Konsolidasi
Karya Muhammad Rois Rinaldi
Kawan-kawan, penjaga barisan pertama.
Mau tidak mau dan suka tidak suka
kita kembali membicarakan persoalan yang ini
dan ini juga. Memang mejemukan!
Harapan kita berpendaran
di antara redup lampu masa depan.
Hidup kita dalam cemas dan was-was.
Setiap langit kemerahan jadi gulita,
telinga kita mendengar dengus napas
orang-orang kalah yang dibekap ketidakadilan.
Kita mendengar kepak alap-alap hinggap
di rumah-rumah, membawa tipu daya.
Karena itu, kita berjaga di sini,
demi apa yang kita sebut: jalan perlawanan!
Kawan-kawan, perlawanan di waktu dulu
bukanlah perlawanan di masa kini.
Tidak ada lagi ode pengantar langkah
bagi seorang demonstran. Tidak ada lagi seorang ibu
mendongeng tentang para pejuang
yang menolak tunduk kepada kesemena-menaan.
Karena, kini, pergerakan diajarkan untuk takut
kepada rasa lapar dan keterasingan.
Kita diajarkan untuk cari selamat sendiri-sendiri
meski dengan menginjak kepala orang lain.
Di masa abu-abu —di mana antara setan dan malaikat
sulit dibedakan kepak dan warna bulunya—
pergerakan kita dikata sebagai segerombolan
pemuda frustasi yang gemar membakar ban.
Karena itu, kita mesti cari cara lain.
Sekarang sudah pukul tiga, sebentar lagi subuh.
Semua suara sudah didengar dan dicatat.
Kita tidak punya tujuan adu kecerdasan.
Jadi, kita harus cukupkan perdebatan
dan segera bikin kesepakatan.
Tetapi sebelumnya, kita harus menyingkirkan
para pengkhianat! Mereka sudah ada di sini.
Sudah lama mereka seolah-olah berdiri tegak di barisan.
Mereka sedang mencatat pembicaraan kita
sambil berbalas pesan singkat dengan orang-orang
yang kita tandai sebagai musuh.
Kawan-kawan, bukan maksud saya bikin rusuh.
Tetapi kita tahu betul, aktivis-aktivis lacur
adalah racun ganas bagi napas pergerakan;
lintah yang menghisap darah kita; borok akut
yang harus diamputasi.
Sekarang kita tidak perlu sungkan.Segera periksa!
Jangan lantaran perasaan kita yang lemah
kita mau terus menerus dipecundangi.
Ini bukan soal siapa tega mengganyang kawan sendiri
atau siapa tidak menaruh iba kepada sesama manusia.
Sebelum terlalu jauh dan cita-cita kita sia-sia
kita harus bersihkan kita punya jalan.
Atas nama kemanusiaan kita mesti
memperlakukan manusia sebagai manusia.
Lempar anjing ke jalanan!
Kawan-kawan, sekarang kita tidak saja menghadapi
kesinisan orang-orang awam tapi juga keculasan
aktivis-aktivis tua.Mereka yang sudah keropos dan pikun
duduk manis menjaga kursi kekuasaan
sambil membaca gerak-gerik kita. Sebagian mereka
masih ada yang bergerilya.
Mereka mengumpulkan orang-orang lugu
atas nama perlawanan untuk membuat peta-peta baru,
membubarkan barisan orang-orang lurus.
Mereka yang terus bertanya: “Kalian datang
untuk kepentingan apa dan pergerakan kalian
atas pesanan siapa?” bukan orang baru, mereka tahu
bagaimana cara menaklukkan pergerakan.
Tetapi jangan gugup, kita masih punya jalan.
Kita harus jaga jarak dari setiap penciuman,
penglihatan, dan pendengaran mereka.
Kita mesti mendirikan kemah di kampung-kampung.
Selamatkan anak-anak dari jebakan sosial media
dan buku-buku palsu. Bangunkan pemuda-pemuda
dari halusinasi dan ketakutan.
Palingkan wajah ibu-ibu dari gosip dan sinetron.
Guncanglah sukma para tetua tidur.
Kita ajak mereka membaca keadaan
dari Z ke A atau dari M ke A lalu ke Z.
Maneuver masa kini, maneuver tingkat tinggi.
Jangan pernah membaca apa pun dengan cara biasa.
Kawan-kawan, kita duduk di sini,
berbicara dan bikin kesepakatan
tidak untuk memanjangkan keluh kesah.
Maka pastikanlah, kawan-kawan siap
menghadapi penderitaan demi penderitaan.
Orang-orang malas dan cengeng, tinggalkan barisan.
Pulang dan tidurlah dengan nyenyak.
Jangan lupa cuci tangan dan minum susu kaleng.
Karena orang-orang malas dan cengeng
adalah benalu bagi pergerakan kita.
Zaman bergerak, penguasa tumbang dan berganti.
Tetapi kekuasaan yang semena-mena, belum hengkang.
Jangan lelah. Kita harus meneruskan perlawanan.
Tetapi kita tidak boleh tampil polos.
Tidak boleh lagi tergesa-gesa dan mudah ditebak.
Begitu banyak topeng. Begitu banyak jebakan.
Kita tahu bagaimana dan di mana mesti memulai.
Tetapi tidak satu jin pun boleh mendengar
derap kaki kita.
2012
Sumber: Buku puisi Nada-Nada Minor cetakan ke-II
Komentar
Tulis komentar baru