Skip to Content

Puisi Lama

Foto Iwan M. Ridwan

Al atau Ze

I
Dimana ‘kan kusimpan luka ini, Al? bumi kini tinggal sisa-sisa bakaran. Tak ada lagi kelembaban disediakan gunung. Laut tak lagi menitipkan bayang-bayang Tuhan. Ombak berganti kebencian. Buih membatu sebagai reruntuh amarah malaikat ketika malam terbakar pekat.
Mungkinkah sebagian luka itu kutitipkan pada denging-denging malaria? Sebagian lagi kutaruh di lekuk tubuhmu yang menyuarakan asa? Atau pada langit muram yang menangisi sebongkah cinta ketika petirnya menyambar sebuah hati?

II
Siapa yang ‘kan kupanggil dari dingin birahi, Ze, ketika rasa kantuk adalah satu-satunya sahabat? Perihnya menggasak dada seperti rel kereta saat rodanya mencengkram lekat. Atau kau saja yang kupaksa menjadi pahatan mimpi saat puisiku kehilangan kata-kata? Kalimat-kalimat yang tersusun hanyalah kakafoni-kakafoni yang merapuhkan makna.

III
Aku sungguh terhina, Na, ketika orang-orang membungkukan tubunya pada cinta yang baru tumbuh dalam putaran-putaran gunung, tanahnya menggeliat seperti mawar yang mendapat belaian matahari. Putik dan mahkotanya halus bagai lamunan. Sementara aku harus menanggung malu di hadapan bongkahan buku-buku yang menceritakan sejarah

IV
Ada bentangan tanya yang membiru, Alzena, dalam sajak dan puisi yang menghubungkan waktumu dengan secerca keinginan. Membeku.
Lalu menjadi batu yang tak dapat dihancurkan segelintir luka.

Bandung, 15 Maret 2007

 

Jejak-jejak hujan

I
Langkah kita adalah jejak-jejak hujan. Berguguran bersama kata-kata yang terkayuh lewat mulut-mulut sunyi. Mengalir bersama detak jantung kita yang mempertanyakan makna. Siapa yang menjadi awan di antara kita, hingga hujan membasahi jalan-jalan berdua?

Aku tak pernah bermimpi mempersunting langit, atau sekedar mengubah warnanya menjadi merah jambu. Sebab t’lah kupilih rinduku untuk terasing di pangkuanmu.
Sesaat  hanya menyapa lalu pulang diantarkan senyummu yang tak kembali sebab tersangkut pada kail-kail rasa dalam hatiku.

II
Jalan-jalan berselimut pekat, trotoar basah, gang-gang terlukis senja adalah jejak-jejak hujan dalam kebiruan rindu. Melekat pada hati curamku. Menjadi sederet pulau yang setiap saat mengenangkan masa lalu. Menoreh sejarah saat kita berada di antara batu-batu dan aspal yang tercecer luka, maka kita pun mempertanyakan arah langkah kita kan dibawa kemana?

Setia Budi, 13 April 2007

 

Aku mencintaimu dan akan jatuh cinta lagi

Jika aku jatuh cinta lagi, kau akan menjadi petapa paling sunyi.
Samadi di dalam ruang yang samar-samar dalam jiwaku
Setiap datang malam, aku akan mengingatmu sebagai cahaya yang sinarnya terpantulkan kembali. Jalan-jalan yang kita lewati menjadi sepi, gang-gang membatu, dan lorong-lorong memuntahkan air mata sebagai penyesalan pada sebuah cinta yang tumbuh antara kampus sendu dan sekolah biru. Aku menyesalkan itu. Sebab Kau selalu berkata ; sinar matahari akan tetap sebagai cahaya sekalipun bertepi di dasar samudera.

Bandung, 7 Juli 2007

 

Cerita dari Petakan Sawah

                    --kadang kala kenangan berada di ujung sebuah
                tebing yang jurangnya adalah angan-angan

di siang penuh lelah ini aku teringat masa lalu, Ningsih. Masa yang telah mengeras di bawah pohon-pohon kelapa dan genangan air bah di bawah genangan rumput yang menertawakan ingatanku untuk mengenangnya, untuk menjajakinya ketika benih-benih padi mulai ditabur di persemaiannya. Aku berbuka baju kesana kemari di pematang sawah menangisi ibu yang begitu giat menabur benih mimpi. Lalu berhenti menangis ketika ayahku datang dengan sebongkah karung berisi  kegelisahan di pundaknya. tangisku mengering karena matanya mengisyaratkan diam.

tangis masa laluku adalah tangis meminta pulang, Alzena. lelah menempuh jalan setapak keringat ayah dan ibuku. keringat penuh lumpur dan sengatan matahari terbungkus angin. aku mengerang bersama pepohonan, aku tanggalkan kesakitanku, lalu bangkit dengan letih yang kucuri dari tunas-tunas padi. tapi aku makin menangis, kuman-kuman kecil bersarang di pori-poriku seketika kuberenang di petakan-petakan sawah. bentolan-bentolan mulai menjamur di tubuhku

masa kecilku berenang di situ, Nissa. di perhimpitan benih padi yang bertunas mendaun rindu, menyajak nyanyian burung-burung pipit sebagai pujian untuk Dewi Sri., menyiar kabar tentang hijau yang tergoyah angin barat, membawa awan-awan menjauh dari mimpi hujan, menyebar dan terapung sebagai sesuatu yang terasingkan dari kerinduan para petani. tanah-tanah mengering makin kehausan meneguk sisa-sisa banyu di sudut-sudut kelabu, hijau-hijau itu memerah luka, melengking menjeritkan takdir dari dilahirkan. semua rasa menjadi salju.

aku berpijak kembali di tanah itu, Kalina, di tempat yang membuat sejarah tentang puisi-puisiku  yang tereufoni cintaku bersama Marya. atau cerita-ceritaku tentang Irshanty  yang dulu menjadi bintang pada langit muramku namun terjatuh pada bebatuan di tanah kelahiranku, lempeng-lempengnya berserakan ke setiap hati para petani sebagai gairah kesedihannya, maka segala yang menjadi kenangannya luluh menjadi sepi, sirna menjadi fatamorgana., melahap ladang-ladang puisi menjadi ratapan

kalian tahu, kini tanah itu kembali menghijau, dan aku akan tetap sebagai angin yang mendesirkan ombak dalam jiwa-jiwa petani, mencipta semangat-semangat baru yang bermunculan lewat rerumput tekik di pinggiran sungai-sungai. nyanyian awan ‘kan kupersunting pada gemuruh jantung-jantung mereka yang menjadi  pahatan-pahatan masa depan kelak, ketika mereka hanya bisa berpangku tangan menyaksikan cucu-cucunya membangun gedung-gedung di sawah mereka

cianjur, 9 Februari 2007

 

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler