Skip to Content

Luka pada jahitan

Foto Willyshayudana
files/user/9130/VAPORGRAM1623176084517.jpg
VAPORGRAM1623176084517.jpg

Willy shayudana

Penyair

Puisi-puisi pembentukan 

 

Pengakuan

 

Jika waktu memutar keadaan ketika memulang kembali

Ku ingin hubungan yang memisah antara kelam,

Dan Merta kisah yang merajut membelam

Penuh yang salah dan tersalahkan, mempercaya di

Penghujung. Dan cinta adalah bahaya kepasrahan.

 

Ada yang ingin ku buka, di hadapan kau!

Ini mulut melucut kabut membuka suara

Hai cintaku, alasan di pangkalan Sukma telah lusuh

Meriak sih anak miskin memicing duka

 

Hidup membeda suatu merintang 

Ku ambil peduli, dan kau jauh tak mempeduli?

Pintu yang membuka telah siap jauh menyelam langit

Jauh mengabur pergi mepermaut luka sendiri

Dan kau tak mau tau-

Malam di antara pohonan manis,

Ku bertanya;

adakah sedikit rasa yang jatuh terbasah bujuk rayuan?”

Jalur menempuh terletak ranjau yang rumit 

Cukup! Ku ingin merdeka, juga dengan Nesda

Mesti ajal memisah-ku kan' berada sunyi

Ria di jalur dunia yang kau bentuk dan selamat jalan.

 

12, Juni 2021

Willy shayudana

 

 

 

 

Bungaku yang gugur

 

 

Dialah, bungaku (T.P.sari) mereka ria sebagai kekasih 

Memeluk pelangi dan menari-menari gelisah

Nanap menatap lama tubuhnya bersinar rembulan malam

Di rumah pandang tajam cinta kita bagikan berdua 

 

Waktu malam yang kelam 

Hujan membasahi kulit, berwangi doa 

Agar cepat. Bibir beradu ke angkasa, ke langit

Yang berbunga. Kita meminta sekali lagi

Adakah mesra menanti ajal

Ketika semua selesai secara murni,

Dan keindahan yang ku tanam-

Ku tanam, menabur segala tiba 

paksa dunia dengan kegagalan”

Tidak! Di lorong yang gelap bungaku 

Tetap tumbuh. Musti keadaan ku tagih

Deras membelam. Bisa katakan!

Dia yang jauh kini, tiup nyawa 

Tiup jiwa, bagaimana putus benang ibuku?

 

Masa rendah kekalahan itu,

Raba dada kita kan sampai

Menemui luka. Bungaku berjarak mati

Terbang kering berguguran

 

Juni, 2021

Willy shayudana

 

Penentuan

 

 

Tinggal kesepian yang menerjang rumah ini

Ini ruang penuh harap, penuh cinta?

Berapa waktu harus di nanti

Tiap jalan menghantam nyawa,

Hidup tak mengenal siapa kau!

Siapa yang mengada kemurnian jiwa?

Bahkan sedikit laju terhenti

Menghidupkan yang tak pasti,

Sedikit malam mempersiangku

Sedikit pula kita berbicara

Geming dunia, yang terbakar lagi 

Sudah!

Hembus tubuh tak peduli,

Sekilap pandangan serupa meliat rendah 

Keras membatu itu muka?

Menyerah enggan di sapa,

Dan aku-

Dalam Hitam mendera sunyi.

 

Juni, 2021

Willy shayudana

 

 

 

 

 

Sia-sia menerima

 

 

Tidak perempuan! Yang hidup dalam diri

Masih bergelincing lincah ganas memeluk gelap,

Kau keras tajam memaling mata, memicing dunia!

Lagu-lagu tipuan meninggi, tanpa makna di mengerti

 

Langit-langit di daerah perkotaan tidak mengajarkan

Apa-apa padaku! Bahkan segala cinta minta tak ria

Orna sunyi germelap keputusan-keputusan 

Orna sepi pada perempuan yang penuh permata

Segala telah tiba

Datang menyambut

Sia-sia menerima

Badan menyelam dingin 

Mata-mata yang kosong perih 

Darah membiru asin

Pahit!

Pahit!

Mengaum di udara

Mati 

Duka

Hati 

Terluka

 

29, Mei 2021

Willy shayudana

 

 

 

Yang kini tidak berumah

 

 

Tak sempat ria terpancar di muka

Ada sedikit waktu?

Mari isi sepi yang kering

Hitam di sekujur tubuh

Tapi!

Aku tak ikut pada alasan 

-dendam

Api membara di kepala!

-tak terjaga

Kehilangan tempat menyendiri,

Anak-anak bercita-cita;

“kebebasan bukanlah kekuasaan”

Tak terima segala bentuk permata

Tenaga mencurah mengalah

Kenali burung-burung di persinggahan

Berenang tak tau arah!

Kehilangan rumah sendiri

Menjadi gugur tak menama 

 

Mei, 2021

Willy shayudana

 

 

 

 

Buat pelukis alfitac

 

 

Antara

Malam menderu, ini mulut kelu membeku

Hujan menyinari muram

-terasa dingin

Air tajam kering, di mata berdoa 

Dia yang datang sendiri Berlari-lari

Jauh bangunkan cinta?

Itu muka!

Penuh warna. Di atas langit bertahta!

Beri nafas, sekali ruang ku kenali

Maka ku kan' mengabur

Dan Cintaku, kita terapit

-kau terlahir Gana 

Dan aku mengecil diri

Di daerah kosong! Mimpi mentanduskan

Mari kita lepas, lepas segalanya

Sekarang!

Biarku terbang jauh serupa gipsy 

Hari ketemu, hari mendarat

Cengkaman mata, ketemu batas!

Mengenal tiba, kan' mati tak bergerak.

 

Mei, 2021

Willy shayudana

 

Di bawah bulan

 

 

Malam yang bertanya mengapa kesepian berada kembali

Di langit yang merah, bulan yang merah 

Kau memberai suatu dunia!

Pernah dulu kita di buru, dan bibir beradu ke arah surga 


Pecah terbenah di bawah kaki sepasang gagak

Berteriak di kelopak mata bulan yang memerah 

Dan sedikit hitam mengalir air mata itu,

Rasa cemas luas pandang segala arah.


Bagaimana bisa ?

Kau sungguh menggila untuk bercium 

Gigitan merasai luka, dan terasai

Sungguh pun lebar kepuasan. o, kekasih


Apalah bulan memandang tajam

Hai! manusia ku menyinari Cinta dan bayang-bayang

Hai! Manusia ku menyinari cinta dan bayang-bayang


O, kekasih sekali hari itu mengulang lagi

Lagi kepada kisah yang baru, mata-mata 

AKu dan kau. Begitu erat di malam yang sepi 

Bayang-bayang sendiri akan meminta suatu kini


Jika hanya malam mengarungi kisah yang baru

Ku terbuka segala pintu, segala yang dulu pernah membentuk. Akulah yang tak pernah membagi,

Diantara kisah yang melupa dan mati di bulan sepi

 

Medan, Juni 2021

Willy shayudana

 

 

Cintaku jauh di luas samudera

 

Gadis manis, cintaku berada jauh di luas samudera
Tak mengira tujuh tahun sudah!
Masih sama, api yang mengobar di jiwa
Memancar malam, memancar tubuh
Perasaan kusut terlucut debu
Kentara tak sampai tuk bercium
Suara sengau laut
Di bawah bulan sepi
Ada suatu buat cintaku
Segala adalah kepuasan birahi
Sendiri! Telah ku bawak luka ini!
Bertahun-tahun bersama 'kan merapuh!
Mengapa cepat benar kau berlabuh
Sebelum cinta kita benahi kembali?
Gadis manisku, jauh di luas samudera
Kalau ku terluka mengembara, kau bahagia menyendiri
25, Mei 2021
Willy shayudanaGadis manis, cintaku berada jauh di luas samudera
Tak mengira tujuh tahun sudah!

