Jika Aku
Jika nanti tak lagi ku temui pagi dengan sayu matamu, ijinkan aku melukis parasmu dalam ingatanku, sesegera mungkin akan ku rajam dingin pagi berkabut itu, lelaplah Ree, lelaplah di pelukan kekasihmu,
Engkau tak tau jika getir telah memporak-porandakan semuanya, kami di dekap kekhawatiran mendengar raungan sirine berlalu lalang, mendengar ocehan bebal para badut badut bertubuh tambur, jika saja engkau bisa bersaksi, mungkin nalarmu jeniusmu akan berkata lain, toh kau tak pernah henti menebar manis senyum yang memabukkan ku, mesti satu ketika aku dengan tak sengaja membuat bulir bening di mata indahmu tak henti menetes, "maaf jika aku berderai derai" katamu lirih sambil ku usap lembut airmata itu, dan sepeeti biasa kita lalu mbuang jauh jauh pandangan kita pada siluet bunga ilalang di balik senja merah saga, tinggal degup yang berpacu melawan bisu yang tiba tiba, kita melaju tanpa tau arah mana biduk ini kan kita bawa, ke muara atau pada dingin yang kian menyiksa, pun saat aku tak bisa mengabulkan pintamu waktu itu, sesal dan getir ternyata masih ku bawa hingga kini,
Selamat tidur Ree, mimpimu akan ku ceritakan pada monoloq monolqku,
Ahhh, kau Ree
Andai Saja Nanti
Andai aku tak bisa menemuimu lagi, kuburkan saja segala mimpi, jangan lagi ada sesal juga tafsiran tafsiran yang ambigu,
Andai aku tak mampu memelukmu seperti saat kita pertama kali bertemu, biarlah rindu ini terjaga siang malam,jangan ada air mata juga keresahan di akhir cerita kita.
Andai aku tak mampu menatap sayu mata lelahmu lagi, biarkan pijar lampu di langit langit kamarku membakar hangus ingatanku tentangmu, tersapu dari pejam netraku,
Andai aku tak bisa menyapau lagi, biarlah akan ku aliri ladang ingatanku dengan doa di setiap hembusan nafas ini, jangan lagi menoleh pada tanya, kenapa kita tak bisa saling menatap lagi,
Andai aku tak bisa tidur di malam malamku, biarlah lembaran lembaran puisimu tetap berada di pelukku, dan ku jadikan penuntun rindu, seperti yang kau eja di biru langitku du
Andai saja aku masih bisa meminta, ijinkan aku mengecup bulu bulu rindumu, dalam altar malam di atas sajadah usang ini,
Matahari siang ini menggantung seperti mimpi, saat seisi bumi memeluk kekhawatiran dan mencela habis habisan bayi mungil bernama Corona, latah pemisuh menumpahkan seisi dada yang terbakar kebosanan, lalu lalang pembual menjadi hiasan di layar kaca, Tuhan tersenyum ramah sambil membawa empat kitab tua simpanannya, menyaksikan para pengabdi setianya menyiapkan aliran sungai madu dan susu, sebagian membuat arang dan menempa tombak dan panah api, sepertinya telah sampai janjiNya pada kami.
Pohon bambu berderit berebut nada tak beraturan, hanya kuping kuping dungu yang bisa menikmati nyanyian sumbangnya, atap sekolah yang meronta meminta petuah pada guru yang lupa hitungan hari, jika ia telah berumur dan bocor di sana sini, para pengkhotbah mengasah taring dan tanduk untuk pertandingan berikutnya, seperti debat di tivi yang lebih mirip ajang provokasi, ibu ibu muda menghayal untuk tetap menjaga keperawanannya, dan mulai muak dengan pejantannya yang di mabuk pandemi, kisruh pak RT dan warga yang mempertanyakan data bantuan perusak mental pejuang warisan para pahlawan,
Sementara kopiku mulai dingin dengan pahit yang di paksakan, karena persediaan gula di meja dapur istriku mulai menipis, sesekali kucing kesayangan di rumah melirik protes setelah ikan bandeng kesukaannya beraroma formalin, rupanya para nelayan mensiasati daya beli rendah para pelanggannya,
,,,, Tuhan ijinkan aku menikmati tidurku terlalu lama, sebab malam nanti aku hendak terjaga, sebab masih ada yang suka mengambil mimpiku yang sederhana,.
Djangkungasmoro (170620)
PERSPEKTIF KEDEWASAAN DI TAKAR DENGAN SEBUAH KARYA SASTRA
Menanggapi status yang saya bagikan ini menarik, sekilas menurut pemaknaan umum tak ada yang cacat pada status di atas, tapi jika di cerna dari kacamata "karya" khususnya sastra, ini bisa cacat nalar secara logika, dasar teorinya satu saja, karena karya adalah buah, baik buah pikir, buah kreativitas, buah keringat, secara teori tak akan selalu menjadi cerminan sang pengkaryanya, jika kebetulan bisa mungkin, tapi kalau selalu dan sampai di jadikan tolok ukur kadar kedewasaan, kalimat ini terlalu lemah secara argumentasi, khususnya di bidang sastra, sastra itu mengandung filosofi, maknawi, sebab sastra tak jauh dari pengandaian, sebab basis dari sastra itu imajinasi, bagi seorang sastrawan, harus banyak berandai andai, kepekaan rasa yang terolah oleh nurani lalu masuk kedalam ruang imaji seorang penyair, maka akan keluar daya penalarannya, kemudian di tuang dalam bentuk tulisan maupun lisan, itulah sastra, jika seorang sastrawan hanya menyuarakan dirinya, maka hasil karyanya tak akan jauh dari biografi semata, atau seorang penulis biografi yang bergerak menuju sastra? Atau sastrawan yang sedang menulis biografinya sendiri, semua akan sah jika tidak di jadikan tolok ukur kadar isi seseorang, sebuah karya sastra kadang setajam pedang, untuk menyayat tiran pada suatu jaman, logikanya bagaimana jika sastra satire atau sarkasme, untuk menakar kadar? baik nalar, intelektualitas, juga imaji, mungkin bisa, tapi jika kadar kedewasaan, rasanya perlu di patahkan perspektif pada status di atas,
Mari mengeja artikulasi setiap kata dengan kacamata sastra, bukan kacamata rasa semata,
Jika,
Bulan itu melingkar di matamu
Ada gamang di ambang remang
Seulas senyum sisa lalu
Menikamku perlahan lahan
Saat namamu terpatri rapi
Dalam kenang yang terpendam
Saat matahari mulai meninggi
Berbagi terik dan keterasingan
Saat wajah wajah mulai nampak
Menjadi sekat sekat mati
Mungkinkah tirai kan terkoyak?
Adamu tiadaku, adaku tiadamu
Sepasang jari tanpa nurani
Berbagi bising dan bisikan nisbi
Aku terangkum dalam kisahmu
Semoga semua tak lagi pekat
Hei,,,,, usah ada jika di antara kita
Ladang ladang telah di siapkan
Musim semi akan datang
Saatnya kita menunggu tenang
Djangkungasmoro(190318)
Dunia dan Batu Batu
Ada apa dengan dunia
Semua kepala menjadi batu
Sedang batu batu mengisi kepala
Siapa si kepala batu?
Dunia dan batu batu
Menghijau seperti lumut
Licin seperti belut batu
Pada dada yang membatu
Dunia dan batu batu
Sekeras hati sekepal batu
Menumpah darah di batu batu
Berbentuk nisan sesepi batu
Dunia dan batu batu
Itu aku dan kamu
Memeluk cinta di batu batu
Pada hati yang kian membatu
Batu rinduku
Batu cintaku
Seperti keledai dan batu batu
Saling berbisik seperti batu
Dunia kian membatu
Djangkungasmoro (120321)
Berkatalah Aku, saat sekawanan lebah tak henti hentinya mengejar gembalaanku, "duduklah dalam diam, sebab dengan begitu kalian telah menunjukkan niat baik, paling tidak kalian tidak akan melakukan perlawanan, naluri lebah itu hanya bertahan, tapi caranya mengejar, asumsinya madunya tak ingin di dekati, itu saja,"
Seperti juga kekuasaan, yang di anggap sarang madu, jika kita mendekat saja sang penguasa akan bertanya, " mau apa"?
Esensi amanah dalam kekuasaan telah di kesampingkan, dan di gantikan dengan kehormatan juga kenyamanan,
Panggung adalah titik semua mata berkumpul dan menuju, jangan gerakan dalam tarian sampai salah, sebab jika tak membuat penonton bubar, setidaknya mereka akan berkata " kecewa" mesti hanya dalam hati.
Dan itu selemah lemahnya perlawanan,
Djangkungasmoro
Sastra dan Kulit Kacang
Sastra secara umum adalah dunia kepenulisan, atau dunia literasi, tapi pada dasarnya sastra tetap harus pada standarnya, lalu apakan semua puisi itu sastra? Sejenak mari kita berandai andai, jika semua puisi itu sastra, lalu kenapa mesti ada dua kata? Lalu apa beda sastra dan puisi?
Sastra adalah filosofi dari imajinasi pemikiran manusia, yang akan membawa kebaikan juga dampak positif secara pemikiran dan pemahaman, perumpamaan yang pada dasarnya akan menjadi tuntunan kedua dalam hidup dan kehidupan, sastra adalah sebentuk kitab kitab kehidupan, itulah kenapa sastra kita sebut tuntunan kedua, inilah yang membedakan kitab sastra dan kitab suci, basic dari kitab suci adalah wahyu, sedang sastra adalah imajinasi atau daya pikir manusia untuk kemaslahatan.
Puisi adalah curahan hati, atau alam imajinasi seseorang yang di tuang dalam bentuk tulisan atau lisan, yang menggunakan bahasa atau kiasan sebagai diksi pengantar dalam menyampaikan maksud dan maknanya, lalu apakah puisi itu sastra? Jawabnya bisa ya bisa tidak, lalu apakah sastra itu puisi? tentu jawabnya sama bisa ya bisa tidak, karena sastra bisa berbentuk apa saja, esai, gurindam, novel, cerpen, juga dalam bentuk bentuk lain, intinya sastra adalah olah pikir yang tertuang dalam sebuah tulisan yang membawa manfaat pada kehidupan.
Lalu apa sastra itu kulit? tentu bukan, yang membuat puisi berkelas sastra adalah isi dan makna dari sebuah puisi juga keindahan diksi dan kiasan yang akan mengantar pada banyak pemahaman, puisi yang baik akan masuk ke dalam alam pikir pembaca dan seolah itu untuknya, maka berpuisi adalah menjelajah nalar dan imajinasi semua orang secara tak langsung, itulah perlunya diksi dan kiasan dalam berpuisi, lalu bagaimana puisi yang terang benderang? Jawabnya adalah, sah saja itu di sebut puisi. Karena berpuisi tak kenal batasan, sebab imajinasi adalah kebebasan asasi, selama tidak melanggar hak dan ketentuan dasar tuntunan pokok, jikapun melanggar itu tetap bisa di kategorikan puisi, mesti akan di sebut aliran kiri, di sini sastra adalah isi bukan sekedar kulit kacang, tapi setiap isi pasti ada kulitnya, jadi bagi yang masih sekedar menyentuh kulit tak harus berkecil hati, sebab satu saat nanti akan sampai pada isi.
Teruslah berpuisi, tanpa harus berfikir sastra terlebih dulu, sebab perlu perjalanan panjang untuk sampai kesana, sederhana kan?
*Lahhh kamu itu siapa too Kung? Kok berteori?
Gelem wacanen ra gelem, tinggalen, kok repot!!!
Gkgkgkgk,
Djangkungasmoro, 060119
Lelaki Dan Sebatang Lidi
Sesekali menengoklah, terserah engkau mau terus berjalan atau berhenti, memisahkan diri dari sebagian satu perjalanan itu sedikit perlu bagiku, entah untuk sekedar menyinggahi sepi, atau menanak nurani yang kian matang dan nyaris gosong terpanggang abu perjalananmu, bukankah terik mentari telah menjadi topi abadi di sela perjuanganmu? Atau kuyub hujan kadang jatuh pada waktu yang tak kau ingini, Tuhan itu maha Asyik kata Sujiwo Tejo, aku mengangguk geli tanda setuju mesti tak kutemukan di catatan kitab yang berdebu itu, entahlah sampulnya saja aku lupa entah apa warnanya,
Singgahlah barang sejenak di peraduan milik kita dulu, tak banyak yang tersisa memang, hanya seikat sapu lidi dan tikar usang yang menghangatkan diri dalam gulungan, jika kau mau ambillah sebatang sapu lidi itu, jangan kau tanya untuk apa, sebab padanyalah semua bermula, agar kau tak tinggi hati, mati nurani, juga menyia nyiakan sepi, basuh saja sebilah lelahmu, sebab tak ada kuncup yang tak meninggalkan tunas, begitu juga perjalananmu, tak ada pundak yang kuat, tak ada jala yang rapat, semua serupa sebatang lidi, yang katamu menyerupai Alif,
Djangkungasmoro 010121
Lagi Lagi Puisi
Di semenanjung pagi ini seulas senyum sang Bagaskara begitu sempurna, beralis mendung tipis dan berbedak agan anganku sendiri, rimbun daun bambu seolah penanda jika tanah sudah mulai basah dan akar akar bersorak melepas gersang yang menindihnya selama ini, elok juga sepagi ini aku masih melipat dingin yang tak kunjung pudar,
Masih tentang puisi yang mengisi sebagian ruang kosong di kepalaku, seolah berdesak dengan penghuni penghuni yang datang silih berganti, sebab puisi telah berdiam begitu lama di sana, mesti kadang terdesak oleh para penghuni baru yang tak lama juga akan pergi,
Puisi itu makluk apa sih? Tiba tiba muncul pertanyaan dalam sisi kiri otakku, sehingga banyak persepsi yang saling silang tentang wujud juga sifatnya, dia tak berkaki tapi bermata, dia tak teraba tapi terasa, dia lemah tapi menindih, dia kejam tapi di cinta, dia hidup tapi tak bernyawa, tapi dia menyatu dalam alam imaji manusia, beda kadar juga beda himne dan irama tergantung wadah yang menampungnya, puisi adalah air, angin, api, batu, tanah,hujan, molek tubuh bidadari,langit juga bulan dan matahari, bahkan seisi semesta ini wujud puisi, sebab semua itu bisa saja jadi tubuh puisi jika di jadikan diksi,
Jadi jika puisi itu di batasi bolehlah kita pertanyakan jangan jangan itu bukan puisi, atau bentuk lain yang berjubah puisi, atau apalah apalah yang bermimpi menjadi puisi,
Sah dan sah saja apapun itu di dunia perpuisian, akan tetapi puisi itu milik semesta, setiap yang punya rasa berhak memiliki puisi,
Sadarkah kita acapkali kita takluk oleh sebuah puisi? Sebegitu hebatkah puisi yang konon bisa mencuci hati, meruntuhkan tirani, bahkan puisi bisa menjadi pembunuh paling kejam di muka bumi ini,
Lalu seberapa kuat kita jika ingin menaklukkan puisi? Atau kita hanya ingin lebur tergilas roda rodanya yang bergerigi?
Semua ini tak perlu jawaban, cukup sedikit masukkan di sisi ruang hati, boleh mengangguk atau menggeleng, sebab puisi adalah penggembala para hati yang masih bisa di sebut hati.
Boemiayoe 261220
Rembulan Bersolek
Kemana Pedang Kau Arahkan?
Saat ini mungkin bukan saat yang tepat, sastra di perdebatkan, karena sastra itu seharusnya mempersatukan banyak dunia, banyak bahasa banyak hati dan banyak pola pikir,
Kita coba mengikuti saja apa yang telah di perbuat oleh Prof Hudan Hidayat, Abah Hakimi Sarlan Rasyid, Bpk Noorca M Masardi, dan senior senior lain, sehingga sastra kian tersentuh secara utuh, bukan sepenggal, tak elok kita mengaku orang sastra, kalau bahasa saja kita tak paham, dan menjadikan bahasa sebagai benda penusuk tirani, sarana pembenaran diri, dan alat mendiskriminasikan satu karya atas karya yang lain,
Sastra adalah sarana dan wadah kita menuang dan membahasakan hidup dan kehidupan setelah melewati perenungan panjang tentang hidup itu sendiri, seorang yang mengaku sastrawan medtinya tak bisa mencela hasil karya orang lain atau pendapat orang lain tanpa dasar dasar yang memang mendasar,
Mari kita menghidup hidupi sastra, jika belum bisa, maka jangan menjatuhkan mental orang yang sedang memelihara sastra, jika tak sepaham katakan akasan yang se sastra sastra nya,
Dan bagi yang ingin hidup dalam sastra, hiduplah selayaknya sastrawan, yang tetap berpegang pada prinsip perjuangan dan spirit ala sastra,
Mari kita berlomba dengan cara orang sastra, santun juga menjadikan bahasa jadi alat untuk merevolusi segala tatanan yang belum mapan.
Ingatlah pendahulu kita
Umbu Landu Paranggi
W S Rendra
Taufiq Ismail
Chairil Anwar
Kurasa itu contoh yang bisa kita teladani bagaimana mereka bersastra
Tak salah mengarahkan pedang,tak salah menikam
Mereka tahu kepada siapa harus bersuara,
Salam sastra,
(Djangkungasmoro)
Lukisan Di Gelas Kaca
Di bibir gelas kaca itu
Kau meninggalkan senyumu
Di dalam gelas kaca itu
Wajah utuh terpatri rapi di mataku
Di gelas kaca itu
Ku lukis indah setiap langkahmu
Di gelas kaca itu
Tak ku biarkan rindu menguar
Di gelas kaca itu
Kita tak bisa menjadi satu
Di gelas kaca itu
Kau tinggalkan ribuan cerita untukku
Di gelas kaca itu setiap hari aku menjengukku
Djangkungasmoro (200720)
Begitupun Aku
Tak kan kulihat lagi jendela terbuka di awal pagi
Juga sapa sang Surya mengantar nyanyian riang bocah bocah bersepatu hitam
Tak ada lagi ukiran mendung menghias langit
Sebab hari begitu terang dalam sebuah ingatan
Malam nanti adalah malam tak biasa untuk kita
Tak ada lagi kopi dan canda ringan di meja kecil tua
Tempat di mana kita menuang butiran rindu itu
Pagi ini hanya menyisakan ingatan
Pada malam pekat tanpa bintang
Hanya bulan kecil dan sedikit samar
Yang menjadi jembatan sedih dan tawa
Pagi ini kau telah sampai
Pada rumah yang dulu sempat kau takutkan dan kemudian kau rindukan
Pagi ini hanya aku yang punya rindu itu
Dan kuharap kau berkata, "begitupun aku"
Djangkungasmoro (210720)
Sajak Sepasang Bulan
Bukalah jendela kamarmu lebih pagi
Sebelum jari jari ini datang mengetuknya
Sambutlah, aku akan bertandang bersama cahaya baskara
Memelukmu lalu lebur dalam jiwamu
Akan aku bacakan lirih di telingamu
Tentang sepasang bulan di matamu
Yang kelak akan meminjamkan cahayanya
Saat malam bertandang nanti
Dan gelap setia mengikuti
Rapal mantra telah hilang tuah
Berguguran seperti daun daun tua
Dan tinggal sepasang bulan yang kita punya
Djangkungasmoro (200720)
Besok Aku
Besok aku hanya sebuah debu
Terkikis habis dari ingatanmu
Besok aku hanya lukisan bisu
Berserak di pojok ruang hatimu
Besok aku bukanlah pohon rindu
Berdiam di ingatan
Besok aku akan sebau tak berbangakai
Bermandi daki dan caci maki
Besok bukan saja aku
Yang akan mengarak sesal dan ingatan
Besok saat hanya nisan kita yang diam berjajar
Tertulis nama di lapuknya fana
Djankungasmoro (200720)
Komentar
.
.
Tulis komentar baru