
Hanya ia dan dia yang tahu pun mau
Akhirnya tersadar cuma angin pelintirku
Dan cuma desir pedayaku
Tanjung, 5 Januari 2010
Jaya Ginmayu
Sirat Inginku
Demi sirat si wajah siam
Pungguk kerontang penantang kelam
Diam berujar menyeruak di laci dahaga
Gigilan sembilu dambakan suam
Terpasung gairah kemilau perona bulan
Sepasang lembayung coba koyak ufuk selatan
Biar leluasa rentangan sayap bertangisan
Menitip tatih pesan walau terabaikan
Menghamba pada kerumun lebam setopeng terang
Mana ada jejaka tetabuh genderang
Kini tiada dara lilitan gemintang
Alhasil semua serba muram usang
Pada sirat si raja alam
Secuil pinta sahaya di musim pancaroba
Berikan anugerah ke bentang maharaya
Titahan singkap rahasia segala maya
Duhai iman bimbinglah aku selalu di jalan lurusmu
Raga temani aku dengan seluruh dayamu
Malam bentengi aku dari perangkap temarammu
Sinar lingkupi aku dari irisan silaumu
Wahai awan poloskan aku dari kalut mendungmu
Gunung jauhkan aku dari murka getarmu
Laut lindungi aku dari hasut hempasmu serta
Angin derukan aku dengan perisai bisingmu
Biar mereka tahu dan terima apa inginku
Banjang, 16 Agustus 2010
Jaka Mustika
Berdiri Alif
Berdiri Alif sebelum alam tercipta
berdiri Alif tata jagad sesempurna tata
berdiri Alif paripurna alam semesta
Berdiri Alif tiada terlihat tiada teraba
tiada berwujud tiada berupa
semua bentuk semua makhluk
seluruh jagad seisi alam semesta
ada dalam genggam kuasa-Nya
Berdiri Alif raja diraja segala raja
kursi jaya raya leliput jagad
di atas tujuh petala langit
di bawah kerak bumi ketujuh
tak lepas dari samudera mata-Nya
Berdiri Alif pasca dunia binasa
di sini segala dipertanggungjawabkan
buah apa yang bakal kita dapatkan?
Saka Badandan, 21-7-2010
Jaka Mustika
Nyanyi Sunyi
Adakah nada pilu yang lebih memilukan
selain jeritan putih rintih penyesalan
jiwa renta membujur jasad di penantian
saat jejak napsu serigala diperlihatkan
balasan buah langkah pun dipertontonkan
perih melengking lolong anjing kepapaan
Adakah rintih perih yang melebihi
pedihnya hati terluka menyanyi sunyi
saat pintu tobat tertutup rapat
mengental darah jantung tersumbat
roh gelisah resah takut berpisah jasad
roh mungkin tertatih seret keringat laknat
Adakah nyanyian yang lebih menyakitkan
kala sunyi menyanyi nyeri ngeri kegelapan
menahan racun gigitan bisa hewan
nanah membasuh tubuh memuakkan
lapar dahaga mengharapkan kiriman
doa penawar zikir bibir ayat-ayat kebenaran
Saka Badandan, 23-7-2010
Kamilah
Tanya
Benarkah zaman itu mengukir sejarah
Lalu mengapa zaman yang serba enak, serba canggih
Lalu diracun kenikmatan sesaat
Dengan penawar yang memabukkan
Di onak belukar sengketa
Dunia bagai penjara
Menyingkap tabir mengharapkan
Setitik pahala
Membuka mata tertutup
Lahirkan inspirasi lapang
Mereka dahaga ketika
Membayangkan jejakmu
Jangan kerena harga diri
Dan wangi pribadi
Kehidupan manusia dicemarkan
Jangan pula rakus merangkul jiwa
Dengan gairah menghirup anggur
Sedang moralitas dan mentalitas
Pemikir tahu wangi pribadi
Tanjung, 24 Agustus 2010
Lilies MS
Pagi Ini, Ketika Kau Lewat
Semula kukira
setelah dari rahim-Mu
Kau lahirkan kebajikan
maka cukuplah
Kukira dari tangan-Mu
setelah Kau masukkan malam ke dalam siang
dan siang ke dalam malam
maka cukuplah
Dan kukira pula
setelah Kau keluarkan yang hidup dari yang mati
dan Kau keluarkan yang mati dari yang hidup
juga cukuplah
Tetapi alangkah, Rabb?!
ternyata itu tidaklah cukup
di Kerajaan-Mu yang Maha Luas
beribu harap telah Kau tarikan
dan tegak alif-Mu berdiri adalah saksi kebenaran
Dan sesungguhnya
kian menjadi nyata bagiku
seumpama angin yang perlahan Kau tiupkan
terkandung hawa yang sangat dingin
menyuburkan ladang hati menyemai serbuk surgawi
jika sujud kita selalu satu nafas mencumbu ranah cinta-Mu
(Seperti pagi ini, kekasih
setelah subuh menyambang malam
mimpiku berurai makna
menafsir tanda-tanda
sebab ketika Kau lewat
senyum-Mu mengembang
meredakan gelora dan rinduku
yang panas bagai bara)
Tanjung, 2l Ramadan 1431 H.
Lilies MS
Jam Dinding Itu
Tak tik tak tik tak tik tak
berbunyi lagi
berdentang lagi
jatuh di jantungku
berurat pada nadir cintaku
menasbihi dosa-dosaku
Bunyi itu berbunyi
berbunyi lagi
Dentang itu berdentang
berdentang lagi sekali dan sekali lagi
tak ubahnya cermin waktu yang terus saja menyapaku
juga menyapa-Mu
Sedang usiaku telah tersalib renta
pada jam dinding itu
Jam dinding itu
gambar di nafasku
memburuku
Tanjung, awal Ramadan 1431 H.
Mahmud Jauhari Ali
Mengajakmu
selia, sudikah, jika tanganmu yang bagai kelemnyar kugandeng mesra
kita sisiri tanah-tanah huma, riak-riak sungai dan rambut-rambut legam
‘kan kutunjukkan padamu kayu-kayu tak berjangat, juga laluan retak dan terburai
kala kau letih, ‘kan kusilakan dirimu merebah tanpa kipasan di bawah terik kerontang
jika kau lapar dan dahaga? kuhidangkan piring dan gelas kaca yang kosong
kubiarkan saja begitu, agar kau reguk dalam-dalam fenomena ketar
listrik padam, harga beras mahal, air bersih macet total
dan sebelum kau pulang, ‘ku ‘kan menanya,
siapakah kau yang selama ini duduk di antara malai mewangi
Kalimantan Selatan, 16 Mei 2010
Mahmud Jauhari Ali
Runduk
kutemukan jargon-jargon berjelaga dijuakkan peningkap ke atmosfer jingga
luruh! bersusuk-susuk manusia papa mengendus, menderau, melentingkan suara
sebagiannya berhisteria, getir kudengar mereka berteriak-teriak
jejemari yang memunguti repih-repih di meja kaca, melepuh satu per satu,
ada yang berpulang pula di depan pintu berkayu jati
sementara di sana, di kebun anggur, orang-orang bermain bunga
semuanya selia, serupa flamboyan genit di siang kerontang
segetil lidah saja menyerupa mereka bagai para ksatria
yang sejatinya hanyalah pemetik bunga-bunga wangi, sepanjang tahun-tahun berasap
tahun ini di bulan mei, ada perih, ada daging yang membengkak
cuatan negeri putih menopengi wajah-wajah pemetik bunga
dan kujumpai intro lucu seorang dari mereka. seorang itu berkata, “ikhlas”
lainnya menambah parah, membongkahi hati, menyengat pikir manusia-manusia papa
inilah runduk negeri batu, negeri rupa-rupa dan pura-pura
yang gemar melesapkan perkara sari di lantai keramik tua
Kalimantan Selatan, 13 Mei 2010
Masdulhak Abdi
Meraba-raba
raba raba raba
Kau raba dan terus meraba
Dengan cengkeraman berbalut rasa
Rasa berpura-pura dan menutup nyata
bara bara bara
Hati kami jadi membara
Ketika batu hitam dikikis habis
Bumi pijakan menelaga raksasa
raba bara raba bara
hati kami semakin membara
ketika berita menghembus raga
tentang akibat suatu masa
raba bara raba merasa
rasa yang arif bagi sesama
raba raba raba
kau raba batu bara
padamkanlah bara nyala di hati
dengan ucap setulus janji
bahwa bumi ini masih nyaman
untuk anak cucu kami
Masdulhak Abdi
Elegi Aliran Sesat
Ketika ibuku selingkuh dengan juragan para
Aku hanya diam dan biasa-biasa saja
Wajar ibuku sudah tak tahan lagi hidup sengsara
Dengan alasan kesederhanaan mengada-ada
Ketika ayahku selingkuh dengan janda beranak dua
Pemilik warung jablay di simpang desa
Aku biasa saja dan diam seribu kata
Wajar ayahku ingin memperbaiki keturunan
Biar anaknya berwajah cantik
Tidak jelek seperti aku
Ketika pacarku selingkuh dengan temanku
Aku juga pasrah dan biasa-biasa saja
bahkan aku bersyukur terbebas dari cintanya yang palsu
sekali lagi: aku biasa-biasa saja
Tapi
Ketika kau selingkuh dan mengajak selingkuh dari-Nya
Aku tak bisa diam karena pengkhianatan
Aku tak bisa biasa-biasa saja karena penyesatan
Satu kata: GANYANG
Muhammad Radi
Monolog
(I)
For: My wife (Nùrhasanah) & Our beloved
(Muhammad Fajar Thậliban, Fathimatu‘z-Zahra
Ruwậu‘l-Munỉsah and Muhammad Yandi Sarjani)
Gak jarang keganjenan-keganjenan kata dan sikap
mewarnai penampilan keseharian kita.
Sandiwara-sandiwara. Polusi kehidupan yang bertahan
: mungkin(kah) sejak abad-abad purba?
Kandangan, Feb.‘10
(II)
For: My beloved friend (Busyairi Hurian Fahmi)
Hidup, diperas dan dibanting. Gak sekadar
menyemai dan menuai,
ternyata!
Banjarmasin, Feb.‘10
(III)
Ya, hidup. Cakrawala yang – rupanya – ndak jarang telah
dipetikemaskan. Orang-orang sibuk menggantang harapan,
menyimpannya bak mengonggok masa silam…
Kandangan-Banjarmasin, Mar.‘10
(V)
Membawa lara hati. Ngebawain luka diri. Hanyutkah mesti
ke laut gak bertepi, diombang-ambingkan harapan
dunia mimpi?
Kandangan-Barabai, Apr.‘10
(IV)
Dan kita senantiasa hadir
sebagai para calon pembeli
atau(kah) peniaga
yang siap – kembali – merugi...?
Kandangan, Apr.‘10
Muhammad Radi
Harapan
Bagi saudaraku (Muhammad Rusmadi & Marhamah)
dan para keponakanku (Nadya Hanìfa Humanisa
& Ganang Muhammad Ferlez Oasis)
(I)
Dan begitulah. Usia bertambah. Tiba-tiba
kita telah (menjadi) dewasa dan tua.
Gerangan apa bekal yang ‘kan kita bawa
‘tuk kembali pada-Nya?
Kandangan, Apr.‘10
(II)
Rencana. Sering gak menggapai sebatas dunia.
Hari-hari berlalu. Harapan memilu!
Kandangan-Banjarmasin, Apr.‘10
(III)
“Berapa banyak (telah) dihabiskan biaya dan tenaga
‘tuk perhelatan ini; dan betulkah persaudaraan kita
(jadi) s’makin erat lantaran itu, hingga apa yang kita lakukan
sampai detik ini gak bernilai sia-sia?” katamu
Ah!
Zaman. Perhelatan bertengger
di (deras) arus zaman. Dan waktu sebegitu ganjen membedaki
– sekaligus – menggerusnya!
Kandangan, Mei ‘10
(IV)
Dan, “perhelatan’. Ya, hari ini dan esok. Sajak-sajak tetap
ditulis atau dibacakan, dan dibicarakan.
Pembahasan-pembahasan usai…
Perhelatan selesai. “Sampai ketemu lagi pada tahun
yang akan datang, my beloved comrades! Akankah kita
masih bisa jumpa?” selorohmu
Uh!
Kandangan-Marabahan, Mei ‘10
Muhammad Rusmadi
Ketidakadilan
Buati isteriku (Marhamah) dan anak-anakku
(Nadya Hanìfa Humanisa & Ganang Muhammad Ferlez Oasis)
(I)
“Ah, ketidakadilan. Dari manakah datangnya?” tanyaku.
“Ya, dari dirimu sendiri kan…?” sahut lo
Mungkin kau benar. Berapa banyak kupernah memaki
saat gak berharap hujan tercurah
lantaran mengganggu program-program
yang sedang kujalankan. Dan sebegitu sering kumencela
apa yang memang pantas dan (sudah) semestinya.
“Padahal, kan, hidup semata ujian?” ucap seseorang
entah kapan dan di mana…
Kandangan-Banjarmasin, 2009
(II)
Dan ketidakadilan pasti lawan keadilan.
Ya, “… i’dilù … (bertindak adil-lah) …!” firman Allâh
dalam Al-Qurän (Al-Mâidah teks 8).
Ya, dan ‘ku gak jua kunjung dengar dan perhatikan
Berapa banyak kulahap buku, majalah dan koran. Sedemikian sering
kulupakan firman (dan sabda Utusan). Berapa banyak berita harian
dan hasil telaah orang-orang (yang dengannya) kuberiman.
Dan berita-berita langit sebegitu sering kuabaikan!
Tangerang, 2010
(III)
Dan…
Hati yang gak kunjung henti mengeluh
tanpa sudi mengambil makna (hikmah) kejadian-kejadian.
‘Mekik keras ke dinding,
sulut kebencian…!
Tangerang, 2010
M. Aini Asmuni
Pintu Pengenalan
Duhai pencinta, apa yang kau harap?
Ketika mata mengejar angin
Pada lautan yang tak bertepi
Pada langit yang tak ada batas
Pada nafsu yang tak pernah puas
Ia adalah bayang
Ia adalah rindu
Bersamanya mimpi-mimpi indah berloncatan
Merayu jiwa pemabuk gila
Sampai pada takbir dan salam
Kuingatkan!
Jasad yang fakir
Lepaskan belenggu kotor yang berbau
Pada tubuh anak-anak roh
Mandilah dengan wewangian surga
di antara dua pintu
Syariat dan hakikat
Membuka pintu pengenalan
Karamlah diri
Pada makrifat
Aku terhenti!
Marabahan, Agustus 2010
M. Fuad Rahman
Di Peron Itu
di peron kereta itu
ringkih tubuhku menunggu
entah mesti berapa waktu
lamun ini menyusup ruang-ruang sepi
telentang di ubin dingin terminal sesal
sembari jari menjentik hujan rintik
malam ini,
kereta tak kunjung tiba
aku masih termangu
menunggu tanpa ragu
(ah,
terlalu lamakah
penantian ini
jika hanya setia terhadap satu kereta?)
M. Fuad Rahman
Sampan dan Riwayat Kematian
riak merindu di sela batu-batu
lembut belai semilir angin di punggung sungai
merenda gelombang kecil bagai senyum perawan berbibir biru
ah, kecipak pengayuh membawa sampan ke haluan
kuingin pulang, sayang
bawa serta segala benih sisa airmata
juga rapun kemboja bahagia
segala rupa pun juga nestapa
ku mesti berlabuh, kasih
larung sampan, entah, mampu melewati ulak itu
mestikah kuretas senja temaram gerbang malam
sedang sampan tak cukup pijar lentera
ah, senggama sampan ini mesra tanpa kata
tiap sisi mengecupi airmata
melewati senja berharap cukup pelita
sampan tak peduli mesti bagaimana akan bertambat
jika air ini menjadikan roh menjelma sejarah
terserah, aku pasrah!
M. Hasbi Salim
Suara dari Menara LP
Kami adalah bintang malam yang terbuang
Ditinggal di tepi jalan
Selalu menyertai yang lalu-lalang
Namun, hampa kerlingan
Ketika kami nempel
Tak ada kata sudi
Apalagi menggandrungi
Dengarlah jeritan hati
Dari lembah yang terdalam
Ada harap menggunung
Buat hamparkan cita hak asasi insani
Kami memang laksana makanan basi
Tapi seribu hikmah kau dapat gali
Dari kaki kami yang nyeri
Biarlah kami jadi tumbal
Dosa-dosa kami
Tapi masih ada benih
Yang bisa dituai
Di setiap musim
Agustus 2010
M. Nahdiansyah Abdi
Mimpi
Percayakah engkau akan mimpi?
Serupa bintang terang terbenam di kening
menguak gelap pekat yang berpijar dalam batin
Pintu-pintu keliru menganjurkan masuk
keluar. Aku ada di dalam sejak awal
Dosa itu mobil
yang kusebut menuju Kamu.
Bukan buah terperam di dada
Taman kehidupan mengejawantahkan warna
Semua warna yang pernah dan belum pernah meng-Ada
“Hei, Mimpi memimpikan Aku kiranya...
di tempat yang tak terduga dekatnya.”
170210
M. Nahdiansyah Abdi
Fokus
Buang semua yang kau tahu
yang menodai citranu, suatu
ketidakbecusan: ke rongga burung api
Bicaralah pada dirimu sendiri
Tertawa-tawalah, wahai Gerak yang menulisi diri
Takdir yang berkedip ini!
Dia yang masih kelimpungan oleh kata dan makna
merayap dari sirkuit kosong ke labirin air berpusar
Betah berlama-lama
dalam nujum bahasa
Ular-ular fiktif
yang didahar anakonda Musa
Benarkah kebenaran jauh tak tersongsong saat ini?
Anak yang terpisah ibunya pastilah dilanda kebingungan
Kabar baiknya, kita telah di sini dan
punya beberapa pilihan
Tetap hanyut ke laut kosong atau
membiarkan tangan baja Ramses menyibak kehidupan
Yang lampau, yang kemudian, yang kini
Saling berkejaran di kepala rapuh ini
Aku berdiri tegak
mencicipi
040410
Puspa Ramadayanti
Sang Penggoda
Dia sedang menggodaku
Mengubah pandang jadi lamunan
Mengubah nyata jadi khayalan
Dia sedang menggodaku
Hadirkan sosok bayang berlalu
Dia sedang menggodaku
Saat kumakin merasa dekat pada-Mu
Kotabaru, 20 Agustus 2010
Rahmatiah
Sepucuk Surat yang Kukirim Kepada Tuhan
Dua tahun
sejak kau kirimkan rindu
Menjadi kunang-kunang yang berpijar
menghuni pohon-pohon di kebun sunyiku
lalu aku mulai terbiasa bercakap-cakap dengan kegelisahan
memanjat jauh dinding malam
memetik rintik hujan
untuk menemaniku menulis sepucuk surat kepada Tuhan
adakah balasannya kini tengah menunggu
untuk dikirimkan ke alamatku?
ataukah Engkau ingin menjawabnya
dengan cara yang lebih sederhana?
Beri aku tanda!
kesunyian itu kini telah berganti nama
berna...
Banten, Januari 2010
Rahmatiah
Perempuan yang Kau Sebut Sebagai Istri
Berkali-kali ia membuka pintu
Namun berkali-kali pula ia matikan lampu.
Teringat segelas susu
dan semangkuk sayur yang telah ia hangatkan
tapi tak jadi dimakan
Sementara di ruang tamu
televisi masih sibuk bicara dengan bahasanya sendiri.
Jalan masih terlentang
Gerimis lengang
Ah, empat bulan menjadi perempuan
apa yang kelak akan ia ceritakan?
pada tuhan
dan pintu-pintu langit yang mestinya tak ia tinggalkan.
Lalu beberapa hari kemudian
Ia pergi
untuk menempuh kegelisahannya sendiri
ke suatu tempat
yang masih ia rahasiakan untuk kau datangi.
Banten, Maret 2009
Ratih Ayuningrum
Antara Aku dan Hujan
Aku:
Mungkin aku salah pernah jatuh cinta padanya berkali-kali
Karena kini dia hanya mengalamatkan luka
Berkali-kali
Aku sering menatapnya melalui balik jendela
Menghirup aromanya menyesapi ke dalam paru-paru
Menggilai kehadirannya
Aku tak mengerti kenapa dia kemudian menggurat perih
Dan aku telah bersalah jatuh cinta padanya berkali-kali
Hujan:
Kenapa tiba-tiba dia membenciku
Bukankah dia pernah jatuh cinta berkali-kali padaku
dan begitu menggilaiku
Tapi, mengapa kini aku tak pernah sedikit pun ada di hatinya?
Bahkan dia selalu merasa khawatir dengan kedatanganku
Aku:
Aku tak suka buliran air yang jatuh ke bumi
Sungguh, aku tak menyukainya lagi
Sejak bulir-bulir itu meluap dan menjadi bah
pada bumi ini
Setiap kali dia datang aku ingin mengusirnya
Karena setiap dia datang, semua orang kini hanya menjadi waswas
Cepat-cepat berkemas
Hujan:
Tidakkah kau pernah mengerti
Bahwa itu bukan inginku
Aku tak punya tempat leluasa untuk meresap
Mereka yang telah mencurinya dariku
Tangan-tangan serakah itu
telah membuat manusia menjadi membenciku
Sungguh aku tak ingin itu
Aku hanya ingin jatuh dengan anggun
Meresap dan berbaur
dengan bau khas hutan yang sering kau cium di hutan Bekambit
Menyisakan asap setelahnya yang berubah
menjadi selubung indah pada gunung-gunung
Aku:
Aku tidak tahu harus bagaimana memaknaimu
Aku pernah mencintaimu dengan sangat
Melebur di antara jalan Kotabaru-Bekambit
Menikmati gigilnya dengan tawa berderai
hingga tak peduli masuk angin
Argh! Kau turun lagi dengan angkuh
Membuat aku kerepotan untuk bersiap dan berkemas
Salah-salah kali ini air yang kau genangkan jauh lebih banyak
Hujan:
Tidakkah kau tau?
Aku terus berusaha berdamai dengan alam
Mengikuti siklus yang memang sudah sepantasnya
Namun, mereka yang membuat semua siklus itu tidak pada tempat
yang sewajarnya
Mereka pula yang membuat kehancuran
dengan segala kelicikan dan kerakusan duniawi mereka
Aku:
Entah apakah aku akan mencintaimu kembali
Hujan:
Entah apakah besok semuanya akan lebih baik
atau tak ada cerita lagi
(senyap)
Kotabaru, Agustus 2010
R. Syamsuri Sabri
Menyampir Bumi Leluhur
Petak danum tanah huma
Menumpuk harap Pulau Andaman
Di liku arus Sungai Barito
Tanah pusaka nini datu
Oii, datu-datu petak danum
kirimi aku benang pelangi tujuh rupa
Jadikan ladang-ladang berbunga
Hutan galam berbuah mutiara
Rotan dan purun berlipat ganda
Oii, datu-datu petak danum
Kupanggil engkau di angin senja
Mengiring kijang dan rusa kencana
Kupanggil engkau di senja kuning
Ikan di sumur tak pernah kering
Terimalah sembahan adat anak cucu
yang bergantung di pohon tinggi
yang terhampar di empat sudut
Hindarkan marabahaya
“Mengayun mandau menebas rimba
Menebar benih jadi ladang
Hidup damai aman sejahtera
Rumah betang kumpulan warga”
Mantra dinapaskan bagai karungut
Naik ke gerbang nirwana
Mengalir ke upacara adat
Menyampir bumi leluhur
Marabahan, Januari 2010
R. Syamsuri Sabri
Perjalanan
Perjalanan yang kutempuh sekian lama
Merintis perjalanan panjang mentari
Menyusur tepian nasib, menyusup hutan
dan rimba, menembus gunung dan cadas
Menjelajahi duri-duri tajam usia
Bagai menyeberang di laut lepas, di sini
Pelayaran nasib disandarkan, dalam
fitrahmu merangkai buah kehidupan
Kuhirup sungai kasih-Mu, sejernih air telaga
Di atas guratan takdir-Mu
yang dari waktu ke waktu menghitung
putihnya rambut dan jenggot
Hari-hari berbisik pada usia
Masih jauhkah perjalanan ini
atau selenggang kaki melangkah
Atau sekejap mata, semua tak
bisa diduga dan bicara
Marabahan, Januari 2010
Sudarni
Kota Kelahiran
Bagai tersayat sembilu menatap kotaku yang luka
Pada lekuk-lekuk tepian sungainya
Melelehkan noda
Merayapi arus ke hilir muara
Pekat kotor berjuta bakteri
Memasung mimpi para nelayan
Dan menghempaskannya ke bangkai-bangkai ikan
Lagu nestapa membahana
Mengantarkan kematian satwa air
Dalam kesia-siaan
Rampungkanlah kepunahan sukma sungai
Kota kelahiran
Berkecamuk di rongga dada
Antara waswas dan harapan
Apa dandananmu desah kotaku
Adalah gumam yang kurayapkan ke
pada merpati-merpati negeri dan
Bintang gemintang terhormat
Mari bersatu dalam tekad suci
Menapis laku ke bingkai hati
Memandu hari-hari ke dermaga damai
Biarlah rindu kita mencium wangi bedak bunga melati
Menerangi sungai berair kering
Dan bersenandung di tebing
Kali berlantai pualam
Agustus 2007
Suriansyah
Hari Ini
Sangat menggelisahkan
Tak bergeser walau sedetik
tak tau lagi air mata menitik
membasahi bumi bercucuran ke penampungan
harum dupa malam perlahan melayang
mengundang Sang Pawang segera datang
Senandung ayat kehidupan menebar di persimpangan
Bertopang doa menggiring perjalanan
Air mata menyambut tamu agung membawa
duka membahana meronta menyusuri sudut ruang
semua tersimpuh menatap roman pucat pasi
kosong menghitung diri segala zaman
Pusaka membeku di atas lentera
Tak tampak surat penghabisan petuah pesan
Anak kerabat bercadar
datang ke pangkuan membawa oleh-oleh
Pada semua terbang mengiring doa menjulang
tak tau entah kemana
Tawa tak lagi dibanggakan
Senyum hanya sedikit hiasan
kepada siapa tak tau harapan
Hari ini tak terelakkan
Pesan datang tak lagi terhalang
Kain kaci daerah penghabisan
Terhampar menghiasi sudut peristirahatan
Semua diam
di keheningan, 2-8-2010
Suriansyah R.
Cermin
Kuletakkan di hadapanku
Bila merias diri
Melihat wajah
Melihat bentuk
Melihat rupa
Melihat depan
Melihat belakang
Melihat kiri
Melihat kanan
Melihat kelemahan
Melihat kekurangan
Melihat kesombongan
Melihat keangkuhan
Melihat apa yang terpantul
pada bayangnya
Tapi itu hanya kasat mata
lihat luar
lihat zahir
lihat nyata
Dalam diri kita
Ada yang melihat
Kita tidak melihat
Apa yang dia lihat
Dia-lah Maha Pencipta
Maha Halus
Maha Melihat
Suhaimi
Dalam Sunyi yang Telanjang
Dalam sunyi yang telanjang
Kubelah hutan cemara
Kulintasi taman Adam
Hanya untuk menemukan istana
Yang di dalamnya mengalir sungai-sungai
Dalam sunyi yang telanjang
Aku berada di dunia asing yang jauh
Aku terbang dengan pakaian yang terbakar
Hanya inginkan mata-Mu untuk melihatku
Dalam sunyi yang telanjang
Kuingin jibril menjamahku
Aku bersimpuh untuk beselingkuh dengan-Mu
Kutitipkan hasratku di atas menara langit
Tanjung, 17 Ramadan 1431 H.
Suhaimi
Rindu
Aku melihatmu lagi hari ini
Dalam pejam mataku
Aku menciummu lagi hari ini
Dalam harumnya angin.
Alabio, 13 Maret 2000
Syarkian Noor Hadie
Khatulistiwa
kulihat sabit menyelam di hatimu
antara duri-duri landak
bola matanta bertanya kepada angin
dalam sebuah percakapan senja
lautku telah kau gali dalam semalam
menggiring air pasang
di antara lumpur dan pasir
kau tak pernah menjawab
pertanyaannya: mengapa cantikmu tak pudar
catatan adalah sebuah simetris
garis khatulistiwa yang membentang
walau juga tak pernah tampak
hanya duri-duri landak
menyelam di hatimu
Marabahan, 2009
Syarkian Noor Hadie
Hidup, Sebuah Figura
potretmu menyandang laut perak
kemilau hutan malam temaram
temaram nyamannya teluk ketika singgah berlabuh
dalam kado keanggunan
potretmu dalam kisaran angin
siring baja yang dipukul menghunjam
makin dalam dan menghentak
menghentak mencampakkan sesal
melukis murka di paras pembantaian
yang membakar kota hatimu
hidup, potretmu tanpa rupa
sebingkai kristal dengan bias batu
kapan kau kembali?
Marabahan, 2009
Taberi Lipani SR
Kalaulah Tidak Aku Sendiri
Aku bukanlah aku kalau tak pernah menelan racun dalam senyuman
Dan bagiku semua itu hanyalah selembar cerita usang dari berjuta rasa
Tuak
Anggur Malaga
Topi Miring
Virus Cinta
Pernah benamkan aku di batas paling kelam kehidupan
Sindir
Caci-maki
Sumpah-serapah
Gandakan pedih lukaku, perparah barah nanah
Perjalanan duniaku
Sewaktuku
Janin
Bayi
Balita
Hingga tua bangka
Tiada pernah kumenyerah
Meski jalanku lunglai
Meski langkahku goyah
Meski kram otakku
Meski
Buram
Kelabu
Meski kaku lukaku
Meski nyeri ilusiku
Meski aku mati
Sebab bukanlah aku kalau tidak bisa bangkit sendiri
Sebab bukanlah aku kalau tidak sadar diri
Sebab bukanlah aku kalau tidak mampu
Melahirkan karsa karya sendiri
Sebab aku bukanlah aku
Barabai, 5 Januari 2000
Taberi Lipani SR
Aruh Adat Balai Jiwa
Salami alur sungai di hati
Arungi berjuta titian ilusi
Lambaian perawan banua
Menggelayut berharap bersinggah
Mari dengar mamang mantra balian
Merayu dayu dan datu-datu
Ikrar suci di relung hati insani
Sebelum mentari jiwa pudarkan cahaya
Sempat menitip harap
Lewat gemerincing gelang hiyang
Arak tuak tiada mampu lenakan asa
Walau berbaju seadanya
Namun mampu mapankan jiwa pertapa lara
Sebelum tunas-tunas nafsu meraja-lela
Tebarkan benih kasih
Di huma-huma pengharapan
Tajuddin Noor Ganie
Doa, Aruh Sastra, dan Obituari Para Sastrawan
Malam ini, malam aruh sastra
Dari tempatku berdiri sekarang
Aku bertanya kepada kalian
Adakah kalian teringat kepada
Hadharyah M. Sulaiman
Sastrawan Kalsel kelahiran Marabahan
yang dulu di zaman Belanda
masuk penjara gara-gara menulis novel subversif
Suasana Kalimantan?
Malam ini, malam aruh sastra
Dari tempatku berdiri sekarang
Aku bertanya kepada kalian
Adakah kalian teringat kepada
Brigjen. H. Hassan Basry
Sastrawan Kalsel kelahiran Kandangan
yang dulu di zaman Belanda
dicari-cari polisi NICA
gara-gara menulis novel subversif
Amanat Ibu?
Malam ini, malam aruh sastra
Dari tempatku berdiri sekarang
Aku bertanya kepada kalian
Adakah kalian teringat kepada
Kawan-kawan sastrawan
yang telah pergi mendahului kita
Malam ini, malam aruh sastra
Dari tempatku berdiri sekarang
Kuajak kalian untuk mengucap doa
Untuk semua sastrawan
yang kalian kenang pada malam ini
Allahummaghfir lahu warhamhu
Wa ‘afihi wafu ‘anhu
Ya Allah ampunilah dia
Beri rahmat dan sejahterakanlah dia
Serta maafkanlah dia
Amin
Banjarmasin, tengah malam, 3 Agustus 2010
Taufiq Ht
Perempuan Tua
hanya samar-samar
di balik senyum
mata yang dingin
tubuh lesu
beberapa helai rambutmu terlampau pasrah disapa angin
“anak tangga saksi bisu kesombongan”
di antara suara gaduh aku mengintipnya dengan menguras segala inti dari kemanusiaannya
tiba-tiba segera saja kusembunyikan tubuhku dalam kotak
mataku,
lidahku,
telinga,
tangan,
kaki,
juga pakaian
sebab jiwaku tersentak memahami rasa takut
malu dengan perangainya sendiri
perempuan tua yang tak terlindungi dinding
terisak sendirian di lantai biru penuh debu
kota mati, 2010
Taufiq Ht
Malam Setelah Gerimis Panjang
Kepada istriku dengan huruf T
kulihat cuaca yang tak tentu dari wajahmu
kadang hujan, sedikit gerimis, lalu cerah kemudian mendung kembali
setelah melayari matamu, berlama-lama
kutemukan hamparan malam setelah sunyi merapatkan matamu
kurasakan cuaca yang tak tentu dari tubuhmu
barangkali setelah berlama-lama kubaca dari bagaimana napasmu mendengus tak karuan
dan saat bulan habis di tangkai jendela itu
malam dilayari embun, matahari muncul dari gumpalan-gumpalan di mana laut dan ombak berseru
pun jua setelah berlama-lama menunggu terjagamu
kurasakan ada yang lain yang tak bisa kurasakan di sudut celah matamu, air matamu
Cirebon, 2010
Tati Noor Rahmi
Puisi Untuk Ibu
Ibu
Sosokmu sungguh mulia
Cintamu tiada tara
Kasihmu sepanjang masa
Ibu
Banyak kata yang ingin diuraikan
Banyak pujian yang ingin dipersembahkan
Untuk membalas kasih sayangmu yang terlimpahkan
Untuk kami, buah hatimu tersayang
Ibu
Banyak petuah yang kau berikan
Banyak doa yang kau sisipkan dalam sujudmu
Untuk kami, anak-anakmu, penerus kehidupanmu
Ibu
Jasamu tak tergantikan
Kasihmu tak terhapuskan
Kami bangga memilikimu
Surga memang pantas di bawah telapak kakimu
Ibu
Kau selalu di hati
Terukir manis dalam sanubari
Sampai akhir nanti
Barabai, 2009
Tati Noor Rahmi
Doa Untuk Anakku
Wahai anakku
Siapkah engkau dengan tantangan zaman
Yang semakin penuh persaingan
Anakku sayang
Kami sangat mengharapkan
Engkau jadi orang yang dapat dibanggakan
Menjunjung tinggi kemuliaan
Memegang teguh keimanan
Anakku tercinta,
Jadilah anak yang penuh dengan harapan
Jangan jadikan kegagalan sebagai halangan
Gapai harapan dengan penuh keyakinan
Untuk menjadi yang terdepan
Buah hatiku,
Ingatlah engkau akan petuah ini
Teguhkan hati dengan penuh janji
Untuk selalu menjaga diri
Di manapun engkau berdiri
Jadilah anak yang selalu berbakti
Untuk agama dan negeri
Amin
Batu Piring, 2009
Wayan Windre Semara
Senja di Bibir Sungai (2)
(gadis bernaung bulan)
Ketika musim jadi arwah
Menebarkan seribu mawar
Dari lembah puncak gunung surga
Akan kubuatkan:
Seribu candi prasasti
Seribu aliran sungai
Seribu mata angin
Agar kau sudi singgah di hatiku
Nanti di hatimu akan kutanam
Seribu mawar, bilama aku singgah
Dia akan mekar...
Marabahan, 12 Januari 2010
Wayan Windre Semara
Senja di Bibir Sungai (3)
(meminang gadis bernaung bulan)
Langit abadi memeluk bumi
Jadi pandanganku ketika belajar semedi
Mengais wangsit, agar kau terima persembahan:
Setangkai bunga
Sejari cincin
Ketulusan hati, dan
Sisa usia kutakdirkan memujamu
Adakah kau menerimanya.
Kegelisahan jadi perombak
Merampas hingga titik darah penghabisan
Sisa-sisa ketegaran kasihku menunggu
Dengan segenggam cinta tak lebih daripada itu...
Marabahan, 7 April 2010
Yuliati Puspita Sari
Kotaku Bersenandung
Barangkali, langkahku hampir hablur menapak jejak yang terserak
Barangkali, tanganku telah lelah mendayung sampan di sungai yang kerontang
Barangkali, tubuhku sudah jengah menopang perkebunan sampah
Kini,
Pada jeruji besi yang meninggi
Kuhirup rangkaian melati yang membusuk mati
Dan di sepanjang jalur napasku
Sketsa sabana silam pun tenggelam
Aku bersenandung
Karena kau, dia, dan dia adalah milikku
Tapi aku milik mereka
Barangkali mereka hanya kafilah tapi telah menjadi milik
Milik dari wajah-wajah hangus tengah kota
Dan keluh kita senyap dalam peradaban mereka
Aku ingin bersenandung tentangmu
Tapi mimpiku mesti menepi
Aku milik mereka
Milik tangan-tangan yang mencekik mati
Zurriyati Rosyidah
Diagraf Kepada Langit
: am
banyak jalan menjadi buntu ketika kau membuka gulungan peta yang jatuh dari
bulu-bulu alis mataku
lalu tanpa mempedulikan arah, tubuhku nanar mendaki kaki langit yang meringkuk
minta digendong
kau sering membuat kerongkonganku tercekat saat aku menghisap bau angin malam
yang kita buat dari rerempah opium
tetapi mengapa kau menjadi begitu membuntui ujung bayangku, sesedap duka dalam
hunian, ketika kau menentang maklumat sebuah prinsip bahwa laut menjadi anggun
tanpa langit yang berjanji mengupas matahari
padahal sebenarnya aku selalu menampung tempias setiap kau berpeluh merayap
dengan sayap hampir retak. “jangan terburu menjadi tandus,” katamu
sedang kau tahu aku sudah sering menulis sebuah pernyataan. “sudah waktunya kau
mengajarku membarai setumpuk arang di kejauhan kabut”
dan bawalah bekal, jangan lupa membungkus doa menyelip cinta
Ma, Teras Puitika, 100610
Zurriyati Rosyidah
Kau Ditelan Puisi
sebuah hadiah untuk kawan yang membias pada peristiwa
Nah, apa jadinya?
bukankah kawan seperjuangan sudah memberi kau gertakan manis
dan secarik peta menuju negeri bukan banci
meski tak ada yang dipersalahkan jika kau sembari melompat
mencari dan mengukir gerabah baru
ke sebelah perapian lain atau ke tetangga-tetangga sebelah yang lebih mapan
khayalmu kuat menghadang gurun
tetapi gurun telah diterpa licin lidah api karena bangun pagi yang terlambat
lewat jejaring maya beberapa jam lalu
nanti malam entah kau masih ragu-ragu atau ingin menyatu
bersama gelombang suara dari pori-pori kulitku
baringkan saja tubuhmu
yang mulai lelah karena menua
kau pasti tak pergi kemana pun
hanya rehat sejenak menyelonjorkan pikiran
lalu mengguyur badan kerontangmu dengan sebotol minuman ilegal
kemudian kembali berkecipak pada keganasan puisi yang menelanmu
Teras Puitika, 17 Oktober 2009
Tentang Penyair
AA Ajang (Ahmad Azhar), lahir di Yogyakarta, 1 Januari 1973. Bekerja di Sekretariat Daerah Kabupaten Barito Kuala di Marabahan. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Cinta Rakyat (2007), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009) dan Ije Jela Bersastra di Tahun Emas (2009).
Abdul Karim Amar (Abdul Hamid Noor Riady), lahir di Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, 10 November 1954. Puisinya dipublikasikan di Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni (UMSIS) RRI Banjarmasin, Majalah Bandarmasih, Banjarmasin Post dan Radar Banjarmasin. Puisinya juga dimuat dalam beberapa antologi bersama, antara lain Doa Pelangi di Tahun Emas (2009).
Abdurrahman El Husaini, lahir di Puruk Cahu, Kalimantan Tengah. Guru SMA Negeri 1Martapura, Kabupaten Banjar. Puisinya dipublikasikan di Dinamika Berita (sekarang Kalimantan Post), Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, dan dimuat dalam antologi bersama Ragam Jejak Sunyi Tsunami (2005), Taman Banjarbaru (2006), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008) dan Konser Kecemasan (2010). Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2009).
Abdus Sukur MH, lahir di Banjarmasin, 3 Desember 1966. Sering mendukung Tim Kesenian Kalimantan Selatan dalam pelbagai pertunjukan seni di berbagai kota di Indonesia. Menulis puisi, cerpen, esai sastra, aktor, sutradara, presenter, penulis naskah teater; aktif di berbagai sanggar dan organisasi seni, melatih, menggelar pertunjukan dan mengkoordinir kegiatan seni budaya. Karyanya dimuat di sejumlah antologi puisi bersama, antara lain Seribu Sungai Paris Barantai (2006), juga dipublikasikan di Majalah Bandarmasih, Tabloid Wanyi, Banjarmasin Post dan Radar Banjarmasin. Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2002).
Abdul Hanafi, lahir di Kabupaten Tabalong, 5 September 1958. Lebih merasa sebagai pelukis dan guru pencak silat ketimbang penyair. Penilik PLS UPT-IP di Kecamatan Murung Pudak. Alamat: Komplek Bumi Tabalong Damai Blok D Nomor 04 RT 10, Desa Mabu'un, Kecamatan Murung Pudak.
Ahmad Surkati Ar, lahir di Tanjung, Kabupaten Tabalong, 8 April 1971. Menulis puisi, cerpen dan naskah drama sejak di pesantren. Tulisannya tersebar di media lokal dan nasional, antara lain Ceria, Pos Film, Yogya Pos, Banjarmasin Post, Serambi Ummah. Puisinya dimuat di sejumlah antologi bersama, antara lain Taman Sari (1998) dan Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008). Tinggal di Perumahan Permata, Tanjung.
Akhmad Husaini, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 18 November 1979. Menulis puisi, cerpen, dan artikel. Karyanya dipublikasikan di BBC London (siaran Indonesia), Radio Australia, Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni (UMSIS) RRI Banjarmasin, Media Masyarakat, Gawi Manuntung, Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Media Kalimantan, Mata Banua, Tabloid Gerbang dan Urbana. Puisinya dimuat dalam Doa Pelangi di Tahun Emas (2009).
Ali Syamsudin Arsy (Asa), lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 1964. Bekerja dan bermukim di Kota Banjarbaru. Puisinya dipublikasikan di media lokal maupun nasional dan dimuat dalam antologi bersama: Ragam Sunyi Jejak Tsunami (2005), Kenduri Puisi, Buah Hati Untuk Diah Hadaning (2008), Komunitas Sastra Indonesia (2008), Tanah Pilih (2008), Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009), Konser Kecemasan (2010), dan Mengalir di Oase (2010). Antologi gumam-asa-nya yang telah terbit: Negeri Benang Pada Sekeping Papan (2009), Tubuh di Hutan-Hutan (2009) dan Istana Daun Retak (2010). Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2005) dan Penghargaan Sastra Balai Bahasa Banjarmasin (2007).
Aliman Syahrani, lahir 30 Desember 1976 di Desa Datar Balimbing, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Karya fiksi dan nonfiksinya dimuat di media massa Kalimantan Selatan, Surabaya dan Malaysia, juga dalam antologi bersama La Ventre de Kandangan (2004), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Ronce Bunga-Bunga Mekar (2006), Darah Penanda (2008), Orkestra Wayang (2007), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009). Palas (2004) adalah novelnya yang telah terbit, dan Menangkis Jampi-Jampi Agama (2009), kumpulan esai. Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2003)
Andi Jamaluddin AR AK, lahir di Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu, 14 Februari 1964. Tinggal di Jalan Karya II RT 03, Batuah, Pagatan, Kecamatan Kusan Hilir, Kabupaten Tanah Bumbu. Menulis puisi sejak 1980-an, dipublikasikan di pelbagai media, antara lain Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni (UMSIS) RRI Banjarmasin dan Banjarmasin Post. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Wasi (1999) dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006).
Antung Hormansyah, lahir di Kelua, Kabupaten Tabalong, 5 Agustus 1964. Pendidik yang tertarik dengan puisi. Pengawas TK/SD di Kecamatan Murung Pudak, tinggal di Jalan Pembangunan I RT 03 Tanta.
Ariffin Noor Hasby, lahir di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, 20 Februari 1964. Bekerja dan bermukim di Kota Banjarbaru. Menulis puisi, esai sastra dan cerita rakyat Si Palui. Puisinya dipublikasikan di rubrik sastra media cetak lokal dan nasional. Sampai 2010, puisinya dimuat dalam 34 buku antologi puisi bersama yang terbit di tingkat lokal maupun nasional. Belum memiliki buku antologi puisi pribadi, karena, menurutnya, belum ada yang menerbitkan.
Aspihan H. Hidin (Aspihannor), lahir di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, 10 Maret 1980. Pengurus Dewan Kesenian Daerah (DKD) Batola. Selain dipublikasikan di media cetak lokal, puisinya juga terdapat dalam antologi bersama Cinta Rakyat (2007), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), Darah Penanda (2008) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009).
Asna Sepriawati, lahir di Banjarmasin, 5 September 1973. Bekerja di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Kecamatan Pandawan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Karyanya dipublikasikan di Radio Dirgahayu (Barabai) dan Dinamika Berita (sekarang Kalimantan Post). Puisinya salah satu dari 20 Nominasi Lomba Cipta Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan V di Kabupaten Balangan (2008). Puisinya juga dimuat dalam antologi bersama Bertahan di Bukit Akhir (2008) dan Ziarah Pelangi Balangan Menari (2008).
A. Rahman Al Hakim (ARAska), lahir di Sungai Namang, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Wartawan harian Mata Banua Banjarmasin. Puisinya dimuat di antologi bersama Taman Banjarbaru (2006), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Kau Tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006), Ziarah Pelangi Balangan Menari (2008), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009) dan Konser Kecemasan (2010).
A. Syarmidin, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 9 Agustus 1952. Menulis puisi sejak 1970-an. Bergabung dengan Posko La Bastari, Kandangan. Karyanya dipublikasikan di Banjarmasin Post. Selain dalam La Ventre de Kandangan (2004), puisinya juga terdapat dalam antologi Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009). Aktif di bidang teater, mengikuti pertunjukan dan festival kesenian di Surabaya, Jakarta, Bali, Mataram dan lain-lain.
A.W. Syarbaini, lahir di Desa Barikin, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 8 Mei 1955. Pimpinan Sanggar Seni Ading Bastari, Simpang Empat Barikin, Kecamatan Haruyan. Aktif menggelar dan merevitalisasikan musik karawitan Banjar, panting, tari, japin bakisah, wayang kulit, wayang gung dan seni tradisi lainnya. Anggota Tim Kesenian Kalimantan Selatan pada Pekan Wayang Indonesia II di Jakarta (1974), Pekan Tari Rakyat Nasional (1976), Festival Jakarta (1978), dan pelatih tari di SMA Negeri 2 Surabaya (1982). Pembina Dewan Kesenian Murakata (DKM), Kabupaten Hulu Sungai Tengah, sambil terus menggelar pertunjukan musik, tari dan teater tradisi di pelosok-pelosok Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Bagan Topenk (Rahman Rijani), lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 1 Oktober 1987. Bergiat di Teater Kantawan dan CPA Meratus Hijau, Kandangan. Sering membacakan puisi dan menampilkan happening art pada momen-momen tertentu di kota Kandangan. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Doa Pelangi di Tahun Emas (2009).
Dien Alice (Hj. Diana M. Alisi), guru SMA Negeri 1 Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Karyanya menjadi nominasi Lomba Penulisan Naskah Buku Tingkat Provinsi Kalimantan Selatan (1999-2000, 2000-2001). Sering mengikuti lomba penulisan karya sastra dan lomba mengulas karya sastra tingkat nasional bagi guru, yang diadakan Kementerian Pendidikan Nasional. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Mahligai Junjung Buih (2007) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009).
East Star from Asia (Qinimain Zain), lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 21 Mei 1965. Menulis puisi, cerpen, esai, dan opini sejak 1980-an, dipublikasikan di media cetak lokal, antara lain Radar Banjarmasin. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Taman Banjarbaru (2006) dan Konser Kecemasan (2010). Karyanya, Maratus, Juara Harapan I Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VII (2010) di Kabupaten Tabalong -- dibukukan bersama karya pemenang lainnya.
Eko Suryadi WS lahir di Kotabaru, Kabupaten Kotabaru, 12 April 1959. Bekerja di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kotabaru. Buku kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit: Di Balik Bayang-bayang (1982), Sebelum Tidur Berangkat (1983), Di Batas Laut (2005) dan Elegi Negeri Seribu Ombak (2010). Puisinya juga terdapat dalam antologi bersama: Dahaga- B. Post 1981 (1982), Ulang Tahun (1984), Tamu Malam (1993), Kesaksian (1996), Wasi (1999), Kasidah Kota (2000), Jembatan (2000), Reportase (2004), Stasiun Waktu Kilometer Lima Puluh Lima (2005), Seribu Sungai Paris Barantai (2006) dan Konser Kecemasan (2010). Hikayat Sa-ijaan dan Ikan Todak adalah cerita rakyat Kabupaten Kotabaru yang disusunnya bersama H.M. Sulaiman Najam dan M. Syukri Munas (2008). Ketua Umum Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kotabaru dua periode (1995-1998, 1998-2004) ini mengikuti Baca Sajak Serumpun Melayu di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta (2006), Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus, Jawa Tengah (2008) dan Temu Sastrawan Melayu di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau (2008). Menerima penghargaan Bupati Kotabaru sebagai Pembina Seni (1999) dan Tokoh Seni (2001). Ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kabupaten Kotabaru. Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2006).
Eza Thabry Husano, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 3 Agustus 1938. Pendiri komunitas Kilang Sastra Batu Karaha di Kota Banjarbaru. Menulis puisi, cerpen, naskah drama, esai sastra, dipublikasikan di media cetak lokal maupun nasional. Antologi puisi tunggalnya Rakit Bambu (1984), Surat Dari Langit (1985), Clurit Dusun (1993), dan Aerobik Tidur (1996). Sejumlah antologi bersama juga memuat puisinya, antara lain Banjarbaru Kotaku (1974), Dawat (bersama Hamami Adaby, 1982), Festival Puisi Kalimantan (1992), Jendela Tanah Air (1995), Getar (1995), Getar II (1996), Bangkit III (1996), Gerbang Pemukiman (1997), Wasi (1999), Datang Dari Masa Depan (1999), Cakrawala (2000), Jakarta Dalam Puisi Mutakhir (2000), Bahana (2001), Tiga Kutub Senja (2001), Narasi Matahari (2002), Sajadah Kata (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), La Ventre de Kandangan (2004), Baturai Sanja (2004), Bulan Ditelan Kutu (2004), Anak Zaman (2004), Bumi Menggerutu (2005), Dimensi (2005), Perkawinan Batu (DKJ, 2005), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009) dan Konser Kecemasan (2010). Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (1985), Penghargaan Sastra Bupati Barito Kuala (1987) dan Penghargaan Sastra Walikota Banjarbaru (2004).
Fahrudin Arifin, guru Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN), Kecamatan Jaro, Kabupaten Tabalong. Di samping menulis puisi, juga dramawan. Aktif di Sanggar Langit, Tanjung, Kabupaten Tabalong, dan di Dewan Kesenian Tanjung (DKT).
Fahrruraji Asmuni (Raji Abkar), lahir di Alabio, Kabupaten Hulu Sungai Utara, 13 Agustus 1960. Guru SMA Negeri 1 Amuntai. Puisi, cerpen dan esai sastranya dipublikasikan di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Tabloid Serambi Ummah, Majalah Kiblat, Sahabat Pena dan lain-lain. Puisinya dimuat di sejumlah antologi bersama, antara lain Darah Impian (1982), Bintang-Bintang Kusuma (1984), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Mahligai Junjung Buih (2007), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009). Kuning Padiku, Hijau Hidupku (1984), Sang Guru (1990), Pengabdian (1995), Dialog Iblis Dengan Para Shalihin (2000) dan Datu-Datu Terkenal Kalsel (2001) adalah buku kumpulan cerpen dan cerita rakyatnya.
Fitri Jamilah, lahir di Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, 29 November 1973. Juara I Lomba Penulisan Karya Ilmiah Tingkat Guru SMP se-Indonesia (2007). Mengajar di SMP Negeri 2 Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar.
Fitryani, lahir di Banjarmasin, 24 April 1977. Mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP Unggulan Hasbunallah, Kabupaten Tabalong. Puisinya salah satu dari 10 Puisi Terbaik Lomba Cipta Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan lII di Kabupaten Kotabaru (2006). Puisinya juga terdapat dalam antologi bersama Kau Tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006), 142 Penyair Menuju Bulan (2007) dan Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008).
Gusti Indra Setyawan, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 7 Januari 1972. Anggota Sanggar Langit Tanjung dan Dewan Kesenian Tanjung (DKT) ini juga penyanyi dan pencipta lagu Banjar. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Doa Pelangi di Tahun Emas (2009). Guru Bahasa Indonesia di SMA Negeri 3 Tanjung.
Hamami Adaby, lahir di Banjarmasin, 5 Mei 1942. Bermukim di Kota Banjarbaru. Antologi puisi tunggalnya Desah (1984), Senja (1994), Iqra (1997), Kesumba (2001), Dunia Telur (2001), Nyanyian Seribu Sungai (2001), dan Bunga Angin (2002). Antologi puisi bersamanya Banjarbaru Kotaku (1974), Dawat (1982), Bunga Api (1994), Bahalap (1995), Pelabuhan (1996), Jembatan Asap (1998), Bentang Bianglala (1998), Cakrawala (2000), Tiga Kutub Senja (2001), Bahana (2001), Narasi Matahari (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), Anak Zaman (2004), Uma Bungas Banjarbaru (2004), Baturai Sanja (2004), Bulan Ditelan Kutu (2004), Dimensi (2005), Bumi Menggerutu (2005), Garunum (2005), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), dan 142 Penyair Menuju Bulan (2006). Menerima Penghargaan Sastra Bupati Barito Kuala (1996), Penghargaan Sastra Walikota Banjarbaru (2004) dan Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2009).
Hamberan Syahbana, lahir di Banjarmasin, 14 Juli 1948. Setelah pensiun sebagai guru SMP Negeri 12 Banjarmasin, aktif menulis ulasan sastra, antara lain di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin dan dunia maya. Kumpulan esainya menunggu diterbitkan. Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2010).
Hajriansyah, lahir di Banjarmasin, 10 Oktober 1979. Sering memenangkan lomba tulis puisi dan cerpen Kalimantan Selatan. Awal menulis puisi dengan bimbingan Y.S. Agus Suseno. Jejak Air (2007) adalah antologi puisi tunggalnya yang pertama, yang kedua (bersama M. Nahdiansyah Abdi) Jejak-jejak Angin (2007). Karyanya dimuat dalam beberapa antologi bersama, antara lain Malaikat Hutan Bakau (2008), Darah Penanda (2008), Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009) dan Konser Kecemasan (2010). Mengikuti Temu Sastrawan Indonesia (TSI) II di Provinsi Bangka Belitung (2009) dan Pertemuan Penyair Nusantara ke-4 di Brunei Darussalam (2010). Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami (2009) adalah antologi cerpen tunggalnya yang pertama, dan 79 Puisi Hajri (2010) adalah antologi puisi tunggalnya terkini. Pimpinan Penerbit Tahura Media dan ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Banjarmasin.
Harun Al Rasyid, lahir di Desa Birayang, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 16 Desember 1940. Bermukim di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Menulis puisi, cerpen, cerita rakyat, naskah drama dan karya tulis ilmiah. Ketua DPD PAN Hulu Sungai Utara (2005-2010). Pernah menjadi anggota DPRD Hulu Sungai Utara (2004-2009). Puisinya dimuat dalam antologi bersama Mahligai Junjung Buih (2007) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009).
Hardiansyah Asmail, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 1 Oktober 1960. Di samping menulis puisi, kadang berteater bersama Posko La Bastari Kandangan dan teater PGRI Kabupaten HSS. Antologi puisi tunggalnya Bawanang (1996) dan Kembara (1997). Puisinya, antara lain, terdapat dalam antologi Jendela Tanah Air (1995), Meratus Berduka (2000), Jembatan (2000), La Ventre de Kandangan (2004), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009) dan Konser Kecemasan (2010).
H. Adjim Arijadi, lahir di Desa Mali-Mali, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar, 7 Juli 1940. Pelukis, penyair, dramawan, aktor dan sutradara film dan sinetron ini adalah pendiri dan pimpinan Sanggar Budaya Kalimantan Selatan. Puisinya dimuat di sejumlah antologi bersama, antara lain Air Bah (1970), Jabat Hati (1973), Jejak Berlari (1974), Panorama (1974), Ritus Warna Ritus Kata (bersama Ajamuddin Tifani dan A. Tariganu, 1994), Seribu Sungai Paris Barantai (2006) dan Konser Kecemasan (2010). Penerima Anugerah Budaya Gubernur Kalimantan Selatan (2009) ini adalah salah seorang pendiri sekaligus anggota seumur hidup Lembaga Budaya Banjar (LBB).
H. Ahmad Fitriadi F., lahir di Kotabaru, 27 Oktober 1973. Alumnus Magister Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini saat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin merupakan salah seorang pendiri (sekaligus ketua pertama) Forum Apresiasi Seni (FAS) -- komunitas seni yang cukup dikenal di kalangan mahasiswa. Puisinya dimuat di sejumlah antologi bersama, antara lain Jembatan (2000), Reportase (2000), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009), dan Konser Kecemasan (2010). Menerima penghargaan Seniman Sastra Berprestasi dari Bupati Kotabaru (2006 dan 2009).
H. Fahmi Wahid, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 3 Agustus 1964. Bekerja di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Balangan. Saat kuliah di Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin aktif di bidang sastra dan teater, mengkoordinir acara kesenian dan sekretaris Teater Pena Banjarmasin (1987-1990). Puisi ketua Dewan Kesenian Murakata (DKM) Kabupaten Hulu Sungai Tengah ini masuk Nominasi 5 Besar Lomba Tulis Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan (2000). Puisinya dimuat dalam antologi bersama Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008) dan Bertahan di Bukit Akhir (2008).
H. Muhaimin, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 22 Mei 1979. Pembina seni di Pondok Pesantren Istiqamah, Barabai. Menulis puisi sejak di sekolah menengah. Karya pengurus Dewan Kesenian Murakata (DKM) Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kabupaten Hulu Sungai Tengah ini dimuat dalam antologi bersama Bertahan di Bukit Akhir (2008).
H.M. Sulaiman Najam, lahir di Kotabaru, 1 Agustus 1935. Ketua Majelis Pertimbangan Seniman (MPS) Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kotabaru dan Penasihat Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru. Pernah menjadi anggota DPRD Kotabaru (1992-1997). Penyusun buku cerita rakyat Kotabaru Hikayat Sa-ijaan dan Ikan Todak (bersama M. Syukri Munas dan Eko Suryadi WS, 2008) Puisinya dimuat di sejumlah antologi bersama, antara lain Kasidah Kota (2000), Jembatan (2000), Reportase (2004), Stasiun Waktu Kilometer Lima puluh lima (2005), Seribu Sungai Paris Barantai (2006) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009). Menerima Penghargaan Tokoh Budayawan dari Bupati Kotabaru (2001), Penghargaan Tokoh Seniman dan Pendidikan Kabupaten Kotabaru dari PT Pelindo III Kotabaru (2004), dan Penghargaan Abdi Wisata dan Budaya dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kotabaru (2006). Sebatung, Melukis Dalam Kaca (2009) adalah antologi puisi tunggalnya.
Hj. Roosmayati, Kepala TK Pembina Tanjung ini guru tari, tapi puisi dan cerpennya juga dimuat dalam antologi bersama Semata Wayang Semata Sayang (1998), Potret Diri (1999) dan Nawu Raha (2002). Aktif di Sanggar Tari Bunga Tanjung dan Dewan Kesenian Tanjung (DKT).
Ibramsyah Amandit, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 9 Agustus 1943. Pendidikan terakhir sarjana muda FKIS IKIP Yogyakarta. Selama studi di Yogyakarta (1970-an), bergabung dengan Persada Studi Klub (PSK) pimpinan Umbu Landu Paranggi. Badai Gurun Dalam Darah (2009) adalah antologi puisi tunggalnya. Selain itu, puisinya terdapat dalam antologi bersama Bahalap (1995), Pelabuhan (1996), Rumah Sungai (1997), Jembatan Asap (1998), La Ventre de Kandangan (2004), Sajak-sajak Bumi Selidah (2005), Cinta Rakyat (2007), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009), dan Konser Kecemasan (2010). Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2009).
Ismail Wahid, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 31 Desember 1959. Menulis puisi, cerpen, esai sastra dan naskah drama. Direktur Akademi Manajemen Koperasi Barabai ini juga wartawan Saraba Kawa Post, X-Kasus, Metro Tanjung, dan ketua bidang teater Dewan Kesenian Murakata (DKM) Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Puisi ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kabupaten Hulu Sungai Tengah ini dimuat dalam sejumlah antologi bersama, antara lain Bertahan di Bukit Akhir (2008).
Jamal T. Suryanata, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 1 September 1966. Peserta Writing Program Majelis Sastera Asia Tenggara (1999) dan Ubud Writer’s and Reader’s Festival (2004). Bukunya yang sudah terbit, antara lain, Untuk Sebuah Pengabdian (1995), Di Bawah Matahari Terminal (2001), Problematik Pembelajaran Bahasa dan Sastra (2003), Galuh (2005), dan Boneka untuk Brenda (2005). Puisinya terhimpun dalam antologi bersama Festival Puisi Kalimantan (1992), Mimbar Penyair Abad 21 (1997), dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006). Bukunya yang baru terbit adalah antologi puisi Debur Ombak Guruh Gelombang (2010) dan antologi cerpen Bintang Kecil di Langit yang Kelam (2010). PNS Dinas Pendidikan Kabupaten Tanah Laut dan Wakil Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Tanah Laut di Pelaihari. Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2006) dan Penghargaan Sastra Balai Bahasa Banjarmasin (2007).
Jauhari Effendi, lahir di Tanjung, Kabupaten Tabalong, 6 Oktober 1960. Karyanya sering menjadi nominasi lomba penulisan cerita anak tingkat nasional dan sayembara penulisan cerpen tingkat Kalimantan Selatan. Cerita anaknya yang sudah diterbitkan adalah Itik Japon dan Kera (1986), Kura-Kura (1996), sedangkan antologi bersama yang memuat puisinya Semata Wayang Semata Sayang (1986), Potret Diri (1986), Potret Diri (1999), Arsy (2005), Ronce Bunga-Bunga Mekar (2005) dan Kumpulan Cerita Rakyat Tabalong (2006). Pengawas Sekolah Menengah di Dinas Pendidikan Kabupaten Tabalong.
Jaya Ginmayu (Jauhar Yamani), lahir di Kabupaten Tabalong, 16 Oktober 1974. Bermukim di Kelurahan Jangkang, Tanjung. Alumnus STIPER Amuntai dan FKIP JPOK Universitas Terbuka (UT). Selain mengajar di SDN Palanjungan Sari, Banjang, Kabupaten Hulu Sungai Utara, juga mengajar di SMP Hasbunallah, Tanjung. Menggeluti olah raga beladiri, seni musik, tari, lukis, sastra dan, terutama, teater. Ketua Sanggar Pusaka Tabalong ini juga aktif di Sanggar Langit, Tanjung, dan di Dewan Kesenian Tanjung (DKT). Puisinya terdapat dalam antologi bersama Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009).
Jaka Mustika (Maskuni), lahir di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, 29 Oktober 1953. Bermukim di Kecamatan Cerbon, Marabahan, Kabupaten Barito Kuala. Menulis puisi, cerpen, cerita rakyat, menulis naskah drama dan menyutradainya. Sering memenangkan lomba tulis puisi dan cerpen berbahasa Banjar Kalimantan Selatan. Karyanya dimuat di sejumlah antologi puisi bersama, antara lain Tembang Sungai Lirik (1993), Rimbun Tulang (1994), Bahalap (1995), Pelabuhan (1996), Rumah Sungai (1997), Jembatan Asap (1998); La Ventre de Kandangan (2004), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Cinta Rakyat (2007), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009). Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2010).
Kamilah, lahir di Tanjung, Kabupaten Tabalong, 7 Juli 1975. Sering ikut kolaborasi pembacaan puisi dan juri lomba baca puisi di sekolah. Puisinya terdapat dalam antologi bersama Duri-Duri-Tataba (1998), Semata Wayang Semata Sayang (1999), Potret Diri (2000), Jembatan (2002), Ronce Bunga-Bunga Mekar (2005) dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006). Staf Tata Usaha SMA Negeri 2 Tanjung. Alamat: Komplek Plambon Raya, Jalan Citra 5 Blok B Nomor 3 RT 14, Pembataan, Kecamatan Murung Pudak.
Lilies MS (Lilies Marta Diana), lahir di Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, 28 Agustus 1966. Mantan penyiar radio swasta ini juga deklamatris dan dramawan. Puisinya dipublikasikan di acara Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni (UMSIS) RRI Banjarmasin, Banjarmasin Post dan Dinamika Berita (sekarang Kalimantan Post). Karyanya terdapat dalam Kumpulan Puisi Penyair Pelaihari (1981), Semata Wayang Semata Sayang (1998), Potret Diri (1999), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009), dan antologi cerpen Nawu Raha (2002). Ketua Sanggar Langit Tanjung dan pengurus Dewan Kesenian Tanjung (DKT). Menerima Hadiah Seni (Teater) Gubernur Kalimantan Selatan (2009).
Mahmud Jauhari Ali, lahir di Banjarmasin, 15 Januari 1982. Bermukim di Kecamatan Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar. Menulis puisi, cerpen dan esai kebahasaan di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Mata Banua, Sinar Kalimantan, Media Kalimantan dan Tabloid Serambi Ummah. Menerbitkan buku kumpulan artikel, kumpulan puisi dan cerpen, pemakalah dalam Seminar Bahasa Nasional di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (2008) dan Kongres Bahasa oleh Pusat Bahasa (2008). Puisinya dimuat dalam antologi bersama Doa Pelangi di Tahun Emas (2009).
Masdulhak Abdi, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 4 Mei 1973. Alumnus Pascasarjana Universitas Negeri Malang (UNM) ini Kepala SMP Negeri 4, Kecamatan Tanta, Kabupaten Tabalong. Semasa kecil dan remaja beberapa kali menjuarai lomba baca puisi tingkat sekolah dan umum. Puisinya dipublikasikan di Mentari, Dinamika Berita, Radar Banjarmasin, Banjarmasin Post. Puisinya juga dimuat di sejumlah antologi bersama, antara lain Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008) dan Bertahan di Bukit Akhir (2008). Pengurus Dewan Kesenian Tanjung (DKT).
Muhammad Radi, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 17 April 1962. Puisi dan cerpennya dipublikasikan di Banjarmasin Post, Majalah Hai, Idola, Nona, Nova, Aneka Ria, Keluarga, Kiblat, Panji Masyarakat dan The Favour Magazine (Kanada). Bukunya yang telah terbit, antara lain, Pengajaran Fisika dan Peradaban Muslim (1995), kumpulan cerpen Di Antara Warna-Warni Pelangi (1998), Proses Pembelajaran: Mengacu Pada Fitrah (1999), Menghindari Jebakan Kultural: Kehidupan (2001) dan Shalat dan (Permasalahan Real) Kehidupan (2002). Puisinya dimuat di antologi bersama Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009), dan Konser Kecemasan (2010).
Muhammad Rusmadi, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 14 Oktober 1974. Wartawan Rakyat Merdeka, Pemimpin Redaksi Tabloid Haji & Umrah dan Asisten Kepala (Biro Jakarta) The New York Times. Tulisannya terbit di media massa lokal, nasional dan mancanegara, juga dalam antologi Di Antara Warna-Warni Pelangi (bersama Muhammad Radi, 1998), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009).
M. Aini Asmuni, lahir di Desa Telaga Langsat, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 15 Juli 1970. Guru pendidikan seni SMA Negeri 1 Marabahan, Kabupaten Barito Kuala. Pengurus pelbagai organisasi sosial, seni dan budaya, antara lain Wakil Sekretaris Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Barito Kuala. Menulis puisi, naskah drama, pelaku aktif dalam seni teater, tari dan musik tradisi. Karyanya terdapat dalam Sandi Citra (2007), Baturai Pantun Urang Banua (2000), Cerita Rakyat Barito Kuala (2005), Upacara Adat Masyarakat Barito Kuala (2005), Cinta Rakyat (2007), Ije Jela Bersyair di Tahun Emas (2009) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009). Menerima penghargaan Bupati Barito Kuala sebagai seniman tari dan teater tradisional (2009) dan Hadiah Seni (Tari) Gubernur Kalimantan Selatan (2009).
M. Fuad Rahman (Kayla Untara), lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu sungai Selatan. Bermukim di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Menulis puisi, cerpen, dan berteater di Posko La Bastari, Kandangan. Puisi, cerpen dan artikelnya dipublikasikan di Tabloid Gerbang, Serambi Ummah, Banjarmasin Post dan Radar Banjarmasin. Cerpennya dimuat di Orkestra Wayang -- antologi cerpen sastrawan Kabupaten Hulu Sungai Selatan (2007). Puisinya juga dimuat dalam antologi bersama La Ventre de Kandangan (2004) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009). Cerpennya, Bapintaan, Juara II Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VII (2010) di Kabupaten Tabalong -- dibukukan bersama karya pemenang lainnya.
M. Hasbi Salim, lahir di Desa Rumpiang, Kecamatan Aluh-Aluh, Kabupaten Banjar, 26 Juli 1963. Guru SMA Negeri 1 Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Menulis puisi, cerpen, artikel umum dan karya ilmiah, dipublikasikan di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Tabloid Serambi Ummah, Majalah Kartini, Al Kisah, Sahabat Pena, Mentari dan Asuh. Bukunya yang telah terbit, antara lain, Beternak Itik Alabio (2004), Kambang Barenteng (2004), Misteri Pohon Kasturi (2007), Dunia Sahabat (cerita anak, 2007) dan Bunga Rampai Haji dan Umrah (Menggelitik dan Penuh Hikmah) [2008]. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Mahligai Junjung Buih (2007) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009).
M. Nahdiansyah Abdi, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 29 Juni 1979. Bermukim dan bekerja di Kota Banjarbaru. Sering mengulas karya sastra dari sudut psikologi, sesuai pendidikannya di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta (2003). Puisinya dipublikasikan di media cetak lokal dan antologi bersama: Bumi Menggerutu (2005), Melayat Langit (2006), Kau Tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006), Jejak-jejak Angin (bersama Hajriansyah, 2007), Darah Penanda (2008), Malaikat Hutan Bakau (2008), Bertahan di Bukit Akhir (2008), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), dan Konser Kecemasan (2010). Pistol Air (2008) dan Pewaris Tunggal Istana Pasir (2009) adalah dua antologi puisi tunggalnya. Puisinya, Sapanjadi, Juara Harapan III Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VII (2010) di Kabupaten Tabalong -- dan dibukukan bersama karya pemenang lainnya.
Puspa Ramadayanti, lahir di Kabupaten Kotabaru, 20 April 1988. Aktif di Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kotabaru. Karyanya dipublikasikan di koran Sa-ijaan, puisinya dimuat dalam antologi bersama Seribu Sungai Paris Barantai (2006).
Rahmatiah, lahir di Nusa Tenggara Barat, 3 Juli 1979. Bermukim di Desa Bantuil, Kecamatan Cerbon, Marabahan, Kabupaten Barito Kuala. Sering memenangkan lomba tulis puisi Kalimantan Selatan. Puisinya dipublikasikan di rubrik sastra media cetak lokal dan nasional, antara lain Radar Banjarmasin, Dinamika (Lampung), Majalah Sabili, Buletin Sastra (Bandung) dan Buletin Sastra Komunitas Gunung Karang (Banten). Sering memenangkan lomba cipta puisi Kalimantan Selatan. Karyanya dimuat dalam antologi bersama 142 Penyair Menuju Bulan (2006), Kau Tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006), Darah Penanda (2008), Menggoda Kehidupan (2009), Kaos Hitam Cinta (2009), Konser Kecemasan (2010) dan Nyanyian Pulau-Pulau (2010). Puisinya, Madam, Juara Harapan II Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII (2010) di Kabupaten Tabalong -- dan dibukukan bersama karya pemenang lainnya.
Ratih Ayuningrum, lahir di Kabupaten Kotabaru, 17 Juli 1984. Puisi, cerpen dan esai sastranya dipublikasikan di Radar Banjarmasin, Banjarmasin Post dan Tabloid Serambi Ummah. Sering memenangkan lomba tulis puisi dan cerpen Kalimantan Selatan. Sempat menjadi wartawan Bisnis Tablomagazine. Puisi dan cerpennya dimuat dalam antologi Kau Tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006). Dongeng Kesetiaan (2008) adalah kumpulan cerpennya yang pertama. Bekerja sebagai pendidik di kampung halamannya.
R. Syamsuri Sabri (Rock Syamsuri), lahir di Banjarmasin, 11 Juni 1949. Bermukim di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala. Menulis puisi, cerita humor, naskah drama, aktor sekaligus sutradara teater tradisional. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Banjarbaru Kotaku (1997), Riak-Riak Barito (1997), 7 Penyair Marabahan (1984), Gardu (1998), Rimbun Tulang (1994), Pelabuhan (1996), Nyanyian Kuala (2003), Puisi-Puisi Mantra Jajarat dan Kariau (2003), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009) dan Konser Kecemasan (2010). Menerima Hadiah Seni (Teater) Gubernur Kalimantan Selatan (1997).
Sudarni, lahir di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, 30 Juli 1948. Puisi dan cerpennya dipublikasikan di Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni (UMSIS) RRI Banjarmasin dan Banjarmasin Post. Juara II Lomba Penulisan Pantun Berkait Kalimantan Selatan (1988), 10 Nominasi Lomba Cipta Puisi Kalimantan Selatan (1991), Juara I Lomba Cipta Puisi Kabupaten Hulu Sungai Utara (1995) dan Juara III Sayembara Penulisan Cerita Rakyat Porseni PGRI HSU (1996). Puisinya dimuat dalam Mahligai Junjung Buih (2007) -- antologi puisi bersama penyair Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Suriansyah, lahir di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 12 Juli 1964. Bermukim di Desa Bantuil, Kecamatan Cerbon, Marabahan, Kabupaten Barito Kuala. Guru SMP. Bergabung dengan komunitas penyair Marabahan sejak 1993.
Suriansyah R., lahir di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, 10 Oktober 1951. Pengawas TK/SD UPT Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Amuntai Tengah. Mengasuh acara basyair di Radio Suryanada Amuntai, Juara I Lomba Basyair Porseni PGRI Kalimantan Selatan di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (1997). Puisinya dimuat dalam antologi bersama Mahligai Junjung Buih (2007).
Suhaimi, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Guru SMP Negeri 6, Tanjung, Kabupaten Tabalong. Penyair dan dramawan ini juga melatih tari dan teater di sejumlah sekolah menengah. Karya garapannya, Katarsis, Juara I Festival Teater Kalimantan Selatan di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (2009). Pengurus Sanggar Tari Bunga Tanjung, Sanggar Langit dan Dewan Kesenian Tanjung (DKT).
Syarkian Noor Hadie, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 1 September 1952. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Riak-Riak Barito (1979), Gardu (1979), Kuala (1984), Menatap Cermin (1988, Bunga Api (1994), Bahalap (1995), Jendela Tanah Air (1995), Pelabuhan (1996), Rumah Sungai (1997), Jembatan Asap (1998), La Ventre de Kandangan (2004), Sajak-Sajak Bumi Selidah (2005), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Cinta Rakyat (2007), Ije Jela Bersastra di Tahun Emas (2008) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009). Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Barito Kuala.
Taberi Lipani SR, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 6 September 1971. Pernah menjuarai Lomba Bakisah Bahasa Banjar Piala Museum Lambung Mangkurat Kota Banjarbaru, dan 16 Besar Sayembara Tulis Puisi Bahasa Banjar (1999). Ketua Bidang Sastra Dewan Kesenian Murakata (DKM) Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan anggota Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Hulu Sungai Tengah. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Bertahan di Bukit Akhir (2008).
Tajuddin Noor Ganie, lahir di Banjarmasin, 1 Juli 1958. Menulis puisi, cerpen, novel, esai sastra dan penelitian sastra, dipublikasikan di media cetak terbitan Banjarmasin, Surabaya, Jakarta, Kuala Lumpur dan Brunei Darussalam. Bukunya yang sudah terbit: Sketsa Sastrawan Kalimantan Selatan (editor, bersama Jarkasi, 2001), Profil Sastrawan Kalimantan Selatan 1930-1999 (2002), Karakteristik Bentuk, Makna, Fungsi dan Nilai Peribahasa Banjar (2005), Kamus Peribahasa Banjar (2010), Tengah Malam di Kuala Lumpur (2010), Kamus Mimpi Orang Banjar (2010) dan Antologi Biografi Sastrawan Kalsel (2010).
Taufiq Ht (Taufiqurrahman), lahir di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, 18 Juli 1984. Bermukim di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Saat kuliah di Jurusan Akidah Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, bergabung dengan Sanggar Teater ESKA (binaan Hamdy Salad). Puisinya salah satu dari 10 Puisi Terbaik Lomba Cipta Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) V di Kabupaten Balangan (2008). Karyanya dimuat dalam antologi bersama Bertahan di Bukit Akhir (2008).
Tati Noor Rahmi, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 4 November 1979. Mengajar Bahasa Indonesia di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Paringin. Tinggal di Perumnas Batu Piring, Kecamatan Paringin Selatan, Kabupaten Balangan. Puisinya dimuat di sejumlah antologi bersama, antara lain Dukaku Duka Meratus (2000), Ronce Bunga-Bunga Mekar (2005) dan Bertahan di Bukit Akhir (2008).
Wayan Windre Semara, lahir di Kecamatan Barambai, Kabupaten Barito Kuala, 7 April 1987. Pelukis dan editor foto, aktif dalam seni rupa, tari dan teater di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala.
Yuliati Puspita Sari, lahir di Kecamatan Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, 30 Juli 1980. Saat mahasiswa sempat menjadi sekretaris Forum Lingkar Pena Wilayah Kalimantan Selatan. Cerpen tenaga teknis di Balai Bahasa Banjarmasin ini dipublikasikan di Tabloid Serambi Ummah Banjarmasin.
Zurriyati Rosyidah (Sisy), lahir di Mandiangin, Kabupaten Banjar, 28 Mei 1988. Berdarah campuran Palembang-Banjar, aktif di komunitas sastra Kota Banjarbaru. Sering menjuarai lomba penulisan karya sastra. Puisinya dimuat dalam antologi bersama, antara lain Darah Penanda (2008), Malaikat Hutan Bakau (2008), Wajah Deportan (2009), Menggoda Kehidupan (2009), dan Nyanyian Akar Rumput (2009). Memiliki dua alamat: di Kecamatan Karang Intan (Kabupaten Banjar) dan Sungai Ulin (Kota Banjarbaru).
Komentar
Tulis komentar baru