Sri Wintala Achmad
N A R S I S
Di beranda facebook
Kaupahat patung diri
untuk kaupuja siang malam
tanpa bunga tanpa dupa
Layaknya orang kesurupan
kausetubuhi patung diri, hingga
berahimu bagai kertas tissu terbakar
di antara acungan ribuan ibu jari
Usai kaututup facebook
kaurasakan senyap paling sembilu
menetak kelaminmu yang semula mengajarkan
bagaimana mencintai gadis-gadis di seberang jalan
Cilacap, 3 Juni 2015
BELAJAR KEPADA KUCING
Belajar kepada kucing
agar dapat membunuh lawan dengan arif
bukan dengan menerkam dari samping, atau
belakang. Apalagi bernyali mencabik-cabiknya
selagi lawan masih bisa lantang berteriak
Kucing adalah guru, yang
mengajarkan tentang lebih tajamnya hidung
dan mata dari pada gigi dan kuku-kukunya
: dua senjata andalan untuk mendeteksi jejak
atau ruang intai lawan di balik kegelapan malam
Hingga waktunya, kucing itu serupa kita
yang harus mengikuti cara hidup harimau
ketika rumah peradaban telah mentakhtakan hukum
rimba. Dimana kubu lawan dan kubu kawan
tak terlihat lagi garis batasnya
Cilacap, 21 Mei 2015
SAJAK SEORANG PENGRAJIN AKIK
Ketika batu diranggas dengan gerenda
terdengar teriakan hingga memekakkan telinga
: “Aku ingin terbebas dalam jati diri yang sederhana.”
Karena sudah berkepala batu, pengrajin akik
terus membentuk batu dengan tangan besi
hingga tak peduli percikan api dan kepulan debu
menyerbu wajahnya. Wajah yang mengingatkan
pada gambar kebengisan Hitler
Batu terus diasah sesudah terbentuk mata cincin
agar tampak semanis paras manekin yang
dipajang di dalam etalase super market
Mata cincin terus dikilaukan dengan serbuk intan
agar secerlang mata Monaliza yang memancarkan
sinar bintang di balik muram kedukaannya
Ketika batu telah sempurna sebagai mata cincin
pada embanan. Pengrajin akik berkata, “Aku yang
membentuk mumi peradaban di dalam peti kristal.”
Cilacap, 22 Mei 2015
R U M A H
Sering aku mengurung di dalam rumah
bukan untuk bercinta dengan sabun mandi
atau handbody. Selain mencari bayangan diri
yang tersingsal di balik lipatan-lipatan kegelapan
Pagi, aku selalu membuka pintu
bagi guru yang akan datang untuk mengajarkan
: “Tundukkan kepala pada tamu, karena lebih tinggi
nilainya dari hidangan lengkap di atas meja makan!”
Sesudah menutup pintu rapat-rapat
aku akan tinggalkan rumah untuk menyambangi
kota demi kota yang mensujudkan arogansi gedung-gedung
seusai dimabuk cahaya, selepas purnama oleng ke barat
Pada waktunya, aku akan pulang ke rumah sebagai tamu
bukan untuk apa, selain menjenguk bayangan diri
: “Apakah ia masih dapat mengenaliku, ketika
bercermin di malam mati lampu?”
Cilacap, 25 Mei 2015
POHON JAMBU
DI HALAMAN RUMAH
Seperti musim kering sebelumnya
pohon jambu di halaman rumah
menggugurkan sebagian daunnya
ketika angin tenggara mengabarkan
musim hujan masih ditangguhkan
Bila gerimis pertama dikirimkan angin
lewat kurir awan, pohon jambu
serupa sinterklas bertopi hijau muda
: membagi kue natal pada anak-anak yang
tengah merayakan hari kelahirannya
Datang waktunya, pohon jambu
akan disempurnakan musim
dipetik buahnya tak akan berkurang
dipatahkan batang-rantingnya tak tersakiti
ia terus tumbuh mengembangkan akar-akarnya
Cilacap, 26 Mei 2015
KAFE, SUATU MALAM
Gelas-gelas di meja tinggal nyisakan ampas kopi
berserakan puntung rokok di lantai kafe
lidahmu kering, mulutmu kehabisan kata-kata
tablet mulai kaujadikan selingkuhan yang
lebih menggemaskan dari hostes pilihan
Dendam rindu sudah terbagi, namun
kau belum beranjak dari kafe
pulang ke rumah yang
telah berubah menjadi gudang
masalah, arena perseteruan
Seusai bangku-bangku kosong
kautinggalkan kafe yang sesenyap makam
tua: tempat mayatmu kelak dikuburkan
tanpa tabur bunga tanpa asap dupa, bersama
orang-orang yang tewas di tepi ring pertarungan
Komentar
Tulis komentar baru