Menghikmatimu adalah membaca garis-garis masa lalu
di kerut keriput wajah senjamu yang temaram. Dan tubuhmu yang semakin kuyu
penanda kerentaan yang tak mungkin disembunyikan
di balik etalase megah gedung-gedungmu
atau sebalik isi kebunmu yang satu demi satu
dicuri tetangga di depan matamu yang rabun
bahkan untuk menangkap binar cinta dan kerinduan anak cucumu sekalipun.
Engkau terlalu lelah setelah berjalan begitu jauh,
melewati ribuan atau bahkan mungkin jutaan sejarah
menemui berbhineka wajah dengan rona dan wataknya
mengikuti berbagai pesta dengan segala keriuhannya
dan menghabiskan terlampau banyak warisan.
Padahal masih ada sekian hampar masa menantimu dan anak cucumu.
Tapi kau masih juga bergeming dengan kebaya kumalmu
debu-debu yang mengerak, nganga luka-luka, dan memar membiru
telah menjadi tattoo permanent yang tak mungkin hapus dari kulit kisutmu.
Bahkan dengan berendam beribu jam di selaut airmata sekalipun.
Kau pun sudah tak lagi peduli dengan isi kepala dan
rambut gimbalmu yang semakin rontok kerna sekian lama tak tersentuh shampoo.
Keluarga kutu yang semula hidup damai di sana semakin tersingkir dan tercerai berai,
akibat eksodus semut cacing ulat kecoa tikus anjing ular buaya monyet malaysia
china jepang india inggris prancis jerman italia amerika.
Menyaksikanmu menangis tanpa airmata di setiap pergantian tahun
bahkan purnama pun enggan pamerkan senyum termahalnya
yang malah ia sembunyikan sebalik jas umbra yang pekat
dan anak cucumu, dengan sisa-sisa semangatnya,
bergerak serentak membuka mulut mereka
melantunkan lagu-lagu puja untuk kesembuhanmu.
Tidak
Bukan mantera
melainkan asa serupa mimpi yang tak terbeli.
Indonesia, 2010
Komentar
suka..
suka..
Tulis komentar baru