Skip to Content

Perbincangan : Aku dan Si Gongli Simpang Empat

Foto Gama A. Gamuth

 

Sedari tadi,

kubuntuti jejak setan

karena aku penasaran tentang si gongli

yang absen di tempat mangkalnya, malam ini.

Aku tak tahu, apa Ia terserang AIDS

atau bunting atau sekarat.

Karenanya aku melacak

hingga tiba di sebuah kedai petak :

Pondok rotan remang-remang,

lampu seadanya

serta koloni penjudi mata merah,

juga botol-botol berlabel haram.

 

“Mau apa? Sekedar nangkring atau layanan? Aku

Sedang cuti tujuh hari.” Tolak si gongli.

“Bukan itu, bukan badanmu.”

Alisnya turun, batang hidungnya mengkerut.

“Lantas?” Ia mendatangiku.

“Sebuah perbincangan!”

 

Matanya meledak

“Perbincangan? Hm, seratus lima puluh ribu? Kurasa tak mahal?”

Dia menarikku ke dalam kedai dengan sedikit basa basi.

Bintang? Topi Miring?”

“Tak usah, cukup softdrink.”

 

Dia mulai berani duduk di sebelahku

bersama keheranannya yang selalu

bertambah satu.

“Tentang apa?” matanya mencubitku.

“Segalanya!”

Mendengar perkataanku,

dia menghela nafas malam

dalam­­-dalam sampai dadanya

bengkak.

Mulutnya segan berucap,

yang tersisa hanya matanya yang menantang

dan aku menang.

Kemudian Ia menyalakan batang rokok

yang puntungnya basah karena liur si gongli.

Sambil asik mengulum batang rokok

Dan di sela kepul-kepul asap itu, ia berbisik :

“Entah apa pikirmu, Bung. Biasanya lelaki-lelaki itu

minta surga, tapi kau tanpa apa-apa dan inilah aku, Bung.

Musuh cinta, sarang nafsu!”

 

Ia tersedak.

Sembari mengusap dadanya yang bengkak,

ia mulai terbuka.

“Aku cuma menikmati sisa umurku, Bung. Selain ini, apa lagi yang pantas kunikmati?

Toh, aku sudah dibuang dari pengakuan? Sekalian saja!”

 

Patahan-patahan kalimat meluncur

deras, matanya tiba-tiba sembab.

Ia agak ragu.

“aku paham konsep-konsep duniawi; lahir-hidup-mati.

Kulakukan bukan lagi untuk uang, tapi demi balas dendam!”

 

Bau rambut dan bibirnya yang selalu basah,

entah sudah dinikmati berapa lelaki.

Disibaknya helai-helai rambut itu,

yang mengotori bahunya.

“aku dulunya TKW. Tiga tahun bekerja, aku dibuntingi majikan

dan dipaksa aborsi lalu dipulangkan. Maka isyu bejat menempeliku.

Orang kampung bilang aku melacur. Mulailah banyak bapak-bapak mendatangiku,

Awalnya memang untuk uang, tapi akhir-akhir ini aku

asik sendiri.”

 

Dia tersenyum sedikit,

merangkai memorinya yang agak berkarat.

Dia tertawa kecil,

danmatanya melompong.

“entah apa aku ini, bisa jadi pelampias birahi

atau sekedar teman berbagi. Ah, persetan aku apa !”

Dari aroma nafasnya aku

melihat sebuah dilema yang

pekat.

Dia memilih menjadi biadab karena

memang itu yang diberi masyarakat.

Dia teraniaya. Dia merasa dikhianati.

Kukumpulkan keyakinan, lalu kutempelkan

Bibirku di tepi kupingnya.

“Kau merindu…”

 

Ritme nafasnya berubah,

temponya tambah cepat.

Dia kepanasan.

“aku? Pada apa?”

“Tuhanmu!”

 

Kelopak matanya menutup sesaat,

“Tuhan? Ahahaa. Tuhan sudah melupakanku, Bung!

Ia menyesal sudah membuatku. Mana lagi jalan buatku kembali?

terlalu terjal dan dalam aku ini.”

 

Muka itu munafik

berupaya memanipulasi rasa haus

yang sudah memuncak.

Aku tahu ia lelah.

Tapi, harga diri dan kesombongannya sebagai gongli

memenjarakannya disini.

Dia rusuh oleh mataku

yang sibuk menyingkap kejujuran batinnya.

Wajah si gongli jadi pucat.

“Aku tak akan kembali! Setapakpun tidak!

Percuma kau bujuk aku, kau bukan nabi. Aku

sudahtak pantas dianggap hamba. Aku tak ingin

kembali!”

 

Kutantang kemarahannya,

si gongli merasa jengkel.

Mukanya berair, takut kalah.

Dadanya resah, maju mundur bertubi-tubi.

Keringatnya mengucur.

“Kau tahu apa? Seenaknya datang dan menghakimiku! Kenapa

kau bersitegang memintaku pulang? Orang semacam kau

tak bisa mengerti berapa bisa kuteguk sehari. Aku tak peduli tentang

akhirat. Aku sudah benci, benci diri sendiri!

Maka kuhambur-hamburkan martabatku. Karena, aku lelah.

Ini adalah cara mati yang bisa kunikmati.

Kenapa kau kesini, kenapa ?!”

 

“Karena kau seorang perempuan

Maka kau kucintai!”

 

Seketika ia terbelalak,

seketika pula kutinggalkan si gongli

dalam lemas.

Ia cuma tersandar,

terdiam juga haru.

Setidaknya dia mereda,

Sekali pula dia melega.

Muntok, 23 Maret 2014

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler