Rumah 1
kita pun sependapat
memecahkan seluruh sunyi-sunyi kita
lewat sebuah teater percintaan,
dekat altar gereja.
di hadapan pendeta: selingkar pelangi-jantan
milikku: biar menggembok di jari mungilmu
dan selengkung bulan sabit-betina
milikmu: biar memasung kekar
di jemari tengah kananku
dan sebait sumpah surga pun
lalu kita koarkan sekuatnya
kepada gerombolan undangan
yang sedari pagi masih
se setia-matahari menontoni irama percintaan kita
meski jauh di kepalaku
tak lain se hanya lekuk-lekuk kebaya putihmu
yang terus kukaji-kaji, juga aroma kuntum melati
yang melingkar manja di konde kepala montokmu.
entahlah di dadamu ada se persis resahku ini?
sehabis resepsi, kita perlu sepakati se angguk janji pasti.
sebab, kasur bersprei-biru kado mertua ku itu:
memancing penasaranku bagai apa sistim pakainya?
tapi nantilah, pastikan.
tunggu mereka tuntaskan dulu doa-doa berkat
di telapak-telapak tangan mereka
yang sedari tadi kulihat nyaris bertumpahan
ke ubun-ubun kita.
hanya tinggal resepsi. dan tak akan bertele-tele.
mereka-mereka, juga massa mertua
pasti akan segera bergegas: membiarkan kita
sempat terapung-apung dan beterbangan
di dekapan buih-buih malam,
di tidur perdana: dimana kita akan saling tau
nada-nada dengkur masing-masing
yang akan kita kobarkan di sebuah kamar sempit
rumah kontrakan di sudut kota tua.
tempat yang paling tepat
untuk kau dan aku belajar menganyam keringat
menjadi nada-nada tangis
yang sudah mulai menggema halus
di poro-pori plafon lapuk
Nainggolan, Topi Tao Maret ’06
Rumah 1
- 625 dibaca
Komentar
Tulis komentar baru