Duduk di bangku taman yang kosong
melihat jakarta ,
mananyakan penduduk jakarta ,
dari desa.
Pemodal menempel jidat setempel birokrasi ,
Mengencengi kepala mereka
Bulan terbelah.
Bintang terpecah .
Dan aku menonton tv buasnya anak - anak
tanpa pendidikan.
Aku menjawab
tetapi jawaban – jawabanku
membodohi meja meja keangkuan ,
dan papantulis-papantulis di komputer
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Buasnya anak – anak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa rumah
tanpa dinding ilmu sekolah
tanpa ada bayangan penghayom
…………………
Menghisap lem aibon
yang disemprot debu knalpot ,
aku melihat anak – anak lulusan sekolah dasar
di paksa kerja ,berpeluh di jalan raya;
aku melihat anak – anak wanita bunting
tanpa status.
Langitpun marah
Wajahnya merah dan merah
para orator berkata :
bahwa bangsa kita adalah bangsa terdidik dan berkembang ,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di di bina akhlaknya
ilmunya disesuaikan dengan kecanggihan zaman
bukit bukit terbangun .
laut dan tanah menyatu berirama
melawan manusia
Dan aku melihat
Para teknokrat tertawa senyum yang terpendam,
terhimpit di bawah ketek pemodal.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
terbantah oleh penyair picisan ,
yang bersajak tentang cinta di mati akan kekasihnya ,
sementara tahta selalu ada di dirinya
dan kanak-kanak tanpa orang tuanya
termangu-mangu di jalan kaki pencangkar langit .
duit – duit menjamur di hati masyarakat
bangsa tahun depan
adalah
aku cinta duit
indonesa raya hilang
di hati pandang matanya,
di iklan tv , menjual iba demi duit ,
harapan ibu dan bapak terjebak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi keluh di laut,
Komentar
Tulis komentar baru