 

Masih sama, api yang mengobar di jiwa

Memancar malam, memancar tubuh

Perasaan kusut terlucut debu

Kentara tak sampai tuk bercium

 

Suara sengau laut

Di bawah bulan sepi

Ada suatu buat cintaku

Segala adalah kepuasan birahi

 

Sendiri! Telah ku bawak luka ini

Bertahun-tahun bersama 'kan merapuh

Mengapa cepat benar kau berlabu

Sebelum cinta kita benahi kembali

 

Gadis manisku, jauh di luas samudera

Kalau ku terluka mengembara, kau bahagia menyendiri

 

25, Mei 2021

Willy shayudana

 

 

Malam Minggu

Lagu-lagu yang mengiringi kelamnya malam

kita bertemu bagai sepi yang tak kunjung selesai

melaju kereta, pilih segala kemesraan mendalam

merada hari ke hari menerima sendiri, 


dekat di persimpangan

hati merasa cemas

menatap mata yang beku dan kosong

masih terpendam menelusuri lorong-lorong berhadapan hilang bentuk, yang tiada arti


bagaimana kita bercerita? 

Sedangkan waktu menikam kesunyian ini

terbawa roh ke ujung penyesalan, yang harus dan tetap di kunyah


hanya sedikit ria bercampur tangan

berupa wajah berkaca-kaca dengan bibir terjahit

jalan terluang harap dan mati

begini juga bedil yang melacur doa? 


Malam yang panjang dan dingin

pada keramaian yang mengabur

di kaki malam yang sepi dan kabut angin 

tertiup suara, dan kisah cerita terlesu melebur.

 

Medan, April 2021

Willy shayudana

 

 

Abooi

 

Di dalam rumah tua bercerita kisah

Walau sebentar, kalbu merada dosa 

Debu suci memanggil, berapa waktu lagi beradah

Siap yang segala tiba - terberi pasrah duka

 

O, raut wajah melamun diri 

Nanak darah perlahan tak mengalir 

Sudah tau, dan ajal menanti 

Makam terbuka mendalam tak berarti

Lemas badan+pahit luka penyakit tua 

Sungguh dupa berbaris?

 

Sedekah ikhlas! Tak sadar geriah nyawa 

Tertidur abadi di kepala yang panas tinggi

Nafas selehai perlahan tak menghirup udara

 rubuh tubuh yang dingin seperti es Serbia 

Bagaimana begitu mudah untuk berpulang ?

 

O, hidup siapa yang tau!

Menentu hari semakin rendah, 

Sedangkan takdir datang menjemput.

Roh terlahan tercabut dari kerongkongan,

Jauh terbang ke alam sorga, berselimut susu.

 

22, Juni 2021

Willy shayudana

 

 

Tempat jalan pulang

 

Bukan ajal yang benar tertikam terali

Di atas mengubur suatu tiba 

Beri suatu hidup menyebur sorga sendiri

Bunda! Bunda!

Tak ku tau setinggi duka Maria 

 

Mdn, Juni 2021

Willy shayudana

 

 

 

 

Aku telah melupakanmu

 

 

Ketika malam tiba hanya ada sedikit cahaya

Berkelabu sunyi meredum telinga yang membatu

Ketika kesakitan tiba aku selalu berdoa tinggi dan berharap

Segalanya. O tuhan, Ampunilah seluruh tubuh yang mulai palsu ini

 

Banyak yang ku minta bahkan kau tak meminta apapun dariku

Aku telah melupakanmu. o tuhan, Ampunilah jiwa yang bersalah ini

Ketika tangan-tangan berkeliaran dan berdusta kau menantangku dengan

cinta, ketika kerapuhan merusuk segala ruang, kau mengobati segalanya.

 

Bagaimana aku bisa mengeluh?

Sedangkan kau maha bersyukur

 

Bagaimana aku bisa benar ?

Sedangkan kau maha pembenar 

 

Bagaimana aku mencintaimu?

Sedangkan kau maha pencinta

 

Bagaimana aku sayang padamu?

Sedangkan kau maha penyayang

 

Bagaimana aku meminta padamu?

Sedangkan kau maha pemberi

 

Aku adalah umatmu 

Lahir dari tanah yang tandus dan seongok daging rahim ibuku

Bagaimana jika tubuhku terbawa arus air yang tajam

Bahkan kematian saja bisa setiap waktu tiba

 

Aku telah melupakanmu, panggilan itu datang setiap detik, menit dan jam.

Tapi aku tak mengenal sujudmu, o tuhan Ampunilah diriku

Aku yang merasa kuat tapi,

Tak berdaya dan merangkak ketika lemah

 

Aku termenung di kesepian 

Berderai suara-suara penyesalan 

Doaku hilang dan tenggelam 

Pada kepalsuan yang hina

O tuhan, ampunilah diriku

 

Racun-racun dunia memalingkan ragaku

Dari nikmatnya yang sementara

Ku terjerat kedalamnya

O tuhan, ampunilah diriku

Sungguh aku telah melupakanmu

 

19 September, 2021

Willy shayudana

 

 

 

Sajak Se'ekor gagak dan iblis

 

Di kota tua wajah berhias lampu malam

Bersinar telanjang menanti pergi

Se'ekor gagak bertengger di ranting bulan purnama

Hitam tubuh menari tanpa hujan dan kepakan sayapnya

Tak ada mendung juga-

Tak ada mendung di sekujur bulunya,

Paruh nya seperti puisi 

Ada dendam 

Ada luka-

Di jalan yang penuh darah

Telah lenyap tak bersisa

Sajak tak memerah seperti arus sungai

Yang mulai menghitam 

Se'ekor gagak terbang mengitari cakrawala

Lalu, Seperti peluru merasuk tubuh bocah lelaki

Bagai takdir pembunuh iblis, raja iblis

Se'ekor gagak menanti ajal-

Suara muram berkicau ketakutan 

Akan kebatilan yang akan musnah

Seperti kaum nabi Luth yang berdusta 

Bercinta, seakan tak ada sorga di muka umum

Hai wahai iblis, kematianmu di akhir jaman bukan ?

Se'ekor gagak menanti ajalmu

Menanti dirimu terlebur dan terbakar 

Kesunyian dan terasing membawa seluruh umat manusia

Kedalam kebijaksanaan

Se'ekor gagak seperti pisau yang berdoa

Menuntun ajal semakin dekat-

Dekat...

Tertutup segala yang suci

Se'ekor gagak mati 

Air mata sunyi dan samodera berkabung 

Duka..

Sepi..

Segala menyatu 

Pada kematian iblis

Yang terlaknat.

 

17 September, 2020

Willy shayudana

 

 

 

 

Sendiri 

 

Aku tau kecemasan yang terjadi

Sebuah penghiatan dan ku tau segala menjauh

Tidak kawan! Disini kita tak lagi sama 

Kau dan aku menertawakan dunia 

Seperti dulu, permainan kaki dan bola

 

Dunia telah hilang 

Menguburkan jejaknya yang tak pasti

Antara kecewa yang kita miliki

Tidak lah ada ikatan apa-apa 

Cukuplah!

Apa yang padaku, segala ku tak perduli!

 

Oktober, 2021

Willy shayudana

 

 

 

 

22 tahun!

Kepada Leiden

 

 

Inilah aku, leiden!

aku lahir di malam hitam 1999

Ketika aku lahir seluruh langit berdoa turun ke bumi

Dengan airnya, dengan airnya yang hitam, dan airnya yang menghitam!

 

Tahun dan sebelum kelahiranku, Leiden!

Ketika aku lahir, bedil-bedil di atas langit jatuh menghantam

Jatuh menghantam, jatuh menghantam,

dan jatuh mengoyak tangisan ibuku.

 

Kau adalah saksi, Leiden!

Kau adalah saksi oleh kesaksianmu sendiri

Yang katanya sungai susu ada di sorga sana

Mengapa dan mengapa Adam di buang karena iblis 

Menggodanya ?

 

Wahai, Allah!

Bocah kecil terusir oleh matahari yang menyengat matanya

Matanya yang tak ada lagi hujan,

matanya yang tak ada lagi taman-taman kasih sayang

Leiden! Kau tumbuh dan tumbuh menakuti matanya 

 

Kemiskanan apa ini, Leiden!

tiada pernah mereka membuka suara

Suara mereka hilang oleh prasangka manusia,

manusia-Manusia yang membentuk sorganya di bumi.

 

 

Inilah aku, Leiden!

Tidak ada apapun yang bisa menentukan nasib kita

Yang tinggi akan semakin tinggi,

yang kecil semakin kecil.

 

Leiden! Hanya merata hidup hukum manusia

Yang akan mati. Mati. Mati. 

Percayalah, Kitakan menang!

 

28, September 2021

Willy shayudana

 

 

 

 

 

Di balik malam

 

 

 

Aku percaya segalanya tiba

Tak'kan bertolak ajakan - seperti ribuan burung-burung berpulang.

Dari Saban sore. Menuju malam.

 

Aku percaya segalanya tiba

 

Nyanyian suara kendaraan menyala hidup dari rumahku

-Terbawa muram juga kita yang di sangsikan.

Dua wajah tercerai terbelam. Jauh Menekan!

Menekan malam jua menikam sepi.

 

Tawa bergeliat mengudara

Cerita lama yang menjadi baru

Kenang saja - juga kan hilang!

Dan malam mempercepat larinya petang.

 

Lampu-lampu tua menari berdampingan 

Ada di matamu dan mataku

Sekira darah mengalir dan menyatu

 

Aku percaya segalanya tiba

Yang tak mesti menjadi terjadi

Jauh cinta hanya terpura-pura

Malam bertukar nyawa

Nyesak sendiri - nyata kita kan memilih

Pelarian takut terulang 

Yang berakhir- mimpi terjadi!

 

 

Oktober, 2021

Willy shayudana

 

 

 

 

 

Subuh

 

 

 

Aku berkaca pada dunia 

Lautan pasar di tengah kota 

Memutar roda - bikin suatu kehidupan ?

Anak muda dan yang tua berdamping berjalan.

 

Seluruh muka terpancar doa 

Harapan. Mendengar sekecil kaki 

Melangkah, pelan merayap mimpi 

Menderu suara bikin menyala jiwa 

 

Kini!

Aku berkaca pada dunia 

Sekililing bertukar hari menantang maut 

Tuhan, berapa banyak pendusta bangun dari tidurnya ?

Jika, manusia memiliki kedudukan!

Antara tinggi rendahnya moral dan martabat

Juga Hakikat adalah bahan masa ke masa 

Kehidupan ?

 

Ohh, menari matahari terbit di sangkar mataku 

Menyelam pandangan ke dinding langit 

Habis hilang mereda. Habis menelan subuh.

 

 

November, 2021

Willy Shayudana

 



 

Perempuan muda

Ia perempuan muda

Menajam Bulan di atas mata telanjang

Menegak mata. Mengucur luka

 

Ia perempuan muda

Caya purnama-menyayat mulut dan muka

Malamnya membusuk tiba 

Di dada.

 

Ia perempuan muda

Tentang berani. terpukul mati.

Ruang penghidupan, mengosong hari.

 

Ia perempuan muda punya nama

Suaranya lantang penuh tenaga!?

Darah mengurat membara!

 

Ia tak bisa tidur.

Jika nyawa kau

 mengubur 

Dan Mengoyak suara...

 

 

 

Ia perempuan muda 

Berdetak- menyentak 

Tindak. Jiwanya menyala!

Mengucur darah.. mengucur luka

 

Mei, 2021

Willy shayudana

 

 

 

 

DALAM HATINYA


dalam hatinya

cinta;

masa---ke---masa

rubah jiwa sendiri

ciuman matahari

hutan indah menari 

dan, Padang luas masyuri

rasakan di jiwa


kenang segala yang dulu

kenanglah segala yang memburu arti


o, berapa waktu lusa 

--ajal menanti!

laut bawakannya derita,

desir berdengu ombak 

muram, detumkan seluruh muka


ia bertanya;

apalagi yang bikin keras di dada

kalau sudah terbagi?


tunggu saja!

tunggu saja!


datang juga malam

beleidigt! beleidigt!

terasing---ruang---mengapung

ia mati, pacar kau cinta?


dalam hatinya

kenanglah segala yang dulu


“pada siapa akan cemas di hadapan tuhan?"


2022

willy shayudana

 

 

 

 

 

Gerbang laut penyair

Di depan pintu pelabuhan seluruh tubuh menyeru

Menyeru kepada matahari 

Matahari hijau berlumur jeru 

Badai berunding vasikan ombak di dada 

 

Rasa jiwa yang cemas 

Di meja pertama kertas terbakar 

Hitam menjadi abu mengalir pada arus 

Sungai memerah,

Sungai memerah,

“Mengalirkan”

Bara jadi beku sama!

Tiba sekalian beranjak kecewa 

 

Wahai penyair, 

Bertanya;

“Sajakku menjadi laut yang dingin, 

Biru bermata mutiara bacakan arti tenggelamkan

Gaya bahasa yang mati seperti mayat

Dan apakah menjadi perenungan?”

 

Pemuda mengeraskan hatinya 

Menulis kepada burung yang bertengger 

Di bulan ungu ia memejam kan matanya 

Berharap Tuhan memujinya!

 

 

Wahai penyair gerbang laut terbuka 

Jalan sama umur dan kebebasan

---pada kertas 

Gersang, basahkan sajak itu!

 

Wahai penyair!

Tidak ku sebutkan kau penyair.

Atau kau hanya menulis?

Mereka membaca kebodohan 

Gerbang laut terbuka sekarang!

Pembacamu kebingungan 

Behati-hatilah!

 

Atau kau adalah seorang improvisator?

Membunuh para pembacamu, memuji

Tuhanku,

pengikut mu berkata;

“penulisku yang agung."

Pujian bahasa yang menari kekal?

 

Metafora-metafora cengeng!

Penuh pujian!

O, juranglah kau wahai penulis

Hantam bahasa pelawak kemudi 

Kapal di hutan senja 

Improvisator dan pembaca kolot 

Berenang di pegunungan ungu 

Enyahlah!

 

Neraka bahasa hancur melebur 

Binasa!

Gerbang terkunci 

Laut bebas angkat beruba

Tenggelam ke masa 

Zaman dan bangkit 

Percaya ia hidup kembali!

Meja pertama, dan laut para 

Penyair!

 

 

 

 

Tenggelam sepi

Ia tercebar sepi, tambah lagi
Bukakan diri. Tambah nyalikan jiwa.
Dan malam kau juga tau sendiri
Bersebelah anjing sebagai kawannya
Ia membenci. Apalagi perempuan 
Dalam hitungan -- Cerai dunia di dadanya.
Minta malam dari segala bahaya
Menanti hampa, dari persinggahan dermaga
Dalam takutnya usang lautan di matanya
Ia berseru: “jauhkan cinta dari suara yang mati!”
Ia tercampung. Dalam gulita malam.
Bujuk Rayu bintang behias diri ?
Ia Meringgis sunyi, laut mau apa?
Tak kuasa jadi Kelam! jadi larut ia tak perduli.
27 Mei, 2022
Willy shayudana
 

 

Dimana kah jalan untuk kembali?

 

Dan, disini aku bertanya 

Di tanah gambus tubuh kampung halaman 

Kali suatu masalah tiba

Antara harum bunga yang gersang 

Dimanakah jalan untuk kembali?

 

Gadis cantik belokkan wajah 

Tau bedil sudah berhadap kepadanya 

Kau khawatir! Kau khawatir!

Masa depan tau juga mencakram dadanya 

 

Masa depan mengancam masa mudanya 

Usia dan cita menyatu bagai bencana 

Tak menahan suara, terhempas sendiri 

Dimanakah jalan untuk kembali?

 

Gadis muda 

Membatu -- membeku

Kau di buru pada kesakitan 

Kehidupan.

lalu kau bertanya;

“dimanakah jalan untuk kembali?”

 

Dalam duka pesakitan

kau Melihat tinggi burung di udara

Nyanyiannya, kicaukan biru samodra

Kau Menatap bebas

Melayang!

Terbang!

Menembus!

Jauh, melepas!

Sebagai perempuan.

 

Lampung, 2022

Willy shayudana

 

 

Apa jadinya

Apa jadinya bicara 
Kalau orang-orang menggongong 
Dan menipu.
Kau bilang segala padaku?
Biarlah larat jadikan aku gelandang 
Pulau Menyisir lintas timur ku pegang
Pandai mereka bersilah--lidah 
Karena kita di perah tenaga!
Pemuda berlincah--pecah akibat!
Tau gaya melabuh ketololan 
Satu persatu di rayu, jadi binatang
Bela penindas, saling menindas.
Apa jadinya pendidikan?
Kalau pulang jadi anjing politik!
Beri hotel dan mobil Alphard 
Jaminan muda dan hari tua ?
Lampung, 2022
Willy shayudana

 

 

 

Perbatasan muara Enim

 

 

Bumi kelam di perbatasan muara enim

Dalam waktu terasing 

Malam mulai membisikkan suatu hutan yang rimbun

--- everia kami berbaris dalam satu bus

 

Kaca lampu hitam terangkan wajah bayi tiga Minggu 

Mencium bau angin tua, dingin dan sendiri 

Oleh apo kami menjual ?

Kesusahan dari kelaparan pagi!

 

Matahari meninggi tinggi 

Tidak jauh dari kami 

Laut di badan dan cabang-cabang 

Ranting tenaga saling menyatu 

Ku kira ajal mendekat tiba 

Mencoba mati, tak menyadar 

“Udara di sisi Bangunkanku

Bersama”

Kami selamat!

 

Palembang, 2022

Willy shayudana

 

 

 

 

Menjelang malam

 

 

Hancur dunia di badanku 

Ingatkan ku badai di jiwa yang lalu 

Suara buntu 

Jadi harus ku tau ?

Damai bikin pecah di dada 

Tak reda 

Ini kali diam 

Jua mati saja

Bagaimana remuk bertenggang jiwa!

--bahwa ketenangan menebal debu dan nafsu 

Api menyala berkaca rupa 

Kau tau bukan ini lagi yang di tunggu 

“Barangkali disini sudah ada derita!”

Seperti samodra pecah kedalamannya 

Atau mungkin 

Segala melebur dosa!

Dan sekali duka menghadapnya 

 

Ya Allah, aku menyeru derita 

Tubuhku terbakar, menjadi-jadi 

Seluruh Menyamar dan hancur

Menghampiri? 

Sayatan keras terus di dada!

 

2022

Willy shayudana 

 

 

 

 

 

Ana, jangan kau sangsi!

 

Bertena, ana! 

Perempuan muda memerdu kembali

Kalau Apa Menyiksa diri atau menyiksa hati?

Ah, aku tanya pula di hadapan kau

 

“salut didih menyulut api"

Di muka, dan di tangan tampak abu berbaris 

Tunggu sebentar, jagal ambil tegak berdiri

 

Ana, jangan kau sangsi!

 

Dalam sunyi kau hitungkan saja;

Caya nyinar satu nyanyikan pelita 

 

Menyeru dan mengoyak sepi 

Bikin kau berani melepas diri 

 

Ana, jangan kau sangsi!

Benar belum pula terjaga sunyi

 

Sekarang Pintu terbentak terbuka

Menguba jalan kedepan tau perlahan 

Di nanti Cemas juga kan tiba 

Tidak merintang, jangkaran juga terbuntu, menekan!

 

Juli, 2022

Willy shayudana

 

 

 

 

Sendiri

Mulut menyeru 
Pucat suara berkakuan buntu
Tapi, keinginan bikin menebang yang dulu
Hilang sama jalan dalam membayang 
aku sendiri dalam jiwa mengenang
Menindak 
Mengalir darah. Lari Terbujuk mimpi
Tenaga menguras nyawa,
Yang mengira ajal menanti 
Segala berganti menghadap dunia mati
Mengeras hidupku menanti, menanti! Segala arti?
Berpijak
aku jerat hentak tersedu 
sendiri menembus pagi
Tercekik dada, mengelus satu
Sendiri Memanggil satu nama, Tuhanku, Tuhanku!


Agustus, 2022
Willy shayudana

Willy shayudana, penyair asal Deli Serdang, Sumatera Utara. Proses pembentukan puisi-puisi hidup, cita-cita dan cinta.


 

Komentar

Foto Willyshayudana

Keren

Keren

Willy shayudana

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler