Skip to Content

Sajak Koran Mingguan - Muhammad Rois Rinaldi

Foto Rumah Sastra Indonesia

Sajak Koran Mingguan

 

I/

Ada balita busung lapar  dikubur pagi ini!

“Sebab tidak diberi makanan sehat sempurna.

Asi tidak cukup. Tubuhnya kurang gizi. Jelas mati!”

pungkas petugas puskesmas sambil lalu.

 

Perempuan paruh dari Banten Selatan

dadanya kurus kering. Matanya yang berceruk itu

mamandang langit, ia kehilangan cara berdoa.

 

Sebelum mati, bayi itu tidak dirawat,

tergeletak berjam-jam di UGD.

Dokter tidak dapat memeriksa

Jamkesmas tidak laku—lama cairnya.

Sekarang pasien dirawat,

bulan depan baru cair.

Puskesmas butuh biaya operasional

mesti pilah-pilih, siapa yang dirawat

siapa yang dilewat

soal hidup mati,  serahkan pada Tuhan.

 

Ibu kurus kering itu gagu ditanya wartawan.

Jiwanya ngambang. Orang-orang berhenti

dan bertanya-tanya sekadar ingin tahu

dengan wajah iba yang kurang meyakinkan.

(Dalam begitu, jangan bertanya, mengapa

orang-orang ringan saja melihat  mayat seorang bayi

diboyong ojek—bayarnya pakek kasihan

sedang mobil-mobil plat merah ‘nganggur

di parkiran mall. Jangan ditanya mengapa

duka sendiri-sendiri, sementara manusia sama

hidup di bumi).

 

 

Wartawan terus mendesak dengan pertanyaan,

betapa sedih betapa duka.

Perempuan itu jadi membayangkan dua anaknya

yang tidak makan Sekolah Dasar.

Mereka yang buncit perutnya, yang juga

dijangkit  busung lapar pasti menantinya

sambil ketakutan digoda kematian.

 

Merataplah perempuan paruh baya itu:

Leusteuing anak kula pang alit maot

    aya dua anak deui nangguan maot

                  kula gé sakedeng deui maot

                      leusteuing kabehan maot.

Ia tidak dapat berbahasa Indonesia.

Tidak tahu Indonesia!

II/

Siswa Sekolah Menengah diusir sebab bangku

dan buku kudu dibeli pakai uang

bukan pakai nasib malang yang dikisahkan

sambil menangis.

Kepala Sekolah yang baik hati tidak ambil pusing.

 

“Kami tidak bisa mempertahankan

siswa yang tidak kontributif!

Sekolah bukan yayasan sosial!” katanya

sambil menyuruh bagian keuangan

menghitung jumlah tunggakan

dan beberapa nama lagi yang ditandai.

 

Sebelumnya, siswa itu merengek:

“Bulan depan Ujian Nasional, Pak!”

“Ya, saya tahu. Kamu tidak perlu repot ikut ujian!”

“Tidak ada kebijakan untuk saya?”

Kepala sekolah menunjukkan catatannya.

“Tiga tahun kamu menunggak,

apa saya kurang bijak!?”

 

 

Kepala Sekolah membanting buku tebal di meja.

Siswa itu terisak.

“Satu bulan lagi, Pak...,” 

Tahu sia-sia,

sebuah bogem mendarat di wajah Kepala Sekolah.

 

Seorang wartawan bodrek datang.

Dia bertanya dan mencatat. Dia kudu hati-hati.

Tidak boleh salah  mengajukan pertanyaan,

dan tentu saja, bumbu berita

kalau tidak kepingin sepi amplop

(tanpa amplop, anak bini mau makan koran?)

Soal dusta dalam berita, tidak dosa

yang dosa itu, ‘nyolong sandal di masjid!

 

“Bapak melaporkan anak itu ke polisi?”

“Ya!”

“Tidak kasihan?”

“Kasihan, tapi keadilan harus ditegakkan!”

“Benar sekali, keadilan harus ditegakkan!”

 

III/

Dua Pegawai Negeri Sipil tingkat atas ditangkap

Satpol-PP di mal. Merah padam wajah mereka.

Terbayang budget bedak, gincu, parfum

gelang, kalung, dan tas-tas bermerek.

Kehidupan dan penghidupan sehari-hari;

gaji bulan tiga belas; rutinitas salon dan arisan

dengan ibu-ibu pejabat. Semua akan lenyap.

Di luar mal orang-orang membunyikan  klakson

panjang-panjang. Angkutan kota dan sepeda motor

ledekan-ledekan para calo, ibu-ibu kelontongan

dan ledakan balon dari tangan anak-anak TK.

Suara-suara itu tidak dapat dibungkam!

 

IV

Ada walikota demen masuk tipi.

Sumbangan kerudung sajadah

untuk ibu-ibu pengajian

sumbangan pembangunan masjid

dan tetek bengek dikoar-koarkan,

sementara dana membangun

hotel-hotel megah dana kampanye
turun temurun disembunyikan.

 

Dia menggadang-gadang program:

dari Rakyat untuk Rakyat.

Segala gipang, segapa gembleng,

segala emping, segala awug-awug

dikumpulkan di lapangan terbuka.

 

“Pesta dimulai!” seru seorang ajudan

setelah terompet pertama ditiup

(teromptet bukan tanda pesta, Tuan,

tapi tanda kiamat telah tiba!).

Orang-orang datang dengan senang
dikasih makan, dikasih mainan.

Di lapangan terbuka itu

berjamaah mereka mengucap puji-pujian.

Syukur, kata mereka, sebab rakyat

hidup makmur. Rakyat makmur!

 

Tampak juga para seniman duduk manis

menunggu piala penghargaan.

Seniman-seniman mabuk piala memang gemar

mengangguk-angguk di depan kekuasaan. 

 

Sebuah baliho raksasa kemudian dibuka,

“Hadirin mohon membaca dengan lantang

secara bersama-sama,” ujar staf protokoler.

 

“Terima Kasih

Walikota yang Amanah

dan Pro Rakyat!”

 

Acara ditutup dengan doa.

Amplop tipis-tipis dibagikan koordinator lapangan.

Bingkisan kecil, dan  piala-piala palsu

dari penghargaan dan harapan-harapan palsu

dibawa pulang dengan senyuman

dan kebanggaan yang palsu.

Lapangan jadi sepi. Tinggal sampah  

berbicara dengan bahasa yang lugu.

 

V/

Ada halaman sastra memuat karya para penyair.

Puisi?  Ya ya ya oblada obladi

si Murni tukang cicil panci,

rentenir berwajah koperasi berkeliaran di pasar.

Rakyat susah, senang makan uang riba.

O la la . oblada obladi  tiga biji Kakao

bikin Nenek Minah diseret ke pengadilan.

Duka Marsinah jadi kenangan berdarah-darah.

Darahnya dikenang-kenang setiap tahun

dalam renungan seremonial yang gagal.

Orba telah tiada. Orla telah sirna.

 

Penyair tinggal duduk manis menatap kata.

Menyusun bunga. Berangan-angan

tentang kekasih yang berpeluk waktu hujan.

Bumi goyang, bumi terbakar, bumi banjir,

tidak ambil pusing.

Ha ha ha.

Tidak tua tidak muda demen embun.

Tidak tua tidak muda demen melamun.

Sini taman melati,  sana taman mawar

123 indah semua.

Ha ha ha.

 

VI/

Pada halaman terakhir, iklan berjejeran.

Sebuah kolom berisi begitu banyak kalimat

berbedak tebal, bergincu menor, dan berminyak.

Wajah seorang dukun terpampang di sana.

 

“Tidak punya anak? Datang saja

ke Padepokan Nganaki.

Dijamin langsung punya anak!

Tidak berhasil, uang Anda kembali.”

 

Ya elaah, koran mingguan.

Kabar duka dan lelucon bertubrukan

seperti laron pada jam pemadaman listrik.

Dunia dalam koran mingguan

adalah kursi berjungkalan di dalam kelas,

seorang anak SD

menyandera gurunya di sana.

Hu ha!

 

Kramat, 2011


 Sumber: Terlepas Karya Muhammad Rois Rinaldi. Cetakan ke-II, Pustaka Senja Publishing 2017.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler